• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 29 Oktober 1975 sebagai putri ketiga dari pasangan orang tua Danu Ruswandi Alm. dan Sri Yatni. Pendidikan dasar hingga menengah penulis tempuh di Sukabumi. Tahun 1994 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Sukabumi dan kemudian melanjutkan ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan menyelesaikan studi pada tahun 1999. Sejak tahun 2000 penulis bekerja sebagai pegawai negeri sipil di lingkungan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Timur hingga saat ini. Kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang pascasarjana didapatkan melalui beasiswa pendidikan dari Pusbindiklatren Bappenas pada tahun 2011 dan pada tahun yang sama penulis diterima pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menyelesaikan studi pada tahun 2013.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.06/MEN/2010, tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2010 – 2014 memuat Visi pembangunan perikanan yang berbunyi “Indonesia Sebagai Penghasil Produk Kelautan dan Perikanan Terbesar 2015”. Untuk mewujudkan visi tersebut tahun 2010 Menteri Kelautan dan Perikanan menargetkan peningkatan produksi perikanan sebesar 353 % yang kemudian direvisi pada tahun 2012 menjadi 200% dan difokuskan untuk 4 komoditas unggulan (udang, rumput laut, bandeng dan patin) dengan konsep industrialisasi perikanan. Industrialisasi perikanan merupakan konsep pembangunan perikanan yang bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah, produktivitas, dan skala produksi sumber daya kelautan dan perikanan pada sistem produksi hulu dan hilir. Peningkatan ini diharapkan dapat dicapai seluruhnya pada tahun 2014 dan perikanan budidaya sebagai salah satu sektor hulu yang dipercaya dapat menjawab tantangan besar tersebut

Harapan besar ini tidak terlepas dari banyaknya potensi perikanan budidaya di Indonesia yang belum tergali dan dimanfaatkan secara optimal. Dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2010, Indonesia memiliki potensi produksi akuakultur sebanyak 57,7 juta ton/tahun, sedangkan jumlah realisasi produksinya hanya mencapai 9% (5,4 juta ton) saja. Dengan jumlah produksi sebesar itu baru mampu menempatkan Indonesia sebagai produsen produk perikanan terbesar dunia pada urutan ke 3 setelah China dan India.

Tugas berat yang dibebankan pada perikanan budidaya ini dipicu juga oleh semakin berkurangnya stock alami di beberapa perairan Indonesia sebagai akibat dari kegiatan penangkapan yang diduga telah mencapai titik jenuh bahkan cenderung berlebihan (overfishing). Hal ini dilihat dari semakin kecilnya ukuran ikan yang tertangkap, semakin berkurangnya hasil tangkapan, semakin jauhnya daerah tangkapan, dan semakin berubahnya komposisi hasil tangkapan. Dengan alasan seperti itu pemberian target peningkatan produksi perikanan yang terlalu besar tidak dapat dibebankan pada kegiatan perikanan tangkap.

Langkah yang diambil oleh pemerintah pusat dalam mewujudkan visi menjadikan Indonesia sebagai produsen perikanan terbesar di dunia salah satunya adalah dengan kebijakan pengembangan perikanan melalui pendekatan pengembangan kawasan, pengembangan komoditas unggulan dan pengembangan usaha.

Kabupaten Lampung Timur adalah salah satu kabupaten di Propinsi Lampung yang terbentuk melalui Undang-undang Nomor 12 tahun 1999 tanggal 27 April tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Timur dan Kotamadya Metro. Pada awalnya Kabupaten Lampung Timur merupakan bagian dari Kabupaten Lampung Tengah. Kemudian sebagai implementasi dari Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Propinsi Lampung melakukan pemekaran Kabupaten Lampung Tengah dengan tujuan untuk lebih meningkatkan daya dan hasil guna

penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat serta untuk lebih meningkatkan peran aktif masyarakat.

Sejak masih dalam bagian dari wilayah kerja Kabupaten Lampung Tengah, kegiatan perikanan di Lampung Timur sudah sangat menonjol. Kabupaten Lampung Timur memiliki potensi perikanan yang sangat lengkap, mulai dari perikanan tangkap, budidaya, hingga pengolahan hasil. Dalam bidang perikanan budidaya, Kabupaten Lampung Timur memiliki jenis kegiatan yang beragam yaitu budidaya air tawar yang mencakup pembenihan dan pembesaran, budidaya air payau dan yang beberapa tahun ini mulai berkembang yaitu budidaya laut berupa budidaya kerang hijau dan rumput laut.

Sebagai salah satu kabupaten yang memiliki potensi perikanan yang cukup lengkap, dengan ditandatanganinya kontrak produksi pada tahun 2010, Kabupaten Lampung Timur juga dibebani tanggungjawab untuk turut serta dalam mewujudkan visi KKP. Perikanan budidaya di Lampung Timur dipacu untuk berkontribusi pada kenaikan produksi perikanan yang ditargetkan. Berbagai program pengembangan diimplementasikan untuk meningkatkan produksi perikanan budidaya. Salah satunya adalah pengembangan kawasan perikanan budidaya dengan konsep pengembangan komoditas unggulan sebagai salah satu bagian dari pengembangan minapolitan.

Perumusan Masalah

Kabupaten Lampung Timur memiliki potensi perikanan budidaya yang cukup besar dengan kegiatan budidaya perikanan yang berkembang sangat beragam. Namun pada kenyataannya potensi yang besar tersebut belum teridentifikasi secara meyeluruh dan belum termanfaatkan secara optimal. Permasalahan lainnya adalah para pelaku usaha budidaya perikanan pada umumnya adalah pembudidaya miskin dengan lahan sempit dan skala usaha yang kecil. Hasil yang didapat pembudidaya pun tidak maksimal karena rendahnya produktivitas sementara komoditas yang diusahakan bukanlah komoditas yang memiliki daya saing tinggi. Rendahnya tingkat kesejahteraan pembudidaya ikan juga disebabkan oleh ketidakpastian harga komoditas dan tidak adanya jaminan pasar. Seringkali hasil produksi tidak terjual dengan harga yang layak bahkan tidak dapat dipasarkan, sehingga memaksa pembudidaya menjual hasil produksinya kepada pengumpul dengan harga murah.

Langkah yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah pengembangan perikanan budidaya melalui pendekatan pengembangan kawasan dan pengembangan komoditas unggulan.

Menentukan suatu wilayah layak atau tidak untuk menjadi suatu kawasan perikanan budidaya maka perlu adanya analisa potensi sumberdaya lahan. Dan untuk menentukan komoditas unggulan perlu dilakukan analisa yang memadukan antara potensi sumberdaya lahan, kemampuan berproduksi, memiliki daya saing dan memiliki nilai tambah tinggi, sedangkan dari segi kebijakan harus sesuai dengan rencana tata ruang wilayah yang ada sehingga konflik penggunaan lahan dapat dihindari. Dari hal tersebut muncul pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :

• Komoditas apakah yang menjadi unggulan perikanan budidaya di Kabupaten Lampung Timur ?

• Apakah komoditas unggulan yang telah ditetapkan memiliki kesesuaian lahan yang tepat di Kabupaten Lampung Timur?

• Bagaimana arahan pengembangan kawasan perikanan budidaya dan status kesesuaiannya dengan arahan rencana tata ruang di Kabupaten Lampung Timur?

• Bagaimana strategi pengembangan kawasan perikanan budidaya di Kabupaten Lampung Timur?

Berdasarkan pada pertanyaan di atas, perlu dilakukan kajian secara komprehensif terhadap perencanaan pengembangan kawasan perikanan budidaya di Kabupaten Lampung Timur sehingga perencanaan pembangunan daerah dapat terwujud dengan efisien, efektif dan berkelanjutan. Bagan alir kerangka pemikiran disajikan dalam Gambar 1.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada uraian perumusan masalah, maka tujuan yang ingin dicapai secara umum adalah menentukan strategi pengembangan kawasan perikanan budidaya di Kabupaten Lampung Timur. Sedangkan secara khusus, tujuan penelitian ini adalah untuk

Mengidentifikasi komoditas unggulan untuk budidaya perikanan di Kabupaten Lampung Timur.

Mengevaluasi kesesuaian lahan untuk komoditas unggulan budidaya perikanan di Kabupaten Lampung Timur.

Memetakan arahan pengembangan kawasan perikanan budidaya berbasis komoditas unggulan dan mengevaluasi kesesuaiannya terhadap rencana tata ruang di Kabupaten Lampung Timur.

Merumuskan strategi pengembangan komoditas perikanan untuk pengembangan kawasan perikanan budidaya di Kabupaten Lampung Timur

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:

Sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah dalam mempertimbangkan penyusunan kebijakan pengembangan perikanan budidaya berkelanjutan menuju kemandirian pembudidaya dan nelayan.

Sebagai bahan pertimbangan bagi para investor yang akan menanamkan modalnya di bidang perikanan budidaya di Kabupaten Lampung Timur.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mencakup analisis mengenai komoditas unggulan perikanan budidaya, kesesuaian lahan untuk komoditas unggulan, pemetaan arahan pengembangan kawasan perikanan budidaya dan strategi pengembangan perikanan budidaya. Dilakukan juga tinjauan aspek kebijakan dan kelembagaan untuk mempertajam kajian.

TINJAUAN PUSTAKA

Pembangunan dan Pengembangan Wilayah

Pembangunan merupakan proses untuk mewujudkan masyarakat makmur sejahtera secara adil dan merata. Proses tersebut harus diciptakan dengan campur tangan pemerintah melalui kebijakan yang akan mendorong partisipasi rakyat secara penuh. Proses pembangunan yang berpihak pada rakyat merupakan upaya pemberdayaan masyarakat. Dalam kerangka itu pembangunan harus dipandang sebagai suatu rangkaian proses perubahan yang berjalan secara berkesinambungan untuk mewujudkan pencapaian tujuan (Sumodiningrat, 1999).

Pembangunan wilayah merupakan bagian tak terpisahkan dari kepentingan skala nasional bahkan global bukan hanya fenomena dalam dimensi lokal dan regional (Rustiadi et al, 2006). Paradigma pembangunan pada saat ini mengarahkan kepada terjadinya pemerataan (equity), pertumbuhan (growth), dan keberlanjutan (sustainability). Menurut Anwar dan Setiahadi (1996) dalam Rustiadi et al. (2006), Pembangunan wilayah memiliki tujuan yang saling terkait antara sisi sosial ekonomi dan ekologis. Dari sudut pandang sosial ekonomi, pengembangan wilayah adalah upaya meningkatkan kesejahteraan kualitas hidup masyarakat. Secara ekologis, pengembangan wilayah bertujuan untuk menjaga keseimbangan lingkungan sebagai akibat campur tangan manusia terhadap lingkungan (Triutomo, 1999 dalam Al Kadri et al, 2001).

Konsep pembangunan daerah yang berbasis pada komoditas unggulan ada beberapa kriteria komoditas sebagai motor penggerak pembangunan suatu daerah, antara lain: mampu memberikan kontribusi yang signifikan pada peningkatan produksi, pendapatan dan pengeluaran, mempunyai keterkaitan ke depan dan belakang (forward dan backward linkage) yang kuat, mampu bersaing (competitiveness), memiliki keterkaitan dengan daerah lain, mampu menyerap tenaga kerja, bertahan dalam jangka waktu tertentu, berorientasi pada kelestarian sumber daya alam dan lingkungan serta tidak rentan terhadap gejolak eksternal dan internal.

Perikanan Budidaya

Undang-undang Perikanan No. 45 tahun 2009 menjelaskan bahwa pengelolaan perikanan adalah semua proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh semua pihak untuk mencapai produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan lain yang telah disepakati. Kemudian dijelaskan juga bahwa budidaya ikan adalah kegiatan untuk memelihara ikan di lingkungan terkontrol yang didalamnya merupakan proses yang terintegrasi mulai dari persiapan hingga pascapanen.

Kegiatan perikanan budidaya dapat dilakukan dalam air laut, air payau maupun air tawar dengan berbagai system pembudidayaan. Menurut Dahuri (2003) kondisi biofisik perairan suatu wilayah berbeda satu dengan lainnya sehingga mempengaruhi kesesuaian jenis budidaya perikanan yang dikembangkan dan keberlanjutannya. Keberlanjutan perikanan budidaya telah banyak

dipertanyakan oleh karena itu pemerintah telah menganjurkan pelaksanaan budidaya ikan yang baik untuk meningkatkan produksi budidaya ikan berkelanjutan (FAO, 1997). Tujuan dari pelaksanaan budidaya ikan yang baik adalah untuk membuat pelaksanaan pembudidayan ikan yang ramah lingkungan, juga mempertimbangkan keberlanjutan sosial dan ekonomi (Bosma R., Verdegem M.C.J, 2011). Sistim produksi budidaya ikan yang berkelanjutan juga harus berkontibusi pada penanggulangan kemiskinan dan kerentanan pada masyarakat. Untuk itu keberhasilan pelaksanaan pembudidayaan ikan yang berkelanjutan sangat tergantung pada penegakan hukum dan kesadaran semua pihak mulai dari pemerintah, pembudidaya ikan, pedagang ikan hingga konsumen.

Evaluasi Sumberdaya Lahan

Evaluasi sumber daya lahan pada hakekatnya merupakan proses untuk menduga potensi sumber daya lahan untuk berbagai penggunaannya. Adapun kerangka dasar dari evaluasi sumber daya lahan adalah membandingkan persyaratan yang diperlukan untuk suatu penggunaan lahan tertentu dengan sifat sumber daya yang ada pada lahan tersebut (Sitorus, 2004).

Manfaat yang mendasar dari evaluasi sumber daya lahan adalah untuk menilai kesesuaian lahan bagi suatu penggunaan tertentu serta memprediksi konsekuensi-konsekuensi dari perubahan penggunaan lahan yang akan dilakukan. Kegunaan terperinci dari evaluasi lahan sangat beragam ditinjau dari konteks fisik, ekonomi, sosial dan dari segi intensitas skala dari studi itu sendiri serta tujuannya.

Kesesuaian lahan adalah penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu. Evaluasi kesesuaian lahan pada hakekatnya berhubungan dengan evaluasi untuk satu penggunaan tertentu, seperti untuk budidaya padi, perikanan tambak dan sebagainya. Hal ini dapat dilakukan dengan menginterpretasikan peta-peta yang dapat mengambarkan kondisi biofisik lahan seperti peta tanah, peta topografi, peta geologi, peta iklim dan sebagainya dalam kaitannya dengan kesesuaiannya untuk berbagai keperluan dan tindakan pengelolaan yang diperlukan.

Lahan untuk usaha budidaya perikanan harus memenuhi persyaratan biologis, teknis, sosial ekonomi dan higienis, karena kesesuaian lahan untuk budidaya perikanan akan menentukan produktivitasnya. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pengembangan lahan untuk budidaya tambak adalah sumber air baik itu debit maupun kualitasnya, amplitudo pasang surut, topografi, iklim dan sifat tanah. Sedangkan untuk budidaya kolam faktor yang harus diperhatikan hampir sama dengan pengembangan lahan untuk tambak, yang membedakan adalah lokasi. Jika tambak berlokasi di wilayah pesisir sehingga amplitudo pasang surut air laut sangat berpengaruh, sedangkan kolam air tawar terletak jauh dari laut sehingga tidak ada pengaruh dari amplitudo pasang surut air laut. Untuk budidaya laut faktor yang harus diperhatikan dalam pengembangan lahannya adalah kedalaman laut, jenis substrat perairan, keterlindungan, kecepatan arus permukaan, kecerahan, salinitas, suhu dan pH (DKP, 2001 dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007) .

Dalam proses evaluasi lahan, kesesuaian lahan aktual (yang merupakan kesesuaian lahan yang diperoleh saat penelitian) dapat diperbaiki menjadi kelas kesesuaian lahan yang lebih tinggi atau disebut dengan kesesuaian lahan potensial (kesesuaian lahan setelah dilakukan perbaikan atau input yang diperlukan). Namun demikian tidak semua kualitas atau karakteristik lahan dapat diperbaiki dengan teknologi yang ada saat ini atau diperlukan tingkat pengelolaan yang tinggi untuk melakukan perbaikan.

Komoditas Unggulan Daerah

Penetapan komoditas unggulan nasional dan daerah merupakan langkah awal menuju pembangunan perikanan yang berpijak pada konsep efisiensi untuk meraih keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghadapi era perdagangan bebas.

Menurut Syafaat dan Supena (2000) dalam Hendayana (2003) langkah menuju efisiensi pembangunan dapat ditempuh dengan mengembangkan komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif baik ditinjau dari sisi penawaran maupun permintaan. Dari sisi penawaran komoditas unggulan dicirikan oleh superioritas dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi, dan sosial ekonomi (penguasaan teknologi, kemampuan sumber daya manusia, adat istiadat, dan infrastruktur) pembudidaya di suatu wilayah. Sedangkan dari sisi permintaan komoditas unggulan dicirikan dari kuatnya permintaan di pasar baik pasar domestik maupun internasional.

Pada lingkup kabupaten/kota, komoditas unggulan kabupaten diharapkan memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) mengacu kriteria komoditas unggulan nasional; (2) memiliki nilai ekonomi yang tinggi di kabupaten; (3) mencukupi kebutuhan sendiri dan mampu mensuplai daerah lain/ekspor; (4) memiliki pasar yang prospektif dan merupakan komoditas yang berdaya saing tinggi; (5) memiliki potensi untuk ditingkatkan nilai tambahnya dalam agroindustri; dan (6) dapat dibudidayakan secara meluas di wilayah kabupaten.

Setiap daerah mempunyai karakteristik wilayah, penduduk, dan sumber daya yang berbeda-beda. Hal ini membuat potensi masing-masing daerah akan menjadi berbeda pula dan akan mempengaruhi arah kebijakan pengembangan kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Penetapan komoditas unggulan di suatu wilayah menjadi suatu keharusan dengan pertimbangan bahwa komoditas yang mampu bersaing secara berkelanjutan dengan komoditas yang sama yang dihasilkan oleh wilayah lain adalah komoditas yang secara efisien diusahakan dari sisi teknologi dan sosial ekonomi serta memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif.

Proses Hirarki Analitik

Di dalam pengambilan suatu keputusan, banyak sekali kriteria yang harus diperhitungkan baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Banyak diantara kriteria-kriteria tersebut dapat bersifat conflicting (saling bertentangan) pada suatu alternatif sehingga dalam pengambilan keputusan dengan melibatkan criteria ganda (multi-criteria decision making) yang dihasilkan adalah solusi kompromi (compromised solution) terhadap semua kriteria yang diperhitungkan.

Salah satu teknik analisis kriteria ganda adalah Proses Hirarki Analitik (PHA/Analytical Hierarchy Process) yang dikembangkan oleh Thomas L.Saaty pada awal 1970-an. Analisis kriteria ganda dengan PHA didasarkan atas konsep dekomposisi dan sintetis dengan penyajian struktur kriteria secara hierarkis.

Untuk memperoleh bobot dari tiap-tiap kriteria, PHA menggunakan perbandingan berpasangan (pairwise comparison) dengan skala 1 sampai 9 dimana: 1 = sama penting (equal importance); 3 = sedikit lebih penting (moderate more importance); 5 = cukup lebih penting (essential, strong more importance); 7 = jauh lebih penting (demonstrated importance); 9 = mutlak lebih penting (absolutely more importance); 2, 4, 6, 8 = nilai-nilai antara yang memberikan kompromi (grey area). Kuesioner perbandingan berpasangan diberikan dalam bentuk sebagai berikut :

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9

C1 X C2

Artinya: kriteria C1 jauh lebih penting daripada C2. Jika terdapat n kriteria maka akan terdapat (n(n-1))/2 perbandingan berpasangan. Di dalam analisa multi kriteria ganda diperhitungkan juga kriteria kualitatif yang memungkinkan terjadinya ketidakkonsistenan (inconsistency) dalam penilaian perbandingan kriteria-kriteria atau alternatif-alternatif. Salah satu cara pengukuran konsistensi diusulkan oleh Saaty melalui indeks konsistensi (Consistency Index/CI) yang didefinisikan sebagai:

CI =

Dengan n menyatakan jumlah kriteria/alternatif yang dibandingkan dan lmax adalah nilai eigen (eigen value) yang terbesar dari matriks perbandingan berpasangan orde n. Jika CI bernilai 0 maka berarti keputusan penilaian tersebut bersifat perfectly consistent dimana lmax sama dengan jumlah kriteria yang diperbandingkan yaitu n. Semakin tinggi nilai CI semakin tinggi pula tingkat ketidakkonsistenan dari keputusan perbandingan yang telah dilakukan.

Rasio konsistensi (CR/Consistency Ratio) dirumuskan sebagai perbandingan antara Consistency Index (CI) dan Random Index (RI) dengan rumus sebagai berikut:

CR =

Tabel nilai-nilai RI untuk beberapa nilai n diberikan dalam Tabel 1. Tabel . Nilai RI

N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 RI 0 0 0.58 0.90 0.12 0.24 0.32 0.41 0.45 0.49 0.51 0.48 0.56 0.57 0.59

Nilai CR yang lebih besar dari 0,1 perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap penilaian responden (Saaty, 1980).

Proses hirarki analitik merupakan salah satu metode analisis yang banyak digunakan dalam pengambilan keputusan. Baja (2002) dalam makalahnya yang berjudul Aplikasi Sistem Informasi Geografi dan Analytic Hierarchy Process dalam Studi Alokasi dan Optimasi Penggunaan Lahan Pertanian memberikan dua

macam pendekatan analisis dengan PHA. Yang pertama adalah penentuan proporsi optimal lahan untuk tiga jenis komoditas dan yang kedua adalah penentuan peringkat bidang lahan untuk satu jenis penggunaan lahan. Pada pendekatan ini data diproses dengan menggunakan pendekatan integrasi lepas (loose coupling integration), dimana basis data dibangun dan dikelola dalam sistem informasi geografi (SIG), kemudian analisis kriteria gandanya dilakukan dalam sistem perangkat lunak PHA (Expert Choice 2000).

Metode analisis yang dipaparkan menunjukkan bahwa PHA dapat digunakan untuk menganalisis kesesuaian lahan secara komprehensif, yang mempertimbangkan aspek biofisik (kelas kesesuaian lahan dan lain-lain), ekonomi (biaya produksi, peluang pasar, sarana prasarana, dan lain-lain), dan sosial (preferensi masyarakat untuk komoditi tertentu, kemauan berpartisipasi, dan sebagainya). PHA dapat menganalisis secara simultan parameter-parameter yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Dengan demikian keluaran hasil pemodelan, survei, pendugaan, atau analisis dengan GIS dapat sekaligus dipadukan dengan parameter lain dalam suatu sistem/lingkup analisis yang sama.

Teknologi Sistem Informsi Geografis

Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan suatu cara baru yang berkembang saat ini dalam menyajikan dan melakukan analisis data spasial dengan komputer. Selain mempercepat proses analisis, SIG juga bisa membuat model yang dengan manual sulit dilakukan (Barus dan Wiradisastra, 2000).

Konsep dasar SIG merupakan suatu sistem yang terpadu yang mengorganisir perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software) dan data yang selanjutnya dapat menggunakan sistem penyimpanan, pengolahan maupun analisis data secara simultan sehingga dapat diperoleh informasi yang berkaitan dengan aspek spasial. Elemen dasar SIG yang beroperasi pada sistem yang terpadu tersebut meliputi hardware, software, pemasukan data, serta sumberdaya manusia yang bertanggung jawab terhadap masalah desain, implementasi, dan penggunaan dari SIG. Keluaran yang dihasilkan dari keempat elemen tersebut berupa informasi keruangan yang jelas dalam bentuk peta, grafik, tabel ataupun laporan ilmiah.

SIG dapat mendukung fungsi sebagai berikut: (1) menyediakan struktur basis data untuk penyimpanan dan pengaturan data dalam area yang luas; (2) mampu mengumpulkan atau memisahkan data regional, landsekap, dan skala plot; (3) mampu membantu dalam pengalokasian plot studi dan atau secara ekologi area yang sensitif; (4) meningkatkan kemampuan ekstraksi informasi penginderaan jauh; (5) mendukung analisis statistik spasial pada distribusi ekologi; dan (6) menyediakan input data/parameter untuk permodelan ekosistem.

Aronoff (1993) menguraikan SIG atas beberapa sub sistem yang saling terkait yaitu: (1) data input, yang bertanggung jawab dalam mengkonversi atau mentransformasikan format-format data ke dalam format yang digunakan oleh SIG; (2) data output, sebagai sub sistem yang menampilkan atau menghasilkan sebagian basis data baik dalam bentuk softcopy maupun hardcopy seperti tabel, grafik, peta dan lain-lain; (3) data manajemen, yang mengorganisasikan baik data spasial maupun atribut ke dalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah di-update dan diedit; dan (4) data manipulasi dan analisis, sebagai sub

sistem yang menentukan informasi-informasi yang dihasilkan oleh SIG. Selain itu juga melakukan manipulasi dan permodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan.

Penyajian data spasial dari fenomena geografis di dalam komputer dapat dilakukan dalam dua bentuk yaitu raster (grid cell) dan vektor. Bentuk raster adalah penyajian obyek dalam bentuk rangkaian elemen gambar (pixel) yang menampilkan semua obyek dalam bentuk sel-sel. Sedangkan vektor disajikan dalam bentuk titik atau segmen garis karena model data vektor lebih banyak berkaitan dengan bentuk obyek pada peta.

Aplikasi SIG dalam pengambilan keputusan berkriteria ganda sangat besar peranannya dalam pengelolaan basis data, analisis berbasis spasial, penampilan luaran hasil analisis, dan fungsi-fungsi SIG lainnya (Baja, 2002). Seperti dikemukakan juga oleh Miranda (2004) dalam tulisannya yang mengintegrasikan kegunaan SIG untuk mengatasi masalah alokasi lahan melalui dua teknik: fuzzy logic dan multicriteria analysis, bahwa SIG sangat berguna dalam analisis data spasial dalam pengambilan keputusan dalam pengembangan wilayah.

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Lampung Timur mulai bulan Agustus 2012 sampai dengan Desember 2012.

Pengumpulan Data

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan

Dokumen terkait