• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis tokoh ara dalam roman larasati karya Pramoedya Ananta Toer: Sebuah Pendekatan Psikologi Sastra BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Analisis tokoh ara dalam roman larasati karya Pramoedya Ananta Toer: Sebuah Pendekatan Psikologi Sastra BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

1

Sebuah Pendekatan Psikologi Sastra

Djarot Haryadi C0299012

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya, dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam kehidupannya, maka ia tidak saja merupakan suatu media untuk menyampaikan ide, teori atau sistem berpikir tetapi juga merupakan media untuk menampung ide, teori serta sistem berpikir manusia. Sebagai karya kreatif, sastra harus mampu melahirkan suatu kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia, di samping itu sastra harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan tentang kehidupan umat manusia (Atar Semi, M., 1993:8).

Setiap manusia merupakan individu yang berbeda dengan individu lainnya. Ia mempunyai watak, temperamen, pengalaman, pandangan dan perasaan sendiri yang berbeda dengan lainnya. Namun demikian, manusia hidup tidak lepas dari manusia lain. Pertemuan antarmanusia yang satu dengan manusia yang lain tidak jarang menimbulkan konflik, baik konflik antara individu, kelompok

(2)

maupun anggota kelompok serta antara anggota kelompok yang satu dan anggota kelompok lain. Karena sangat kompleksnya, manusia juga sering mengalami konflik dalam dirinya atau konflik batin sebagai reaksi terhadap situasi sosial di lingkungannya. Dengan kata lain, manusia selalu dihadapkan pada persoalan- persoalan hidup. Manusia dalam menghadapi persoalan hidupnya tidak terlepas dari jiwa manusia itu sendiri. Jiwa di sini meliputi pemikiran, pengetahuan, tanggapan, khalayak dan jiwa itu sendiri (Bimo Walgito, 1997:7).

Kejadian atau peristiwa yang terdapat dalam karya sastra dihidupkan oleh tokoh-tokoh sebagai pemegang peran atau pelaku alur. Melalui perilaku tokoh- tokoh yang ditampilkan inilah seorang pengarang melukiskan kehidupan manusia dengan problem-problem atau konflik-konflik yang dihadapinya, baik konflik dengan orang lain, konflik dengan lingkungan, maupun konflik dengan dirinya sendiri.

Karya sastra yang dihasilkan sastrawan selalu menampilkan tokoh yang memiliki karakter sehingga karya sastra juga menggambarkan kejiwaan manusia, walaupun pengarang hanya menampilkan tokoh itu secara fiksi. Dengan kenyataan tersebut, karya sastra selalu terlibat dalam segala aspek hidup dan kehidupan, tidak terkecuali ilmu jiwa atau psikologi. Hal ini tidak terlepas dari pandangan dualisme yang menyatakan bahwa manusia pada dasarnya terdiri atas jiwa dan raga. Maka penelitian yang meggunakan pendekatan psikologi terhadap karya sastra merupakan bentuk pemahaman dan penafsiran karya sastra dari sisi psikologi. Alasan ini didorong karena tokoh-tokoh dalam karya sastra dimanusiakan, mereka semua diberi jiwa, mempunyai raga bahkan untuk manusia yang disebut pengarang mungkin memiliki penjiwaan yang lebih bila

(3)

dibandingkan dengan manusia lainnya terutama dalam hal penghayatan megenai hidup dan kehidupan (Andre Hardjana, 1985:60).

Roman Larasati merupakan salah satu roman karya Pramoedya Ananta Toer. Seorang penulis yang hampir separuh hidupnya dihabiskan dalam penjara, 3 tahun dalam penjara Kolonial Belanda, 1 tahun pada masa Orde Lama, dan 14 tahun pada masa Orde Baru. Beberapa karyanya lahir dari penjara-penjara tersebut, di antaranya Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca).

Dari tangannya telah lahir lebih dari 40 karya yang diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing. Hal ini pantas bila Pramoedya Ananta Toer memperoleh pelbagai penghargaan, di antaranya: The PEN Freedom to Write Award pada 1988 dan Ramon Magsasay Award pada 1995. Sampai kini, ia adalah satu-satunya wakil Indonesia yang namanya berkali-kali masuk dalam daftar kandidat pemenang Nobel Sastra.

Dalam roman Larasati diceritakan bahwa Ara atau Larasati adalah seorang artis panggung yang cantik, penampilannya banyak ditunggu oleh para penontonnya, bahkan ia juga punya banyak penggemar di luar dunia panggung.

Ketika masa revolusi, tahun 1940-an ia tumbuh dewasa sebagai seorang gadis.

Ketika pergolakan revolusi pecah, ia harus dihadapkan pada kenyataan bahwa selama ini ia selalu berada di pihak musuh. Pada saat menyaksikan penderitaan bangsanya, kesadaran dirinya sebagai anak bangsa mulai tumbuh. Ia berjanji dalam hatinya tidak bakal main untuk propaganda Belanda, untuk maksud-maksud yang memusuhi revolusi.

(4)

Pada saat angkatan muda berjuang mati-matian, banyak angkatan tua mendapatkan kedudukan enak. Banyak terjadi pengkhianatan, korupsi yang dilakukan oleh para oportunis atau orang yang hanya mengambil keuntungan pribadi. Dari kejadian-kejadian ini, timbul berbagai konflik yang terjadi dalam dirinya yang harus diselesaikan. Untuk menghadapi konflik yang terjadi, ia harus mengambil sikap serta penemuan dirinya pada situasi semacam ini.

Adapun yang menarik untuk diteliti dari roman Larasati ialah dikarenakan roman ini memaparkan dan mendeskripsikan situasi sosial mempengaruhi dan menjadi penyebab timbulnya berbagai sikap manusia dalam menghadapi situasi tersebut. Dalam roman ini digambarkan situasi pergolakan revolusi Indonesia pascaproklamasi yang tidak menentu akibat belum adanya kestabilan kekuasaan.

Di satu sisi, secara de jure Indonesia merupakan bangsa yang telah merdeka, namun di sisi lain kekuasaan Belanda masih tetap bertahan. Bagi sebagian orang situasi semacam ini justru digunakan untuk mencari keuntungan pribadi, namun sebagian orang justru semakin terbakar semangat nasionalismenya.

Keadaan yang digambarkan di atas bagi Ara bukan berarti harus mengambil sikap untuk mencari keuntungan sendiri. Sebagai seorang republieken, ia rela terjun ke daerah pendudukan demi mengumpulkan informasi strategis, dan supaya ia bisa menjadi kurir pembawa Oeang Republik Indonesia (ORI) bagi kepentingan para pejuang Indonesia.

Dalam kisah perjalanannya tersebut, Ara dihadapkan pada persoalan- persoalan yang menyebabkan konflik dalam dirinya. Sebagai seorang perempuan dan juga artis, dengan caranya sendiri ia menunjukkan sikapnya sebagai seorang

(5)

pejuang. Hal inilah yang menarik perhatian penulis untuk melakukan penelitian terhadap tokoh Ara.

Dalam roman Larasati tokoh Ara tetap menunjukkan sikap hormat terhadap perjuangan nasional. Di akhir kisahnya, digambarkan bahwa ia lebih bersedia hidup bersama pejuang, daripada dengan seorang pengkhianat dan oportunis, yang mengambil keuntungan dari situasi penjajahan.

Guna menyelesaikan persoalan yang dihadapi akan digunakan psikologi kepribadian sebagai alat bantunya. Psikologi kepribadian adalah bidang psikologi yang berusaha mempelajari manusia secara utuh menyangkut motivasi, emosi, serta penggerak tingkah laku.

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini mengambil judul Analisis Tokoh Ara dalam Roman “Larasati” Karya Pramoedya Ananta Toer: Sebuah Pendekatan Psikologi Sastra.

B. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini, agar penelitian tetap terfokus dan tidak melebar melewati fokus permasalahan perlu adanya pembatasan masalah. Adapun masalah yang dibahas dalam penelitian ini dibatasi pada deskripsi kepribadian tokoh Ara dalam roman Larasati berdasarkan teori kepribadian psikoanalisis Sigmund Freud, konflik psikologis yang dialami tokoh Ara, serta sikap tokoh Ara dalam menghadapi konflik tersebut.

C. Perumusan Masalah

(6)

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.

1. Bagaimana deskripsi kepribadian tokoh Ara dalam roman Larasati berdasarkan teori kepribadian psikoanalisis Sigmund Freud?

2. Bagaimana konflik psikologis yang dialami tokoh Ara dalam roman Larasati?

3. Bagaimana sikap tokoh Ara dalam menghadapi konflik tersebut?

D. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah.

1. Mendeskripsikan kepribadian tokoh Ara dalam roman Larasati berdasarkan teori kepribadian psikoanalisis Sigmund Freud.

2. Mendeskripsikan konflik psikologis yang dialami tokoh Ara dalam roman Larasati.

3. Mendeskripsikan sikap tokoh Ara dalam menghadapi konflik.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara teoretis maupun praktis, yaitu.

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan dan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan mengenai studi sastra Indonesia khususnya dengan pendekatan psikologi sastra. Penelitian

(7)

ini juga diharapkan mampu memberi sumbangan dalam teori sastra dan teori psikologi dalam mengungkap roman Larasati.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis dengan penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk lebih memahami isi cerita dalam roman Larasati terutama kondisi kejiwaan para tokoh dan konflik yang dihadapi dengan pemanfaatan lintas disiplin ilmu yaitu psikologi dan sastra.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam sebuah penelitian berfungsi untuk memberikan gambaran mengenai langkah-langkah suatu penelitian. Adapun sistematika dalam penulisan ini adalah sebagai berikut.

Bab I pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

Bab II landasan teori terdiri dari pengertian tokoh dan penokohan, pendekatan psikologi sastra, dan teori kepribadian psikoanalisis Sigmund Freud.

Bab III metodologi penelitian terdiri dari metode penelitian, pendekatan, sumber data, objek penelitian, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data, dan teknik penarikan kesimpulan.

Bab IV analisis berisi analisis roman Larasati dengan pendekatan psikologi sastra menggunakan teori psikologi. Analisis ini membahas tentang kepribadian tokoh Ara, konflik yang dihadapi serta sikap yang diambil tokoh Ara dalam menghadapi konflik tersebut.

(8)

Bab V penutup berisi tentang kesimpulan dan saran-saran dari penelitian ini.

BAB II LANDASAN TEORI

Tokoh dan Penokohan

Struktur yang hendak dikaji dalam roman ini hanya akan dititikberatkan pada tokoh dan penokohan. Tokoh dalam suatu cerita rekaan merupakan unsur penting yang menghidupkan cerita. Kehadiran tokoh dalam cerita berkaitan dengan terciptanya konflik, dalam hal ini tokoh berperan membuat konflik dalam sebuah cerita rekaan (Burhan Nurgiyantoro, 1995:164).

Pembicaraan mengenai penokohan dalam cerita rekaan tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan tokoh. Istilah ‘tokoh’ menunjuk pada pelaku dalam cerita sedangkan ‘penokohan’ menunjukkan pada sifat, watak atau karakter yang melingkupi diri tokoh yang ada. Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Jones dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:165).

Penokohan dapat juga dikatakan sebagai proses penampilan tokoh sebagai pembawa peran watak tokoh dalam suatu cerita. “Penokohan harus mampu menciptakan citra tokoh. Oleh karena itu, tokoh-tokoh harus dihidupkan” (Soediro Satoto, 1998:43).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan watak dan tokoh-tokoh dalam sebuah cerita rekaan. Penciptaan citra atau karakter ini merupakan hasil imajinasi pengarang untuk dimunculkan dalam cerita sesuai dengan keadaan yang diinginkan.

Penokohan dalam cerita dapat disajikan melalui dua metode, yaitu metode langsung (analitik) dan metode tidak langsung (dramatik). Metode langsung (analitik) adalah teknik pelukisan tokoh cerita yang memberikan deskripsi, uraian atau penjelasan langsung. Pengarang memberikan komentar tentang kedirian tokoh cerita berupa lukisan sikap, sifat, watak, tingkah laku, bahkan ciri fisiknya. Metode tidak langsung (dramatik) adalah teknik pengarang

mendeskripsikan tokoh dengan membiarkan tokoh-tokoh tersebut saling menunjukkan kediriannya masing-masing, melalui berbagai aktivitas yang dilakukan baik secara verbal maupun nonverbal, seperti tingkah laku, sikap dan peristiwa yang terjadi (Burhan Nurgiyantoro, 1995:166).

(9)

Setiap tokoh mempunyai wataknya sendiri-sendiri. Tokoh adalah bahan yang paling aktif menjadi penggerak jalan cerita karena tokoh ini berpribadi, berwatak, dan memiliki sifat-sifat karakteristik tiga dimensional, yaitu :

1. Dimensi fisiologis ialah ciri-ciri badan, misalnya usia (tingkat kedewasaan), jenis kelamin, keadaan tubuhnya, ciri-ciri muka dan ciri-ciri badani yang lain.

2. Dimensi sosiologis ialah ciri-ciri kehidupan masyarakat, misalnya status sosial, pekerjaan, jabatan atau peran dalam masyarakat, tingkat pendidikan, pandangan hidup, agama, aktifitas sosial, suku bangsa dan keturunan.

3. Dimensi psikologis ialah latar belakang kejiwaan, misalnya mentalitas, ukuran moral, temperamen, keinginan, perasaan pribadi, IQ dan tingkat kecerdasan keahlian khusus (Soediro Satoto, 1998:44 - 45).

Tokoh berkaitan dengan orang atau seseorang sehingga perlu penggambaran yang jelas tentang tokoh tersebut. Jenis- jenis tokoh dapat dibagi sebagai berikut.

1. Berdasarkan segi peranan atau tingkat pentingnya.

a. Tokoh utama, yaitu tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel dan sangat menentukan perkembangan alur secara keseluruhan.

b. Tokoh tambahan, yaitu tokoh yang permunculannya lebih sedikit dan kehadirannya jika hanya ada keterkaitannya dengan tokoh utama secara langsung atau tidak langsung.

2. Berdasarkan segi fungsi penampilan tokoh.

a. Tokoh protagonis, yaitu tokoh utama yang merupakan pengejawantahan nilai-nilai yang ideal bagi pembaca.

b. Tokoh antagonis, yaitu tokoh penyebab terjadinya konflik (Burhan Nurgiyantoro, 1995:173 - 174).

(10)

B.

Pendekatan Psikologi Sastra

1. Pengertian Psikologi

Psikologi berasal dari perkataan Yunani ‘psyche’ yang artinya jiwa, dan

‘logos’ yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi secara etimologis (menurut arti kata) psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam- macam gejalanya, prosesnya, maupun latar belakangnya (Abu Ahmadi, 1979:1).

Bimo Walgito mengatakan bahwa ‘psikologi’ adalah ilmu yang membicarakan tentang jiwa. Ia merupakan suatu ilmu yang menyelidiki serta mempelajari tingkah laku serta aktifitas itu sebagai manifestasi hidup kejiwaan (1997:9).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa pengertian

‘psikologi’ adalah ilmu yang berkaitan dengan dengan proses-proses mental baik normal maupun abnormal yang pengaruhnya pada perilaku atau ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan-kegiatan jiwa (1995:792).

Dengan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa psikologi adalah ilmu yang mempelajari jiwa manusia, baik mengenai gejala-gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya yang tercermin dalam tingkah laku serta aktivitas manusia atau individu sendiri.

Dalam penelitian ini, ada beberapa peristiwa kejiwaan yang perlu dipahami antara lain.

a. Konflik

Konflik terjadi bila ada tujuan yang ingin dicapai sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Konflik terjadi akibat perbedaan yang tidak dapat diatasi antara

(11)

kebutuhan individu dan kemampuan potensial. Konflik dapat diselesaikan melalui keputusan hati. Konflik dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu:

1. Approach-approach conflict, yaitu konflik-konflik psikis yang dialami oleh individu karena individu tersebut mengalami dua atau lebih motif yang positif dan sama kuat. Misalnya, seorang mahasiswa pergi kuliah atau menemui temannya karena sudah berjanji.

2. Approach avoidance conflict, yaitu konflik psikis yang dialami individu karena dalam waktu yang bersamaan menghadapi situasi yang mengandung motif positif dan motif negatif yang sama kuat. Misalnya, mahasiswa diangkat menjadi pegawai negeri (positif) di daerah terpencil (negatif).

3. Avoidance-avoidance conflict, yaitu konflik psikis yang dialami individu karena menghadapi dua motif yang sama-sama negatif dan sama-sama kuat.

Misalnya, seorang penjahat yang tertangkap dan harus membuka rahasia kelompoknya dan apabila ia melakukan akan mendapat ancaman dari kelompoknya.

4. Double approach avoidance conflict, yaitu konflik psikis yang dialami individu karena menghadapi dua situasi yang masing-masing mengandung motif negatif dan motif positif yang sama kuat. Misalnya, seorang mahasiswa harus menikah dengan orang yang tidak disukai (negatif) atau melanjutkan studi (positif) (Usman Effendi dan Juhaya S. Praja, 1993:73 - 75).

b. Sikap

Sikap merupakan masalah yang penting dan menarik dalam lapangan psikologi. Sikap yang ada pada seseorang akan memberikan warna atau corak pada perilaku atau perbuatan orang yang bersangkutan. Dengan mengetahui sikap

(12)

seseorang, orang dapat menduga respon atau perilaku yang akan diambil oleh orang yang bersangkutan, terhadap sesuatu masalah atau keadaan yang dihadapkan kepadanya.

Gerungan (1991:149), “pengertian attitude itu dapat kita terjemahkan dengan kata sikap terhadap objek tertentu, yang dapat merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap tersebut disertai oleh kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap terhadap objek tadi. Jadi attitude itu lebih tepat diterjemahkan sebagai sikap dan kesediaan beraksi terhadap sesuatu hal.”

Bimo Walgito menegaskan bahwa, “sikap itu merupakan organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang relatif ajeg, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar kepada orang tersebut untuk membuat respons atau berperilaku dalam cara yang tertentu yang dipilihnya” (1978:109).

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sikap merupakan organisasi pendapat, pandangan, keyakinan seseorang mengenai objek tertentu yang disertai adanya perasaan tertentu yang memberikan dasar kepada seseorang untuk membuat respon atau bereaksi dengan cara tertentu yang dipilihnya.

2. Pengertian Psikologi Sastra

Psikologi sastra merupakan suatu pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi kejiwaan dan menyangkut batiniah manusia. Lewat tinjauan psikologi akan nampak bahwa fungsi dan peran sastra adalah untuk menghidangkan citra manusia yang seadil-adilnya dan sehidup-hidupnya atau paling sedikit untuk memancarkan bahwa karya sastra pada hakikatnya bertujuan untuk melukiskan kehidupan manusia (Andre Hardjana, 1985:66).

(13)

Psikologi sastra sebagai cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dari sudut psikologi. Perhatiannya dapat diarahkan kepada pengarang, dan pembaca (psikologi komunikasi sastra) atau kepada teks itu sendiri (Dick Hartoko dan B.

Rahmanto, 1986:126).

Istilah psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian, yaitu (1) Studi psikologi pengarang sebagai tipe atau pembeda, (2) Studi proses kreatif, (3) Studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra, dan (4) Studi yang mempelajari dampak sastra pada pembaca atau psikologi pembaca (Wellek, Rene dan Austin Warren, 1989:90).

Berdasarkan pendapat Wellek dan Warren di atas, penelitian pada roman Larasati ini mengarah pada pengertian ketiga, yaitu pendekatan psikologi sebagai studi tipe dan hukum-hukum yang diterapkan pada karya sastra. Secara spesifik dapat dijelaskan, bahwa analisis yang akan dilakukan terutama diarahkan pada kondisi kejiwaan tokoh utama yang berperan dalam cerita, untuk mengungkap kepribadiannya secara menyeluruh.

C. Teori Kepribadian Psikoanalisis Sigmund Freud

Sigmund Freud lahir di Moravia, 6 Mei 1856. Freud adalah psikolog pertama yang menyelidiki aspek ketidaksadaran dalam jiwa manusia. Freud mengibaratkan kesadaran manusia sebagai gunung es, sedikit yang terlihat di permukaan adalah menunjukkan kesadaran, sedangkan bagian tidak terlihat yang lebih besar menunjukkan aspek ketidaksadaran. Dalam daerah ketidaksadaran yang sangat luas ini ditemukan dorongan-dorongan, nafsu-nafsu, ide-ide dan perasaan-perasan yang ditekan, suatu dunia dalam yang besar dan berisi kekuatan-

(14)

kekuatan vital yang melaksanakan kontrol penting atas pikiran-pikiran dan perbuatan sadar manusia (S. Calvin Hall dan Lindzey Gardner, 1993:60).

Penekanan Freud pada aspek ketidaksadaran yang letaknya lebih dalam dari pada aspek kesadaran tersebut, membuat aliran psikologi yang disusun atas dasar penyelidikannya itu disebut ‘psikologi dalam’ (Sujanto, 1980:62).

Ajaran-ajaran Freud di atas, dalam dunia psikologi lazim disebut sebagai psikoanalisa, yang menekankan penyelidikannya pada proses kejiwaan dalam ketidaksadaran manusia. Dalam ketidaksadaran inilah menurut Freud berkembang insting hidup yang paling berperan dalam diri manusia yaitu insting seks, dan selama tahun-tahun pertama perkembangan psikoanalisa, segala sesuatu yang dilakukan manusia dianggap berasal dari dorongan ini. Seks dan insting-insting hidup yang lain, mempunyai bentuk energi yang menopangnya yaitu libido (S.

Calvin Hall dan Lindzey Gardner, 1993:73).

Struktur kepribadian terdiri dari tiga sistem yaitu id, (das es), ego (das ich), dan super ego (das ueber ich). Perilaku manusia pada hakikatnya merupakan hasil interaksi substansi dalam kepribadian manusia id, ego, dan super ego yang ketiganya selalu bekerja, jarang salah satu di antaranya terlepas atau bekerja sendiri.

1. Id adalah aspek biologis yang merupakan sistem asli dalam kepribadian, dari sini aspek kepribadian yang lain tumbuh. Id berisikan hal-hal yang dibawa sejak lahir dan yang menjadi pedoman id dalam berfungsi adalah menghindarkan diri dari ketidakenakan dan mengejar kenikmatan. Untuk mengejar kenikmatan itu id mempunyai dua cara, yaitu: tindakan refleks dan proses primer, tindakan refleks seperti bersin atau berkedip, sedangkan proses

(15)

primer seperti saat orang lapar membayangkan makanan (Sumadi Suryabrata, 1993:145 - 146).

2. Ego adalah adalah aspek psikologis dari kepribadian yang timbul karena kebutuhan individu untuk berhubungan baik dengan dunia nyata. Dalam berfungsinya ego berpegang pada prinsip kenyataan atau realitas. Ego dapat pula dipandang sebagai aspek eksekutif kepribadian, karena ego mengontrol jalan yang ditempuh, memilih kebutuhan-kebutuhan yang dapat dipenuhi serta cara-cara memenuhinya. Dalam berfungsinya sering kali ego harus mempersatukan pertentangan-pertentangan antara id dan super ego. Peran ego ialah menjadi perantara antara kebutuhan-kebutuhan instingtif dan keadaan lingkungan (Sumadi Suryabrata, 1993:146 - 147).

3. Super ego adalah aspek sosiologi kepribadian, merupakan wakil dari nilai- nilai tradisional serta cita-cita masyarakat sebagaimana yang ditafsirkan orang tua kepada anaknya lewat perintah-perintah atau larangan-larangan. Super ego dapat pula dianggap sebagai aspek moral kepribadian, fungsinya menentukan apakah sesuatu itu baik atau buruk, benar atau salah, pantas atau tidak, sesuai dengan moralitas yang berlaku di masyarakat. Fungsi pokok super ego adalah merintangi dorongan id terutama dorongan seksual dan agresif yang ditentang oleh masyarakat. Mendorong ego untuk lebih mengejar hal-hal yang moralistis dari pada realistis, dan megejar kesempurnaan. Jadi super ego cenderung untuk menentang id maupun ego dan membuat konsepsi yang ideal (Sumadi Suryabrata, 1983:148 - 149).

Demikianlah struktur kepribadian menurut Freud, yang terdiri dari tiga aspek yaitu id, ego dan super ego yang ketiganya tidak dapat dipisahkan. Secara

(16)

umum, id bisa dipandang sebagai komponen biologis kepribadian, ego sebagai komponen psikologisnya sedangkan super ego adalah komponen sosialnya.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah petunjuk yang memberi arah dan corak penelitian, sehingga dengan metode yang tepat suatu penelitian akan memperoleh hasil yang maksimal.

Metode dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan tentang sifat-sifat suatu individu, keadaan atau gejala dari kelompok tertentu yang dapat diamati (Lexy J. Moleong, 2001:6).

Data deskriptif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data yang dikumpulkan berbentuk kata-kata, frase, klausa, kalimat atau paragraf dan bukan angka-angka. Dengan demikian, hasil penelitian ini berisi analisis data yang sifatnya menuturkan, memaparkan, memerikan, menganalisis dan menafsirkan (Soediro Satoto, 1992:15).

B. Pendekatan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah pendekatan berarti proses, perbuatan, cara mendekati usaha dalam rangka aktifitas penelitian untuk

(17)

mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti, metode-metode untuk mencapai pengertian tertentu masalah penelitian (1995:218).

Pendekatan adalah cara untuk memandang terhadap suatu hal. Pendekatan (ancangan) sastra pada dasarnya adalah teori-teori untuk memahami jenis sastra tertentu sesuai dengan sifatnya (Soediro Satoto, 1992:9).

Pendekatan yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan psikologi sastra. Andre Hardjana (1985:60) mengatakan bahwa dalam sastra, psikologi merupakan ilmu bantu dan memasuki sastra di dalam bahasan tentang ajaran dan kaidah yang dapat ditimba dari karya sastra. Pendekatan psikologi dilakukan untuk mengetahui psikologi tokoh Ara dalam roman Larasati yang berkaitan dengan kepribadian, konflik yang dihadapi, serta sikap yang diambil dalam menghadapi konflik tersebut.

C. Objek Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah aspek psikologis yang menitikberatkan pada kepribadian tokoh Ara, konflik yang dihadapi serta sikap dalam menghadapi konflik tersebut.

D. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah roman Larasati karya Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan oleh Lentera Dipantara tahun 2003 cetakan I dengan tebal 178 halaman.

(18)

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik pustaka, yaitu pengumpulan data yang menggunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data.

F. Teknik Pengolahan Data

Penelitian ini menggunakan beberapa tahap teknik pengolahan data.

Tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut..

1. Tahap Deskriptif

Yaitu seluruh data yang diperoleh dihubungkan dengan permasalahan kemudian dilakukan tahap pendeskripsian dan pengidentifisian.

2. Tahap Klasifikasi

Yaitu mengklasifikasikan data yang telah dideskripsikan sesuai dengan permasalahan masing-masing.

3. Tahap Analisis

Yaitu mengadakan analisis terhadap data yang telah diklasifikasikan menurut kelompoknya masing-masing berdasarkan teori yang relevan dengan penelitian.

4. Tahap Interpretasi

Yaitu menafsirkan hasil analisis data untuk memperoleh pemahaman yang sesuai dengan tujuan penelitian.

(19)

5. Tahap Evaluasi

Yaitu tahap pengecekan terhadap hasil analisis data untuk meneliti kebenarannya, sehingga dapat memberikan hasil yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

G. Teknik Penarikan Kesimpulan

Kesimpulan dalam penelitian ini diperoleh dari data-data yang telah di olah dan dianalisis pada tahap sebelumnya. Dalam tahap ini digunakan teknik penarikan kesimpulan induktif, yaitu teknik penarikan kesimpulan yang melihat permasalahan dari data yang bersifat khusus untuk memperoleh kesimpulan yang bersifat umum.

BAB IV

ANALISIS

Pada bagian ini akan dibahas tentang kepribadian, konflik yang dihadapi dan sikap yang diambil tokoh Ara dalam roman Larasati dalam menghadapi konflik tersebut.

Analisis ini diawali dengan pembahasan tokoh dan penokohan untuk menjawab rumusan permasalahan yang ditetapkan sebelumnya. Analisis ini berfungsi untuk mendeskripsikan salah satu unsur pembentuk karya sastra yaitu tokoh dan penokohan, sehingga mampu menjembatani analisis psikologi sastra selanjutnya.

Analisis selanjutnya adalah pembahasan dengan pendekatan psikologi sastra untuk mendeskripsikan kepribadian, konflik yang dihadapi dan sikap yang diambil tokoh Ara dalam menghadapi konflik. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan teori kepribadian psikoanalisis yang dikemukakan oleh Sigmund Freud.

(20)

Tokoh dan Penokohan

Dalam roman Larasati ditampilkan beberapa tokoh yang dapat diklasifikasikan sebagai tokoh utama dan tokoh tambahan. Secara umum dalam roman Larasati tokoh utama adalah Larasati atau Ara dan beberapa tokoh tambahan yang ikut mempengaruhi jalan cerita.

Penggambaran tokoh dalam roman ini menggunakan metode dramatik, yaitu teknik pengarang menggambarkan tokoh dengan membiarkan tokoh-tokoh tersebut saling menunjukkan kediriannya masing-masing, melalui berbagai aktivitas yang dilakukan baik secara verbal maupun nonverbal, seperti tingkah laku, sikap dan peristiwa yang terjadi. Penggambaran tokoh ini akan dibagi dalam tiga dimensi, yaitu fisiologis, sosiologis, dan psikologis.

1. Ara/ Larasati

Ara merupakan tokoh utama dalam roman Larasati. Keberadaannya mendominasi seluruh jalinan cerita, baik sebagai pelaku kejadian maupun pelaku

yang dikenai kejadian.

a. Dimensi Fisiologis

Gambaran-gambaran fisik yang diperoleh mengenai Ara atau Larasati merupakan hasil pencermatan mendalam pada cerita. Tokoh Ara adalah seorang perempuan muda. Gambaran ini diperoleh dari pengertian kata ‘nona’ yang berarti panggilan bagi seorang perempuan muda yang belum menikah, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut:

“Nona nampak bingung, merokok?” pemuda itu menyodorkan sebatang rokok.

Ia tersenyum menolak. Nona, dia bilang. Berapa saja pria seperti kau yang sudah kubalikkan kepalanya? Nona, katanya. Dan kalau nyonya, nyonya siapa pula? Ia menggeleng.

(21)

“Tidak, tidak. Terima kasih,” Larasati menjawab tak peduli (Pramoedya Ananta Toer, 2003:11).

Gambaran fisik mengenai Ara yang lain adalah mengenai keindahan tubuhnya. Hal ini tergambarkan dalam kutipan berikut.

“Cuma kenalan,” Larasati berdiri dihadapannya, memamerkan keindahan tubuhnya, tersenyum memutar badan, menghadapi tamunya kembali, mengulurkan tangan dan mengajak berkenalan, “Ara, larasati.”

Ia sambut tangan opsir piket itu, terasa panas dan gemetar. Orang semuda itu, tanpa pengalaman macam ini, tidak menarik. Dan dibiarkannya tamunya mengagumi tubuhnya, sedang ia mengganti kain dan kebayanya dengan house coat (Pramoedya Ananta Toer, 2003:19 - 20).

b. Dimensi Sosiologis

Dalam roman Larasati ini tokoh Ara memiliki pekerjaan sebagai seorang bintang film, hal ini didasarkan pada kutipan di bawah ini.

Terdengar mereka berhenti di depan pintu kamar Larasati. “Hai, bung pelayan, mana tamumu bintang film Ara?”

Terdengar langkah kaki telanjang pelayan berlarian menghampiri. Terdengar bisik-bisik tidak nyata. Kemudian langkah-langkah sepatu bot terdengar berhati-hati pergi menjauh, lenyap dalam malam kota kecil Cikampek.

Perwira piket itu menarik nafas dalam. Larasati terkejut. Begitu keras hembusan nafas itu. Baru kelihatan perwira itu tersenyum. Dan memandangnya dengan ramah – ramahnya seorang pria pada wanita yang dikehendakinya – Larasati membalas senyumnya. Kini bintang film itu mengerti: kedatangannya di Cikampek telah menjadi berita yang diketahui setiap orang… (Pramoedya Ananta Toer, 2003:18 - 19).

c. Dimensi Psikologis

Salah satu unsur dari dimensi psikologis dari tokoh dalam novel atau roman adalah mentalitas tokoh. Tokoh Ara secara mentalitas adalah seorang idealis, ia memiliki pemikiran bahwa perjuangan tidak selamanya dengan mengangkat senjata melainkan dapat menggunakan cara-cara yang lain seperti seni. Sebagai seorang bintang film Ara ingin menggunakan keahliannya untuk berjuang, idealisme Ara ini terlihat dalam kutipan berikut. “Kalau surat dari Kapten Oding itu beres, pikirnya, nanti sore aku sudah di Cikampek, besok di Jakarta, Jakarta! Oi, Jakarta! Akan terbukti nanti apakah aku, sebagai bintang film juga sanggup berjuang dengan seniku atau tidak.”

(Pramoedya Ananta Toer, 2003:9).

Data lain yang mendukung mengenai idealisme Ara terhadap perjuangan juga terlihat dari kutipan di bawah ini.

… Ia diam saja. Justru karena itu Larasati makin merasa panas. Ia sendiri telah mainkan cerita-cerita perjuangan dan hiburan di tempat-tempat yang sama sekali tidak penting di masa damai, biarpun tidak ada di peta bumi tempat dia

(22)

bermain! Tidak ada pengagum, tidak ada pemuja, tidak ada honorarium barang sepeser – cuma makan nasi keras dan ikan asin, dan transpor di atas truk yang berdesak membanting-banting! Kadang-kadang tepuk-tangan pun tidak – karena penduduk dusun belum biasa bertepuk-tangan, lebih biasa menerima segala diam-diam dengan hatinya.

Kadang-kadang memang terasa olehnya bahwa heroisme dan patriotisme wanita di jaman Revolusi ini hanya terletak pada kepalang-merahan saja! Tapi ia takkan meninggalkan kejuruannya. Ia cintai kejuruannya. Dan ia yakin, melalui kejuruannya iapun dapat berbakti pada Revolusi. Ia merasa dirinya pejuang, berjuang dengan caranya sendiri (Pramoedya Ananta Toer, 2003:26).

Ara juga adalah seorang yang simpatik pada perjuangan, perasaan simpatik itu terlihat ketika ia menangis melihat anak-anak muda yang rela mati demi kemerdekaan. Hal ini tampak dalam kutipan di bawah ini.

“Waktu selendang merah itu ia singkirkan dari wajahnya, nampak olehnya anak-anak muda yang nanti, besok, atau lusa mungkin tewas, tanpa mengenal kesenangan-kesenangan yang banyak dikenyamnya selama ini. Dua butir air mata menitik pada wajahnya. Sekarang aku bukan pemain sandiwara, ia tersedan-sedan dalam renungannya – sekarang aku sebagian dari mereka.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:28).

2. Mardjohan

Tokoh Mardjohan dalam roman Larasati adalah sebagai tokoh tambahan yang kehadirannya dalam cerita memiliki keterkaitan dengan tokoh utama.

Kehadiran tokoh Mardjohan dalam roman Larasati adalah sebagai pemicu timbulnya konflik pada diri tokoh Ara.

a. Dimensi Fisiologis

Gambaran fisik mengenai tokoh Mardjohan dalam roman ini adalah bahwa ia adalah seorang laki-laki. Hal ini didasarkan pada nama Mardjohan yang merupakan nama orang yang beridentik laki-laki. Hal ini didasarkan pada kutipan berikut. “Larasati menyeka mukanya dengan selendang tengik itu. Menajamkan pandang pada pendatang. Tapi ia pura-pura tak peduli. Dia juga pengkhianat,bisik hatinya. Ia kenal dia: Mardjohan – di jaman Jepang seorang announcer…”

(Pramoedya Ananta Toer, 2003:34).

b. Dimensi Sosiologis

Tokoh Mardjohan adalah seorang announcer atau penyiar pada waktu penjajahan Jepang, pada waktu itu pekerjaan seorang announcer adalah melakukan propaganda untuk kepentingan Jepang.

Larasati menyeka mukanya dengan selendang tengik itu. Menajamkan pandang pada pendatang. Tapi ia pura-pura tak peduli. Dia juga pengkhianat, bisik hatinya. Ia kenal dia:

Mardjohan – di jaman Jepang seorang announcer. Sebentar ia bakal banjir propaganda dari mulutnya yang jorok, ia memperingatkan dirinya sendiri. Kalau didiamkan, dia akan

(23)

bertekuk lutut. Tapi merajalelea kalau dilayani. Siapa orang film yang tak kenal dia?

(Pramoedya Ananta Toer, 2003:34).

Pada waktu pendudukan Belanda Mardjohan menjadi seorang produser dan juga sutradara film. Ia membuat film dokumentasi untuk kepentingan propaganda Belanda, seperti terlihat pada kutipan berikut.

“Kau sudah bikin film?”

“Aku sekarang produser, sutradara – segala-galanya.” Waktu dia cerita kebesarannya Larasati tak tertarik.

Segera Mardjohan mengubah pokok, “Nanti aku perkenalkan kau dengan tuan kolonel Surjo Sentono. Dia yang kasih petunjuk bagaimana mendokumenkan pengungsi-pengungsi yang tidak tahan di daerah pedalaman ke daerah pendudukan kerajaan. Mereka berbahagia di bawah lindungan artileri… (Pramoedya Ananta Toer, 2003:35).

c. Dimensi Psikologis

Tokoh Mardjohan secara psikologis dalam roman ini digambarkan sebagai seorang pribadi yang memiliki mental oportunis, seorang yang hanya mengambil keuntungan dari situasi penjajahan. Pada waktu pendudukan Jepang ia menjadi seorang announcer atau penyiar yang melakukan propaganda bagi kepentingan Jepang. Ketika Sekutu datang mengusir Jepang ia berpihak kepada Nica dan menjadi seorang sutradara dan juga produser film yang bertugas membuat film dokumenter untuk kepentingan propaganda tentara Nica.

Ketika Jepang diusir oleh tentara Sekutu, Mardjohan dapat selamat dan menjadi seorang sutradara berkat jasa seorang mayor besar. Pada masa pendudukan Jepang Mardjohan pernah membantu menghubungkan seorang mayor besar dengan anak perempuannya.

Mardjohan meremas-remas kedua belah tangannya untuk mendapatkan kekuatan. Tiba-tiba hati berkisar begitu sentimental, meneruskan kata- katanya: Waktu Revolusi pecah segera mayorbesar Surjo Sentono dibebaskan oleh Sekutu dari kamp Jepang, menggabungkan diri dengan Nica. Maria Magdalena Sentono lari, menggabungkan diri dengan korps mahasiswa – melakukan perlawanan terhadap Nica. Dua manusia dari satu darah berhadap-hadapan sebagai musuh. Ayah dan anak. Sang ibu tinggal menangis.

“Aku lepaskan cintaku pada Maria. Aku berpihak pada ayahnya.”

“Kau cerdik!” tiba-tiba Ara menuduh.

“Cerdik.”

(24)

“Setelah kau dapat kedudukan dari ayahnya kau bakal dapat wanita manapun juga kau suka, selain si nona, selain aku. Dan besok atau lusa kalau berpihak pada Revolusi, bukan karena kau telah sadar, tapi karena mau ikut mendapatkan kemenangan.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:55).

Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa tokoh Mardjohan hanya mencari keuntungan pribadi dari situasi penjajahan. Mardjohan menjadi seorang announcer pada masa penjajahan Jepang, ketika Sekutu datang mengusir Jepang Mardjohan berpihak kepada Sekutu dan menjadi seorang sutradara film untuk kepentingan Nica. Bahkan Mardjohan rela melepaskan kekasihnya yang tergabung dalam korps mahasiswa demi berpihak kepada Nica.

3. Pemimpin Pemuda

Tokoh Pemimpin Pemuda dalam roman ini adalah tokoh tambahan, tokoh ini mempunyai peran dalam kisah perjalanan hidup Ara. Kehadiran Pemimpin Pemuda ini hanya sebentar dalam cerita, namun kehadirannya sangat berarti bagi tokoh Ara. Ia mengajarkan pada Ara tentang keberanian dan perjuangan.

a. Dimensi Fisiologis

Gambaran fisik mengenai Pemimpin Pemuda ini adalah seorang anak muda berusia tujuh belasan, seperti terlihat dari kutipan berikut, “Beberapa orang pemuda berpakaian preman dengan cepat menyeretnya ke beranda. Seorang anak muda, lebih cocok disebut kanak-kanak usia tujuh belasan, yang nampak jadi pemimpin mereka…” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:88 - 89).

Pemimpin Pemuda dalam roman ini juga digambarkan sebagai seorang pemuda yang bertubuh kurus, seperti terlihat dari kutipan berikut. “Sampai di depan rumah ibunya, Martabat datang menolong. Pemimpin itu, pemuda yang kurus berumur belasan tahun itu, diletakkan di atas ambin Lasmidjah. Larasati menyeka pelipisnya dan menyuruh ibunya mengambilkan air bersih.”

(Pramoedya Ananta Toer: 2003:107).

b. Dimensi Sosiologis

Tokoh Pemimpin Pemuda adalah seorang pemuda yang tinggal di kampung ibu Lasmidjah atau ibunda Ara, kampung tempat Ara tinggal selama ada di daerah pendudukan. Tokoh

(25)

ini adalah seorang pemuda yang memimpin dan menggerakkan para pemuda untuk melakukan perlawanan terhadap tentara Nica. Hal ini terlihat pada kutipan berikut, “Beberapa orang pemuda berpakaian preman dengan cepat menyeretnya ke beranda. Seorang anak muda, lebih cocok disebut kanak-kanak usia tujuh belasan, yang nampak jadi pemimpin mereka…” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:88 - 89).

c. Dimensi Psikologis

Tokoh Pemimpin Pemuda ini adalah seorang pemuda yang memiliki mental pemberani. Meskipun bertubuh kurus ia berani memimpin para pemuda dalam melakukan penyergapan terhadap patroli Nica. Ia merasa dendam terhadap bangsa asing yang menjajah tanah air yang dicintainya.

“Jangan takut. Duduk biar tidak berbunyi. Kau tidak punya dendam pada mereka, karena itu takut. Kau mesti pikir, bagaimana orang-orang lain mereka bunuh. Kau harus bunuh mereka,” bisik pemimpin itu. “Jangan anggap mereka itu manusia berakal. Pandang saja sebagai ayam-ayam yang datang ke dapur. Beri sedikit jagung, mau? Dan mereka tewas. Cuma begitu saja. Lebih tidak. Kau takut Tabat?”

“Aku pernah bertempur.”

“Suaramu gemetar. Kau tidak punya rasa dendam? Kalau orang cintai tanah airnya dia mesti dendam pada musuh tanah airnya. Dia takkan takut…” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:97).

Keberanian Pemimpin Pemuda ini juga ditunjukkan dengan pernyataannya bahwa ia rela mati demi perjuangan, demi anak-anak yang belum dilahirkan. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan berikut.

Dari kejauhan terdengar seorang bayi menangis ngilu. “Kau punya anak?” Pertanyaan itu mengagetkan Larasati untuk kesekian kalinya. Anak! Sebelum Ara sempat menjawab, pemimpin pemuda itu telah meneruskan: “Ingat, buat dialah kami semua rela mati. Kami semua tidak pernah tidur selama ini – satu demi satu kawan-kawan kami tewas,” tiba-tiba pemuda itu bertanya lagi, “Kau punya anak?”

“Belum.”

“Kalau kau punya anak kau akan mengerti lebih banyak apa kataku. Mengerti? Juga buat anakmu yang belum lahir kami lakukan perjuangan ini,” (Pramoedya Ananta Toer: 2003:99).

4. Pemuda Arab/ Jusman

Tokoh Pemuda Arab adalah tokoh tambahan yang berpengaruh terhadap kehidupan Ara ketika di Jakarta, kehadiran tokoh ini berpengaruh besar bagi Ara.

(26)

Jusman adalah orang yang menyekap Ara dan ibunya, sehingga Ara harus merelakan keinginannya untuk terlibat dalam perjuangan.

a. Dimensi Fisiologis

Tokoh Pemuda Arab adalah seorang laki-laki keturunan bangsa Arab. Ia memiliki tubuh tinggi besar, gagah, dan hidung mancung yang merupakan tipe fisiologis bangsa Arab. Gambaran fisik tokoh Pemuda Arab ini didasarkan pada kutipan di bawah ini.

“Nenek bersiap hendak masuk ke dalam. Degupan jantung Larasati bertambah kencang.

Tamu itu kini nampak jelas melela dihadapannya: tinggi besar, gagah, bercelana wol berkemeja putih rambutnya berombak hidungnya mancung – terlalu mancung, kulitnya kehitam-hitaman dan – matanya kuning. Waktu tamu itu pergi. Larasati terjatuh lemas di balik daun pintu.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:118 - 119).

Ciri fisik yang paling menonjol dari tokoh Pemuda Arab ini adalah matanya yang berwarna kuning. Dari ciri inilah Ara akan mengenal siapa sebenarnya Pemuda Arab ini.

Selama tamunya bicara, Ara mengawasi matanya yang kuning. Tamu itu sebentar- sebentar menunduk atau membuang muka. Mengapa matanya begitu kuning kalau dia tidak sakit kuning? Kena racun rokok? Waktu ia meneliti tangan pemuda itu nampak ujung telunjuk dan jari tengahnya kehitam-hitaman bercampur sedikit kuning (Pramoedya Ananta Toer, 2003:130).

Tokoh Pemuda Arab ini ternyata bernama Jusman, ia memperkenalkan diri kepada Ara ketika ingin meminta kepada Ara untuk menjadi penyanyi pada orkes gambusnya.

“Kami tiadalah jahat, nona. Kami mempunyai orkes gambus. Tentu nona mau menyanyi buat orkes kami.”

………

“Aku bukan penyanyi. Biarpun menyanyi juga bukan gambus.”

“Kami juga baru mulai, nona. Tak perlu nona takut. Banyak orang ternama dalam orkes kami. Ada tuan Alayctrus, tuantanah Tanah Abang. Ada tuan Husain dari Krukut. Dan aku sendiri Jusman, nona. Aku memang orang Arab, tapi tak biasa pakai nama suku.

Tidak senang, kaya orang kolot.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:131).

b. Dimensi Sosiologis

Tokoh Pemuda Arab atau Jusman adalah seorang mata-mata bagi tentara Nica, ia bertugas menunjukkan siapa saja orang-orang yang terlibat dalam penyergapan-penyergapan terhadap tentara Nica yang dilakukan oleh para pemuda. Pada waktu melakukan tugas ini ia menggunakan penutup kepala berbentuk seperti sarung guling yang hanya dilubangi pada bagian matanya. Meskipun menggunakan penutup kepala, ia dapat dikenali karena matanya yang berwarna kekuning-kuningan, seperti terlihat dari kutipan di bawah ini.

(27)

Mereka pergi ke ujung depan barisan orang dijemur itu. Setiap kali meneliti seseorang, orang dari balik sarung guling itu menggeleng. Pada waktu ia mengangguk seseorang dikeluarkan dari barisan. Orang itu adalah kakek Mo. Sampai di hadapan Larasati, opsir itu berjalan terus seakan tidak tahu atau tidak mau tahu.

Tetapi mata dari dalam sarung guling itu mengawasinya dengan berapi-api. Dingin seluruh tubuh bintang film itu. Apa yang ada di balik mata yang kekuning-kuningan itu?

Maut? Siksa? Dendam? Ancaman? Larasati menunduk ngilu (Pramoedya Ananta Toer, 2003:112).

c. Dimensi Psikologis

Dalam roman ini digambarkan bahwa Jusman adalah seorang oportunis, orang yang hanya mengejar keuntungan dari sebuah situasi atau keadaan. Hal ini didasarkan pada kutipan di bawah ini.

“… aku sendiri Jusman, nona. Aku memang orang Arab, tapi tak biasa memakai nama suku. Tidak senang, kaya orang kolot.”

Larasati terus mengawasi tamunya.

“Yang bertempur, bertempur, yang main gambus, main gambus. Kami tidak tak tahu urusan pertempuran. Itu urusan Belanda. Kami orang Arab, tidak mau turut campur.

Kami takkan mendapat keuntungan apa-apa dari semua itu. Ngomong-ngomong, mengapa nona mengawasi aku saja?” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:131).

5. Chaidir

Tokoh Chaidir dalam roman ini adalah tokoh tambahan, kehadirannya hanya sebentar namun memiliki peran bagi keberadaan tokoh Ara. Kehadiran Chaidir dalam hidup Ara adalah mengajarkan dan membangkitkan semangat revolusi bagi Ara.

a. Dimensi Fisiologis

Gambaran fisik yang didapat dari tokoh Chaidir adalah seorang pemuda yang berbadan kerempeng dan matanya merah seperti terlihat pada kutipan di bawah ini.

Suara yang mengandung simpati dan teguran mau tak mau menarik perhatiannya. Ia tegakkan duduknya. Tiba-tiba merasa malu: mungkin sekali ini ia duduk merosot di tempat umum. Biasanya ia selalu tunjukkan harga dirinya, juga dalam gaya duduknya. Ia tatap pria yang duduk di sampingnya. Sepasang mata merah yang menyala-nyala. Ara segera meruntuhkan pandangnya. Siapa pria bermata merah ini? Apakah dia kalong yang tak bersayap yang tak pernah pejamkan matanya? Siapa dia? Dan sebelum pikirannya bekerja mengingat-ingat, pemuda bermata merah itu meneruskan, “Chaidir, kau tak pernah dengar nama Chaidir?” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:136).

b. Dimensi Sosiologis

Tokoh Chaidir berdasarkan profesi ataupun perannya dalam masyarakat adalah seorang penyair. Ara mengenal sosok Chaidir sebagai seorang penyair sewaktu berada di Yogya.

(28)

“Chaidir. Masa kau tidak kenal? Aku penyair.”

Bulu badan Ara meremang. Rupa-rupanya anak kecil dekil bermata merah ini yang banyak goncangkan pendapat-pendapat di dunia sandiwara di Yogya. Ha, ia sekarang ingat. Ia duduk di kejauhan. Chaidir duduk di samping kepala redaksi majalah Arena di depan perdana menteri yang juga setinggi Chaidir, hanya gemuk dan juga tidak bermata merah (Pramoedya Ananta Toer, 2003:136 - 137).

c. Dimensi Psikologis

Chaidir adalah seorang penyair yang memiliki idealisme bahwa seni dapat memberikan sumbangan pada revolusi. Chaidir yakin bahwa sandiwara yang merupakan bagian dari seni dapat mengobarkan semangat api revolusi.

… Chaidir duduk di samping kepala redaksi majalah Arena di depan perdana menteri yang juga setinggi Chaidir, hanya gemuk dan tidak dekil, dan tidak bermata merah.

“Sandiwara?” kata perdana menteri, “apa yang bisa diperbuat sandiwara dalam masa orang tidak membutuhkan seni apapun juga sekarang ini?”

Dan Chaidir dengan berapi-api membela seakan-akan sandiwara itu adalah dirinya sendiri, “dalam keadaan bagaimanapun setiap orang membutuhkan segala-galanya.

Berikan apa yang mereka butuhkan. Tapi jangan padamkan api Revolusi. Berikan minyak pada api itu!” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:137).

Analisis mengenai tokoh dan penokohan dalam roman Larasati di atas diperoleh deskripsi mengenai tokoh-tokoh yang memiliki karakteristik tiga dimensional. Dalam roman ini tokoh Ara adalah tokoh utama yang kehadirannya sangat menentukan perkembangan alur secara keseluruhan. Tokoh-tokoh lain yang hadir dalam roman ini merupakan tokoh tambahan yang permunculannya lebih sedikit, kehadiran tokoh-tokoh tambahan ini mempengaruhi perkembangan plot karena keberadaannya dibutuhkan untuk memunculkan keberadaan tokoh utama. Berdasarkan perumusan masalah pada bab sebelumnya, kehadiran tokoh-tokoh tambahan ini juga memiliki keterkaitan dengan tokoh utama dalam menciptakan konflik. Hasil dari analisis ini bertujuan untuk mempermudah dan mensistematiskan pada analisis psikologis selanjutnya.

(29)

Kepribadian Tokoh Ara Dilihat dari

Teori Kepribadian Psikoanalisis Sigmund Freud

Pada bagian ini, untuk menggambarkan atau mendeskripsikan kepribadian tokoh Ara akan digunakan teori kepribadian psikoanalisis Sigmund Freud tentang struktur kepribadian. Menurut Freud struktur kepribadian terdiri atas tiga sistem yaitu id, ego, dan super ego. Perilaku manusia pada dasarnya merupakan hasil interaksi antara ketiga substansi tersebut.

Kisah dalam roman ini diawali ketika Ara, seorang aktris panggung dan bintang film yang ingin pergi ke Jakarta pada masa pendudukan Nica untuk bermain film. Ara bertekad untuk membantu revolusi dengan kemampuannya sebagai seorang pemain film. Ia berjanji tidak akan main untuk propaganda Belanda melainkan untuk kepentingan revolusi.

Larasati tersenyum dan disentuhnya pipi opsir itu dengan sambil lalu. Tapi dalam bayangannya terbentang hari depan yang gilang-gemilang di daerah pendudukan Nica. Ia akan terjun kembali di gelanggang film. Dan seluruh rakyat dari Sabang sampai Merauke, akan bertempik sorak untuknya.

seluruh pria berotak dan berjantung dari Merauke sampai ke Sabang akan memujanya, akan berebutan memiliki tubuhnya. Kembali ia tersenyum.

tapi ia berjanji dalam hatinya, tidak bakal aku main untuk propaganda Belanda, untuk maksud-maksud yang memusuhi Revolusi. Aku akan main film yang ikut menggempur penjajahan (Pramoedya Ananta Toer, 2003:8 - 9).

Dalam perjalanannya menuju daerah pendudukan ia merenung tentang kehidupannya di zaman Jepang. Pada zaman pendudukan Jepang Ara pernah mengenyam kehidupan yang mewah, tidak seperti saat ini bersama para pejuang revolusi. Id yang merupakan unsur biologis dan bekerja pada prinsip kesenangan serta kenikmatan terlihat dalam kehidupan Ara pada waktu itu.

… Setidak-tidaknya opsir-opsir Jepang masih dapat memberinya duit.

Saburo Sakai, itu Letnan Kolonel Laut Jepang, sahabat bekas perdana menteri dan memimpin partai Sosialis itu yang giat menentang kolaborasi

(30)

dengan Jepang! Apa saja yang tak diterimanya dari dia: dari karung beras sampai gelang jamrud buatan Tiongkok dan cincin delima buatan Birma!

Dan Sjimizu: dari kimono sutra komplet dengan bakiak dan kipasnya sampai pada rahasia penyerbuan Jepang ke Australia! (Pramoedya Ananta Toer, 2003:11 - 12)

Dari kutipan di atas, id lebih mendominasi kehidupan Ara dari pada super ego. Pada waktu pendudukan tentara Sekutu, Ara memutuskan untuk membantu perjuangan revolusi dengan kemampuannya sebagai seorang bintang film karena secara moral sebagai orang yang bertanah air Ara harus ikut berjuang untuk tanah airnya. Hal ini merupakan bentuk dari kerja super ego dalam mendorong ego untuk mengejar hal-hal yang bersifat moralitas dari pada realitas.

… Jakarta! Oi, Jakarta! Aku boleh seorang pelacur! Aku boleh seorang sampah masyarakat! Aku seorang bintang film gagal! Tapi beradat! Tidak.

Aku juga punya tanah air. Aku Larasati, bintang Ara. Mengapa mesti dengan Miss? Sebutan itu akan membuat aku berkulit putih. Apakah sebutan itu cuma tantangan kaum pria, kalau aku milik siapa saja?

(Pramoedya Ananta Toer, 2003:12).

Dari kutipan di atas nampak bahwa super ego yang merupakan aspek sosiologi kepribadian yang menentukan benar tidaknya suatu tindakan berdasarkan moral masyarakat, mendorong ego untuk mengejar hal-hal yang bersifat moralitas. Ara tidak mempedulikan bahwa ia dulu seorang pelacur, seorang sampah masyarakat, ia tetap yakin bahwa ia akan berjuang demi revolusi dan tidak akan berkhianat pada tanah airnya. Hal tersebut juga terlihat dalam kutipan berikut. “… Nanti juga – di bumi penjajahan. Bekasi yang bakal menentukan! Bekasi! Tapi biar bagaimanapun, aku tidak akan berkhianat. Aku juga punya tanahair. Jelek-jelek tanahairku sendiri, bumi dan manusia yang menghidupi aku selama ini. Cuma binatang ikut Belanda.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:13).

(31)

Dari kutipan di atas terlihat bahwa ego sebagai eksekutif kepribadian telah mendorong pribadi Ara untuk menentukan dirinya sebagai seorang pejuang. Ara merasa bahwa tanah airnya yang selama ini telah memberinya makan, dan ia tidak pantas berkhianat pada tanah airnya.

Ketika kereta yang ditumpanginya sampai di Cikampek Ara langsung menuju ke penginapan di desa Pucung. Di penginapan ini ia kedatangan tamu seorang perwira piket yang ingin melakukan pemeriksaan.

… Sebelum ia dapat senyum, perwira piket itu telah duduk di atas kasur ranjang yang begitu dekil. Larasati mencoba membohongi ketakutannya dengan merayu, tetapi ketakutan lebih berkuasa atas seluruh kehadirannya.

Cilampek ini, terkenal di Yogya sebagai tempat seram., di mana prajurit muda begitu garang dan berhati dingin. Ia lebih suka berhadapan dengan raksasa membawa belati telanjang di tangan, asal wajahnya merah segar, tidak pucat. Setidak-tidaknya si merah segar akan dapat dibalikkan kepalanya dalam satu atau dua sekon (Pramoedya Ananta Toer, 2003:16 - 17).

Dari kejadian tersebut terlihat bahwa rasa takut yang merupakan representasi id menuntut untuk direduksi. Ara berusaha mereduksikan tegangan tersebut dengan membentuk khayalan tentang objek yang ingin direduksikan.

Namun ketika proses ini tidak dapat menjawab kebutuhan untuk memenuhi tuntutan ini maka berkembang proses baru yaitu ego mulai terbentuk. Ego yang merupakan pelaksana kepribadian yang berhubungan dengan dunia luar bekerja berdasarkan realitas dan berpikir logis, ego akan berusaha untuk mereduksi rasa takut seperti terlihat pada kutipan berikut.

Perwira piket itu menjarah wajahnya dengan pandangnya. Larasati menggigil tak kentara. Dicurinya pandang pada kolt telanjang. Tapi opsir muda itu nampak tak ada niat untuk menggunakannya.

“Tidak diperiksa, pak?” piket itu tak memperhatikan kopernya.

“Surat keterangan,” perintahnya.

Ia merasa lega sedikit. Setidak-tidaknya suaranya tak mengandung kekejaman. Buru-buru ia ambil surat keterangan dari tas tangannya. Opsir itu menerimanya, hanya menatap wajahnya tajam-tajam. Waktu ia dapat

(32)

menangkap kobaran berahi pada mata si wajah pucat itu, ia mulai dapat menguasai dirinya. Ia tak berbeda dengan laki-laki lainnya. Larasati berusaha membujuk (Pramoedya, 2003:17).

Setelah Ara mampu mengendalikan rasa takutnya, ia kemudian leluasa bercakap-cakap dengan tamunya itu. Dari percakapan itu, akhirnya perwira piket meminta Ara untuk membantunya mencarikan informasi mengenai ajudan serta pembantunya yang hilang ketika sedang bertugas mencari perbekalan untuk seksi yang dipimpinnya. Perwira piket itu bercerita tentang kesulitan-kesulitan yang dialami seksinya, termasuk ketika harus mencari perbekalan sendiri untuk seksinya.

“Mengapa perbekalan mesti cari sendiri?” tiba-tiba Ara bertanya.

“Seluruh kedudukan yang enak diambil orang-orang tua. Mereka hanya pandai korupsi. Rencana-rencanaku kandas di laci-laci. Tapi kau tahu sendiri – itu semua di Yogya lebih banyak kukira. Angkatan tua itu sungguh-sungguh bobrok!” ia bangkit berdiri, menatap Ara dengan berahinya, dan meneruskan dengan suara menyesal: “Setiap replubikein mestinya republikein sejati. Satu kesalahan bisa membuat dia jadi khianat tanpa maunya sendiri. Kapan kau berangkat ke Jakarta?” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:22).

Pernyataan perwira piket tersebut sangat berpengaruh bagi Ara. Super ego yang merupakan aspek sosiologi kepribadian dan fungsinya menentukan benar tidaknya suatu tindakan berdasarkan moral masyarakat, mendorong ego Ara mengejar hal-hal yang bersifat moralitas dengan tetap konsisten untuk berjuang demi revolusi. Dari pertemuannya dengan perwira piket inilah Ara belajar untuk menjadi republikein, dan seorang republikein sejati tidak akan melakukan korupsi dan berkhianat pada revolusi.

Ara akhirnya meninggalkan Cikampek tanpa mendapatkan kesulitan.

Dengan diantar oleh perwira piket itu, ia menuju ke stasiun untuk meneruskan perjalanannya ke Jakarta.

(33)

“Revolusi pasti menang!” Ara menjerit menjawab.

Mata piket itu nampak bertanya-tanya menyelidiki: Apa akan kau kerjakan?

Dan segera ia menjerit untuk kedua kalinya.

“Aku juga berjuang dengan caraku sendiri.”

Waktu kereta telah berangkat itulah ia berpikir orang seperti aku, bagaimana pun buruk namanya, dia tidak mungkin bakal berkhianat.

Berkhianat pada Revolusi ini berarti juga berkhianat pada diri sendiri, pada publik yang membayarnya (Pramoedya Ananta Toer, 2003:25 - 26).

Dari kutipan di atas terlihat bahwa keyakinan Ara untuk berjuang sangat kuat. Ia akan berjuang dengan caranya sendiri sebagai seorang pemain film dan tidak akan berkhianat pada revolusi. Di sini ego sebagai eksekutif dari kepribadian telah mendorong pribadi Ara untuk menemukan dirinya sebagai seorang seniman yang akan berjuang untuk revolusi.

Hal yang sama seperti sikap Ara di atas juga nampak ketika ia bertemu dengan orang tua cacat di atas kereta ketika sedang meninggalkan Cikampek.

… Orang tua itu hanya berkaki sebelah. Dua orang pemuda beruniform, kedua-duanya berpangkat kapten memapah orang tua itu. Larasati tak sempat meminta maaf atas kekeliruannya. Waktu turun dari gerbong, orang tua cacat itu disambut oleh satu seksi barisan kehormatan…

Dalam hati ia mengagumi si tua yang tak ketahuan nama, pekerjaan, dan pangkatnya. Mungkin seorang menteri. Mungkin seorang Inspektur Jenderal dalam pakaian preman. Secacat itu, tapi dia masih berjuang!

Mestinya perjuanganku lebih dari dia. Aku tak cacat. Lebih – mesti! Lebih – mesti! (Pramoedya Ananta Toer, 2003:27).

Dari pertemuannya dengan orang tua cacat ini, super ego mendorong ego untuk mengejar hal-hal yang bersifat moralitas serta melaksanakan ukuran moralnya dengan memberikan rasa bersalah. Ara meyaksikan seorang tua yang cacat namun masih tetap berjuang, hal ini semakin meyakinkan dirinya untuk tetap berjuang melebihi orang tua cacat itu karena Ara akan merasa bersalah kalau tidak membantu perjuangan.

(34)

Sesampainya di Bekasi kereta berhenti untuk dilakukan pemeriksaan oleh serdadu Nica. Para opsir melakukan pemeriksaan terhadap setiap penumpang untuk menangkap para pengikut Soekarno. Dalam pemeriksaan ini akhirnya sampai giliran Ara untuk diperiksa.

Waktu Larasati sampai di depan tenda, seorang inlander mendorong wanita di belakangnya. Dengan demikian ia masuk seorang diri. Untuk memberanikan dirinya ia remas-remas selendang merah pemberian pejuang sebentar sebentar tadi. Di hadapannya duduk seorang sersan inlander berkulit lebih hitam daripadanya sendiri, mengkilat, bermandi keringat

“Buka baju!” perintah sersan hitam mengkilat itu.

“Buat apa?” Larasati memberontak.

“Buat apa? Buka semua! Cepat! Anjing-anjing Soekarno suka berlagak goblok.”

Garang benar kelihatannya, pikir Larasati. Dia Cuma pembunuh bayaran.

Melihat aku sebagai anjing. Mungkin matanya bukan mata orang, mata anjing, maka manusia kelihatannya sebagai anjing, itulah dia tuannya.

Kalau Cuma cari makan dan pakaian mengapa jadi pembunuh dan penghina orang? Kan aku juga cari makan dan pakaian? Orang-orang macam dia ini mungkin lebih bodoh daripada kerbau. Paling tidak kerbau tidak membunuh sesamanya.

Waktu melihat Ara tak mengikuti perintahnya, ia bangkit. Matanya berapi- api. Ditariknya kain kurbannya. Tangan Ara menangkis. Selendang merahnya jatuh.

“Binatang!” Ara memekik. (Pramoedya Ananta Toer, 2003:33 - 34).

Dari peristiwa di atas terlihat id Ara menuntut untuk direduksi, ego berusaha untuk mereduksinya dengan mencari objek pemuasan dengan meremas- remas selendang. Namun usaha itu tidak begitu berhasil sampai akhirnya super ego berperan untuk mendorong ego Ara untuk melakukan penolakan dengan cara menangkis tangan sersan inlander tersebut. Di sini terlihat bahwa ego berperan menjadi perantara antara kebutuhan instingtif dengan keadaan lingkungan.

Di stasiun Bekasi inilah Ara bertemu dengan Mardjohan. Seorang announcer pada masa pendudukan Jepang, dan sekarang Mardjohan adalah seorang sutradara dan juga produser film yang bertugas membuat film

(35)

dokumenter untuk kepentingan Nica. Sebelumnya Mardjohan sudah mengenal Ara sebagai seorang bintang film. Mardjohan selama ini berusaha mencari Ara untuk diajak bermain film sampai akhirnya bertemu di stasiun Bekasi.

Segera Mardjohan mengubah pokok, “Nanti, aku perkenalkan kau dengan tuan kolonel Surjo Sentono. Dia yang kasih petunjuk bagaimana mendokumenkan pengungsi-pengungsi yang tidak tahan di pedalaman ke daerah pendudukan kerajaan. Mereka berbahagia di bawah lindungan artileri. Kolonel tulen dari kenil. Opsir artileri paling cakap di seluruh Asia. Ayoh, aku bawakan kopormu. Mari kuperkenalkan dengannya.”

“Kau gila.”

“Lebih baik kau pikirkan keselamatanmu.” Mardjohan mulai mengancam.

“Lihat, semua orang mengawasi kau. Juga tuan kolonel – itu, di stasiun sana ia bawa tongkat.”

Larasati menyadari benarnya ancaman. Ia menunduk. Lambat-lambat ia ikuti langkah Mardjohan – menghadap tuan kolonel (Pramoedya Ananta Toer, 2003:35).

Pertemuan ini memaksa Ara untuk mengikuti kemauan Mardjohan. Di satu sisi id mendapatkan tegangan ketika mendapatkan ancaman sedangkan super ego mendorong Ara untuk tidak akan berkhianat terhadap perjuangan. Di sini dorongan id lebih kuat dari pada super ego sehingga ego yang merupakan pelaksana kepribadian mendorong Ara untuk mengikuti perintah Mardjohan untuk bertemu dengan kolonel.

Pertemuan dengan kolonel akhirnya membawa Ara menuju ke penjara.

Kepergiannya ke penjara adalah atas perintah kolonel untuk melihat kondisi para tawanan sehingga akan membuat Ara takut dan mau mengikuti kemauan tuan kolonel untuk bermain film.

“Husy. Kau mengerti maksudku.”

“Tidak, tuan kolonel.”

“Tidak? Ara, penjara tidak cocok bagimu.”

“Entahlah tuan kolonel. Belum pernah aku alami.”

“Mau coba?”

Larasati berdebar-debar. Tak ada guna bicara tentang pokok semacam ini.

Aku datang ke bumi penjajahan bukan untuk masuk penjara. Aku datang

(36)

untuk kembali memasuki dunia film. Ia takut. Penjara berarti kematian (Pramoedya Ananta Toer, 2003:40).

Dari kutipan di atas terlihat bahwa id kembali mendominasi Ara. Id yang berprinsip pada kesenangan dan kenikmatan akan melakukan penolakan terhadap hal-hal yang tidak menyenangkan. Dorongan id yang kuat ini akhirnya mendorong Ara untuk mengikuti Mardjohan pergi ke penjara.

Dalam perjalanannya ke penjara, Mardjohan berusaha mempengaruhi Ara untuk tetap mau bermain film. Mardjohan tidak hanya membujuk secara halus melainkan juga mengancam bahwa ia sanggup membunuh Ara, namun Ara berusaha untuk tetap berani dan tidak terpengaruh terhadap ancaman tersebut. Ego Ara berusaha mengendalikan rasa takut seperti terlihat pada kutipan berikut.

Mobil melambatkan jalannya untuk memberi jalan pada sebuah truk militer dari empat setengah ton, yang terengah-engah membawa muatan batangan-batangan besi. Udara mulai mengandung kadar air berat. Panas merajalela di dalam mobil besar dan megah itu. Tetapi Larasati mencoba tidak dipengaruhi oleh keadaan-keadaan di luar dirinya (Pramoedya Ananta Toer, 2003:43).

Ara mendapatkan pengertian mengenai pribadi Mardjohan sebagai seorang oportunis, orang yang hanya mencari keuntungan pribadi dari situasi penjajahan.

Tetapi sementara itu bintang film itu mendapat pengertian tentang bangun dari bumi penjajahan: hancur-menghancurkan! Sedang mereka yang tidak dihancurkan, mereka yang tidak menghancurkan, adalah yang jadi landasan hidup binatang ini.

“Tak ada gunanya dibicarakan terus, Ara.” Mardjohan memutuskan. Ia geserkan duduknya. Mendekat. Kian mendekat. Berapatan. “Kita bisa jadi sekutu yang baik! Kau dan aku.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:43).

Setelah mengenal siapa sebenarnya sosok Mardjohan yang seorang pengkhianat dan juga oportunis, hal tersebut tidak membuat Ara berhenti berjuang dan berkhianat terhadap revolusi. Hal ini menunjukkan bahwa super ego

Referensi

Dokumen terkait

Pada pemilu pertama pasca Reformasi pelaksanaannya dijadwalkan pada pertengahan tahun 1999. Pemilu 1999 merupakan suatu momentum sejarah yang telah mengkonversi

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 39 responden yang menjalani kemoterapi di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau, didapatkan hasil bahwa mayoritas mendapatkan

Hambatan tersebut disebabkan antara lain: (1) kurang maksimalnya penggunaan gantry crane dan rubber tyred gantry dalam melayani bongkar muat peti kemas, (2) penataan peti kemas

Analisis merupakan suatu kegiatan yang dapat berupa pembuatan hingga pembaharuan suatu sistem dengan melihat kembali sistem yang berjalan. Dalam analisis terdapat

Caranya sama seperti modul input data maupun hapus yaitu : klik kanan tombol penyelesaian klik assign macro tulis nama modul (penyelesaian) pada

(http://www.bbc.com/indonesia/olahraga/2015/11/151101olahraga_adidas_roonry) Dalam menaikan kualitas brand Adidas, mereka melakukan sponsor kebeberapa pemain sepak bola

ekstrak daun jambu biji di mana persentase kadar abu tak larut asam yang tinggi menunjukkan adanya kontaminasi mineral yang tidak larut dalam asam, seperti