• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MEKANISME EKSTRADISI

B. Ruang Lingkup Ekstradisi

Pada masa sekarang ini, akibat dari kemajuan teknologi yang semakin canggih khususnya dibidang komunikasi dan kedirgantaraan, maka jarak antara satu negara dengan negara lain dapat ditempuh dengan waktu yang singkat. Disatu sisi kemajuan ini tentunya berdampak positif terhadap proses percepatan pembangunan diseluruh dunia tetapi disisi lain hal ini sangat berpengaruh pula terhadap kecanggihan-kecanggihan baik dari bentuk-bentuk kejahatan maupun pelaku-pelaku kejahatan dalam menghindari tuntutan yang akan dijatuhkan terhadapnya.

Seorang pelaku kejahatan tentunya dengan mudah untuk mudah melarikan

diri ke negara lain untuk menghindari tuntutan dan ancaman yang akandijatuhkan

terhadapnya. Jika hal ini terjadi, maka telah terlibatlah kepentingan dua negara bahkan lebih.

Agar orang yang telah melakukan kejahatan disuatu negara dimana ia telah melarikan diri ke negara lain dapat dihukum, maka negara tempat ia melakukan kejahatan tersebut tidak dengan mudah menghukum dan menangkapnya dinegara

lain, karena hal ini telah melanggar kedaulatan di wilayah negara lain. Ini hanya dapat dilakukan dengan persetujuan dari negara dimana sipelaku tersebut berada. Jika dilakukan tanpa adanya persetujuan dari negara tersebut maka hal ini telah dipandang sebagai intervensi atau campur tangan yang dilarang menurut hukum internasional.

Cara yang legal untuk dapat mengadili dan menghukum sipelaku kejahatan itu ialah dengan meminta kepada negara tempat sipelaku kejahatan itu berada, supaya menangkap dan menyerahkan orang tersebut. Sedangkan negara tempat sipelaku kejahatan berada, setelah menerima permintaan untuk menyerahkan itu dapat menyerahkan sipelaku kejahatan tersebut kepada negara atau salah satu negara yang mengajukan permintaan penyerahan tersebut. Cara atau prosedur semacam ini telah diakui dan merupakan prosedur yang telah umum dianut baik dalam hukum internasional maupun dalam hukum nasional yang lebih dikenal dengan ekstradisi.

Hal ini tentunya dapat berjalan dengan lancar jika hubungan antara negara yang meminta penyerahan dengan negara yang diminta penyerahannya berjalan dengan lancar pula. Secara teoritis kelihatannya ekstradisi ini mudah untuk dilaksanakan, namun dalam pelaksanaannya ditemui banyak kesulitan-kesulitan. Apabila dalam pelaksanaan ekstradisi ini tidak ada satu patokan apakah harus ada perjanjian antara negara-negara tersebutnya sebelumnya atau tidak.

Oleh karena itulah kita harus melihat ekstradisi ini dari lingkup yang lebih luas, baik dalam konteks hukum internasional maupun dalam konteks hukum nasional.

Dalam hukum internasional, sampai saat ini belum mengenal adanya suatu

perjanjian internasional multilateral (International Convention) yang mengatur

lembaga ekstradisi secara umum atau universal. Yang ada dikalangan masyarakat

internasional (International Community) kebanyakan ialah perjanjian bilateral

ekstradisi dan sejumlah kecil perjanjian multilateral yang sifatnya kerja sama regional dibidang ekstradisi, misalnya:

The Arab Leage Extradition Agreement Tahun 1952.

The Inter America Convention Extradition.

European Extradition Convention, dan lain-lain.

Memang diakui, agar ekstradisi mudah dilakukan maka keberadaan perjanjian internasional tentang ekstradisi sebelumnya akan sangat diperluka. Dengan demikian penyerahan seorang dapat dilakukan dengan mengikuti ketentuan yang telah diletakkan dengan pasti dalam perjanjian tersebut. Walau demikian, tanpa adanya perjanjian ekstradisi penyerahan seseorang yang dituduh melakukan kejahatan dapat dilakukan menurut hukum kebiasaan internasional.

Ekstradisi yang dimintakan bukan berdasarkan suatu perjanjian internasional (karena adanya traktat) biasanya sering menimbulkan masalah. Hal ini disebabkan tidak adanya dasar hukum yang pasti yang dapat digunakan sebagai landasan untuk menyerahkan seseorang. Dalam keadaan demikian itu umumnya penyerahan seseorang yang tertuduh melakukan kejahatan dilakukan

dengan cara permintaan secara sopan santun internasional (international

courtesty), perlakuan timbal balik (reciprocity), juga berupa kemurahan hati

Ekstradisi tumbuh dan berkembang dari praktek negara-negara yang lama kelamaan bekembang menjadi hukum kebiasaan. Negara-negara mulai merumuskannya didalam perjanjian-perjanjian ekstradisi baik yang bilateral, multilateral, ataupun multilateral regional. Disamping menambahkan ketentuan-ketentuan baru sesuai dengan kesepakatan para pihak.

Beberapa konvensi internasional yang dapat dijadikan dasar hukum sebagai pelaku kejahatan menurut ketentuan tentang ekstradisi sebenarnya juga sudah ada sebelumya, misalnya kejahatan penerbangan yang telah diatur dalam konvensi Tokyo 1963, konvensi Den Haag 1970, konvensi Montreal 1971, konvensi Tentang Obat Bius 1971, dan lain-lain.

Disamping melihatnya dari aspek hukum internasional, ekstradisi juga harus dilihat dari aspek hukum nasional, karena tidaklah mungkin pembahasan ekstradisi dapat dipecahkan jika hanya ditinjau dari sisi hukum internasional saja. Hal ini disebabkan karena adanya hal-hal yang tidak diatur atau dirumuskan sepenuhnya dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi, terutama hal-hal yang merupakan masalah dalam negeri masing-masing negara yang bersangkutan. Dalam hal seperti inilah perjanjian-perjanjian ekstradisi menunjukkan kepada hukum nasional masing-masing pihak untuk menentukannya dan pengaturannya secara lebih mendetail. Misalnya tentang penangkapan dan penahanan orang yang diminta, keputusan tentang penentuan kejahatannya apakah termasuk kejahatan politik atau tidak, tentang lembaga atau instansi yang berwenang untuk memutuskan apakah permintaan akan diterima atau ditolak dan lain-lain sebagainya. Namun bukan hukum nasional yang sudah ada itu sendiri masih

belum dapat menjawab semua masalah yang timbul bertalian dengan ekstradisi ini. Oleh karena negara-negara juga memandang perlu memiliki sebuah undang-undang nasional yang secara khusus mengatur mengenai tentang ekstradisi. Disamping itu, mengadakan perjanjian-perjanjian ekstradisi dengan negara-negara lain.

Perjanjian-perjanjian yang telah lebih dahulu diadakan, akan merupakan pembatasan-pembatasan yang harus diperhatikan oleh negara yang bersangkutan apabila kemudian hendak membuat undang-undang ekstradisi nasional. Hal ini dimaksudkan supaya tidak timbul pertentangan antara ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ekstradisi dengan terdapat didalam perundang-undangan ekstradisi itu sendiri.

Hukum internasional pada prinsipnya tidak membenarkan suatu negara melalaikan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam hukum internasional berdasarkan alasan-alasan yang merupakan masalah dalam negeri dari negara yang bersangkutan.

Dokumen terkait