• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT HIDUP RADEN DEWI SARTIKA

RIWAYAT HIDUP RADEN DEWI SARTIKA

A. Latar Belakang Keluarga

Raden Dewi Sartika dilahirkan pada tanggal 4 Desember 1884 di

Bandung dalam kalangan menak (bangsawan) Sunda, sebagai putri kedua dari

lima bersaudara. Ayahnya adalah Raden Rangga Somanagara, Patih Bandung, dan Ibunya adalah Raden Ayu Rajapermas. Raden Dewi Sartika mempunyai saudara empat orang, yaitu Raden Sumamur (kakaknya) dan tiga orang adiknya masing-

masing bernama Raden H.Yunus, Raden Entis, dan Raden Sarti Pamerat.117

Raden Rangga Somanagara adalah salah seorang putra dari perkawinan Raden Demang Suriadipraja dengan Raden Ayu Komalanagara. Adapun kakeknya

dari garis ayah dikenal sebagai mantan Hoofd Djaksa (Jaksa Kepala) di Bandung.

Selain itu ia juga masih keturunan keluarga Dalem Timbanganten yang menjadi cikal bakal pendiri kabupaten Bandung. Sedangkan ibunya, Raden Ayu Rajapermas merupakan salah seorang putri dari Raden Aria Adipati

117

Nina H Lubis, 9 Pahlawan Nasional Asal Jawa Barat, (Bandung: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran, 2006), h. 92

Wiranatakusumah IV yang pernah menjabat sebagai bupati Bandung (1846-1874)

dan lebih dikenal dengan sebutan Dalem Bintang.118

Saat di Bandung, Raden Dewi Sartika tinggal bersama orangtua dan saudara-saudaranya di sebuah rumah besar dan luas yang terletak di pinggir jalan

raya, tepatnya di Kepatihan Straat. Di beranda atau tepas, terlihat pot-pot bunga

berisi tanaman suflir dan kuping gajah yang tertata rapi. Sedangkan di halamannya yang cukup luas itu ditumbuhi berbagai tanaman keras serta bunga- bunga yang asri, termasuk diantaranya bunga hanjuang merah yang menjadi ciri

khas orang Sunda.119 Raden Dewi Sartika sangat rajin, dan suka kepada segala

sesuatu yang baru, serta dari kecil telah tampak pula sifat-sifat

kepemimpinannya.120 Gerak-geriknya lincah, sigap, berani. Bicaranya pun lugas

dengan tutur kata yang tegas dan terkadang bernada keras. Walaupun Raden Dewi Sartika agak tomboy, akan tetapi setiap harinya ia mengenakan kebaya dan kain panjang. Jika berangkat ke sekolah atau bepergian kemana saja, ia selalu diantar dengan delman yang dihias. Mengenakan busana yang terbuat dari bahan mahal serta perhiasan yang indah. Kehidupan sehari-haripun diurus dan dilayani oleh

para abdi dalem yang setia, patuh dan hormat.121

Setiap ada acara yang cukup penting, ayahnya sering mengajak Raden Dewi Sartika serta saudara-saudaranya. Misalnya menonton acara pacuan kuda di

Tegalega, pagelaran hiburan rakyat dan lain sebagainya.122 Namun kebahagiaan

itu, berubah ketika tahun 1893, Raden Rangga Somanagara dituduh terlibat dalam percobaan pembunuhan terhadap Bupati Bandung R.A.A.Martanegara (keturunan menak Sumedang) dan para pejabat Belanda di Kota Bandung.123 Dalam aksinya Raden Rangga Somanagara, ayah Raden Dewi Sartika, bertindak bersama ayahnya, yang juga kakek Raden Dewi Sartika yaitu Raden Demang Suriadipraja (hoofd jaksa) Bandung dan beberapa tokoh menak lainnya, diantaranya Raden

118

Yan Daryono, R. Dewi Sartika, (Jakarta: Yayasan Awika&PT. Grafitri Budi Utami, 1996). h. 28

119

Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h.29 120

Edi S. Ekajati dkk, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, (Jakarta: CV. Pialamas Permai, 1998), h. 84

121

Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 29-30 122

Meidiana F, Dewi Sartika, (Jakarta:Bee Media Indonesia, 2010), cet ke-1, h. 6 123

Rangga Kartadireja, Raden Danugara, Raden Natanagara, Raden Wira Sudibya, Haji Abdul Kahar, dan Raden Argawijaya. Atas tuduhannya itu, Raden Rangga Somanagara dibuang ke Ternate, yang terlebih dahulu pada tanggal 22 Juli 1893,

dimutasi menjadi Patih Afdeling Mangunreja, menggantikan jabatan

R.A.A.Martanegara. Sementara jabatan Patih Bandung digantikan oleh Raden

Tisnakusumah yang semula menjabat sebagai Patih Sumedang.124 Sementara itu,

ayahnya, yang juga kakek Raden Dewi Sartika, Raden Demang Suriadipraja

dibuang ke Pontianak.125 Sejumlah tokoh lainnya yang terlibat, ada yang

dikenakan hukuman buang di sekitar Pulau Jawa, atau menjalani hukuman kurungan selama 20 tahun dan dikenakan kerja rodi untuk kepentingan

Gubernemen. Selain diasingkan, harta kekayaan mereka pun disita.126

Setelah ditinggalkan oleh ayah dan ibunya ke pengasingan, kehidupan Raden Dewi Sartika berubah drastis. Ia tinggal di rumah kakak kandung ibunya di Cicalengka yang bernama Raden Demang Aria Surakarta Adiningrat. Semula

Raden Dewi Sartika terbiasa hidup enak dan serba dilayani oleh abdi dalem,

setelah ayahnya dibuang, ia harus hidup susah. Perlakuan tidak ramah dan kasar sering dialami oleh Dewi kecil. Raden Dewi Sartika dianggap sebagai anak pemberontak. Siapa pun yang membela atau memperlakukannya dengan baik, akan dianggap sebagai pro pemberontak. Karena alasan itulah, pamannya yang

juga patih Cicalengka, memperlakukan dia sebagai abdi dalem atau pembantu di

rumahnya.127

Selain itu, Raden Dewi Sartika dikeluarkan dari sekolahnya, karena pihak sekolah tidak mau menerima anak pemberontak. Akhirnya, Dewi kecil mulai terbiasa dengan pekerjaan yang layaknya dilakukan oleh para pembantu, seperti

mencuci, membereskan rumah, menyapu rumah, memasak dan

menghidangkannya, serta semua pekerjaan rumah sehari-hari lainnya. Yang

membedakan Raden Dewi Sartika dengan abdi dalem lainnya adalah dia dapat

124

Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 35 125

Kosoh, dkk, Sejarah Daerah Jawa Barat, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Investarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1994), h. 162

126

Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 36 127

membaca dan menulis karena dia pernah bersekolah di Sekolah Kelas Satu (Eerste Klasse Inlandsche School) di Bandung, sekolah khusus anak-anak Belanda dan

anak priyayi.128

Meskipun sehari-hari ia diperlakukan seperti abdi dalem, tapi pancaran

wajahnya tetap memantulkan darah kebangsawanannya. Ibarat kata pepatah, jika terbuat dari loyang meskipun diletakkan di etalase tetap saja loyang. Dan meskipun terbuat dari emas, bila ditempatkan di tempat kotor, tetap saja bernilai

emas. Hal demikian dalam bahasa Sunda disebut sorot. Dan sorot itu diyakini

tidak bisa dibuat-buat, karena ia adalah anugerah dari Kanjeng Gusti Allah. Nampaknya kecantikan Raden Dewi Sartika mengundang hasrat Raden Kanjun yang sudah beristri, berniat memperistri Raden Dewi Sartika sebagai istri yang kedua. Namun Raden Dewi Sartika menolak secara halus ajakan anak dari istri

ketiga pamannya itu.129 Penolakannya, bukan hanya disebabkan karena tidak

menaruh hati pada saudaranya misannya itu, juga karena ia tidak bisa menganut

paham poligami, dan tidak ingin merusak rumah tangga orang lain.130

Setelah Raden Dewi Sartika kembali tinggal dan hidup dengan ibunya di Bandung, tepatnya setelah Raden Dewi Sartika mendirikan Sekolah Istri. Ia kembali dilamar oleh seorang lelaki yaitu dari salah satu anak Pangeran Djajadiningrat melalui utusan yang datang dari Banten yang menemui R.A.Rajapermas. Namun lamaran tersebut ditolak oleh Raden Dewi Sartika, karena menurutnya dirinya tak mungkin bisa menikah dengan pria yang belum

dikenalnya dengan baik, dan yang belum tentu mengena dihatinya.131

Akhirnya, pada tahun 1906 Raden Dewi Sartika menikah dengan Raden

Kanduruan Agah Suriawinata.132 Raden Agah Kanduruan sendiri merupakan

seorang duda beranak dua, namun salah satu anaknya meninggal menyusul

128

Meidiana F, Dewi Sartika,..., h. 16 129

Meidiana F, Dewi Sartika,..., h. 18 130

Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 51 131

Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 64 132

istrinya yang lebih dahulu meninggal. Ia adalah seorang guru Eerste Klasse School di Karang Pamulang.133

B. Latar Belakang Pendidikan

Orangtua Raden Dewi Sartika sangat menginginkan anaknya tumbuh dengan cerdas dan pintar. Karena ayahnya menjabat sebagai Patih Bandung, maka Raden Dewi Sartika dan saudara-saudaranya diperbolehkan mengikuti sekolah di Eerste Klasse School yakni sekolah setingkat sekolah dasar. Pada prinsipnya sekolah tersebut hanya untuk anak-anak Belanda dan peranakan, tapi sehubungan Raden Dewi Sartika dan saudara-saudaranya adalah putri Patih, maka ia diperbolehkan mengikuti pendidikan di sekolah tersebut. Disitulah mereka

mendapat kesempatan belajar bahasa Belanda dan Inggris.134

Di sekolah tersebut Raden Dewi Sartika termasuk ke dalam golongan murid yang maju, sungguh-sungguh dalam belajar dan sukai oleh teman- temannya. Sayang ia tidak dapat menamatkan sekolahnya (hanya sampai kelas 3) karena ia terpaksa harus meninggalkan sekolahnya karena musibah telah menimpa ayahandanya. Raden Rangga Somanegara, ayah Raden Dewi Sartika telah dituduh sebagai pelopor pemberontakkan yang akan menggulingkan kedudukan Bupati

Bandung masa itu.135 Dari kejadian itulah, Raden Rangga Somanagera diasingkan

ke Ternate, hal itu menjadikan kaum kerabat dan masyarakat menjauhkan diri dari kehidupan mereka, sebab takut dicurigai atau dianggap bersekutu dengan

“pemberontak”. Sekolah-sekolah tidak mau menerima kelima anak

R.A.Rajapermas sebagai muridnya. Mereka takut kepada tindakan Pemerintah

Hindia Belanda, sebab menerima anak seorang “pemberontak”. Karena keadaan

tidak memungkinkan untuk terus belajar, Raden Dewi Sartika kemudian dibawa

pamannya ke Cicalengka, yang diangkat sebagai Patih Cicalengka.136

Di tempat uwaknya tersebut, Raden Dewi Sartika tetap mendapatkan

pendidikan dari istri ke empat Raden Aria Suriakarta, yakni Nyi Raden Eni (Agan

133

Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 66 134

Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 29 135

Edi S. Ekajati dkk, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat,..., h. 85 136

Eni). Oleh uwaknya ia dididik dan dibekali bermacam-macam ilmu pengetahuan yang perlu untuk perempuan. Ia merasa bangga karena pada waktu itu ia merupakan satu-satunya diantara wanita-wanita di lingkungannya yang sudah

pandai membaca dan menulis.137 Dalam pengajarannya, Agan Eni mengajarkan

para perempuan menak bawah tentang kepandaian bertutur, bertingkah laku,

memasak makanan sehat, berdandan, dan semua hal yang sudah seharusnya

wanita kuasai untuk menyenangkan suami.138

Pada waktu itu Raden Dewi Sartika sudah memperlihatkan minat terhadap usaha dalam mendidik kaumnya. Bila ada kesempatan bermain dengan sesama gadis para menak, Raden Dewi Sartika sering bermain sekolah-sekolahan, dimana ia bertindak sebagai guru sedangkan teman-temannya sebagai murid. Ia juga sering membantu teman-temannya yang buta huruf untuk membacakan surat- surat yang mereka terima.

Mungkin, hal tersebut yang kelak menjadi pendorong bagi Raden Dewi Sartika untuk memberikan peluang bagi kaum perempuan dari kalangan masyarakat biasa, agar memiliki sejumlah pengetahuan dan keterampilan melalui jenjang pendidikan yang akan menjadi pembuka atau jalan bagi kehidupan yang lebih baik.

C. Karya-karya

Karangan-karangan Raden Dewi Sartika dalam pidatonya tentang Konsep Pendidikan bagi Kaum Perempuan. Karangan tersebut disampaikan dalam pidatonya di Surabaya dalam acara Sarekat Islam atas undangan HOS Tjokroaminoto sekaligus perayaan tujuh tahun didirikannya Sakola Kautamaan Istri di Bandung dengan judul:

1. Kautamaan Istri yang berisi tentang keutamaan perempuan dalam

kehidupan teruatam hak untuk mendapatkan pendidikan.

2. Wanita Pribumi yang berisi tentang keadaan wanita pribumi pada masa

kolonial (masa Raden Dewi Sartika).

137

Edi S. Ekajati dkk, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat,..., h. 85-86 138

Dokumen terkait