• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT SINGKAT PERJUANGAN PETANI DI CIECENG

(Studi kasus Tanah Cieceng, Desa Sindangasih Tasikmalaya) Tri Agung Sujiwo

RIWAYAT SINGKAT PERJUANGAN PETANI DI CIECENG

Dalam sejarah gerakan tani di Indonesia, aksi-aksi pendudukan tanah memang marak terjadi segera setelah jatuhnya rezim Orde Baru. Jatuhnya rezim Orde Baru tampaknya telah menyediakan momentum yang tepat bagi gerakan aksi-aksi pendudukan tanah. Seperti juga terjadi di banyak wilayah di Indonesia, alasan mendasar para petani melakukan aksi pendudukan adalah ketiadaan sumber-sumber agraria yang dapat mereka akses, atau jika mereka sebelumnya pernah memilikinya maka sudah ada proses pengambilalihan yang dilakukan baik oleh Negara maupun perusahaan swasta hanya karena mereka tidak memiliki alat bukti kepemilikan yang sah (Safitri, 2009 : hal.19).

Gambar 4. Peta Wilayah Pendudukan OTL Cieceng

Sumber: Diolah dari Peta Desa SindangAsih tahun 2010, Peta Partisipatif OTL Cieceng tahun 2008

Di Cieceng, sepanjang 2000 – 2003, merupakan wilayah konflik antara penduduk dusun dengan Perkebunan PTPN VIII Bagjanagara. Sepanjang tiga tahun tersebut, para penduduk yang sebagian besar merupakan petani penggarap masuk dan menduduki lahan-lahan karet milik perkebunan. Di atas lahan pendudukan seluas 483 hektar, sebanyak 800 orang petani mulai membuka lahan perkebunan, dan mengubahnya menjadi lahan-lahan pertanian skala kecil dan hunian baru. Umumnya para penggarap berasal dari desa dan dusun di sekitar wilayah perkebunan. Mereka kemudian berpindah dan tinggal di atas lahan eks perkebunan tersebut. Di wilayah ini para penggarap berhasil menguasai satu hamparan kebun PTPN VIII (lihat gambar 2 dan 3), yang mencakup wilayah empat dusun di desa Sindangasih. Saat ini, di atas 500 Hektar lahan eks perkebunan tersebut telah berdiri pemukiman dengan sarana dan prasarana penunjangnya. Sebuah masjid kecil dan gedung sekolah didirikan oleh para penggarap pada tahun 2004.

Dalam studinya mengenai gerakan agraria di Jawa Barat, Affif .dkk menyebut wilayah ini sebagai salah satu contoh keberhasilan gerakan aksi pendudukan ditingkatan lokal −berdasarkan luasnya lahan dan jumlah penggarap yang terlibat dalam aksi pendudukan tersebut8. Jika di runut ke belakang, membesarnya gerakan

pendudukan yang dilakukan oleh para petani tidak tidak dilepaskan dari peranan Serikat Petani Pasundan (SPP)9. Sebuah organisasi

tani yang mendampingi dan melakukan penguatan petani ditiga kabupaten di Jawa Barat, yaitu Ciamis, Tasikmalaya dan Garut. Organisasi tani inilah yang kemudian secara sistematis membangun kekuatan dengan kelompok-kelompok gerakan lainnya dan menjadi corong utama dalam upaya memperkuat gerakan perlawanan di Cieceng. Dalam hal ini, aksi-aksi pendudukan menjadi makin teroganisir dan sistematis ketika tokoh-tokoh penggarap mulai

berinteraksi dengan para aktivis SPP. Meski tidak semua penduduk dusun menjadi anggota SPP, namun pada kenyataannya organisasi memiliki peran sentral dalam pengambilan setiap keputusan di tingkat desa dan dusun.

Peran organisasi SPP juga terlihat dari sejumlah argumentasi yang dikemukakan sebagai alasan para penggarap melakukan aksi pendudukan. JIka sebelumnya, perlawanan yang dilakukan oleh para penggarap lebih didasarkan pada keresahan dan ketersinggungan atas sejumlah tindakan perkebunan yang dianggap melecehkan tokoh masyarakat serta membatasi akses penggarap atas wilayah perkebunan. Maka, perkenalan dengan organisasi SPP membuat argumentasi yang dikemukakan mengalami perubahan (Mismuri, 2002). Kemiskinan dan ketimpangan penguasaan lahan merupakan alasan utama para penggarap melakukan penguasaan atas lahan perkebunan. Organisasi pulalah yang kemudian secara sistematis meredistribusi lahan-lahan pendudukan. Keberhasilan menduduki lahan garapan diikuti dengan upaya melakukan penguasaan politik tingkat lokal10.

Salah satu keberhasilan gerakan gerakan pendudukan di wilayah Cieceng adalah melakukan penguasaan politik di tingkat desa. Selama melakukan aksi-aksi pendudukan, Serikat Petani Pasundan (SPP)--yang didukung oleh jaringan gerakan yang lebih luas, terus mengembangkan analisis dan strategi untuk menghadapi pihak perkebunan yang didukung oleh kepentingan modal dan legalitas hukum yang lebih kuat. Salah satu strategi yang kemudian disusun adalah upaya untuk mendudukkan kader petani menjadi kepala desa. Stratgei ini dinilai dapat mengamankan lahan pendudukan, terutama melalui pembuatan sejumlah kebijakan desa yang memasukkan lahan perkebunan ke dalam wilayah desa.Dengan begitu, organisasi melalui kader-kader yanga da dalam struktur

pemerintahan desa dapat ikut dan terus mendesakkan agenda organisasi ke tingkat yang lebih tinggi. Terkait dengan keberadaan perkebunan besar yang memiliki control politik lebih besar di tingkat lokal, strategi menguasai politik formal di tingkat lokal memang menjadi upaya tidak terhindarkan dalam pertarungan mengamankan dan melindungi areal pendudukan yang telah diduduki (Paige, 1978: hal 18-19).

Pada tahun 2003, SPP memandatkan salah satu anggotanya untuk maju dalam pemilihan kepala desa di Sindangasih. Tatang, yang saat itu menjabat sebagai kepala dusun Cieceng, maju sebagai calon kepala desa. Hasilnya cukup mengejutkan. Ia memenangkan pemilihan dengan perolehan suara 975, menang 5 suara atas lawannya yang memperoleh 970 suara. Kemenangan dengan perolehan suara yang tipis, dianggap cukup mengejutkan karena saat itu meski anggota organisasi cukup solid namun penguasaan wilayah masih sangat terbatas dan hanya ada dalam dua kedusunan saja. Bahkan, di sebagian dusun yang menjadi basis anggota bagi SPP masih terdapat warga dusun yang bersikap antipasti pada organisasi SPP11. untuk mengamankan kemenangan politik tersebut,

organisasi kemudian menempatkan sejumlah anggotanya dalam struktur pemerintahan desa. Penguasaan politik tingkat lokal itu menjadi faktor utama menguatnya gerakan pendudukan di CIeceng dan meluasnya gerakan tidak hanya di tingkat kedusunan namun juga di tingkat desa12.

Keberhasilan menempatkan anggotanya sebagai kepala desa membawa perubahan yang cukup besar. Kepala desa yang baru kemudian menetapkan peraturan baru yang memberi legitimasi kepada penggarap untuk mengelola lahan-lahan eks-perkebunan. Pada tahun 2004, Kepala Desa terpilih juga menetapkan wilayah eks perkebunan yang diduduki ke dalam wilayah administrasi

desa Sindangasih. Wilayah eks perkebunan dimasukkan dalam areal lahan pertanian warga dan lahan pemukiman . Di atas wilayah pemukiman baru tersebut, kepala desa membaginya dalam dua wilayah kedusunan, yaitu Dusun Cieceng dan Dusun Mekarharuman. Dusun mekarharuman inilah yang merupakan wilayah pemukiman baru dimana seluruh penduduknya adalah petani yang terlibat dalam aksi pendudukan.

Lebih dari itu, mendudukkan kader petani pada posisi-posisi strategis di tingkat desa juga merupakan salah satu jalan organisasi untuk terlibat lebih jauh dalam proses-proses perumusan kebijkan di tingkat yang lebih tinggi, yaiu Kecamatan dan kabupaten13. Juga

merupakan upaya memperoleh pengakuan dari para elit politik di tingkat yang lebih tinggi dan tentu saja mendapatkan akses atas sejumlah program pemerintah di tingkat kecamatan dan kabupaten. Keberhasilan tersebut juga membuat organisasi menjadi lebih mudah melakukan konsolidasi karena dilakukan melalui jalur administrasi desa (Bachriadi 2009b: hal. 26-27).

Di tingkatan organisasi lokal, kemenangan politik meningkatkan rasa kepercayaan diri anggota, terutama tokoh- tokoh lokal, akan kemampuan politik mereka. Akibatnya, mulai muncul gesekan diantara tokoh-tokoh organisasi yang disebabkan tingginya kompetisi politik di antara mereka untuk menjadi Kepala Desa pada pemilihan berikutnya. Kondisi ini yang menjadi penyebab kegagalan mereka untuk menguasai politik melalui pemilihan kepala desa periode berikutnya. Pada tahun 2008, SPP gagal memenangkan kadernya menjadi kepala desa karena adanya perpecahan diantara tokoh-tokoh lokal . Pada pemilihan kepala desa tersebut dari empat calon dua orang diantaranya adalah kader SPPSecara organisasional SPP hanya mengajukan satu calon, yakni Tatang yang juga merupakan incumbent. Tetapi Oyo Suryo, kader

SPP yang lain, juga maju mencalonkan diri karena mendapat dukungan dari kelompok-kelompok non organisasi.

Oyo berasal dari kampong Tenjolaya yang sebagian besar pendudukanya memang bukan anggota SPP. Oyo juga merupakan staf desa pada periode sebelumnya. Menggunakan alasan mewakili kepentingan kampungnya, dia tetap maju sebagai calon kepala desa. Hasilnya suara pemilih potensial, baik dari anggota SPP maupun dari non-anggota SPP, yang dapat diraih oleh calon dari SPP menjadi terbagi. Kedua kader tersebut gagal mendapatkan suara terbanyak dalam pemilihan kepala desa. Sejumlah aktivis pendamping menduga pemecahan suara pemilih potensial ini memang dirancang oleh kelompok non SPP yang tidak menginginkan kader SPP kembali menjadi Kepala Desa (wawancara dengan salah satu aktivis lokal, 17 Mei 2012)

SPP kemudian segera berupaya menempatkan kader-kadernya masuk dalam struktur pemerintahan desa, seperti di Badan permusyawaratan Desa (BPD) dan Lembaga Pemerintahan Desa (LPM)14. Meski konflik tersebut tidak membawa akibat pada

pecahnya organisasi, Strategi lain dalam upaya mengamankan lahan pendudukan adalah mendirikan unit pendidikan di tingkat lokal. SPP mendirikan sebuah sekolah setingkat setingkat SD dan SMP bagi anggota dan anak-anak petani di desa Sindangasih15. Pendirian

sekolah ini dinilai sebagai upaya mengubah persepsi anggota masyarakat lainnya tentang SPP. Di Cieceng, Aksi pendudukan lahan yang dilakukan oleh anggota SPP membuat organisasi ini mendapat label “anarkis”. Melalui pendirian sekolah tersebut, secara perlahan para pendamping dan aktivis yang aktif menjadi guru kemudian mengubah citra dan persepsi tersebut. Sekolah ini juga menjadi tempat organisasi untuk terus mengembangkan kader-kadernya. Oleh karena itu tidak mengherankan jika sejak pendiriannya,

sekolah ini menjadi basis bagi aktifitas organisasi. Sekolah menjadi media bagi generasi muda untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas organisasi. Saat ini sebagian besar pengajar di sekolah tersebut adalah anggota dan pengurus organisasi yang masih berusia muda. Sekolah juga menjadi jembatan bagi kalangan aktivis pendamping untuk memasukkan sejumlah gagasan-gagasan baru yang dianggap dapat mendorong penguatan organisasi di tingkat lokal. Para anggota yang berusia muda inilah yang kemudian menjadi simpul komunikasi di tingkatan lokal16. Mereka ditempatkan dalam satuan

tugas (satgas) yang seringkali berfungsi sebagai penghubung antara pengurus lokal dengan para pendamping di tingkat kabupaten.

Organisasi juga yang mengambil inisiatif untuk melakukan penataan produksi diatas lahan pendudukan. Dengan mengedepankan pengelolaan secara kolektif, SPP membangun sebuah unit produksi yang mengatur penggunaan lahan dan produksi pertanian, terutama menyangkut pengaturan hasil produksi. Yang dimaksud dengan pengelolaan kolektif disini adalah penentuan komoditas dan penyelesaian persoalan-persoalan teknis pertanian dibicarakan dan diputuskan secara bersama, namun penggarapan lahan diserahkan kepada masing-masing anggota (Wawancara dengan tokoh OTL, 20 Mei 2012).

MEKANISME DAN ATURAN DISTRIBUSI LAHAN GARAPAN