Aplikasi), adalah sebagai berikut :
1. Inisiatif individual. Tingkat tanggung jawab, kebebasan, dan independensi yang dipunyai individu.
Bahwa individu dengan berbagai latar belakang atau yang berada pada tingkatan yang berbeda dalam organisasi cenderung untuk menjelaskan budaya organisasi dalam pengertian yang sama.
Pengakuan bahwa budaya organisasi mempunyai sifat yang sama bukanlah berarti bahwa tidak akan terdapat sub-budaya di dalam budaya tertentu.
Sub-sub budaya cenderung berkembang pada organisasi-organisasi yang besar dan mencerminkan masalah-masalah bersama, situasi, atau pengalaman yang dihadapi para anggotanya. Sub-sub budaya tersebut dapat berbentuk vertikal maupun horizontal.
Dalam sebuah organisasi dapat mengembangkan sub budaya. Tetapi untuk sebagian besar, sub budaya cenderung ditetapkan oleh penunjukan departemen atau oleh pemisahan geografis.
Nilai-nilai inti pada dasarnya dipertahankan tetapi dimodifikasi sehingga mencerminkan situasi yang khas dari unit-unit yang terpisah.
2. Toleransi terhadap tindakan beresiko. Sejauh mana pegawai dianjurkan bersikap agresif, inovatif, dan berani mengambil resiko.
Melihat adanya suatu tingkatan perasaan bersama dan intensitas nilai yang memungkinkan adanya kontrol perilaku yang sangat tinggi. Tentu saja pengaruh budaya kuat yang sama yang menyebabkan tragedi pada perilaku yang dapat diarahkan secara positif untuk menciptakan organisasi yang sangat berhasil.
Perusahaan menekankan pengambilan keputusan berdasarkan konsensus, masa kerja, komunikasi melalui tingkat hierarki, dan penghidaran resiko nilai-nilai budaya ini sangat dipegang, diatur dengan jelas, dan dirasakan bersama secara meluas.
3. Arah. Sejauh mana organisasi tersebut menciptakan jelas sasaran dan harapan mengenai prestasi.
Budaya yang kuat dicirikan oleh nilai-nilai dari organisasi yang dianut dengan kuat, diatur dengan baik, dan dirasakan bersama secara meluas.
Makin banyak anggota yang menerima nilai-nilai inti, menyetujui jajaran tingkat kepentingannya, dan merasa sangat terikat kepadanya, maka makin kuat nilai budaya tersebut.
Organisasi yang muda atau yang tournover anggotanya konstan, mempunyai budaya yang lemah karena para anggota tidak akan mempunyai budaya yang diterima bersama sehingga dapat menciptakan pengertian yang sama.
Ini jangan diartikan bahwa semua organisasi yang mudah matang dengan anggota yang stabil akan mempunyai budaya yang kuat, nilai intinya juga harus dipegang.
4. Integritas. Tingkat sejauh mana unit-unit dalam organisasi didorong untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi.
Organisasi yang berhasil akan memperoleh suatu kecocokan eksternal yang baik budayanya akan dibentuk sesuai dengan strategic dan lingkungannya.
Strategi akan lebih sesuai lingkungannya yang dinamis, strategi yang digerakkan oleh produk berfokus kepada efisiensi, dan paling cocok untuk lingkungan yang stabil, dan lebih besar kemungkinannya akan berhasil jika budaya organisasi tersebut mempunyai kontrol yang tinggi dan meminimalkan resiko dan konflik.
Organisasi yang berhasil juga akan mencapai kecocokan internal, di mana budayanya disesuaikan dengan teknologi mereka.
5. Dukungan dari manajemen. Tingkat sejauh mana para manajer memberi komunikasi yang jelas, bantuan serta dukungan terhadap bawahan mereka.
Tindakan manajemen puncak juga mempunyai dampak yang sangat penting terhadap budaya organisasi. Para pegawai memperhatikan perilaku manajemen, dari kejadian-kejadian dalam kurun waktu tertentu menetapkan norma-norma yang kemudian meresap ke bawah melalui organisasi dan memberitahukan apakah pengambilan resiko itu diinginkan atau tidak, beberapa banyak kebebasan yang harus diberikan para manajer kepada para bawahnnya serta tindakan apa yang akan memberi hasil, dalam hubungannya dengan kenaikan gaji, promosi, dan imbalan lainnya.
Adapun langkah-langkah yang perlu diambil para manajemen atas untuk memastikan bahwa akan terjadi perubahan yang sebenarnya :
- Misi, nilai, dan standar tersebut hendaknya terus menerus jalur komunikasi yang ada
- Nilai itu harus diintegrasikan ke dalam program perekrutan bagi seluruh pegawai pada semua tingkat - Perilaku manajemen, khususnya pimpinan puncak harus
mencerminkan budaya baru tersebut. Jika budaya itu tidak mencontohkan dari atas sulit sekali untuk sampai ke bawah
- Keputusan yang diambil tentang perekrutan, pemindahan, dan promosi pegawai harus mencerminkan norma dari budaya baru. Hal yang sama juga berlaku bagi kebijaksanaan personalia
- Penguatan dukungan harus dilakukan dengan berbagai cara. Kecakapan untuk memperlihatkan kemampuan dan simbol sangat diperlukan
- Pentingnya untuk menciptakan sebuah sistem yang digunakan untuk mengevaluasi seberapa besar perubahan budaya yang terjadi, evaluasi ini bisa dilakukan dengan :
Pertama : Dengan memantau perubahan perilaku keyakinan dan nilai.
Kedua :Dengan mengevaluasi kesuksesan dalam kaitannya dengan hasil.
6. Kontrol. Jumlah peraturan dan pengawasan langsung yang digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku pegawai.
Jika dianggap bahwa budaya yang kuat akan meningkatkan konsistensi perilaku, maka logis untuk menyimpulkan bahwa budaya itu dapat menjadi sarana yang kuat untuk mengontrol dan dapat bertindak sebagai sebuah substitusi bagi formalisasi. Bahwa peraturan formalisasi bertindak untuk mengatur perilaku pegawai.
Formalisasi yang tinggi dalam sebuah organisasi menciptakan kemampuan untuk meramal, keteraturan dan konsistensi. Sebuah budaya yang kuat dapat mencapai tujuan yang sama tanpa perlu dokumentasi tertulis. Disamping itu, sebuah budaya yang kuat akan lebih berpotensi dibandingkan dengan kontrol struktural formal maupun karena budaya mengontrol pikiran dan jiwa disamping jasmani.
Tepatlah jika kita melihat formalisasi dan budaya sebagai dua jalan yang berbeda untuk mencapai tujuan yang sama. Makin kuat budaya organisasi, maka kurang pula kebutuhan manajemen untuk mengembangkan peraturan formal untuk memberi pedoman pada perilaku pegawai.
7. Identitas. Tingkat sejauh mana para anggota mengidentifikasi dirinya secara keseluruhan dengan organisasinya ketimbang dengan kelompok kerja tertentu atau dengan bidang keahlian lain.
Budaya organisasi disebarluaskan melalui cerita, ritual, simbol, material, dan bahasa.
Banyak organisasi dan unit dalam sebuah organisasi yang menggunakan identitasnya sebagai suatu cara untuk mengidentifikasikan para anggota dari suatu budaya dan sub-budaya. Dengan mengidentifikasikan dirinya maka para anggota membuktikan bahwa mereka telah menerima budaya tersebut dan dengan melakukan hal tersebut maka membantu mempertahankannya.
8. Sistem imbalan. Tingkat sejauh mana alokasi imbalan (misal : kenaikan gaji, promosi) didasarkan atas kriteria prestasi pegawai sebagai kebalikan dari senioritas, sikap pilih kasih, dan sebagainya.
Dalam usaha yang dilakukan pada kantor atau perusahan setiap individu ditentukan gaji, upah dan hadiah dasarnya berdasarkan klasifikasi pekerjaan. Namun setiap tahun mereka bisa memperoleh gaji, dan upah, bila nilai kontribusi, kinerja, atau jasa mereka berada di atas rata-rata.
Dasar pembenaran rancangan ini tergantung pada sejumlah faktor :
Pertama : Ada batas untuk mengukur kinerja secara objektif yaitu jenis pekerjaan sangat bervariasi bila dikaitkan dengan kriteria itu.
Kedua : Penyelesaian beberapa pekerjaan agar berhasil baik menuntut usaha bersama tim dalam kasus seperti ini, sangat sulit untuk menentukan kontribusi dari tiap anggota tim tersebut.
9. Toleransi terhadap konflik. Tingkat sejauh mana para pegawai didorong untuk mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka.
Suasana keberhasilan dan ketertutupan di mana informasi dianggap sebagai sumber kekuasaan dan pengendalian, yang tidak perlu disebarluaskan pada organisasi seperti ini, bahkan komuniksi yang sangat kecil sekalipun dilakukan melalui amplop tertutup yang ditandai dengan kata “rahasia”.
Tidaklah toleransi yang sangat mengejutkan terhadap orang-orang yang tidak terampil, khususnya terhadap anggota organisasi yang “setia” dan telah lama menyamai, hanya sedikit usaha untuk meningkatkan kinerja atau mengatasi masalah.
10. Pola-pola komunikasi. Tingkat sejauh mana komunikasi organisasi dibatasi oleh hierarki kewenangan yang formal. Situasi bisnis serta persaingannya, prospek masa depan, dan informasi lain yang diinginkan seseorang yang mempunyai minat yang besar terhadap perubahan organisasi.
- Visi tentang akan jadi “apa” organisasi tersebut dan “bagaimana” budaya akan mencapainya.
- Dan perkembangan organisasi tersebut dalam bidang-bidang yang dianggap sebagai kunci untuk merealisasikan visi tersebut.
Sumber : Interprestasi berdasarkan reference/literature dari :
1. Stephen P. Robbins. Dalam bukunya Teori Organisasi (Struktur, Desain, & Aplikasi) dialih bahasakan oleh Jusup Udaya, Lic, Ec.
2. DR. Arni Muhammad dalam bukunya Komunikasi Organisasi.
Kesepuluh karakteristik tersebut mencakup dimensi structural maupun perilaku, misalnya dari manajemen adalah ukuran mengenai perilaku kepemimpinan . Kebanyakan dimensi tersebut berkaitan erat dengan desain organisasi. Untuk menggambarkannya, makin rutin teknologi sebuah organisasi dan makin disentralisasi proses pengambilan keputusannya, maka kurang pula inisiatif individu para pegawainya. Demikian pula struktur fungsional menciptakan budaya yang menciptakan budaya yang mempunyai lebih banyak pola komunikasi formal daripada struktur sederhana atau yang matrik. Analisis yang lebih mendalam akan memperlihatkan bahwa integritas pada dasarnya
adalah sebuah indikator tentang tingkat interdependensi horizontal. Maksudnya adalah bahwa budaya organisasi bukan hanya refleksi dari sikap para anggota serta kepribadianya. Sebagian besar budaya organisasi dapat dilacak langsung pada variabel-variabel yang berhubungan secara struktural.