• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penulis lahir di kota Kediri– Jawa Timur pada tanggal 22 Pebruari 1983, dan merupakan putri ke dua dari Bapak Djoko Suprapto dan Ibu Peni Samsuningtyas. Penulis lulus dari SMU Negeri 2 Kediri pada tahun 2001 dan pada tahun yang sama diterima di program studi Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya – Malang. Pada tahun 2006 penulis lulus dari pendidikan S1 dengan predikat sangat memuaskan.

Pada tahun 2007 penulis bekerja di PT. BISI International, Tbk. sebagai anggota tim peneliti pemulia tanaman padi di Field Crop Research and Development Department di Farm Kambingan– Kediri. Pada tahun 2010 penulis berkesempatan mendapatkan beasiswa dari PT. BISI International, Tbk. untuk melanjutkan studi S2 pada program studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman di Institut Pertanian Bogor.

Padi merupakan tanaman pangan utama di Indonesia dan menjadi kebutuhan pokok bagi sebagian besar penduduk di dunia. Jumlah penduduk Indonesia yang terus meningkat hingga tahun 2010 sebanyak 237,641,326 orang, menuntut peningkatan produksi padi yang semakin tinggi (BPS 2013). Peningkatan hasil produksi padi dapat dilakukan secara ekstensifikasi maupun intensifikasi pertanian. Area lahan pertanian yang menyempit seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, maka upaya optimal yang dapat dilakukan adalah dengan intensifikasi pertanian melalui teknik budidaya maupun penggunaan varietas unggul seperti varietas hibrida.

Virmani et al. (1997) menyatakan bahwa pembentukan varietas hibrida dalam tanaman padi memerlukan CMS (Cytoplasmic Male Sterile) untuk mempermudah produksi benih, sehingga diperlukan galurmaintainer(selanjutnya disebut galur pelestari) untuk memelihara CMS dan galur restorer (selanjutnya disebut galur pemulih) untuk memulihkan kesuburan. Padi hibrida yang unggul perlu memperhatikan genotipe dari galur pelestari dan pemulihnya, sehingga program pemuliaan tanaman dilakukan untuk memperoleh galur pelestari dan pemulih yang memiliki karakter yang diharapkan. Beberapa upaya pemuliaan tanaman yang dilakukan untuk menghasilkan varietas unggul dengan karakter tanaman yang diharapkan, yaitu melalui hibridisasi, mutasi, atau transgenik. Metode mutasi dan transgenik tersebut perlu dilakukan ketika cara hibridisasi secara konvensional tidak dapat dilakukan, sehingga ada upaya melakukan mutasi agar mendapatkan tanaman dengan keragaman genetik yang mengandung sifat yang diharapkan.

Mutasi dapat dilakukan dengan beberapa jenis mutagen. Mutagen fisik dapat menggunakan sinar-x, sinar gamma, sinar alfa, sinar beta, dan radiasi ionisasi dari partikel neutron (van Harten 1998). Mutasi berupa sinar gamma telah banyak dilakukan pada tanaman padi (Ashraf et al.2003; Cheema dan Atta 2003; Wei et al. 2006; Domingo C et al. 2007; Sobrizal 2007; Babaei et al. 2010). Mutasi kimia dilakukan dengan menggunakan beberapa jenis bahan kimia agen alkil, yaitu ethylene oxide, ethylene imine, methylmethane sulphonate, triethylene melamine, ethyl methane sulphonate, nitrosoethyl urea, nitrosomethyl urea, dan sodium azide. Mutagen kimia yang banyak digunakan untuk memutasi padi adalah EMS (Ethyl Methane Sulphonate) (Satoh dan Omura 1981; Fujimoto dan Yamagata 1982; Bughio et al. 2007; Siddiqui dan Singh 2010; Vasline dan Sabesan 2011) dan SA (Sodium Azide) pada kondisi tertentu (Ando dan Montalvan 2001; Jenget al.2003; Jenget al.2009; Siddiqui dan Singh 2010).

Karakter pada tanaman padi, selain hasil dan penampilan kualitatif, maka dapat dihasilkan tanaman padi yang tahan herbisida, dimana karakter tersebut dapat membantu petani dalam pengendalian gulma yang menyerap banyak biaya tenaga kerja, sehingga dapat diaplikasikan herbisida dengan biaya yang lebih murah dibandingkan pencabutan gulma secara manual (Rodenburg 2009). Gulma pada areal tanaman padi dapat mengganggu produktifitas dari tanaman padi. Hal ini dikarenakan tanaman padi berkompetisi dengan gulma untuk mendapatkan

cahaya, hara, air dan ruang tumbuh, sehingga berpengaruh terhadap tinggi tanaman padi dan hasil gabah padi (Guntoro 2012).

Glifosat adalah bahan aktif berspektrum luas yang terdapat pada herbisida sehingga sangat efektif untuk membasmi gulma. Kelemahan bahan aktif tersebut juga dapat membunuh tanaman padi sebagai tanaman utama budidaya, sehingga perlu adanya tanaman padi yang tahan herbisida berbahan aktif glifosat. Glifosat diaplikasikan pada daun kemudian diserap oleh daun dan beredar di dalam tanaman. Glifosat mencegah tanaman menghasilkan asam amino yang membentuk protein tanaman, sehingga tanaman tidak dapat membentuk protein, berhenti tumbuh, dan akhirnya mati (USDA 1997). Enzim 5-enolpyruvyl shikimate-3 phosphate synthase (EPSPS) sangat penting dalam biosintesis asam amino aromatik fenilalanin, tirosin dan triptofan. Glifosat memicu kerusakan pada tanaman dengan menghambat proses biosintesis asam amino aromatik produk lain dari lintasshikimate.Shikimateadalah salah satu pembentuk senyawa antara yang penting dalam lintas asam shikimic. Ketika shikimate terbentuk, kemudian berfosforilasi membentuk shikimate-3-phosphate. Proses tersebut menghasilkan EPSPS. EPSPS mengikat enol pyruvil berdampingan dengan shikimate-3- phosphate untuk membentuk EPSP. Kemudian, chorismate dibentuk dengan mengeliminasi phosphat dari EPSP. Chorismate bertindak sebagai prekursor fenolik dan cincinindoledari asam amino aromatik (Mahesh 2009).

Usaha mendapatkan tanaman dengan ketahanan herbisida telah dilakukan dengan beberapa metode. Metode genetic engineering untuk ketahanan herbisida dapat dilakukan dengan memasukkan gen cp4 EPSPS ke dalam tanaman rentan, sehingga diperoleh tanaman yang tahan herbisida glifosat. Mutasi menggunakan EMS pada padi telah dilakukan oleh perusahaan Clearfield (USA) dan diperoleh varietas yang tahan herbisida imazethapyr. Konzak dan Rice (2007) telah memutasi tanaman gandum dan diperoleh galur mutan yang tahan herbisida berbahan aktif glifosat.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui efektifitas dan efisiensi mutagen kimia untuk mendapatkan keragaman tanaman padi. Melalui mutasi kimia tersebut diharapkan dapat diperoleh tanaman putatif mutan toleran herbisida berbahan aktif glifosat.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai bahan dan konsentrasi mutagen kimia yang efektif dan efisien menimbulkan keragaman pada tanaman padi. Genotipe yang dimutasi dalam penelitian ini adalah galur maintainer dan restorer, sehingga diharapkan dapat digunakan sebagai tetua untuk perakitan padi hibrida. Karakter yang diharapkan dapat muncul dari keragaman yang disebabkan oleh mutasi kimia adalah toleran terhadap herbisida glifosat.

Ruang Lingkup Penelitian

Mutasi kimia pada tanaman padi dilakukan dengan bahan mutagen EMS dan SA pada beberapa tingkat konsentrasi. Daya tumbuh tanaman padi generasi M1 yang berbeda menujukkan respon genotipe terhadap bahan dan konsentrasi

mutagen berbeda – beda. Tingginya sterilitas gabah pada generasi M2 menunjukkan efisiensi mutagen, sedangkan frekuensi mutasi berupa mutasi klorofil pada generasi M2 menentukan efektifitas dari mutagen dan dosis yang digunakan.

Upaya untuk mendapatkan tanaman padi yang toleran herbisida glifosat dapat diperoleh dengan mutasi kimia, dan melakukan pengujian ketahanan pada generasi M2. Metode pengujian yang digunakan yaitu memberikan aplikasi herbisida sebanyak dua kali dengan konsentrasi yang berbeda. Rangkaian penelitian dilakukan dengan tahapan seperti yang tertera pada gambar 1.

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Padi (Oryza sativaL.)

Tanaman padi termasuk dalam famili Poaceae (Gramineae) dan genus Oryza.Oryzaeterdiri atas sekitar 20 spesies yang berbeda, dan hanya dua spesies yang dibudidayakan, yaituOryza sativa L. dan Oryza glaberrimaSteud. Spesies Oryza sativa atau biasa dikenal sebagai padi Asia memiliki dua tipe, yaitu indica danjaponica. Padi tipeindicamemiliki karakter daun yang panjang, lebar sampai sempit, dan berwarna hijau cerah, dapat menghasilkan banyak anakan, bijinya panjang dan tipis. Padi tipe japonica berasal dari kawasan Asia subtropis dan memiliki karakter daun tipis dan hijau cerah, anakan sedang, biji agak pendek dan bulat (Wopereiset al.2009).

Padi hibrida adalah tanaman padi yang tumbuh dari benih F1 hasil persilangan antara dua tetua yang berbeda. Padi hibrida yang baik memiliki potensi hasil 15-20% lebih tinggi dibandingkan varietas inbred terbaik yang tumbuh pada kondisi yang sama. Padi merupakan tanaman menyerbuk sendiri, sehingga untuk mengembangkan padi hibrida komersial, memerlukan sistem mandul jantan. Mandul jantan karena genetik atau non-genetik berarti membuat polen menjadi tidak aktif (steril) dan spikelet padi menjadi hampa, atau tidak dapat membentuk biji melalui penyerbukan sendiri, sehingga galur mandul jantan dapat digunakan sebagai tetua betina dari hibrida (Virmaniet al.1997).

Sistem mandul jantan yang dapat digunakan dalam pengembangan padi hibrida adalah : mandul jantan sitoplasmik (Cytoplasmic-genetic male sterility), mandul jantan sensitif lingkungan (Environtment-sensitive genetic male sterility), mandul jantan induksi kimiawi (Chemically-induced male sterility). Pengembangan padi hibrida di Indonesia banyak menggunakan galur mandul jantan sitoplasmik (GMJS). Hal ini dikarenakan GMJS lebih mudah diperbanyak dan lebih terjaga kestabilannya. GMJS terjadi karena adanya interaksi antara faktor genetik yang terdapat dalam sitoplasma dan nukleus. Tidak adanya faktor penginduksi sterilitas dalam sitoplasma atau nukleus akan menyebabkan galur menjadi fertil. Keberadaan gen restorer dominan pada nukleus menyebabkan galur dapat memulihkan kesuburannya (Virmaniet al.1997).

Sistem GMJS untuk produksi padi hibrida melibatkan tiga komponen, yaitu galur GMJS, galur pelestari dan galur pemulih kesuburan. GMJS diperbanyak dengan cara menyilangkannya dengan galur pelestari, baik dengan hand-crossing (untuk meghasilkan benih dengan jumlah sedikit) atau dengan menyerbuk silang pada area yang terisolasi (untuk menghasilkan benih dalam jumlah besar) (Virmaniet al.1997).

GMJS perlu dijaga kemurniannya dengan memanfaatkan galur pelestari. Galur pelestari dan GMJS memiliki karakter morfologi yang mirip, kecuali pada sterilitas serbuk sarinya. Adakalanya, kedua galur tersebut menunjukkan perbedaan pada karakter morfologi dan agronomi yang dipengaruhi oleh faktor sitoplasmik yang menginduksi mandul jantan. Galur pemulih kesuburan memiliki gen pemulih kesuburan yang dominan. Ketika disilangkan dengan GMJS, akan memulihkan kesuburan pada tanaman F1 hibrida. Sistem persilangan yang

menggunakan tiga galur untuk menghasilkan hibrida disebut dengan hibrida tiga galur (Virmaniet al.1997).

Gambar 2. Skema pembentukan padi hibrida (Virmaniet al.1997)

Mutasi

Perubahan materi genetik secara alami dan tiba-tiba yang jarang terjadi dan menghasilkan perubahan ekspresi gen secara permanen, secara spontan yang kemungkinan dilatarbelakangi oleh akibat kombinasi radioaktif, perubahan suhu ekstrim tinggi maupun rendah, keberadaan bahan kimia dan umur benih, dan nutrisi tanaman. Perubahan tiba-tiba yang terwariskan pada tanaman atau binatang tersebut disebut mutasi dan dapat dikelompokkan sebagai mutasi spontan atau induksi mutasi, mutasi somatik atau mutasi genetik, dan mutasi kromosom atau mutasi ekstra-kromosom. Meskipun mutasi muncul secara spontan dengan frekuensi yang pasti, namun bukan berarti frekuensi dari masing-masing kemunculannya tidak berubah (Medinaet al. 2005).

Mutasi adalah perubahan materi genetik yang dapat diwariskan dan bukan disebabkan oleh rekombinasi atau segregasi, dalam genetik molekuler, mutasi diartikan sebagai segala perubahan dalam sekuens nukleotida dari suatu genom yang dapat diwariskan. Mutasi dapat terjadi secara alami maupun buatan. Secara alami, kejadian mutasi sangat kecil, yaitu 1x10-5–1x10-8(van Harten 1998).

Mutasi secara buatan dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu dengan menginduksi mutagen fisika atau kimia pada bahan tanaman. Mutagen fisik dibedakan menjadi empat. Teknik yang pertama adalah teknik acute irradiationatau radiasi tunggal, yaitu perlakuan mutasi dalam beberapa menit atau beberapa jam dengan dosis yang optimal. Pelaksanaan mutasi dilakukan satu kali. Teknik kedua adalah chronic irradiation yaitu radiasi yang dilakukan dalam kurun waktu yang lama. Dosis yang digunakan kecil, sedikit dan diaplikasikan

selama beberapa menit atau beberapa jam. Teknik radiasi yang ketiga adalah recurrent irradiation atau radiasi berulang. Radiasi tersebut dilakukan pada generasi selanjutnya dari tanaman hasil radiasi. Mutagen fisika terdiri dari berbagai macam, yaitu sinar gamma, sinar ultraviolet, partikel beta, netron, dan sorotan ion (Medina et al. 2005). Mutagen fisika yang banyak digunakan adalah sinar gamma (Soeranto et al. 2001, Aisyah et al 2009, Wani 2009, Bhosle dan Kothekar 2010, Soeranto dan Sihono 2010).

Mutagen kimia yang paling efektif digunakan adalah agen alkilasi. Agen alkilasi memiliki satu atau lebih kelompok alkil yang reaktif yang dapat ditransfer ke molekul lain. Mereka bereaksi dengan DNA dengan cara mengalkilasi kelompok fosfat begitu juga basa purin dan pirimidin. Penggunaan mutagen kimia harus ekstra hati-hati karena berpotensi karsinogen, sepertiethyleimine(EI), ethyl metane sulphonate(EMS), dan methyl nitroso urea(MNH) (Divanli-Turkanet al. 2006, Watanabeet al.2007, Dhanavelet al. 2008, Dubeet al. 2011). Selain agen alkilasi, mutasi kimia juga dapat menggunakan Azide dengan kondisi perlakuan tertentu. Frekuensi mutasi yang tinggi dapat diperoleh denganAzide (Olsen et al. 1993, Al-Qurainy dan Khan 2009, Prabhaet al. 2010) . Kebanyakan mutasi yang dihasilkan adalah mutasi gen dengan beberapa frekuensi minor aberasi kromosom (Medinaet al2005).

EMS adalah mutagen kimia yang sangat sukses dan mungkin paling banyak digunakan. EMS dapat menghasilkan tingkat mutasi yang lebih tinggi dan lebih efisien dalam menghasilkan mutan berdasarkan sterilitas dibandingkan mutasi iradiasi. Perlakuan menggunakan EMS dapat menyebabkan mutasi klorofil yang lebih banyak dan spektrum yang lebih luas dibandingkan mutasi iradiasi. EMS menginduksi aberasi kromosom, dimana secara eksklusif menyebabkan transisi G-C dan sedikit menyebabkan letalitas, EMS juga merupakan mutagen yang sangat tepat untuk menginduksi mutasi ekstranuklear. Rantai kimia dari EMS adalah CH3SO2OC2H5atau C3H8O3S. Sifat dari EMS adalah tidak berwarna,

berupa cairan dengan berat molekul 124 dan 8% dapat larut dalam air. Half-life dalam air pada pH 7 dan suhu 20 oC adalah 93 jam, sedangkan pada suhu 30 oC adalah 26 jam (van Harten 1998).

Sodium Azide (SA) adalah mutagen kimia yang juga banyak digunakan dan juga disebut sebagai mutagen super karena rasio mutasi yang dihasilkan berupa perubahan kromosom atau delesi yang luas pada kromosom sangat tinggi, sedangkan sifat beracunnya sangat rendah sehingga efektifitas mutagennya mendekati 100%. Mutasi induksi defisiensi klorofil membuktikan bahwa azide pada kondisi yang tepat (pH rendah, pra-perendaman, suhu kamar, dan pemberian gelembung oksigen pada larutan) dapat menghasilkan frekuensi mutasi yang sangat tinggi. Rantai kimia SA adalah NaN3, dan SA akan bereaksi aktif pada

kondisi masam (pH 3). SA merupakan mutagen yang lebih efektif dibandingkan EMS, sedangkan EMS lebih efisien dibandingkan SA (van Harten 1998).

Keuntungan dari mutasi kimia adalah mayoritas memunculkan mutasi titik, kerusakan kromosom lebih sedikit dibanding mutasi fisik, spektrum mutasi kemungkinan berbeda dari mutasi fisik, dan dapat menyebabkan frekuensi mutasi yang tinggi. Kerugian dari mutasi kimia adalah penetrasi dari jaringan tanaman multiseluler seringkali sulit, reproduksibilitas hasil rendah, dimungkinkan karena kurangnya standarisasi dari metode perlakuan, dan perlakuan mutasi yang berbahaya karena sifat bahan mutagen yang karsinogen (van Harten 1998).

Induksi mutasi yang dilakukan dalam pemuliaan diharapkan dapat menghasilkan keragaman genetik tanaman yang tinggi sehingga diperoleh genotipe-genotipe baru yang memiliki karakter spesifik yang diharapkan. Mutasi fisik menggunakan radiasi sinar gamma pada tanaman mawar mini menghasilkan genotipe dengan warna, bentuk, diameter, jumlah kelopak dan lama kesegaran yang berbeda dari induknya. Tanaman mawar yang tahan embun tepung dan tungau juga telah dihasilkan dari mutasi tersebut (Handayati 2006). Keragaman yang lain juga diperoleh dari radiasi tanaman anthurium wave of love yang menghasilkan beragam bentuk daun (Pulungan dan Wiendi 2010). Radiasi pada tanaman manggis telah menghasilkan keragaman morfologi berdasarkan analisis RAPD (Qosim 2006). Radiasi sinar gama pada tanaman pangan seperti kedelai dapat menghasilkan keragaman bentuk daun dan ukuran biji (Hartini 2008).

Mutasi kimia yang dilakukan pada beberapa tanaman telah menghasilkan karakter-karakter baru yang diharapkan. Mutasi menggunakan mutagen EMS pada tanaman padi oleh Wu et al. (2005) menghasilkan keragaman yang tinggi. Beberapa diantaranya diperoleh tanaman padi yang tahan terhadap penyakit seperti blas, hawar daun, tungro dan tahan terhadap serangan wereng coklat. Jeng et al. (2003) yang telah memutasi padi menggunakan SA telah menghasilkan padi dengan kualitas gabah yang lebih baik. Mutasi kimia menggunakan EMS pada tanaman padi telah dilakukan untuk menghasilkan tanaman padi tahan herbisida. Pengujian pada 52 juta benih padi generasi M2 telah menghasilkan 15 tanaman yang tahan herbisidaimidazolinone(Croughan 2001).

Toleransi terhadap Herbisida Glifosat

Gulma banyak ditemui pada areal pertanaman padi. Pada lahan padi gogo, gulma menjadi kendala utama dalam proses budidaya. Saat ini, di lahan padi sawah juga banyak ditemui gulma, sehingga untuk menjaga agar tidak terjadi kompetisi antara gulma dan tanaman padi, petani harus melakukan penyiangan gulma secara intensif. Pemberian herbisida pra tumbuh pada areal padi tidak menunjukkan hasil yang signifikan, sehingga petani harus melakukan penyiangan secara manual yang berakibat pada pengeluaran biaya perawatan yang lebih besar. Pengendalian gulma secara praktis dan murah dapat dilakukan dengan aplikasi herbisida dengan bahan aktif yang berspektrum luas (Rodenberg dan Demont 2009).

Herbisida berbahan aktif glifosat dapat digunakan untuk membasmi gulma. Glifosat diaplikasikan pada daun, lalu oleh daun akan diserap dan secara cepat akan menyebar ke seluruh tanaman hingga perakaran karena sifatnya yang sistemik. Glifosat mencegah tanaman menghasilkan asam amino yang membentuk protein tanaman. Tanaman yang tidak dapat membentuk protein akan berhenti tumbuh dan akhirnya mati (USDA 1997).

Mahesh (2009) mengemukakan bahwa enzim 5-enolpyruvyl shikimate-3 phosphate synthase (EPSPS) adalah kunci dari alur biosintesis asam amino aromatik fenilalanin, tirosin, dan triptofan. Glifosat menyebabkan kerusakan pada tanaman dengan menghambat proses biosintesis asam amino aromatik dan produk lain dari lintasan shikimate. Shikimate adalah salah satu dari senyawa penting yang dibentuk dari alurshikimic acid. Ketika shikimateterbentuk kemudian akan berfosforilasi menghasilkan shikimate-3-phosphate. Proses tersebut sebagai

substrat dalam pembentukan EPSPS. EPSPS mengikat rantai samping enol pyruvyl ke shikimate-3-phosphate untuk membentuk EPSP. Langkah berikutnya, chorismate dibentuk dengan mengeliminasi fosfat dari EPSP. Chorismate berfungsi sebagai prekursor dari fenolik dan cincin indole dari asam amino aromatik. Sehingga penghambatan dari enzim tersebut akan menyebabkan kematian pada gulma akibat defisiensi asam amino aromatik pada tanaman. Glifosat dapat bermetabolisasi atau terpecah pada beberapa jenis tanaman. Hasil utama dari metabolisasi glifosat di tanaman yang toleran glifosat adalah aminomethylphosphonic acid(AMPA) (USDA 1997).

Sifat bahan aktif glifosat yang berspektrum luas dapat merugikan karena selain membasmi gulma, juga dapat membunuh tanaman padi yang dibudidayakan. Sehingga padi hibrida dengan karakter toleran herbisida berbahan aktif glifosat perlu dihasilkan. Upaya yang dilakukan untuk menghasilkan tanaman padi yang toleran herbisida dapat dilakukan dengan transgenik, yaitu menyisipkan gen mutan EPSPS ke dalam tanaman (Mahesh 2009). Selain transgenik, mutasi kimia juga dapat dilakukan untuk menghasilkan tanaman yang toleran herbisida glifosat. Mutasi gandum menggunakan kombinasi mutagen EMS dan SA telah dilakukan. Mutasi tersebut menghasilkan tanaman gandum yang tahan herbisida glifosat setelah dilakukan skrining pada generasi M2 (Konzak dan Rice 2007).

Gambar 3. Proses biosintesis asam amino pada lintasanshikimate (Mahesh 2009)

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 – Desember 2012. Pelaksanaan mutasi benih dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 di laboratorium fisiologi tanaman Departemen Bioteknologi PT. BISI International, Tbk. Evaluasi tanaman generasi M1 dan M2 dilaksanakan di lahan Farm Kambingan – Kediri, PT. BISI International, Tbk.

Analisis Generasi M1

Penelitian dilakukan dengan menggunakan empat genotipe yang berasal dari koleksi PT.BISI International, Tbk., yaitu galur pelestari BI2B, galur pemulih PD10, PD3362, dan BR1001 yang kemudian diuji daya berkecambahnya sehingga diperoleh daya berkecambah benih lebih dari 96%. Kemudian benih dari lot yang sama disiapkan sebanyak 80 gram benih yang telah dikupas kulitnya untuk masing-masing perlakuan, sehingga diperlukan 560 gram per genotipe untuk semua perlakuan jenis dan dosis mutagen.

Mutasi dilakukan dengan perendaman benih pada larutan Ethyl Methane Sulphonate (EMS) dan Sodium Azide (SA). Pada perendaman larutan EMS menggunakan konsentrasi 40 mM , 60 mM , dan 80 mM (Vasline dan Sabesan 2011; Fujimoto dan Yamagata 1982), sedangkan perendaman pada larutan SA menggunakan konsentrasi 0.5 mM, 1 mM , dan 5 mM (Ando dan Montalvan 2001). Perlakuan tersebut dibandingkan dengan kontrol (tanpa perlakuan mutasi) sehingga diperoleh 28 unit percobaan. Proses mutasi dilakukan di dalam ruang asam.

Benih-benih yang akan dimutasi menggunakan EMS direndam terlebih dahulu dalam aquades selama 4 jam, kemudian ditiriskan. Lalu benih direndam ke dalam masing-masing perlakuan konsentrasi EMS selama 7 jam pada kondisi terkontrol. Setelah itu benih dibilas dengan aquades beberapa kali untuk membersihkan sisa-sisa residu mutagen pada benih, ditiriskan, lalu disemai.

Mutasi menggunakan mutagen SA dilakukan dengan cara merendam benih dalam aquades selama 6 jam, kemudian ditiriskan. Lalu benih tersebut direndam dalam masing-masing perlakuan larutan SA dengan pH 3. Larutan SA dengan pH 3 (asam) diperoleh dengan menambahkan HCl 0.2 M ke dalam larutan. Perendaman ke dalam larutan SA dilakukan selama 8 jam sambil dikocok menggunakanshaker pada suhu ruang (25±2 oC). Setelah perlakuan perendaman, benih tersebut segera dibilas menggunakan aquades untuk membersihkan sisa-sisa residu mutagen, lalu ditiriskan dan kemudian disemai.

Benih M1 genotipe BI2B sebanyak 4548 biji, PD10 sebanyak 4292 biji, PD3362 sebanyak 3656 biji, dan BR1001 sebanyak 3578 biji yang merupakan hasil rendaman mutagen masing-masing perlakuan disemai pada media pasir yang telah disterilkan. Benih tersebut diamati jumlah bibit tanaman yang dapat tumbuh. Bibit tersebut kemudian dipindahkan ke ember yang berisi media tanah di dalam green house, masing-masing 2 bibit per ember pada umur 24 hari setelah semai (HSS). Karakter tanaman yang diamati pada fase vegetatif adalah perubahan warna pada daun (mutasi klorofil). Pada fase generatif dilakukan pengamatan

sterilitas gabah per rumpun. Gabah dibiarkan hingga masak kemudian dipanen, sehingga diperoleh benih M2.

Analisis Generasi M2

Benih M2 yang diperoleh disemai sebanyak 264301 biji dengan bagian 136620 biji untuk benih genotipe BI2B, genotipe PD10 sebanyak 35642 biji, genotipe PD3362 sebanyak 30741 biji, dan BR1001 dengan 61298 biji. Persemaian dilakukan pada media pasir selama ± 21 hari. Sebelum dilakukan

Dokumen terkait