Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Gelar Sarjana Strata 1 (S.Pd.I)
Program Studi Pendidikan Agama Islam
LINA ZAKIAH
NIM: 107011001073
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
tokoh pendidikan yang memiliki concern terhadap perkembangan kaum perempuan. Tepatnya pada tahun 1904, telah berdiri sebuah lembaga pendidikan yang khusus diperuntukkan bagi kaum perempuan. Sekolah ini bernama Sakola Kautamaan Istri yang didirikan oleh Raden Dewi Sartika. Latar belakang didirikannya sekolah ini adalah oleh suatu kondisi dimana kaum perempuan seringkali memperoleh perlakuan diskriminatif dalam memperoleh pendidikan. Bertolak dari hal tersebut, maka dilakukan penelitian yang mengangkat tokoh pendidikan perempuan di Bandung dalam upayanya memajukan kaum perempuan melalui pendidikan.
Penelitian ini bertujuan untuk lebih mengenal sosok Pahlawan Nasional
asal Jawa Barat, Raden Dewi Sartika yang concern pada pemberdayaan kaum
perempuan melalui pendidikan. Penelitian ini merupakan penelitian ekplorasi. Penelitian ini dilakukan untuk melakukan pengujian yang didasarkan atas pengalaman-pengalaman masa lampau. Oleh karena obyek penelitian ini difokuskan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan dunia sejarah pendidikan, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan sejarah pendidikan.
Adapun data-data yang dijadikan rujukan diperoleh melalui sumber buku, makalah, dan karangan-karangan Raden Dewi Sartika yang diperoleh dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Umum Fakultas Sastra
Universitas Padjajaran Bandung, Perpustakaan Daerah Bandung, dan
Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta khusus makalah-makalah, penulis dapatkan dari Yayasan Dewi Sartika di Bandung.
Setelah melakukan penelitian, diketahui bahwa Raden Dewi Sartika adalah seorang pemikir dan aktifis perempuan Sunda yang lahir dari keluarga menak dan memiliki cita-cita tinggi untuk memajukan bangsa dengan cara memajukan kaum perempuannya melalui pendidikan. Karena hanya dengan pendidikanlah seorang perempuan akan memiliki banyak pengetahuan dan keterampilan yang akan berguna bagi dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
Gagasannya itu, ia tuangkan dengan mendirikan Sakola Kautamaan Istri yang khusus diperuntukkan untuk kaum perempuan. Sakola Kautamaan Istri adalah ujung dari satu idealisme atau ujung dari cita-cita bangsa yang merupakan hasil kerja keras dalam upaya untuk meningkatkan derajat kaum perempuan, khususnya perempuan Sunda, dan pada umumnya perempuan Indonesia.
Implementasi konsep itu sendiri tertuang dalam kurikulum yang diterapkan pada Sakola Kautamaan Istri diantaranya dengan memfokuskan materi pelajaran pada keterampilan perempuan sebagai salah satu upaya pemberdayaan kaum perempuan dengan pendidikan.
Segala puji dan syukur hanya bagi Allah SWT yang telah melimpahkan
curahan Rahmat dan pertolongan-Nya yang tak terhingga serta petunjuk yang
memberikan jalan bagi penulis, sehingga dapat dengan mudah menyelesaikan
tulisan yang sulit ini, dengan judul “Konsep Pendidikan Perempuan menurut
Raden Dewi Sartika”.
Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi
Muhammad SAW yang mengubah dunia kegelapan menjadi terang benderang dan
menuntun segenap manusia menuju jalan kebenaran dan kebahagiaan di dunia dan
akhirat. Juga kepada seluruh keluarga dan sahabat-sahabatnya yang selalu
membantu perjuangan dalam menegakkan Agama Islam di muka bumi ini.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengalami berbagai kesulitan di saat
menyusun tentang konsep pendidikan yang dicetuskan oleh Raden Dewi Sartika
untuk memajukan bangsa terutama kaum perempuannya. Oleh karena itu, apa
yang penulis sampaikan dalam skripsi ini masih jauh dari sempurna. Namun,
meskipun begitu, penulis berharap, skripsi ini dapat menjadi sumbangsih
tersendiri yang melengkapi pustaka tentang riwayat hidup dan gagasan Raden
Dewi Sartika dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan dalam
memperoleh pendidikan. Sehingga dapat bermanfaat, dan memberi inspirasi bagi
penerus bangsa agar berbuat dan berkarya yang lebih dari yang telah dilakukan
oleh Raden Dewi Sartika.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa proses penulisan skripsi ini tidak
akan terwujud tanpa bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, dengan kesadaran hati penulis sampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
selalu memberikan bimbingan dan masukan dalam memilih judul skripsi
ini serta secara pribadi selalu memberikan motivasi kepada penulis.
3. Bapak Bahrissalim, M.Ag, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Beliau senantiasa memberikan yang terbaik untuk
seluruh mahasiswa Pendidikan Agama Islam.
4. Bapak Drs. Sapiudin Shidiq, M.Ag, Sekretaris Jurusan Pendidikan
Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Atas segala motivasi yang diberikan
kepada penulis.
5. Ibu Hj. Dra. Eri Rossatria, MA, Dosen Pembimbing Skripsi. Berkat jasa
beliau, yang telah ikhlas meluangkan waktu untuk membantu,
membimbing, dan mengarahkan penulis demi terselesainya skripsi ini.
6. Bapak Dr. Anshari, LAL, MA, Dosen Penasehat Akademik. Atas segala
nasehat-nasehatnya serta bimbingan dan bantuan dalam masalah yang
dihadapi oleh penulis.
7. Ibu Eva Fitria, MA, Dosen sekaligus saudara penulis. Yang memberikan
inspirasi dan selalu memberikan masukan dalam menguraikan gagasan
Raden Dewi Sartika, serta memberikan arahan kemana penulis harus
mencari sumber buku.
8. Bapak Drs. Moh. Ziyad, MA dan Bapak Samsul Aripin, MA. Yang selalu
meluangkan waktu untuk memberikan saran dan kritik, dikala penulis
butuh masukan dalam penulisan skripsi ini.
9. Rasa hormat dan terima kasih kepada kedua orangtuaku, Drs. Dandan
Nasjir dan Siti Sa’adah atas segala do’a dan cinta kasih sayangnya yang senantiasa menyertai penulis. Serta kakak-kakakku Syarif Hidayat, S.Ag,
Lilis Latifah, S.Pd.I, Nanan Amin Iskandar, A.Ma, Irma Rismayanti,
S.Pd, Deni Abdul Kholik, S.Pd.I, dan adikku satu-satunya Dede Khotibul
membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Mudah-mudahan kita
benar-benar dipertemukan di Jabal Rahmat-Nya. Amin.
11. Bapak Prof. Dr. H. Moh. Mastna, HS, MA dan Ibu Mastna. Selaku Bapak
dan Ibu kos. Terima kasih atas semangat, dorongan, nasehat dan do’anya
kepada penulis. Serta temen-temen kos Rhoudlotul Hikmah, Mala
Allifni, Husni Amalia, Mega Ziadatun Ni’mah, Bias Rembulan Semesta
dan Rezki Meida Sari yang tak pernah henti-hentinya memberikan
semangat kepada penulis.
12. Dan sahabat-sahabat saya, Dini Puspita Mulyani, Wulandari, dan Titin
Rostina. Atas bantuannya mencari sumber buku ke UNPAD Bandung
dan Perpustakaan Daerah Bandung, serta menunjukan jalan ke Sekolah
Dewi Sartika. Tanpa kalian, penulis tidak akan mendapatkan data yang
penting untuk melengkapi bahan dalam skripsi ini.
13. Teh Nurchasanah, Teh Eka, Anisah Isu, dan Fadhila Putri. Atas semangat
yang tak pernah henti-hentiya diberikan kepada penulis. Yang selalu
memberikan masukan dan diskusi-diskusi, serta saran dan kritik sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
14. Semua pihak yang telah ikut berjasa dalam penyusunan skripsi ini, yang
tak mungkin disebutkan satu persatu.
Kepada semua pihak tersebut, semoga amal baik yang telah diberikan
dapat diterima oleh Allah SWT, dan mendapat limpahan Rahmat-Nya, Amin.
Jakarta, 12 Sepetember 2011
Penulis
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii
BAB 1 PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Identifikasi Masalah ... 6
C.Pembatasan Masalah ... 6
D.Perumusan Masalah ... 6
E.Tujuan Penelitian ... 6
F. Manfaat Penelitian ... 7
G.Metodologi Penelitian ... 7
H.Penelitian Yang Relevan ... 9
BAB II PENDIDIKAN PEREMPUAN A.Pendidikan ... 11
1. Pengertian Pendidikan ... 11
2. Unsur-unsur Pendidikan ... 13
a. Pendidik ... 13
b. Peserta didik ... 16
c. Kurikulum ... 19
d. Proses Belajar Mengajar ... 22
e. Metode Pembelajaran ... 24
B.Perempuan ... 26
1. Pengertian dan Karakteristik Perempuan ... 26
2. Kedudukan Perempuan ... 29
3. Tugas Perempuan ... 31
4. Peran Perempuan ... 34
a. R.A.Kartini ... 39
b. Rahmah El Yunisiah ... 41
c. Rohana Kudus ... 43
d. Rasuna Said ... 44
e. Raden Ayu Lasminingrat ... 45
3. Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat ... 46
BAB III RIWAYAT HIDUP RADEN DEWI SARTIKA A.Latar Belakang Keluarga ... 52
B.Latar Belakang Pendidikan ... 56
C.Karya-karya ... 57
BAB IV KONSEP PENDIDIKAN PEREMPUAN MENURUT RADEN DEWI SARTIKA A.Latar Belakang Berdirinya Sakola Kautamaan Istri ... 58
B.Berdirinya Sakola Kautamaan Istri ... 62
C.Sistem Pendidikan di Sakola Kautamaan Istri ... 65
1. Guru ... 65
2. Murid ... 67
3. Kurikulum ... 68
4. Proses Belajar Mengajar ... 72
5. Metode Pembelajaran ... 75
D.Konsep Pendidikan Perempuan Menurut Raden Dewi Sartika ... 77
BAB V PENUTUP A.Kesimpulan ... 87
B.Saran ... 88
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Tabel 2 Prosentase Materi Pelajaran Sakola Kautamaan Istri ... 72
Tabel 3 Metode Pembelajaran yang Digunakan
pada Materi Pelajaran Sakola Kautamaan Istri ... 75
[image:11.595.117.524.79.472.2]BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Pada masa Pemerintah Hindia Belanda, pendidikan di Indonesia
bertujuan untuk menjadikan warga negara yang mengabdi pada kepentingan
penjajah. Dengan kata lain, pendidikan dimaksudkan untuk mencetak
tenaga-tenaga yang dapat digunakan sebagai alat untuk memperkuat kedudukan penjajah.
Oleh karena itu, isi pendidikan pun hanya sekedar pengetahuan dan kecakapan
yang dapat membantu mempertahankan kekuasaan politik dan ekonomi penjajah.1
Barulah awal abad ke-20, sifat pendidikan itu berangsung-angsur
berubah. Hal tersebut antara lain sebagai akibat lahirnya Politik Etis (Ethische
Politick). Politik Etis merupakan garis politik kolonial baru, yang pertama diucapkan secara resmi oleh Van Dedem sebagai anggota Parlemen Belanda.
Dalam pidatonya tahun 1891, dikemukakan adanya keharusan untuk memisahkan
keuangan Indonesia dari negeri Belanda. Selain itu, diperjuangkan pula kemajuan
dan kesejahtaraan rakyat serta ekspansi menuju pada politik yang konstruktif.
Perjuangan politik kolonial yang progresif itu kemudian diteruskan oleh Van Kol,
Van Deventer dan Brooschoot.2
1
I.L. Pasaribu dan B. Simandjuntak, Pendidikan Nasional, Tinjauan Paedagogik Teoritis, (Bandung: Tarsito, 1978), h. 53 dalam Edi S. Ekajati dkk, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, (Jakarta: Pialamas, 1998), edisi ke-2, h. 69
2
Edi S. Ekajati, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, ..., edisi ke-2, h. 69-70
Timbulnya elit baru ini ialah sebagai akibat dari perubahan dalam politik
penjajahan Belanda. Kebijaksanaan baru ini dimulai terutama karena pengaruh
beberapa orang Belanda yang menunjukkan adanya “eereschuld” (hutang budi)
negeri Belanda terhadap jajahannya yang telah sekian lama memberi keuntungan
berlimpah-limpah yang diperoleh dari tanam paksa.3 Menurut Van Deventer,
utang itu bisa dibayar lewat program yang dikenal dengan sebutan “Trias Etika”
yaitu, “pendidikan, pengairan, dan transmigrasi”. Lebih jauh, Van Deventer
menilai, sikap politik yang tidak berpihak pada rakyat Jawa atau Hindia-Belanda,
merupakan strategi yang tidak menguntungkan Belanda sendiri, dalam kaitannya
dengan sistem desentralisasi administrasi politik yang direncanakan. Karena
sistem desentralisasi tidak mungkin berhasil tanpa bantuan golongan pegawai
Bumiputra dan masyarakat terpelajar Bumiputra lainnya.4
Akibat dari desentralisasi politik tersebut ialah pemerintah Hindia
Belanda memerlukan banyak pegawai pribumi yang terdidik baik untuk lembaga
pemerintahan maupun swasta, sehingga didirikanlah sekolah-sekolah sebagai
tempat dalam mencetak tenaga ahli yang terdidik dari pribumi.5
Namun, sesuai dengan keperluannya, tujuan didirikan sekolah adalah
agar dapat mencetak tenaga kerja yang terdidik untuk kepentingan pemerintah
Hindia Belanda, sehingga yang boleh masuk ke sekolah tersebut hanyalah
anak dari keturunan terhormat, bangsawan, atau anak pejabat. Sedangkan
anak-anak dari seorang petani, pedagang, buruh dan rakyat biasa lainnya tidak
diperkenankan untuk masuk sekolah tersebut, karena mereka tidak mungkin
memiliki kemampuan seperti anak-anak bangsawan.
Terlebih lagi, pendidikan untuk kaum perempuan dirasa tidak perlu dan
tidak memberikan manfaat. Karena meskipun bersekolah, anak perempuan pada
akhirnya tidak akan bekerja, mereka hanya akan menjadi ibu rumah tangga yang
3
Sukanti Suryochondro, Potret Pergerakan Wanita di Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1984), cet ke-1, h. 70-71
4
Dri Arbaningsih, Kartini dari Sisi Lain Melacak Pemikiran Kartini tentang Emansipasi
“Bangsa”, (Jakarta: Kompas, 2005), h. 78-79 5
hanya bertugas melayani suami, sehingga pendidikannya akan dirasa sia-sia.
Apalagi bagi orangtua dari golongan miskin, jika mempunyai uang mereka lebih
senang menyekolahkan anak laki-lakinya daripada menyekolahkan anak
perempuan.6
Selain itu juga, pada saat itu terdapat perbedaan pendidikan antara
golongan menak dan golongan rakyat biasa. N. Dwidjo Sewojo Instruktur dari
Sekolah Pendidikan Guru di Yogyakarta membagi masyarakat Jawa menjadi
empat kelas, dan ia pun memberikan status kepada perempuan-perempuan dari
empat kelas tersebut:
1. Golongan miskin. Para perempuan di kelas sosial ini tidak mendapatkan
pendidikan. Mereka belajar melakukan pekerjaan di sawah dan menjual
hasilnya. Terkadang mereka juga belajar menjahit. Hidup mereka sangat
keras, tetapi mereka cukup bebas. Sewojo tidak menyebutkan pada usia
berapa mereka biasanya menikah.
2. Golongan menengah (cukup mampu). Para perempuan di kelas sosial ini
tidak bersekolah dan mereka pun belajar melakukan pekerjaan-pekerjaan
rumah. Mereka biasanya menikah pada usia 12 sampai 15 tahun. Setelah
menikah, mereka membantu suaminya di sawah atau berdagang; mereka
diperlakukan dengan baik oleh suaminya karena mereka sebenarnya
dapat menafkahi kehidupannya sendiri.
3. Golongan santri. Para perempuan di kelas sosial ini tidak bersekolah,
tetapi mereka mendapat pelajaran agama di rumah. Mereka biasanya
mulai menikah sejak usia lima belas tahun. Mereka begitu dihargai para
suaminya karena secara umum mereka memiliki kemampuan yang lebih
dibanding para perempuan di golongan sebelumnya.
4. Golongan priyayi, para bangsawan. Beberapa dari mereka belajar di
bangku sekolah dasar. Sejak usia dua belas tahun, mereka dipingit dan
hanya melakukan sedikit pekerjaan karena telah memiliki banyak
pembantu. Setelah memasuki usia lima belas atau enam belas tahun dan
6
akhirnya menikah, mereka kembali melanjutkan kehidupan mereka yang
terkekang dan tanpa kesibukan.7
Meskipun kehidupan para perempuan dari kelas sosial yang lebih rendah
terlihat begitu bebas dan keras, pernikahan dini yang terjadi dikelas sosial ini
sama sering dengan yang terjadi di kelas sosial yang tinggi.
Hal ini dibenarkan oleh seorang Bupati Serang di awal 1900, Achmad
Djajadiningrat. Menurutnya, pernikahan dini dilakukan untuk mencegah seorang
perempuan agar tidak menikahi seseorang karena dorongan hatinya belaka, bukan
karena logika. Ketika perempuan itu masih anak-anak, tentu saja mereka belum
memiliki perasaan cinta terhadap seorang lelaki. Namun, bila mereka telah
dewasa, rencana pernikahan dini ini akan sulit karena biasanya si perempuan telah
memiliki lelaki pilihan yang ternyata tidak sesuai dengan keinginan orang tuanya.8
Keadaan sosial tersebut menjadikan kaum perempuan tidak mendapatkan
kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang layak seperti halnya laki-laki,
kecuali anak perempuan dari golongan menak atau bangsawan. Sehingga kaum
perempuan tidak mampu hidup mandiri, karena mereka tidak mendapatkan ilmu
pengetahuan dan keterampilan-keterampilan, yang pada akhirnya mereka hanya
mengandalkan kaum pria, dan mereka tidak bisa berbuat apa-apa untuk
melanjutkan kehidupannya lagi jika ditinggalkan oleh kaum pria.
Kondisi masyarakat yang masih terpengaruh feodalisme dan pandangan
tradisional banyak merugikan rakyat biasa, juga di bidang pendidikan. Sehingga
sebagian besar dari mereka masih tetap hidup dalam kebodohan. Dalam keadaan
demikian, tampil seorang tokoh dari kalangan menak yaitu Raden Dewi Sartika,
yang tergerak pikirannya untuk menyebarkan pendidikan di kalangan rakyat
banyak, terutama untuk kaum perempuan. Raden Dewi Sartika mempunyai
pandangan bahwa perempuan harus hidup terhormat dan sejajar dengan laki-laki,
7
Onderzoek naar de mindere welvaart der inlandsche bevolking op Java en Madoera, (penyelidikan tentang menurunnya kesejahteraan masyarakat Jawa dan Madura), dalam, Cora Vreede-De Steurs, The Indonesian Women: Struggles And Achievement, 1960, Mouton&Co, s’Gravenhage, Terj Elvira Rosa dkk, Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan dan Pencapaian, (Depok: Komunitas Bambu, 2008), h. 63-64
8
tanpa melupakan kodratnya sebagai perempuan. Kaum perempuan harus
mengecap pendidikan dan keterampilan untuk bisa hidup dalam kehidupan
bermasyarakat, tanpa harus bergantung kepada kaum pria. Sehingga ia mampu
berperan aktif untuk memajukan bangsa yang beradab.
Maka dari itu, dengan bantuan Bupati Bandung, R.A.A. Martanegara,
akhirnya Raden Dewi Sartika dapat mewujudkan cita-citanya dengan mendirikan
sekolah yang khusus diperuntukkan bagi kaum perempuan. Setelah Raden Dewi
Sartika mendirikan Sakola Istri pada tahun 1904, anak-anak gadis dari golongan
biasa bisa mendapatkan pendidikan. Di sekolah gadis pertama di Indonesia ini
diajarkan dasar-dasar berhitung, menulis, membaca, memasak, mencuci,
menyetrika, pengetahuan agama, membatik dan lain sebagainya. Selama tujuh
tahun sekolah ini mengalami perkembangan yang pesat. Cabang-cabang sekolah
dibuka antara lain di Bogor, Serang, Ciamis, Tasikmalaya, Sumedang, Cianjur,
dan Sukabumi. Pada tahun 1910 sekolah ini berubah nama menjadi “Sakola Kautamaan Istri”.9
Munculnya tokoh pendidikan kaum perempuan, Raden Dewi Sartika,
telah menunjukan kiprah dan peran kaum perempuan Indonesia, tidak kalah
penting dan sangat strategis fungsinya dalam memacu dan mendorong segala
potensi dan kemampuan yang dimiliki agar menjadi sumbangsih yang lebih
bermanfaat bagi diri pribadi maupun orang lain.
Bertolak dari permasalahan tersebut di atas, perlu kiranya dilakukan
penelitian yang lebih mendalam mengenai eksistensi dan konsep pendidikan bagi
kaum perempuan. Adapun tokoh yang akan menjadi obyek penelitian kali ini
adalah Raden Dewi Sartika, seorang tokoh perempuan pertama di Indonesia dalam
memperjuangkan hak-hak perempuan dalam bidang pendidikan. Sehubungan
dengan itu, penulis merasa tertarik untuk menulis studi tentang “Konsep
Pendidikan Perempuan Menurut Raden Dewi Sartika”.
9
B.Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat
diidentifikasi beberapa masalah yang akan dimunculkan, diantaranya:
1.Kurangnya perhatian masyarakat terhadap pendidikan bagi kaum
perempuan.
2.Kurangnya kesempatan bagi anak perempuan dalam mengenyam
pendidikan.
3.Kurangnya kesadaran orang tua dalam menyekolahkan anak perempuan.
4.Kondisi awal pendidikan perempuan di Bandung sebelum Raden Dewi
Sartika mendirikan Sakola Kautamaan Istri.
5.Faktor didirikannya Sakola Kautamaan Istri.
6.Sistem pendidikan yang diterapkan oleh Raden Dewi Sartika di Sakola
Kautamaan Istri.
7.Konsep pendidikan perempuan menurut Raden Dewi Sartika.
C.Pembatasan Masalah
Dari identifikasi masalah di atas, berdasarkan keterbatasan yang dimiliki
penulis, maka penulis membatasi masalah yang akan diteliti hanya pada “Konsep Pendidikan Perempuan menurut Raden Dewi Sartika”.
D.Perumusan Masalah
Berdasarkan pada pembatasan masalah yang dikemukaan di atas, maka
perumusan masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimana konsep pendidikan
perempuan menurut Raden Dewi Sartika.?
E.Tujuan Penelitian
Tujuan penulis dalam melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat dari penelitian ini adalah agar dapat memberikan informasi
kepada sivitas akademik pada khususnya, dan masyarakat luas pada
umumnya tentang kiprah Raden Dewi Sartika dalam mengemukakan
gagasannya tentang konsep pendidikan bagi kaum perempuan dan dapat
mengembangkan gagasan-gagasannya serta diharapkan dapat berbuat lebih
dari apa yang telah diperbuat oleh Raden Dewi Sartika.
2. Diharapkan masyarakat Jawa Barat, dan masyarakat luas pada umumnya
dapat mengenal lebih jauh tentang sosok seorang perempuan pribumi dari
Bandung yang berhasil mengembangkan konsep pendidikan bagi kaum
perempuan di Jawa Barat yaitu Raden Dewi Sartika.
3. Memberikan sumbangan dalam dunia pendidikan khususnya dalam bidang
pemikiran pendidikan kaum perempuan.
G.Metodologi Penelitian
1. Sumber dan Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksplorasi. Penelitian ini dilakukan
untuk melakukan pengujian yang didasarkan atas pengalaman-pengalaman masa
lampau.10 Oleh karena obyek penelitian ini difokuskan pada masalah-masalah
yang berkaitan dengan dunia sejarah pendidikan, maka pendekatan yang
dilakukan adalah pendekatan sejarah pendidikan.11
Adapun sumber yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber
tertulis.12 Sumber tertulis ini diperoleh melalui sumber buku, makalah, dan
karangan-karangan. Sumber tertulis tersebut diperoleh dari Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia, Perpustakaan Umum Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran
Bandung, Perpustakaan Daerah Bandung, Perpustakaan Umum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Yayasan Raden Dewi Sartika.
10
J. Supranto, Metode Riset dan Aplikasinya di dalam Riset Pemasaran, (Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 1974), h. 33
11
Imam Barnadib, Arti dan Metode Sejarah Pendidikan, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIP IKIP, 1982), hal. 51.
12
Selain itu, penulis menemukan beberapa dokumentasi tentang Raden
Dewi Sartika. Dari keseluruhan dokumen yang ditemukan, menghasilkan
data-data deskriptif yang cukup berharga dan ditelaah dari segi subjektif serta dianalisis
secara induktif.13
2. Teknik Perolehan Data
Data-data yang dikumpulkan pada penelitian ini diperoleh melalui
Library research (kajian pustaka). Jadi data-data yang dikumpulkan peneliti diperoleh dari perpustakaan. Dari literatur yang penulis gunakan, terdapat
beberapa data primer yang bisa dijadikan sebagai rujukan. Selebihnya, peneliti
menemukan data-data melalui makalah-makalah yang didapatkan dari Yayasan
Raden Dewi Sartika di Bandung. Tulisan-tulisan tersebut dibaca, selanjutnya
dianalisis kemudian disimpulkan.
3. Teknik Pengolahan Data
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa sumber dan jenis data
yang diperoleh pada penelitian ini salah satunya adalah berupa sumber tertulis.
Jenis data lain juga diperoleh dalam bentuk dokumentasi yang setidaknya dapat
memberikan informasi penting lainnya dari seorang tokoh yang bernama Raden
Dewi Sartika. Setelah data-data itu diperoleh, peneliti mengolah data-data tersebut
dengan cara dibaca dan dianalisis kemudian disimpulkan.
4. Bentuk Laporan
Bentuk laporan penelitian yang disampaikan, dikemukakan dengan
menggunakan pendekatan deskriptif analisis, yakni mendeskripsikan semua
data-data yang sudah diperoleh dan dianalisis sehingga menjadi satu bentuk kesatuan
yang utuh dan menyeluruh serta sesuai dengan tujuan penelitian yang telah
dirumuskan sebelumnya.
5. Teknik Penulisan
Teknik penulisan Skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.
13
H.Penelitian yang Relevan
Penulis menemukan beberapa tulisan tentang Raden Dewi Sartika.
Diantara penulis ialah Yan Daryono denga judul R. Dewi Sartika yang isinya
tentang latar belakang keluarga dan pendidikan Raden Dewi Sartika serta
gagasan-gagasannya dalam upaya pemberdayaan kaum perempuan melalui
pendidikan.14 Nina Herlina Lubis dalam bukunya 9 Pahlawan Nasional Asal Jawa
Barat, isinya tentang konsep pendidikan perempuan yang digagas Raden Dewi
Sartika.15 Meidiana F dengan judul R. Dewi Sartika, isinya tentang keluarga dan
gagasannya dalam pendidikan perempuan.16 MB. Rahimsyah. AR dengan judul
Kumpulan Biografi Pahlawan Bangsa, yang berisi tentang gagasan Raden Dewi
Sartika yang dituangkan dalam Sakola Kautamaan Istri.17 Biografi Pahlawan Asal
Jawa Barat yang dikarang oleh Sultan Ageng Tirtayasa dkk, yang berisi tentang
biografi Raden Dewi Sartika.18 Buku karangan Maria Ulfah Subadio dan T.O.
Ihromi dengan judul Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia, yang berisi
tentang peranan Raden Dewi Sartika dalam memajukan perempuan Indonesia
melalui pendidikan.19 Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan dan Pencapaiannya
oleh Cora Vreede-De Stuers yang diterjemahkan oleh Elvira Rosa dkk, yang berisi
tentang gerakan-gerakan Raden Dewi Sartika dalam upaya memajukan kaum
perempuan melalui pendidikan.20 Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan
Masyarakat karya Nani Soewondo-Soerasno, berisi tentang Raden Dewi Sartika
dalam peranannya dalam memajukan kaum perempuan di Indonesia.21 Sukanti
Suryochondro dalam bukunya Potret Pergerakan Wanita di Indonesia, yang berisi
tentang pergerakan Raden Dewi Sartika dalam upaya memajukan kaum
14
Yan Daryono, R. Dewi Sartika, (Jakarta: CV. Pialamas Permai, 1998). 15
Nina Herlina Lubis, 9 Pahlawan Nasional Asal Jawa Barat, (Bandung: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga peneltiian Universitas Padjajajran, 2006).
16
Meidiana F, Dewi Sartika, (Jakarta:Bee Media Indonesia, 2010). 17
MB. Rahimsyah. AR, Kumpulan Biografi Pahlawan Bangsa, (Surabaya: Serba Jaya) 18
Sultan Ageng Tirtayasa, Biografi Pahlawan Asal Jawa Barat, (Bandung: CV. Geger Sunten, 1993).
19
Maria Ulfah Subadio dan T.O. Ihromi, Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada University, 1986).
20
Elvira Rosa dkk, Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan dan Pencapaian, (Depok: Komunitas Bambu, 2008).
21
perempuan melalui pendidikan.22 Edi S Ekajati, dengan judul Sejarah Pendidikan
Daerah Jawa Barat, yang berisi tentang sejarah pergerakan Raden Dewi Sartika
dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dalam memperoleh pendidikan.23
Kosoh S dkk dengan judul Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, yang berisi
tentang sejarah berdirinya Sakola Kautamaan Istri yang didirikan Raden Dewi
Sartika,24 dan makalah tentang riwayat hidup dan perjuangan Ibu Raden Dewi
Sartika, yang berisi perjuangan Raden Dewi Sartika dalam memajukan kaum
perempuan melalui pendidikan dan usahanya dalam mendirikan Sakola
Kautamaan Istri.25
Dari sekian buku yang penulis temukan, hampir semuanya membahas
tentang kehidupan dan gagasan Raden Dewi Sartika dalam memajukan
perempuan melalui pendidikan. Namun dari sekian buku tersebut, berbeda dengan
penulis dalam penulisan skripsi ini. Dalam skripsi ini penulis membahas tentang
konsep pendidikan kaum perempuan menurut Raden Dewi Sartika dengan
meneliti lebih dalam bagaimana sistem pendidikan di Sakola Kautamaan Istri
yang didirikan oleh Raden Dewi Sartika.
22
Sukanti Suryochondro, Potret Pergerakan Wanita di Indonesia, (Jakarta: CV. Rajawali, 1984).
23
Edi S. Ekajati dkk, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, (Jakarta: Pialamas, 1998). 24
Kosoh, dkk, Sejarah Daerah Jawa Barat, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Investarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1994).
25
BAB II
PENDIDIKAN PEREMPUAN
A.PENDIDIKAN
1. Pengertian Pendidikan
Menurut Arifin, secara teoretis pendidikan mengandung pengertian
“memberi makan” (opvoeding) kepada jiwa peserta didik sehingga mendapatkan
kepuasan rohaniah, juga sering diartikan dengan “menumbuhkan” kemampuan
dasar manusia.26 Sementara, menurut Ngalim Purwanto pendidikan ialah segala
usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin
perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.27 Sejalan dengan itu,
Ahmad D. Marimba mendefinisikan pendidikan sebagai bimbingan atau pimpinan
secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta
didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.28 Lebih jauh, tokoh
pendidikan nasional Indonesia, Ki Hajar Dewantara, menyatakan pendidikan pada
umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin),
pikiran (intelek), dan jasmani anak-anak, selaras dengan alam dan
masyarakatnya.29
26
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006), cet ke-5, h. 22
27
Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2007), cet ke-18, h. 11
28 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1989), h. 16
29
Ki Hajar Dewantara, Masalah Kebudayaan; Kenang-kenangan Promosi Doktor Honoris
Causa, (Yogyakarta, 1967), h. 42 dalam Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan
Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), cet ke-4 , h. 4
Dengan demikian, pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan
orang dewasa untuk menjadikan peserta didik agar tumbuh dan berkembang ke
arah kedewasaan baik jasmani maupun rohani sehingga dapat bermanfaat bagi
dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Sementara itu, Oemar Hamalik mendefinisikan pendidikan sebagai suatu
proses sosial, karena berfungsi untuk memasyarakatkan anak didik melalui
sosialisasi di dalam masyarakat.30 Dalam proses sosialisasi yang cocok untuk
peserta didik adalah di lingkungan sekolah. Di sekolah peserta didik akan
memerankan sebagai makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam proses
belajar mengajar, baik itu terhadap gurunya sebagai pendidik, maupun
teman-teman sebayanya di lingkungan sekolah. Selain itu juga, peserta didik dapat
mengamalkan dalam kehidupan di masyarakat dari apa yang telah dipelajari di
sekolah.
Lebih jauh, Azyumardi Azra mengemukakan pendidikan merupakan
suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan
memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien. Pendidikan lebih
sekedar pengajaran; yang terakhir ini dapat dikatakan sebagai suatu proses
transfer ilmu belaka, bukan transformasi nilai dan pembentukkan kepribadian
dengan segala aspek yang dicakupnya.31
Dengan demikian, pengajaran hanya sekedar proses pemberian materi
pelajaran kepada anak didik yang hanya akan membentuk para spesialis, yang
terkurung pada bidangnya saja. Sedangkan pendidikan, lebih dari itu, di samping
proses transfer ilmu dan keahlian, juga lebih menekankan pada pembentukkan
kesadaran dan kepribadian anak didik sehingga dapat menjadikan mereka dapat
menyongsong kehidupannya di masa yang akan datang dengan lebih efektif dan
efisien.
Berbagai pengertian pendidikan di atas, sejalan dengan Undang-Undang
Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, pada bab 1 ayat 1 menjelaskan bahwa pendidikan
30
Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), cet ke-2, h. 73
31
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudukan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara.32
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan ialah usaha
sadar dengan sengaja dan terencana oleh pendidik untuk membimbing
pertumbuhan dan perkembangan peserta didik melalui proses bimbingan dan
pengajaran yang menjadikan peserta didik secara aktif mengembangkan seluruh
potensi yang dimilikinya sehingga ia dapat mencapai tingkat kematangan
intelektual dan kepribadian yang bermanfaat bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.
2. Unsur-unsur Pendidikan
a. Pendidik
Menurut Ahmad D. Marimba pendidik ialah orang dewasa yang memiliki
hak dan kewajiban dalam memikul tanggung jawab untuk mendidik peserta
didik.33 Seorang pendidik hendaknya mengetahui bagaimana cara murid belajar
dengan baik dan berhasil, oleh karena itu Zakiah Daradjat mengemukakan
unsur-unsur yang perlu diperhatikan oleh seorang pendidik yang meliputi: Kegairahan
dan kesediaan untuk belajar, membangkitkan minat belajar, menumbuhkan sikap
dan bakat yang baik, mengatur proses belajar mengajar, berpindahnya pengaruh
belajar dan pelaksanaanya ke dalam kehidupan nyata, hubungan manusiawi dalam
proses belajar.34
Dari sini dapat disimpulkan bahwa seorang pendidik dalam mengajar
bukan hanya terbatas pada penyampaian ilmu pengetahuan dan keterampilan saja,
akan tetapi juga melakukan pembinaan-pembinaan yang diperlukan untuk
mengembangkan seluruh kepribadian peserta didik.
32
UU RI No. 20 tahun 2003 dan UU RI No. 14 tahun 2005, (Jakarta: Transmedia Pustaka, 2008), cet ke-2, h. 2
33
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, ..., h. 35 34
Sementara itu, menurut Ahmad Tafsir, orang yang paling bertanggung
jawab terhadap perkembangan anak didik adalah orangtua (ayah dan ibu) anak
didik. Tanggung jawab itu sekurang-kurangnya oleh dua hal: pertama kodrat,
yaitu karena orangtua ditakdirkan menjadi orangtua anaknya, dan karena itu
ditakdirkan pula bertanggung jawab mendidik anaknya; kedua, karena
kepentingan orangtua, yaitu orangtua berkepentingan terhadap kemajuan
perkembangan anaknya, sukses anaknya adalah sukses orangtua juga. Namun,
karena perkembangan pengetahuan, keterampilan, sikap serta kebutuhan hidup
sudah demikian luas, dalam, dan rumit, maka orangtua tidak mampu lagi
melaksanakan sendiri tugas dalam mendidik anak. Oleh karena itu,
tugas-tugas orangtua diserahkan kepada sekolah.35 Dalam hal ini guru sebagai tenaga
pendidik menggantikan orangtua di rumah untuk mendidik anak agar menjadi
manusia yang dewasa.
Guru sebagai seorang pendidik adalah orang yang memberikan ilmunya
kepada peserta didik sehingga peserta didik memperoleh ilmu pengetahuan yang
seluas-luasnya. Selain memberikan pengajaran, seorang guru pun memberikan
pendidikan dengan mentransformasikan nilai-nilai dan pembentukkan kepribadian
sehingga peserta didik mewarisi nilai-nilai luhur dan dapat menjalankan
kehidupan dengan sebaik-baiknya. Namun, masih banyak orang beranggapan
bahwa pekerjaan sebagai guru adalah rendah dibandingkan dengan pekerjaan lain
seperti pekerjaan kantor dan lain sebagainya. Namun perlu diketahui bahwa
bekerja menjadi seorang guru merupakan pekerjaan yang luhur dan mulia. Guru
merupakan orang yang paling berjasa dalam memajukan negara ini. Tanpa
seorang guru tidak akan ada orang-orang yang berkualitas yang memajukan
negara, baik itu dari sektor pendidikan, ekonomi, maupun sektor lainnya. Karena
bagaimanapun, tinggi atau rendahnya kebudayaan suatu masyarakat tergantung
pada pendidikan dan pengajaran yang diperoleh dari seorang guru.
Dengan demikian, dapatlah kita ketahui bahwa tugas seorang guru
merupakan tugas yang berat, oleh karena itu negara mengatur syarat-syarat untuk
35
menjadi seorang guru yang tertera dalam UU No. 12 tahun 1954 bahwa syarat
utama untuk menjadi guru, selain ijazah dan syarat-syarat yang mengenai
kesehatan jasmani dan rohani, juga harus bertakwa kepada Tuhan YME,
berkelakuan baik, bertanggung jawab, dan berjiwa nasional.36 Seorang guru pun
harus berlaku adil, percaya dan suka kepada murid-muridnya, sabar dan rela
berkorban, bersikap baik terhadap guru-guru lainnya, bersikap baik terhadap
masyarakat, menguasai mata pelajarannya, suka kepada mata pelajaran yang
diberikannya, dan berpengetahuan luas.37 Selain itu, terdapat empat kompetensi
guru dalam Pasal 28 ayat 3 Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 yang
meliputi: Kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi
profesional, dan kompetensi sosial.38
Semua syarat-syarat menjadi guru tersebut, merupakan sebagai upaya
untuk menciptakan tenaga pendidik yang profesional untuk kemajuan bangsa
dengan mendidik anak-anak penerus bangsa dengan baik.
Selain itu juga, seorang guru harus memiliki kepribadian yang baik.
Kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan
pembina yang baik bagi anak-anaknya, ataukah akan menjadi perusak atau
penghancur bagi hari depan anak-anaknya, terutama bagi anak didik yang masih
kecil dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa. Kepribadian yang
sesungguhnya adalah abstrak, sukar dilihat atau diketahui secara nyata, yang dapat
diketahui adalah penampilan atau bekasnya dalam segala segi dan aspek
kehidupan. Misalnya dalam tindakannya, ucapan, caranya bergaul, berpakaian dan
dalam menghadapi setiap persoalan, baik yang ringan maupun yang berat.39
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa seorang pendidik adalah
orang yang membimbing dan memimpin anak didik dalam proses belajar
mengajar, tidak hanya bertugas memberikan pengajaran yang mentransformasikan
ilmu pengetahuan, melainkan juga bertugas membentuk kepribadian peserta didik
36
Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, ..., cet ke-18, h. 139 37
Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis,..., cet ke-18, h. 143 38
Martinis Yamin, Profesionalisasi Guru & Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2006), h. 79
39
menjadi manusia yang susila dan beradab, oleh karena itu seorang pendidik harus
dibekali dengan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, menguasai ilmu
pengetahuan yang luas serta dapat mempraktekan pendidikan yang menjadi
bidang spesialisnya. Karena pendidik adalah orang yang selalu dipandang dan
dicontoh oleh anak didiknya. Dalam hal ini, seorang pendidik harus mengenal dan
memahami serta mentaati norma-norma yang berlaku di masyarakat. Karena
sebelum mendidik peserta didik agar menjadi manusia susila, pendidik harus
terlebih dahulu menjadi manusia susila.
b. Peserta Didik
Menurut Ahmad D. Marimba peserta didik adalah seseorang yang belum
dewasa baik secara jasmani maupun rohani. Ia mempunyai kebutuhan-kebutuhan
yang harus dipenuhi yang tidak dapat ia penuhi sendiri, melainkan masih
tergantung kepada orang lain, dalam hal ini pendidik. Oleh karena itu, peserta
didik menggantungkan harapannya kepada pendidik. Sifat ketergantungan ini
tidak disadari oleh peserta didik, melainkan para pendidiklah sebagai orang yang
bertanggung jawab yang harus memahaminya. Namun demikian, tidaklah seluruh
persoalan pendidikan tergantung kepada pendidik. Karena peserta didik
memegang peranan yang penting pula. Ia yang memiliki apa-apa yang harus
dikembangkan, ia juga akan mengolah apa yang telah diajarkan oleh pendidik.
Peranan ini semakin lama semakin besar, dan pada masa dewasa seluruh tanggung
jawab terletak pada diri peserta didik.40
Maka dari itu, dalam menjalankan tugasnya, seorang pendidik harus
memiliki kemampuan untuk mengetahui dan memahami keadaan peserta didik,
baik dari segi fisik maupun psikis. Peserta didik adalah manusia yang belum
dewasa dan memerlukan bantuan orang lain untuk membimbingnya supaya dapat
mencapai kedewasaan. Karena, walaupun peserta didik memiliki potensi yang
banyak, namun apabila tidak ada yang mengarahkan dan membimbingnya, maka
dia tidak akan mencapai kedewasaan jasmani dan rohani yang optimal dan tidak
akan menunaikan kewajibannya sebagai peserta didik untuk mengamalkan
pendidikannya dalam kehidupannya sehari-hari.
40
Dalam kewajibannya sebagai peserta didik, menurut HAMKA seorang
peserta didik harus berupaya memiliki akhlak mulia, baik secara vertikal maupun
horizontal dan senantiasa mengembangkan potensi yang dimilikinya dengan
seperangkat ilmu pengetahuan, sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang telah
dianugerahkan Allah melalui fitrah-Nya.41
Maka dari itu, dengan keluasan ilmu dan akhlak yang dimilikinya,
peserta didik dapat memiliki wawasan yang luas, kepribadian yang baik, dan
meraih kesempurnaan hidup sebagai makhluk Allah.
Oleh karena itu, menurut HAMKA dalam menuntut ilmu, hendaklah
peserta didik mencari guru yang banyak pengalamannya, luas pengetahuannya,
bijaksana, pemaaf, tenang dalam memberi pengajaran. Hendaklah peserta didik
rindu dan cinta pada ilmu dan tidak cepat bosan dalam mencari ilmu pengetahuan,
percaya pada keutamaannya dan yakin pada manfaatnya, serta dengan niat untuk
mencari keridhoan Allah SWT. Karena dengan ilmu yang luas itulah, peserta
didik dapat mengenal Tuhan dan membangun budi pekerti yang baik. Dan
janganlah menuntut ilmu karena ingin riya, karena orang riya itu sebenarnya
tidaklah menjadi orang besar, tetapi ia menjadi orang yang terhina.42
Sosok pendidik yang demikian, akan sangat bermanfaat bagi peserta
didik dalam mencari ilmu pengetahuan, sehingga mereka dapat menguasai ilmu
pengetahuan luas dan kepribadian yang baik. Karena dengan demikian, ia akan
dapat melaksanakan kewajibannya sebagai makhluk Allah yang senantiasa
mengembangkan seluruh potensi yang ia miliki sebagai anugerah dari Allah untuk
menjalankan segala aktifitas serta dapat bermanfaat bagi dirinya, masyarakat,
bangsa, dan negara.
Selain itu juga, menurut HAMKA seorang peserta didik hendaklah
mengakui kelebihan gurunya dan menghormatinya, karena guru itu lebih utama
daripada ibu dan bapak tentang kebesaran jasanya. Ibu dan bapak mengasuh anak
sejak dilahirkan, tetapi guru melatih anak supaya berguna setelah besar. Karena
41
HAMKA, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998), jilid 6, h. 4033-4036 dalam Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 159
42
akal budi itu adalah laksana berlian yang baru keluar dari tambang, masih kotor
dan belum berkilat. Adalah guru yang menjadi tukang gosoknya dan
membersihkannya, sehingga menjadi berlian yang berharga. Meskipun guru tidak
akan dikatakan lebih daripada ibu bapak, tetapi janganlah dikatakan kurang.43
Jadi, sudah seharusnya seorang anak menghormati dan menyayangi guru
sebagaimana ia menghormati dan menyayangi orang tuanya. Karena, tanpa
bantuan seorang guru, ia tidak akan mampu tumbuh dan berkembang dengan
optimal untuk menjalankan kehidupan sehari-hari. Di tangan gurulah peserta didik
mendapatkan pendidikan, pengajaran dan pembinaan yang dilakukan dengan
senagaja maupun tidak sengaja, bahkan tidak disadari oleh guru melalui sikap, dan
berbagai penampilan kepribadian guru.
Dalam mengikuti proses belajar mengajar, seorang peserta didik tidak
bisa lepas dalam interaksi dengan sesamanya. Agar interaksi itu berjalan secara
harmonis dan mendukung proses pendidikan, maka setidaknya ada dua kewajiban
yang mesti dilakukan antara sesama peserta didik, yaitu:
1. Merasakan keberadaan mereka (peserta didik yang lain) bagaikan sebuah
keluarga dengan ikatan persaudaraan).
2. Jadikan teman untuk menambah ilmu. Lakukanlah diskusi dan berbagai
latihan sebagai sarana untuk menambah kemampuan intelektual sesama
peserta didik.44
Maka dengan demikian, dengan melakukan interaksi dengan peserta
didik lainnya, peserta didik akan menyadari kekurangan dirinya, sehingga ia akan
selalu membutuhkan peserta didik lainnya dalam upaya mencari ilmu pengetahuan
yang luas dengan melakukan diskusi-diskusi untuk meningkatkan mutu ilmu
pengetahuan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peserta didik adalah orang
yang membutuhkan bimbingan dan pertolongan dalam mengembangkan seluruh
potensi yang dimilikinya, sehingga ia dapat mencapai kedewasaan dan dapat
43
HAMKA, Lembaga Hidup, ..., h. 247 44
bermanfaat untuk masa depannya baik untuk dirinya sendiri, masyarakat, bangsa
maupun negara.
c. Kurikulum
Dalam proses pembelajaran, kurikulum sangat diperlukan sebagai
pedoman untuk menyusun target dalam kegiatan pendidikan. Dengan kurikulum,
seorang guru akan membawa peserta didik ke arah sesuai tujuan yang hendak
dicapai.
Pengertian kurikulum menurut pandangan lama atau pandangan
tradisional adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh murid untuk
memperoleh ijazah.45 Menurut Ahmad Tafsir, pandangan tersebut tidak terlalu
salah; mereka membedakan kegiatan belajar kurikuler dari kegiatan belajar
ekstrakurikuler dan kokurikuler. Kegiatan kurikuler ialah kegiatan belajar untuk
mempelajari mata pelajaran wajib, sedangkan kegiatan belajar kokurikuler dan
ektrakurikuler disebut mereka sebagai kegiatan penyerta. Praktek kimia, fisika,
biologi, kunjungan ke museum untuk pelajaran sejarah, dipandang mereka sebagai
kokurikuler (penyerta kegiatan belajar bidang studi). Bila kegiatan itu tidak
berfungsi penyerta, seperti pramuka dan olahraga (di luar bidang studi olahraga),
maka ini disebut mereka kegiatan di luar kurikulum (kegiatan ekstrakurikuler).46
Berbeda dengan pandangan lama, pengertian kurikulum menurut
pandangan modern adalah kurikulum bukan hanya mata pelajaran saja, tetapi
meliputi semua kegiatan dan pengalaman yang menjadi tanggung jawab sekolah.47
Di dalam pendidikan, kegiatan yang dilakukan siswa dapat memberikan
pengalaman belajar, atau dianggap sebagai pengalaman belajar, seperti berkebun,
olahraga, pramuka, dan pergaulan selain mempelajari bidang studi. Semua itu
merupakan pengalaman belajar yang bermanfaat. Pandangan modern berpendapat
bahwa semua pengalaman belajar itulah kurikulum. Atas dasar ini maka inti
kurikulum adalah pengalaman belajar. Ternyata pengalaman belajar yang banyak
pengaruhnya dalam pendewasaan anak, tidak hanya mempelajari mata-mata
45
Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 2
46
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, ..., cet ke-7, h. 53 47
pelajaran, interaksi sosial di lingkungan sekolah, kerja sama dalam kelompok,
interaksi dengan lingkungan fisik, dan lain-lain, juga merupakan pengalaman
belajar.48
Oleh karena itu, untuk memahami kurikulum sekolah, tidak hanya
dengan melihat dokumen kurikulum sebagai suatu program tertulis, akan tetapi
juga bagaimana proses pembelajaran yang dilakukan anak didik baik di sekolah
maupun di luar sekolah. Hal ini harus dipahami, sebab kaitannya sangat erat
dengan evaluasi keberhasilan pelaksanaan suatu kurikulum, yaitu bahwa
pencapaian target pelaksanaan suatu kurikulum tidak hanya diukur dari
kemampuan siswa menguasai seluruh isi atau materi pelajaran seperti yang
tergambar dari hasil tes sebagai produk belajar, akan tetapi juga harus dilihat
proses atau kegiatan siswa sebagai pengalaman belajar.49
Berdasarkan pengertian di atas, maka kurikulum itu isinya luas sekali.
Namun isi kurikulum yang luas tersebut menurut Hilda Taba dapat dirinci
menjadi empat komponen kurikulum yang terdiri dari tujuan, isi, metode atau
proses belajar mengajar dan evaluasi yang merupakan bagian integral dalam
kurikulum yang harus saling berkaitan satu sama lain. Komponen tujuan
mengarahkan atau menunjukkan sesuatu yang hendak dicapai dalam proses
belajar mengajar. Tujuan itu mula-mula bersifat umum, dalam operasinya tujuan
tersebut harus dibagi menjadi bagian-bagian yang “kecil”. Bagian-bagian itu
dicapai hari demi hari dalam proses belajar mengajar, dan tujuan yang kecil-kecil
itu dirumuskan dalam rencana pengajaran yang sering disebut persiapan mengajar.
Tujuan yang ditulis di dalam persiapan mengajar itu disebut tujuan pengajaran,
yang sebenarnya adalah tujuan anak belajar dan selanjutnya tujuan itu
mengarahkan perbuatan belajar mengajar yang dilakukan oleh siswa dan guru.50
Kemudian komponen isi menunjukkan materi proses belajar mengajar.
Materi (isi) itu harus relevan dengan tujuan pengajaran. Komponen proses belajar
mengajar mempertimbangkan kegiatan anak dan guru dalam proses belajar.
48
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, ..., h. 53 49
Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, ..., h. 4
50
Dalam proses belajar, anak sebaiknya tidak dibiarkan sendirian, karena hasil
belajar biasanya kurang maksimal. Karena itulah para ahli menyebut proses
belajar itu dengan proses belajar-mengajar, karena memang proses itu merupakan
gabungan kegiatan anak belajar dengan guru mengajar yang tidak terpisahkan.
Mutu proses itu banyak ditentukan oleh kemampuan guru dalam menguasai dan
mengaplikasikan teori-teori keilmuan, yaitu teori psikologi, khususnya psikologi
pendidikan, metodologi mengajar, metode belajar, penggunaan alat pengajaran,
dan sebagainya.51
Adapun komponen evaluasi merupakan penilaian untuk mengetahui
berapa persen tujuan pendidikan dalam proses belajar mengajar dapat tercapai.
Hasil penilaian itu biasanya berupa angka, yang dinyatakan sebagai angka yang
dicapai siswa. Feed Back yang diperoleh dari penilaian banyak juga. Dari
penilaian itu kita mengetahui pencapaian tujuan. Jika terdapat tingkat pencapaian
rendah, maka harus memeriksa proses belajar mengajar, karena bisa saja ada
kekurangan dalam proses belajar mengajar tersebut. Mungkin isi kurang relevan
dengan tujuan. Bahkan mungkin harus merevisi rumusan tujuan, atau mungkin
rumusan kurang jelas, terlalu dalam, terlalu luas. Atau mungkin kita harus melihat
lagi teknik dan alat evaluasi, mungkin teknik dan alatnya kurang tepat, istilahnya
kurang valid atau kurang reliabel. Jadi, mengevaluasi sebenarnya mengevaluasi
pencapaian tujuan, mengevaluasi isi, mengevaluasi proses, dan megevaluasi
evaluasi itu sendiri, dengan kata lain, mengevaluasi adalah mengevaluasi
kurikulum itu sendiri.52
Keempat komponen tersebut bisa saja berubah sejalan dengan perubahan
kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Misalnya komponen tujuan akan sesuai
dengan situasi kondisi pada saat kurikulum ditetapkan. Jadi, wajar apabila tujuan
kurikulum berbeda tiap kurikulum mengalami perubahan. Diantara faktor
penyebab perubahan kurikulum tersebut ialah pertama, perluasan dan pemerataan
51
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, ..., h. 55 52
kesempatan belajar, kedua, peningkatan mutu pendidikan, ketiga relevansi
pendidikan dan keempat efektifitas dan efisiensi pendidikan.53
d. Proses Belajar Mengajar
Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat
fundamental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. Oleh
karena itu berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan sangat bergantung
pada proses belajar yang dialami siswa, baik ketika ia berada di sekolah maupun
di lingkungan rumah atau keluarga sendiri. Secara institusional, belajar dipandang
sebagai proses “validasi” atau pengabsahan terhadap penguasaan siswa atas
materi-materi yang telah ia pelajari. Adapun pengertian belajar secara kualitatif
(tinjauan mutu) ialah proses memperoleh arti-arti dan pemahaman secara
cara-cara menafsirkan dunia di sekeliling siswa. Belajar dalam pengertian ini
difokuskan pada tercapainya daya pikir dan tindakan yang berkualitas untuk
memecahkan masalah-masalah yang kini dan nanti dihadapi siswa.54
Menurut HAMKA, agar proses belajar mengajar mampu berperan dalam
menciptakan peserta didik yang memiliki wawasan intelektual yang luas, maka
proses interaksinya hendaknya mendorong perkembangan potensi peserta didik,
sehingga ia dapat mengekspresikan seluruh kemampuan yang dimilikinya.55
Oleh karena itu, dalam proses belajar mengajar seorang pendidik harus
mengetahui bahwa peserta didik adalah individu yang berbeda, karena
masing-masing peserta didik memiliki kemampuan baik fisik maupun psikis yang berbeda
pula. Sehingga, peserta didik mampu mengembangkan potensi yang ia miliki
untuk mendapatkan pencapaian kedewasaan.
Para ahli sependapat bahwa proses belajar mengajar adalah sebuah
kegiatan yang integral (utuh terpadu) antara siswa sebagai pelajar yang sedang
belajar dengan guru sebagai pengajar yang sedang mengajar. Para siswa dalam
situasi instruksional menjalani tahapan kegiatan belajar melalui interaksi dengan
53
Hafni Ladjid, Pengembangan Kurikulum menuju Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), h. 7-8
54
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), cet ke-14, h. 91-92
55
kegiatan tahapan mengajar yang dilakukan guru. Namun, dalam proses belajar
mengajar masa kini di samping guru menggunakan interaksi resiprokal, ia juga
dianjurkan memanfaatkan konsep komunikasi banyak arah untuk menciptakan
suasana pendidikan yang kreatif, dinamis, dan dialogis. (Pasal 40 ayat 2a UU
Sisdiknas 2003). 56
Dalam hal ini ada interaksi antara peserta didik dan guru sebagai
pendidik melalui proses pembelajaran. Peserta didik tidak hanya menerima saja
pelajaran dari pendidik, namun juga harus aktif, dan dinamis dalam memperoleh
pendidikan dan pengajaran. Ia tidak hanya berkomukasi dengan guru saja,
melainkan juga dengan teman-teman sebayanya. Karena dengan berperan aktif,
peserta didik tidak hanya sekedar mendapatkan teori belajar saja, melainkan lebih
daripada itu. Ia akan mewarisi berbagai ilmu pengetahuan praktis, juga berbagai
warisan kebudayaan, pemikiran serta pembentukkan kepribadian yang berperan
penting bagi kemajuan bangsa menuju masyarakat yang beradab. Oleh karena itu
diperlukan proses belajar mengajar dalam suasana multiarah.
Selanjutnya, kegiatan proses belajar mengajar dipandang sebagai
kegiatan sebuah sistem yang memproses input, yakni para siswa yang diharapkan
terdorong secara instrinsik untuk melakukan pembelajaran aneka ragam materi
pelajaran disajikan di kelas. Hasil yang diharapkan dari PBM tersebut adalah
output berupa para siswa yang telah mengalami perubahan positif baik dimensi ranah cipta, rasa, maupun karsanya, sehingga cita-cita mencetak sumber daya
manusia (SDM) yang berkualitas pun tercapai.57
Oleh karena itu, peran guru sangatlah penting, agar peserta didik dapat
mencapai tujuan pendidikannya. Namun peran guru tidak akan dapat berjalan
dengan baik, jika peserta didik tidak ikut berperan aktif dalam proses pendidikan.
Karena guru sebagai tenaga pendidik, hanya membimbing dan mengarahkan
peserta didik, dan yang berperan aktif adalah peserta didik itu sendiri. Oleh karena
itu, diperlukan koordinasi yang selaras antara pendidik dan peserta didik agar
terciptanya keselarasan dalam mencapai tujuan pendidikan.
56
Muhibbin Syah, PsikologiPendidikan dengan Pendekatan Baru, ..., cet ke-14, h. 237 57
e. Metode Pembelajaran
Proses pembelajaran merupakan sebuah kegiatan yang wajib guru
berikan kepada peserta didik. Karena, merupakan kunci sukses untuk menggapai
masa depan yang cerah, mempersiapkan generasi bangsa dengan wawasan ilmu
pengetahuan yang tinggi. Yang pada akhirnya akan berguna bagi bangsa, negara,
dan agama. Melihat peran yang begitu vital, maka penerapan metode yang efektif
dan efisien adalah sebuah keharusan. Dengan harapan proses belajar mengajar
akan berjalan menyenangkan dan tidak membosankan.
Ahmad Tafsir secara umum mendefinisikan metode pembelajaran ialah
semua cara yang digunakan dalam upaya mendidik.58 Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa metode adalah cara atau teknik yang digunakan pendidik dalam
menyampaikan ilmu pengetahuan kepada peserta didik.
Menurut Zakiah Daradjat metode adalah strategi penyampaian program
belajar mengajar. Metode merupakan aspek yang sangat penting yang menentukan
dalam pelaksanaan program belajar mengajar, terutama apabila dipandang dari
segi pendidikan sebagai proses. Program belajar mengajar sebagai proses
pendidikan terdiri dari interaksi dan komunikasi antara guru dan sumber belajar
lainnya dengan murid. Metode mengajar adalah sistem penggunaan teknik-teknik
di dalam interaksi dan komunikasi antara guru dan murid dalam pelaksanaan
program belajar mengajar sebagai proses pendidikan. Proses mengajar
mempunyai dua aspek; aspek ideal dan aspek teknis. Secara ideal, program belajar
mengajar adalah sarana untuk mencapai tujuan pendidikan. Oleh karena itu, yang
harus menjadi pedoman utama adalah bagaimana mengusahakan perkembangan
anak didik yang optimal, baik sebagai perorangan maupun sebagai anggota
masyarakat. Mengenai aspek teknis metode mengajar perlu dikemukakan
bermacam-macam teknik yang dapat digunakan dalam interaksi dan komunikasi
itu, seperti: bermain, ceramah, tanya jawab, diskusi, peragaan, kerja kelompok
dll.59
58
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam perspektif Islam, ..., h. 131 59
Selain itu juga, menurut HAMKA, agar proses pendidikan terlaksana
secara efektif dan efisien, maka seorang pendidik dituntut untuk mempergunakan
berbagai macam metode. Dengan menggunakan metode tertentu, proses interaksi
akan dapat diterima dan dipahami oleh peserta didik.60
Oleh karena itu, pendidik harus mengetahui berbagai metode
pembelajaran dalam upaya memberikan materi pelajaran kepada peserta didik.
Karena, dengan metode pembelajaran yang kreatif maka peserta didik tidak akan
merasa bosan dengan proses belajar mengajar, bahkan ia akan dengan mudah
menyerap ilmu pengetahuan yang ia dapat dari pendidik.
Selain metode-metode yang telah disebutkan di atas, penulis juga
menemukan berbagai metode-metode baru yang sangat bervariasi yang akan
menarik perhatian murid sehingga ia akan memiliki kegairahan dalam proses
belajar mengajar, diantara metode-metode tersebut ialah, Mind Maping, Card
Short, The Power Of Two, Index Card Match, Information Search, Everyone is A Teacher Here, Active Knowledge Sharing, True Or False, Jigsaw Learning dan
lain sebagainya.61
Metode-metode tersebut menampilkan sesuatu yang baru dan menarik
untuk digunakan dalam proses pembelajaran, namun tentunya hal itu harus
disesuaikan dengan materi yang akan diberikan kepada murid. Karena sebagus
apapun metode pembelajaran yang dipakai, apabila tidak sesuai dengan materi
yang diberikan, maka materi yang semula diharapkan dapat dipahami siswa justru
sebaliknya, siswa tidak memahami materi karena kesalahan metode yang
diberikan. Oleh karena itu, disini sangat diperlukan peran guru untuk memilih
metode yang tepat untuk materi yang diberikan kepada murid dalam proses belajar
mengajar. Sehingga pemilihannya disesuaikan dengan tujuan pengajaran yang
hendak dicapai.
60
HAMKA, Tafsir al-Azhar, jilid 10, h. 7362-7363 dalam Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam, ..., h. 159
61
B.PEREMPUAN
1. Pengertian dan Karakteristik Perempuan
Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, perempuan adalah orang
(manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan
menyusui.62 Sedangkan wanita digunakan untuk sebutan bagi perempuan
dewasa.63Dalam judul tulisan ini, penulis menggunakan kata “perempuan’ karena
menurut hemat penulis, cakupan makna kata “perempuan” lebih luas daripada kata “wanita”, karena semua yang ada di wanita sudah pasti ada di perempuan, namun yang ada di wanita belum tentu ada di perempuan. Jadi perempuan adalah
orang yang memiliki semua sifat yang ada pada wanita.
Berbicara mengenai perempuan, tidak terlepas dari sosok perempuan
pertama yang diciptakan Allah. Hawa (sebagai perempuan pertama) lengkap
dengan semua sifat-sifat femininnya untuk mengimbangi dan mendampingi Adam
yang memiliki segala sifat maskulin.
Keseimbangan ini berasal dari sifat Tuhan yang universal, yang memiliki
maskulin seperti Mahakuasa, Maha Agung, Maha Hebat, Maha Perkasa dan
sebagainya, yang semuanya menunjukkan pada kebesaran, keagungan, kekuasaan
serta kontrol dan maskulin. Sebaliknya selain memiliki sifat-sifat di atas, Tuhan
juga memiliki sifat-sifat yang lebih menekankan pada feminitas, seperti Maha
Indah, Maha Dekat, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Lembut, Maha
Pengampun, Maha Pemaaf, Maha Pemberi dan sebagainya. Semuanya dikenal
dengan nama-nama keindahan, melembutkan, anugerah, dan rahmat.64
Sifat-sifat Tuhan yang memiliki sifat maskulin lebih dominan
dikategorikan sebagai jantan atau laki-laki. Sebaliknya, bagi yang memiliki sifat
feminin lebih dominan dinamakan betina atau perempuan. Dari penciptaanNya
itu, Tuhan mengaturnya dengan seimbang, dan tidak ada ketimpangtindihan dalam
62
Frista Artmanda W, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jombang: Lintas Media), h. 915 63
Dato Paduka Haji Mahmud bin Haji Bakyr, Kamus Bahasa Melayu Nusantara, (Brunei Darussalam: Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei, 2003), h. 3021
64
derajat dan martabat manusia. Hanya perbedaan fisiklah yang ada pada diri
laki-laki dan perempuan sehingga menimbulkan karakter yang berbeda pula.
Perbedaan fisik tersebut misalnya, rambut kepala perempuan tumbuh
lebih subur sehingga lebih panjang dan lebih halus dibandingkan rambut lelaki.
Akan tetapi, lelaki begitu memasuki usia dewasa, tumbuh rambut pada dagu
(jenggot) di atas bibir (kumis), dan tidak jarang pula pada dada. Kerongkongan
pun lebih menonjol daripada perempuan. Sedangkan otot-otot perempuan tak
sekekar otot-otot lelaki. Lelaki secara umum lebih besar dan lebih tinggi daripada
perempuan, tetapi pertumbuhan perempuan lebih cepat daripada lelaki, demikian
juga kemampuan berbicaranya. Itu antara lain perbedaan yang dapat diketahui
dengan mudah melalui pancaindra.65
Menurut Murtadha Muthahhari dalam buku M. Quraish Shihab
mengatakan bahwa “Kemampuan paru-paru lelaki menghirup udara
lebih besar/banyak daripada perempuan, dan denyut jantung perempuan lebih cepat daripada denyut lelaki. Secara umum, lelaki lebih cenderung kepada olahraga, berburu, atau melakukan pekerjaan yang melibatkan gerakan dibandingkan perempuan. Lelaki secara umum juga lebih cenderung kepada tantangan dan perkelahian, sedangkan perempuan cenderung kepada kedamaian dan keramahan. Lelaki lebih agresif dan suka ribut, sementara
perempuan lebih tenang dan tentram.66
Lebih lanjut, pakar Psikologi Mesir, Zakaria Ibrahim dalam
buku M.Quraish Shihab, menulis bahwa, “Perempuan memiliki
kecendrungan mosokhisme/mencintai diri sendiri yang berkaitan
dengan kecendrungan untuk menyakiti diri (berkorban) demi kelanjutan keturunan. Kecintaan kepada dirinya yang disertai dengan kecendrungan itu menjadikan perempuan kuasa mengatasi kesulitan dan sakit yang memang telah menjadi kodrat yang harus dipikulnya khususnya ketika haid, mengandung dan melahirkan, serta menyusukan dan membesarkan anak. Karena adanya rasa sakit itu pula, Allah SWT menganugerahkan kenikmatan bukan saja dalam hubungan seks seperti halnya lelaki, melainkan juga dalam memelihara anak-anaknya. Ini berbeda dengan lelaki. Tanpa kenikmatan itu, anak akan terlantar karena suami harus keluar
rumah mencari nafkah buat istri dan anak-anaknya.67
65
M.Quraish Shihab, Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), cet ke-1, h. 8-9 66
M.Quraish Shihab, Perempuan, ..., cet ke-1, h. 10-11 67
Marwah Daud Ibrahim, yang terdapat dalam buku Azizah al-Hibri dkk, menulis bahwa dalam kenyataannya, sebenarnya wanita dan laki-laki pada dasarnya sama cerdas otaknya; sama mulia budinya; sama luhur cita-citanya, sama-sama memiliki impian dan harapan, mereka juga sama-sama didera oleh kekhawatiran dan
ketakutan, dan sama-sama memiliki potensi untuk memimpin.68
Firman Allah SWT QS Al-Hujuraat: 13