• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ruang bermain anak merupakan sebuah tantangan bagi para desainer, yang dengannya desainer harus mampu merancang ruang terbuka yang dapat menarik minat anak untuk beraktivitas, bergembira, dan berekspresi melalui berbagai macam cara. Survei yang dilakukan terhadap orang dewasa di Inggris menyatakan bahwa sebanyak 71 persen dari mereka terbiasa bermain di luar rumah setiap hari, baik bermain di jalan maupun bermain di ruang terbuka sekitar tempat tinggal mereka, sewaktu mereka kecil. Berbeda dengan kondisi anak sekarang yang hanya 21 persen bermain di luar rumah setiap harinya (Shackell, Butler, Doyle dan Ball, 2008).

Spencer dan Wright (2014) menyatakan bahwa fitur utama dalam merancang sebuah ruang terbuka adalah menyediakan suatu area bermain yang mengikuti tahapan perkembangan anak serta dapat memberikan berbagai pengalaman menarik bagi anak. Ruang terbuka yang dirancang dengan memadukan elemen manufaktur dan elemen alam sangat baik menjadi ruang bermain yang aman sekaligus mampu memaksimalkan perkembangan keterampilan anak. Keamanan merupakan hal utama dalam merancang sebuah ruang, khususnya untuk fungsi ruang bermain, tetapi menjadikan ruang terbuka memiliki daya tarik untuk berbagai aktivitas juga sangat penting.

Lestan, Erzen, dan Golobic (2014) menyatakan bahwa kualitas ruang terbuka juga berpengaruh terhadap kualitas pola hidup dan kesehatan masyarakat. Pada daerah yang memiliki jumlah dan kualitas ruang terbuka yang baik, masyarakatnya memiliki kesempatan sosialisasi yang lebih baik pula satu sama lain, karena sebagian besar kegiatan interaksi sosial dilakukan sambil menemani anak-anak mereka bermain. Daerah yang memiliki ruang terbuka lebih banyak, dimanfaatkan oleh anak-anak daerah tersebut sebagai ruang bermain untuk durasi waktu yang lebih lama pula.

Campbell (2013) merumuskan susunan ruang terbuka untuk bermain ke dalam lima fungsi ruang. Kelima ruang tersebut adalah

Ruang

Bermain

Rumah Pusat Komunitas Habitat Sekolah

7 1. ruang aktif, 2. ruang bersama, 3. ruang individu, 4. ruang eksperimen, 5. ruang ekologi.

Ruang aktif merupakan ruang inti bermain yang memiliki elemen lanskap untuk memicu anak-anak bermain secara aktif, seperti aktivitas berjalan, berlari, melompat, dan sebagainya. Ruang aktif pada taman bermain biasanya memiliki persentase ruang yang paling luas dibandingkan keempat ruang lainnya. Ruang ini mencakup lapangan rumput, lapangan paving, ataupun area dengan berbagai elemen permainan anak untuk aktivitas fisik.

Ruang bersama merupakan ruang sebagai tempat anak-anak bersosialisasi dan saling berinteraksi dengan teman sebayanya. Ruang ini sering juga disebut sebagai ruang sosial atau ruang kultural. Interaksi pada ruang ini menyebabkan pertukaran informasi dan pertukaran budaya yang bergantung pada kearifan lokal daerah setempat. Oleh karena itu, ruang bersama sering juga disebut sebagai ruang budaya. Elemen lanskap yang berada di ruang bersama biasanya berupa bangku dan meja, bangku melingkar, ataupun gazebo yng berfungsi sebagai tempat berkumpul.

Ruang individu merupakan ruang yang menyediakan kebutuhan bagi anak-anak yang ingin melakukan aktivitas pasif secara individual, seperti membaca, mengamati, ataupun duduk sendiri. Elemen lanskap yang berada di ruang individu dapat berupa kursi satuan atau kotak blok yang berfungsi sebagai tempat duduk.

Ruang eksperimen dan ruang ekologi biasanya digabungkan menjadi satu ruang, meskipun secara esensi memiliki dua fungsi berbeda. Ruang eksperimen bertujuan agar anak-anak dapat melakukan eksplorasi secara individu ataupun bersama-sama, sedangkan ruang ekologi bertujuan untuk mengenalkan anak pada lingkungan dan elemen natural yang ada di sekitar mereka. Elemen lanskap yang berada di ruangan ini berupa bak pasir, pepohonan, atau elemen natural lainnya.

Baskara (2011) membuat sebuah rumusan normatif pengendalian untuk taman bermain di ruang terbuka. Menurutnya, pengendalian terhadap perancangan taman bermain anak dilandaskan pada fungsi pengembangan kreativitas, jiwa sosial, indera dan pengembangan diri anak-anak sehingga dapat memperoleh kesenangan (fun). Perancangan taman bermain di ruang terbuka harus

1. menjamin keselamatan, keamanan dan kesehatan anak-anak untuk bermain di ruang publik.

2. menciptakan kenyamanan dan kemudahan bagi semua anak-anak (sehat maupun dengan keterbatasan fisik dan mental).

3. menciptakan keharmonisan estetika visual dengan karakter kawasan di sekitarnya. Taman bermain dapat dikembangkan sebagai fasilitas penunjang maupun fasilitas utama di ruang publik.

4. memberikan kejelasan tentang fungsi peralatan permainan dan kekuatan konstruksinya.

Aspek yang harus dikendalikan dalam merancang taman bermain di ruang terbuka menurut Baskara (2011) adalah keselamatan, kesehatan, kenyamanan, kemudahan, keamanan, dan keindahan, sementara komponen yang diatur dalam pengendalian aspek tersebut adalah lokasi, tata letak (layout), peralatan permainan, konstruksi, dan bahan atau material.

8

Tabel 1 Komponen dan kriteria pengendalian taman bermain anak

Komponen Kriteria Ke se lama tan Ke se ha tan Ke nya man an Ke mudaha n Ke aman an Ke indaha n Lokasi • • • • • • Tata letak • • • • • Peralatan permainan • • • • Konstruksi • • Material/bahan • • • Sumber: Baskara (2011) Permainan Tradisional

Mildred Parten (1932) mengidentifikasi jenis bermain ke dalam enam kelompok berdasarkan tingkat partisipasi anak. Pertama adalah bermain kosong (unoccupied play), yakni saat anak hanya berperan sebagai observer atau pengamat. Ia tidak turut serta dalam permainan ataupun bermain sendiri, melainkan hanya mengamati. Kedua adalah bermain soliter (solitary play), yakni saat anak bermain sendiri tanpa mempedulikan keadaan teman dan lingkungan sekitarnya. Ketiga adalah bermain pengamat (onlooker play/behavior), yakni bermain sendiri sambil mengamati teman di sekitarnya bermain. Setelah mengamati, sang anak bisa mengubah cara bermainnya. Keempat adalah bermain paralel (parallel play), yakni bermain dengan materi yang sama, tetapi masing-masing bermain sendiri. Kelima adalah bermain asosiatif (assosiative play), anak bermain secara lebih terorganisasi, saling berhubungan, tetapi sewaktu-waktu bisa meninggalkan lapangan kapan saja. Keenam adalah bermain kooperatif (cooperative play), anak bermain bersama dan telah terorganisasi, telah disepakati peraturan bersama, masing-masing menjalankan peran dan saling mempengaruhi satu sama lain. Identifikasi ini merupakan tingkatan perkembangan sosial yang juga dapat mempengaruhi preferensi dan perilaku bermain anak.

Bermain yang seimbang adalah mengandung kegiatan fisik dan kognitif. Kegiatan fisik berfungsi untuk melatih kekuatan otot tubuh. Kegiatan fisik melibatkan kemampuan motorik yang terdiri atas dua macam, yaitu motorik halus dan motork kasar. Kegiatan kognitif meliputi nalar, rasional, dan logika berpikir. Salah satu permainan yang mendukung dari segi perkembangan anak adalah petak umpet. Petak umpet merupakan permainan yang mengarah kepada permainan sosial, melibatkan kemampuan motorik kasar (belari, bersembunyi) dan kognitif (pemahaman ruang, strategi, nalar, logika). Heft dan Harry (1988) mengatakan bahwa permainan merupakan cara untuk menanamkan nilai pemahaman dan kepekaan lingkungan pada anak. Permainan petak umpet yang dikenal oleh hampir setiap anak mampu mengembangkan kemampuan spasial anak dalam menjaga benteng, ekplorasi ruang pencarian (jarak benteng yang harus dijaga dan pencarian)

Berdasarkan sifatnya, jenis permainan dibagi menjadi dua, yakni permainan untuk rekreasi (play) dan permainan untuk bertanding (game). Perkembangan

9 pada masa sekarang terdapat perubahan pada jenis permainan tradisional yang telah masuk pada kelompok tertertentu. Beberapa jenis permainan yang awalnya termasuk kategori permainan rekreasi, berubah menjadi permainan menang-kalah. Sebagai contoh adalah jenis permainan egrang atau jajangkungan, serta permainan kelom batok atau bakiak batok. Alif (2006) menggolongkan dua jenis permainan ini ke dalam permainan rekreasi. Namun, pada momen tertentu, kedua jenis permainan ini menjadi salah satu cabang permainan yang dipertandingkan. Misalnya pada acara festival budaya bertajuk Kaulinan Urang Lembur yang diadakan oleh Dinas Budaya dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Bogor setiap bulan Agustus. Disbudpar Kota Bogor telah lima tahun berturut-turut mengadakan festival budaya yang menonjolkan ragam permainan tradisional ini.

Alif (2006) mengkategorikan permainan tradisional atau disebut juga permainan rakyat (folk game) ke dalam dua kategori berdasarkan sifatnya. Pertama adalah permainan untuk bermain (play), dan kedua adalah permainan untuk bertanding (game). Perbedaannya terletak pada sifat dan tujuannya. Play bersifat lebih rekreatif, karena biasanya permainan pada kategori ini dilakukan untuk mengisi waktu luang dan untuk tujuan rekreasi. Game memiliki sifat khusus, yakni lebih terorganisasi, permainan paling sedikit terdiri dari dua orang peserta, mempunyai kriteria yang menentukan menang dan kalah, serta mempunyai peraturan yang telah diterima bersama oleh para pesertanya.

Tabel 2 dan 3 memaparkan daftar jenis permainan tradisional Sunda yang berhasil dikumpulkan di wilayah Jawa Barat. Jumlah pada jenis permainan rekreasi (play) lebih banyak daripada permainan menang-kalah (game). Permainan rekreasi berjumlah 52 jenis, sedangkan permainan menang-kalah berjumlah 34 jenis. Pada kedua jenis permainan ini terdapat beberapa permainan yang memerlukan material atau alat bantu, tetapi ada pula yang tidak memerlukan alat bantu. Perbedaannya terletak pada aturan permainannya. Pada jenis permainan yang menggunakan material atau alat bantu yang sama, jika aturan mainnya berbeda, namanya pun berbeda. Sebagai contoh adalah permainan yang menggunakan material kelereng (gundu). Pada jenis permainan rekreasi, permainan kelereng dinamakan pal-palan, sedangkan pada jenis permainan menang-kalah dinamakan kobak. Meskipun menggunakan material yang sama, kedua permainan ini memiliki aturan berbeda sehingga sifat dan tujuan permainan tradisionalnya berbeda.

Nilai-nilai positif yang terkandung pada berbagai permainan tradisional tersebut meliputi nilai kognitif, afektif, dan psiko-motorik. Nilai kognitif yang terdapat pada permainan tradisional, contohnya adalah melatih kemampuan berhitung pada permainan congklak, atau melatih daya ingat dan konsentrasi pada permainan bekel dan lompat karet. Nilai afektif yang dapat diperoleh dari permainan tradisional, contohnya adalah permainan oray-orayan yang mengasah emosi dan keterampilan sosial. Hal ini juga dimiliki oleh permainan petak umpet, galah asin, atau bebentengan yang melatih anak untuk bekerjasama. Nilai psiko-motorik hampir dimiliki oleh semua jenis permainan tradisional, karena hampir semua jenis permainan tradisional menggunakan keterampilan fisik yang mengasah kemampuan motorik, baik motorik kasar maupun motorik halus.

10

Tabel 2 Jenis permainan tradisional sunda berdasarkan sifatnya (1) Permainan rekreasi

Ambil-ambilan Kakalungan Patipung-tipung balung

Angsretan Karinding Peupeusingan

Anjang-anjangan Kekerisan Posong

Bangbara ngapung Kelom batok Rorodaan

Bebeletokan Keprak Sanari

Bedil jepret Ker-keran Sasapian

Bedil sorolok Ketapel Sesengekan

Celempung Kokprak Simeut cudang

Dog-dog Kolecer Sisimeutan

Empet-empetan Kukudaan Suling

Ewod Nok-nok Sumpit

Galah barulu Oray-orayan Tetemute

Gogolekan Paciwit-ciwit lutung Tetenyek-tutunyuk Golek kembang Paciwit-ciwit putri Tok tar

Hahayaman Pakaleng-kaleng agung Tok-tokan

Hatong Pal-palan Toleot

Huhuian Pamikatan

Jajangkungan Pancur rendang Sumber: Alif (2006)

Tabel 3 Jenis permainan tradisional sunda berdasarkan sifatnya (2) Permainan menang-kalah

Balenan Galah asin Nanangkaan

Bebentengan Gatrik Ngadu ungkuy

Boy-boyan Gobag Panggal gasing

Bubuyungan Hahayaman jukut Patingtung

Cingkup Hong-hongan Perepet jengkol

Congklak Jajamuran Simseu

Damdaman Kali-kali jahe Tuk-tuk brug

Dampu Keukeuyeupan Ucing kalangkang

Dodombaan Kobak Ucing tiang

Encrak Kolontok Ujungan

Encrak Lais

Engklek/sondah Lolodehan Sumber: Alif (2006)

Jawa Barat yang identik dengan budaya Sunda memiliki kekayaan permainan rakyat (tradisional). Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Barat (2014) mendaftar sebanyak 44 jenis permainan tradisional populer yang sering dimainkan oleh masyarakat Sunda. Jenis-jenis permainan ini memiliki kandungan makna dan nilai-nilai karakter dan moral yang bermanfaat bagi perkembangan fisik dan psiko-sosial anak (Lampiran 2).

Berdasarkan subjeknya, karakter pada permainan tradisional terbagi menjadi tiga, yaitu permainan yang harus dilakukan secara berkelompok (lebih dari 2 orang), permainan yang harus dilakukan secara berpasangan (2 orang), dan permainan yang dapat dilakukan secara individu (1 orang). Contoh permainan

11 yang harus dilakukan secara berkelompok adalah bebentengan, galah asin/galasin, lompat karet, dan oray-orayan. Contoh permainan yang harus dilakukan secara berpasangan adalah congklak. Sementara contoh permainan yang dapat dilakukan secara individu adalah angsretan, panggal/gasing, kelereng, dan wawayangan. Namun, jenis permainan tradisional yang dapat dimainkan secara individu biasanya tetap dilakukan oleh lebih dari satu orang.

Permainan tradisional juga tidak terlepas dari elemen lanskap, khususnya unsur-unsur lanskap yang berkaitan dengan unsur alam. Berbagai jenis permainan tradisional membutuhkan ruang terbuka sebagai ruang bermainnya, seperti sondah/engklek, ucing peungpeun, bebentengan, galah asin/galasin, cingkup, atau lompat karet. Berbagai jenis permainan tradisional lainnya membutuhkan elemen alam sebagai material yang digunakan dalam permainan, misalnya batu, daun singkong, batang padi, biji karet, biji salak, daun kelapa, biji-bijian, bambu, dan sebagainya.

Budaya Ruang Budaya

UNESCO (1983) dalam glosarium Intangible Heritage-nya menggambarkan ruang budaya sebagai ruang fisik atau ruang simbolik tempat masyarakat bertemu untuk saling berbagi dan bertukar ide dan aktivitas sosial. Ruang ini mempertemukan antara persepsi manusia tentang dirinya, ruang sebagai entitas fisik suatu tempat, dan budaya yang merupakan hasil interpretasi personal manusia berdasarkan pemikiran terhadap lingkungannya.

Pada dasarnya manusia tidak pernah terlepas dari kebutuhan akan ruang sebagai tempat untuk beraktivitas, serta budaya lingkungan tempatnya berdomisili. Manusia merupakan elemen yang memiliki persepsi personal dalam memandang segala sesuatu. Ruang merupakan elemen fisik yang memiliki sifat-sifat rigid sebagai tempat antar-manusia saling berinteraksi. Budaya merupakan nilai-nilai yang terkandung dalam suatu kumpulan manusia dan diwariskan secara turun-temurun. Ketiga elemen ini saling mempengaruhi dan saling memberikan dampak timbal balik satu sama lain, sehingga terbentuklah ruang budaya (Gambar 4).

Gambar 4 Hubungan manusia, ruang, dan budaya (UNESCO, 1983)

Teori Vygotsky menggambarkan ruang budaya sebagai lingkungan sosial bagi anak. Dalam teorinya, perkembangan psikis anak bergantung pada budaya

12

hidup yang menjadi dasar aktifnya fungsi-fungsi fisik, seperti kemampuan berbicara, berpikir, dan memahami. Lingkungan sosial merupakan aspek tak terpisahkan dalam perkembangan fungsi-fungsi tersebut (Bayanova, 2014).

Pelestarian Budaya

Pelestarian mengandung arti upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya (UU No. 11 Tahun 2010). Undang-Undang No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya menyatakan bahwa cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan.

Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang bahkan menyiratkan pentingnya melestarikan nilai budaya yang berkembang di masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang. Artinya penyelenggaraan penataan ruang harus memperhatikan berbagai aspek, termasuk nilai budaya yang terkandung dalam kawasan bersejarah. Pelestarian nilai budaya dalam penataan ruang ini dapat diwujudkan tidak hanya dalam bentuk elemen fisik (tangible), tetapi juga dapat diwujudkan dalam bentuk wujud non-fisik (intangible), seperti penyelenggaraan festival budaya, aktivitas permainan tradisional, sosialisasi yang bertujuan mengajak masyarakat merawat lingkungan, dan aktivitas lainnya yang secara tidak langsung mengenalkan anak-anak kepada budaya kearifan lokal dan mengajarkan nilai positif melalui keberadaan ruang terbuka hijau di lingkungan mereka.

Haris dan Dines (1988) menyatakan bahwa tindakan pelestarian budaya dapat dilakukan dengan enam pendekatan, yaitu preservasi, konservasi, rehabilitasi, restorasi, rekonstruksi, atau rekonstitusi. Preservasi merupakan upaya pelestarian dengan mempertahankan suatu tapak atau objek tanpa mengubahnya dari bentuk asli. Konservasi adalah upaya pelestarian dengan mempertahankan, tetapi masih dimungkinkan adanya aktivitas yang dilakukan terhadap tapak atau objek tanpa merusak kondisinya. Rehabilitasi merupakan perbaikan dengan mempertahankan karakter bersejarah dan mempertahankan nilai budaya yang ada didalamnya. Restorasi merupakan pelestarian dengan mengembalikan kondisi awal. Rekonstruksi adalah tindakan pelestarian dengan menciptakan kembali seperti kondisi awal atas tapak yang sudah tidak bertahan lagi. Rekonstitusi adalah tindakan pelestarian dengan menempatkan kembali atau mengembalikan periode (waktu), skala, penggunaan, dan sebagainya yang sesuai.

Setiap pendekatan memiliki karakteristik khusus yang diturunkan ke dalam beberapa implikasi pelaksanaan yang menjadi batasan dalam perubahan suatu tapak atau lanskap. Batasan paling rigid terdapat pada pendekatan preservasi yang mengharuskan pelestarian dengan tidak mengubah bentuk dan fungsi ruang. Pendekatan ini mencegah intervensi teknologi dan perkembangan modern masuk ke dalam tapak atau lanskap. Pendekatan-pendekatan lainnya bersifat lebih fleksibel, sehingga intervensi teknologi dapat diaplikasikan untuk menyesuaikan perkembangan zaman, tetapi dengan batasan tertentu yang telah disesuaikan. Secara lebih detil tindakan pelestarian ini dapat dilihat pada Tabel 4.

13 Tabel 4 Tindakan pelestarian budaya

No. Pendekatan Definisi Implikasi

1. Preservasi (pemeliharaan)

Mempertahankan tapak seperti kondisi awal tanpa menambah atau adanya perusakan

a. Terlindunginya lanskap bersejarah tanpa adanya perusakan dan intervensi (campur tangan) sangat rendah

b. Terlindunginya tapak dari perubahan zaman, pelestarian dilakukan tanpa membedakan perkembangan tapak 2. Konservasi Mencegah

bertambahnya perusakan pada tapak atau elemen tapak

a. Terlindunginya lanskap bersejarah dengan melibatkan sedikit penambahan atau penggantian

b. Teraplikasinya pemakaian teknologi dan adanya pengujian secara keilmuan 3. Rehabilitasi Meningkatkan standar

modern dengan tetap memperkenalkan dan mempertahankan karakter sejarah

a. Terbatasnya penelitian mengenai kesejarahan untuk mengetahui elemen yang sesuai

b. Adanya kesatuan antara elemen sejarah dan modern

c. Terlibatnya intervensi (campur tangan) perkembangan zaman sehingga semakin menghilangkan lanskap sejarah/budaya 4. Restorasi Mengembalikan seperti

kondisi awal (tempo dulu) sebisa mungkin

a. Terlaksananya perkembangan penelitian kesejarahan secara luas dan tepat

b. Terlibatnya tingkat intervensi yang tinggi

c. Terjadinya penggantian konstruksi dan desain

5. Rekonstruksi Menciptakan kembali seperti kondisi awal, dimana tapak

(eksisting) sudah tidak bertahan lagi

a. Terlaksananya penelitian mengenai sejarah dan arkeologi untuk memperoleh ketepatan

b. Terjadinya perkembangan desain, elemen, dan artefak apabila diperlukan c. Terpilihnya tapak museum yang sesuai 6. Rekonstitusi

(Penyusunan kembali)

Menempatkan kembali atau mengembalikan periode (waktu), skala, penggunaan, dan sebagainya yang sesuai

a. Terlaksananya penelitian kesejarahan untuk mempertahankan karakter dan pola yang akan dikembangkan

14

3 METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Bogor, Jawa Barat. Kota Bogor secara

geografis terletak pada 106º 48‟ Bujur Timur dan 6º 36‟ Lintang Selatan dengan jarak ± 56 km dari ibukota Jakarta.Wilayah Administrasi Kota Bogor terdiri atas 6 kecamatan dan 68 kelurahan, dengan luas wilayah keseluruhan 11.850 ha. Secara administratif, wilayah Kota Bogor berbatasan langsung dengan Kabupaten Bogor, yaitu dengan Kecamatan Kemang dan Bojong Gede di sebelah utara, Kecamatan Sukaraja dan Ciawi di sebelah timur, Kecamatan Darmaga dan Ciomas di sebelah barat, serta Kecamatan Cijeruk dan Caringin di sebelah selatan (Gambar 5).

Gambar 5 Lokasi penelitian

Kota Bogor memiliki total luas kawasan sebesar 11.850 ha. Kecamatan Bogor Barat adalah yang paling luas wilayahnya secara administratif, yakni 3.285 ha. Kecamatan Bogor Selatan memiliki luas 3.081 ha, Kecamatan Tanah Sareal seluas 1.884 ha, Kecamatan Bogor Utara seluas 1.772 ha, Kecamatan Bogor Timur seluas 1015 ha, dan Kecamatan Bogor Tengah adalah yang paling sempit luas daerahnya, yakni 813 ha (Tabel 5).

15 Tabel 5 Luas wilayah administratif Kota Bogor menurut kecamatan

Sumber : DKP Kota Bogor (2015)

Lokasi pengambilan data primer dilakukan di keenam kecamatan di Kota Bogor, yaitu Kecamatan Bogor Utara, Kecamatan Bogor Timur, Kecamatan Bogor Barat, Kecamatan Bogor Tengah, Kecamatan Bogor Selatan, dan Kecamatan Tanah Sareal. Lokasi spesifik pengambilan data adalah sekolah-sekolah dasar yang berada di masing-masing kecamatan. Sekolah dasar dipilih sebagai lokasi pengambilan data primer karena merupakan tempat berkumpulnya anak-anak yang menjadi responden dalam penelitian. Asumsi dalam pemilihan sekolah sebagai tempat pengambilan data adalah anak-anak yang bersekolah di sana memiliki tempat tinggal tidak jauh dari sekolah (masih dalam satu kelurahan atau kecamatan yang sama), sehingga domisili responden, yaitu anak-anak dengan rentang usia 9-12 tahun, dianggap mewakili kecamatan yang bersangkutan.

Masing-masing dari setiap kecamatan diambil dua sekolah dasar yang dipilih secara acak. Sekolah-sekolah tersebut antara lain SDN Kayumanis 1 dan SDN Kebon Pedes 1 di Kecamatan Tanah Sareal, SDN Polisi 1 dan SDN Sempur Kaler di Kecamatan Bogor Tengah, SDN Bantarjati 9 dan SDN Kedung Halang 1 di Kecamatan Bogor Utara, SDN Batu Tulis 2 dan SDN Empang 2 di Kecamatan Bogor Selatan, SDN Baranang Siang dan SDN Katulampa 5 di Kecamatan Bogor Timur, serta SDN Sindang Barang 4 dan dan SDIT Insantama di Kecamatan Bogor Barat (Gambar 6).

Lokasi pengambilan data sekunder berasal dari beberapa dinas pemerintahan Kota Bogor, yaitu Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Bogor, dan Bapeda Kota Bogor.

Waktu penelitian untuk pengumpulan data dilakukan selama empat bulan, mulai dari Januari hingga April 2015. Pemasukan data dilakukan pada Mei sampai Juni 2015, yang dilanjutkan dengan pengolahan dan analisis data.

No Kecamatan Luas (Ha) %

1 Bogor Utara 1.772 14,95 2 Bogor Barat 3.285 27,72 3 Bogor Timur 1.015 8,57 4 Bogor Selatan 3.081 26 5 Bogor Tengah 813 6,86 6 Tanah Sareal 1.884 15,90 Jumlah 11.850 100

16

17 Metode

Metode penelitian terdiri dari tahap pengumpulan data, pengolahan data, dan analisis data. Hasil analisis selanjutnya menjadi panduan dalam menyusun rekomendasi terhadap ruang terbuka di Kota Bogor yang mendukung pelestarian permainan tradisional. Pengumpulan data dilakukan terhadap data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan metode kuisioner dan wawancara, sedangkan data sekunder diperoleh dari dinas pemerintah terkait, yaitu Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Bogor, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Bogor, dan Bapeda Kota Bogor.

Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode kuisioner dan wawancara. Kuisioner digunakan untuk mengetahui perilaku dan preferensi anak-anak Kota Bogor terhadap kebiasaan bermain dan mengukur pengetahuan terhadap berbagai jenis permainan tradisional. Kuisioner ini juga digunakan untuk mengetahui minat dan persepsi anak terhadap permainan tradisional. Hasil analisis

Dokumen terkait