PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI
MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP
KEMANUSIAAN
(CRIMES AGAINTS HUMANITY)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH
050200293 FACHRIZAL LUBIS
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI
MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP
KEMANUSIAAN
(CRIMES AGAINTS HUMANITY)
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan syarat-syarat
guna memperoleh gelar sarjana hukum
OLEH
FACHRIZAL LUBIS
050200293
Departemen Hukum Internasional
Disetujui oleh
Ketua Bagian
(Sutiarnoto MS, SH., M. Hum)
NIP 19561010 198603 1 003
Pembimbing I Pembimbing II
(Prof. Sanwani Nst, SH) (Makhdin Munthe,SH, M.Hum)
KATA PENGANTAR
Syukur penulis ucapkan ke Hadirat Allah SWT yang telah mengkaruniai
kesehatan dan kelapangan berpikir kepada penulis sehingga akhirnya tulisan
ilmiah dalam bentuk skripsi ini dapat diselesaikan.
Skripsi Penulis ini berjudu l : “PENERAPAN YURISDIKSI UNVERSAL
MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY)”. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan dalam rangka mencapai gelar Sarjana
Hukum di Fakultas Hukum Universits Sumatera Utara Departemen Hukum
Internasional.
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini Penulis menyampaikan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin, SH.MH selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak M. Husni, SH. M. Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
5. Bapak Sutiarnoto, SH, MS selaku ketua Departemen Hukum Internasional
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Bapak Prof. Sanwani Nst, SH selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak
membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi.
7. Bapak Makhdin Munthe, SH, M. Hum selaku Dosen Pembimbing II yang
telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan
skripsi.
8. Bapak/Ibu para dosen dan seluruh staf administrasi Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara dimana peenulis menimba ilmu selama ini.
9. Rekan-rekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat
disebutkan satu-persatu. Semoga persahabatan kita tetap abadi.
Demikian Penulis sampaikan, kiranya skripsi ini dapat bermanfaat untuk
menambah dan memperluas cakrawala berpikir kita semua.
Medan, Februari 2010
ABSTRAK
Istilah kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity) pertama
kali digunakan dalam piagam Nuremberg. Piagam ini merupakan perjanjian
multilateral antara Amerika Serikat dan sekutunya setelah selesai Perang Dunia II
karena mereka dianggap bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan
pada masa itu. Definisi kejahatan terhadap kemanusiaan yang diperincikan dalam
pasal 7 Statuta Roma 1998 yang secara umum merupakan salah satu perbuatan
yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil.
Pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan bisa jadi aparat / instansi negara,
atau pelaku non negara.
Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity) adalah satu
dari empat kejahatan-kejahatan internasional (international crimes), disamping
the crime of genocide, war crimes, dan the crimes of aggression. International
crimes sendiri didefinisikan sebagai kajahatan-kejahatan yang karena tingkat
kekejamannya, tidak satupun pelakunya boleh menikmati immunitas dari
jabatannya dan tidak ada proses peradilan oleh masyarakat internasional
terhadapnya. Dengan kata lain internasional crimes menganut azas universal
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
ABSTRAK
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan dan Manfaat Tulisan ... 5
D. Keaslian Tulisan ... 6
E. Tinjauan Kepustakaan... 7
F. Metode Penelitian ... 11
G. Sistematika Penulisan ... 12
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MEKANISME EKSTRADISI A. Pengertian dan Sejarah Ekstradisi ... 14
B. Ruang Lingkup Ekstradisi ... 22
C. Prosedur Dalam Pelaksanaan Ekstradisi ... 26
D. Asas-Asas Yang Terdapat Dalam Ekstradisi ... 29
BAB III BEBERAPA BENTUK MENGENAI KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY) A. Pengertian Kejahatan Terhadap Kemanusiaan ( Crimes Againts Humanity) ... 35
B. Jenis-Jenis dan Prinsip-Prinsip Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) ... 37
C. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) dalam Statuta Roma 1999 ... 43
E. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) dalam
Konvensi Den Haag 1907 dan Konvensi Jenewa 1949 ... 51
BAB IV PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI
MEKNISME EKSTRADISI KEJAHATAN TERHADAP
KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINGTS HUMANITY)
A. Penerapan Yurisdiksi Universal ... 57
B. Ekstradisi Atas Pelaku Kejahatan Pada Umumnya ... 63
C. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity)
dan Penerapan Yurisdiksi Universal Melalui Mekanisme
Ekstradisi ... 67
D. Proses Peradilan Atas Pelaku Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
(Crimes Againts Humanity) Oleh Mahkamah Pidana
Internasional (International Criminal Court) Berdasarkan
Yurisdiksi Universal ... 71
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 89
B. Saran ... 91
ABSTRAK
Istilah kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity) pertama
kali digunakan dalam piagam Nuremberg. Piagam ini merupakan perjanjian
multilateral antara Amerika Serikat dan sekutunya setelah selesai Perang Dunia II
karena mereka dianggap bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan
pada masa itu. Definisi kejahatan terhadap kemanusiaan yang diperincikan dalam
pasal 7 Statuta Roma 1998 yang secara umum merupakan salah satu perbuatan
yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil.
Pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan bisa jadi aparat / instansi negara,
atau pelaku non negara.
Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity) adalah satu
dari empat kejahatan-kejahatan internasional (international crimes), disamping
the crime of genocide, war crimes, dan the crimes of aggression. International
crimes sendiri didefinisikan sebagai kajahatan-kejahatan yang karena tingkat
kekejamannya, tidak satupun pelakunya boleh menikmati immunitas dari
jabatannya dan tidak ada proses peradilan oleh masyarakat internasional
terhadapnya. Dengan kata lain internasional crimes menganut azas universal
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengenalan “Crimes Againts humanity” ( Kejahatan terhadap
Kemanusiaan), pertama kali mulai dikenal dan telah menjadi hukum internasional
positif yakni, setelah terjadi Perang Dunia II, sebagaimana ditegaskan dalam
Article 6 Charter of The International Military Trybunal Mahkamah Militer
Internasional atau yang juga dikenal dengan London Agreement, August 8, 1945.
Pasal 6 tersebut tidak mendefinisikan tentang kejahatan terhadap kemanusiaan,
melainkan hanya menjabarkan kejahatan-kejahatan apa saja yang merupakan
kejahatan terhadap kemanusiaan.1
Dalam pergaulan masyarakat internasional, khususnya masyarakat
bangsa-bangsa atau negara-negara, seperti trauma terhadap akibat-akibat yang
mengerikan dari Perang Dunia II, sehingga hal-hal yang merupakan
penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia dan kemanusiaan mendapat
prioritas dalam pengaturannya pada dalam internasional. Dalam waktu yang tidak
begitu lama telah dihasilkan antara lain, Deklarasi Universal Tentang Hak Asasi
Manusia, 10 Desember 1948, konvensi Genocide pada tahun 1949, dan setahun
kemudian dihasilkan konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban. Dalam
perkembangan selanjutnya, pada tahun 1953 dikawasan Eropa Barat, lahirlah
European Convention on Human Rights and fundamental Freedoms (konvensi
1
Eropa tentang Hak-Hak Asasi dan Kebebasan Fundamental Manusia). Demikian
pula dikawasan Amerika dan Afrika juga lahir konvensi-konvensi regional
tentang hak-hak asasi manusia. Pada tahun 1966, Majelis Umum PBB berhasil
menyepakati dua instrumen Hak-Hak Asasi Manusia, yakni, Covenant on Civil
and Political Rights dan Covenant on Economic and Cultural Rights.
Selanjutnya, berbagai instrumen Hak-Hak Asasi Manusia baik dalam ruang
lingkup global dan regional, maupun yang bersifat sektoral serta spesifik, mulai
bermunculan.2
Semua ini dengan akibat-akibat yang tidak berbeda dengan akibat-akibat
yang ditimbulkan oleh Perang Dunia II, yakni tersentuhnya nilai-nilai
kemanusiaan universal yang tidak lagi mengenal batas-batas wilayah negara,
perbedaan ras, warna kulit, suku, etnis, agama, dan kepercayaan. Sebagai
konsekuensinya, muncullah usaha-usaha untuk menginternasionalisasikan
kejahatan-kejahatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal
ini dan mengaturnya dalam bentuk instrumen-instrumen hukum internasional,
seperti perjanjian-perjanjian atau konvesi-konvensi internasional.
Demikian pula kejahatan-kejahatan dalam berbagai bentuk dan jenisnya,
baik yang terjadinya berhubungan dengan peperangan, maupun
kejahatan-kejahatan yang terjadi dalam keadaan normal (bukan keadaan perang), baik yang
bersifat nasional atau domestik maupun internasional atau transnasional, seiring
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga semakin banyak
bermuncullan.
2
Masyarakat nasional maupun internasional, mulai mengenal nama-nama
kejahatan yang relatif yang agak baru, seperti kejahatan terrorisme, kejahatan
penerbangan, kejahatan terhadap orang-orang yang memiliki hak-hak istimewa
dan kekebelan diplomatik atau orang-orang yang mendapat perlindungan
perlindungan secara internasional, kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan
umat manusia, kejahatan menurut hukum internasional, dan lain sebagainya,
disamping kejahatan sejenis yang sudah lebih dahulu dikenal seperti kejahatan
perang, kejahatan genocide, kejahatan pembajakan dilaut dan kejahatan narkotika.
Sedangkan istilah kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes Againtst
Humanity), setelah diterapkan dalam proses peradilan para penjahat perang oleh
Mahkamah Militer Internasional di Nurenberg 1946 dan Tokyo1948, selanjutnya
berkembang dalam wacana akademik dalam bentuk karya-karya ilmiah para ahli
hukum internasional. Namun dengan berjalannya waktu, istilah Kejahatan
Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) ini,mulai memudar untuk
beberapa lama dari wacana publik.
Pasal 5 Statuta Mahkamah Pidana Internasional (Traktat Roma,1998)
menegaskan empat jenis kejahatan yang menjadi yurisdiksi dari Mahkamah, yakni
kejahatan perang (war crimes), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts
humanity), kejahatan agresi (crimes agression) dan kejahatan genocide (crimes of
genocide). Sedangkan yang termasuk dalam ruang lingkup kejahatan terhadap
kemanusiaan adalah seperti yang tertuang dalam Pasal 7 dalam Statuta Roma
Jadi mengenai ruang lingkup dari kejahatan terhadap kemanusiaan sudah
mengalami perluasan jika dibandingkan dengan ruang lingkupnya pada awal mula
kemunculannya, yakni sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 Statuta Mahkamah
Militer Internasional (perjannjian London,1945). Perluasan ini disebabkan karena
perkembangan dari berbagai bentuk dan jenis kejahatan-kejahatan itu sendiri.
Tentu saja secara hipotesis dapat dikemukakan, bahwa pada masa-masa yang akan
datang dengan semakin bertambah atau berkembangnya bentuk dan jenis-jenis
kejahatan maka ruang lingkup kejahatan terhadap kemanusiaan juga semakin
bertambah luas. Jadi, untuk sementara waktu dapat dikatakan, bahwa apa yang
dinamakan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity) ini
hanyalah merupakan himpunan atau kumpulan dari beberapa kejahatan yang dapat
saling berkaitan satu sama lainnya, yang dipandang bertentangan dengan
nilai-nilai kemanusiaan secara universal.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal diatas, maka penulis ingin lebih mengetahui tentang
segala sesuatu yang berkaitan dengan Penerapan Yurisdiksi Universal Melalui
Mekanisme Ekstradisi Atas Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts
Humanity). Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana Penerapan Yurisdiksi Universal?
2. Bagaimana Pelaksanaan Ekstradisi atas Pelaku Kejahatan pada umumnya?
4. Bagaimana Proses Peradilan atas Pelaku Kejahatan terhadap Kemanusiaan
(Crimes Againts humanity) oleh Badan Peradilan Internasional
Berdasarkan Yurisdiksi Universal?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, penulisan skripsi ini juga bertujuan
untuk:
a. Untuk mengetahui bagaimana Penerapan Yurisdiksi Universal atas
kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity).
b. Untuk mengetahui bagaimana Pelaksanaan Ekstradisi atas Pelaku
Kejahatan pada umumnya.
c. Untuk mengetahui bagaimana Yuisdiksi Universal atas Kejahatan terhadap
Kemanusiaan (Crimes Againts humanity) melalui Mekanisme Ekstradisi.
d. Untuk mengetahui Bagaimana Proses Peradilan atas Pelaku Kejahatan
terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity) oleh Badan Peradilan
Internasional Berdasarkan Yurisdiksi Universal.
2. Manfaat Penulisan
Disamping itu tentunya diharapkan dengan adanya pembahasan ini, maka
penulis berharap dapat memberikan masukan dan manfaat untuk:
a. Manfaat Teoritis
1) Memberikan masukan sekaligus pengetahuan kepada kita tentang
Mekanisme Ekstradisi dan bagaimana eksistensinya atas Kejahatan
terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity).
2) Memberikan masukan dan manfaat dalam rangka pengembangan
ilmu pengetahuan dan dimana dalam penulisan skripsi ini penulis
memberikan analisa-analisa yang brsifat objektif.
b. Manfaat Praktis
Yaitu memberikan masukan sekligus pengetahuan kepada para pihak
dalam kaitannya dengan perkembangan politik dunia mengenai Penerapan
Yurisdiksi Universal melalui Mekanisme Ekstradisi pada saat ini khususnya
dalam kaitannya dengan Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts
humanity).
D. Keaslian Penulisan
Pembahasan ini dengan judul: “Penerapan Yurisdiksi Universal Melalui
Mekanisme Ekstradisi Atas Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts
humanity)”, adalah judul yang sebenarnya tidak asing lagi ditelinga kita, karena
sebelumnya telah banyak dibahas diberbagai media, namun dalam pembahasan
skripsi ini penulis khusus membahas mengenai masalah Penerapan Yurisdiksi
Universal Melalui Mekanisme Ekstradisi atas Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
(Crimes Againts humanity), khususnya mengenai bagaimana sebenarnya
Penerapan Yurisdiksi Universal melalui Mekanisme Ekstradisi dan apa
Judul ini adalah murni hasil pemikiran dalam rangka melengkapi tugas dan
memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Ekstradisi
Ekstradisi berasal dari kata latin “axtradere” (extradition = Inggris) yang
berarti ex adalah keluar, sedangkan tradere berarti memberikan yang maksudnya
ialah menyerahkan. Istilah ekstradisi ini lebih dikenal atau biasanya digunakan
terutama dalam penyerahan pelaku kejahatan dari suatu negara kepada negara
peminta.3
Menurut I Wayan Parthiana, SH, “Ekstradisi adalah Penyerahan yang
dilakukan secara formal baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang diadakan
sebelumnya atau berdasarkan prinsip timbal balik, atas seseorang yang tertuduh
(terdakwa) atau atas seorang yang telah dijatuhi hukuman atas kejahatan yang
dilakukannya (terhukum, terpidana) oleh negara tempatnya melarikan diri atau
berada atau bersembunyi kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili
atau menghukumnya atas permintaan dari negara tersebut, dengan tujuan untuk
mengadili atau melaksanakan hukumannya.”4
3
www.interpol.go.id/interpol/files/EKSTRADISI_f541e0.doc
4
I Wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional,
M. Budiarto5
a. L. Oppenheim menyatakan:
, mengatakan bahwa secara umum ekstradisi dapat diartikan
suatu proses penyerahan tersangkan atau terpidana karena telah melakukan suatu
kejahatan yang dilakukan secara formal oleh suatu negara kepada negara lain yang
berwenang memeriksa dan mengadili pelaku kejahatan tersebut.
Sedangkan sarjana-sarjana asing yang memberikan definisi ialah:
“Extradition is the delivery of an accused or confited individual to the
state on whose teritory he is alleged to have committed, or to have been convicted
of a crime by the state on whose territory the alleged criminal happens for the
time to be”.6
b. J. G. Starke memberikan pengertian sebagai berikut:
“The term extradition denotes the process where by under treaty or upon a
basis of reciprocity one state surrenders to another state at its request a person
accused or convicted of a criminal offence comitted againts the law of the
requesting state competent to try alleged offender”.7
Pada umumnya, ekstradisi adalah merupakan sebagai tujuan politik dan
merupakan sarana untuk mencapai tujuan kekuasaan, namun pada saat ini
ekstradisi dipraktekkan guna menembus batas wilayah negara dalam arti agar
hukum pidana nasional dapat diterapkan terhadap para penjahat yang melarikan
diri ke negara lain atau agar keputusan pengadilan terhadap seorang penjahat yang
5
M. Budiarto, Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan Hak-Hak Azasi Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hal.13.
6
L. Oppenheim, International Law A Treaties, 8 th edition, 1960, vol. On-Peace, Hal. 696
7
melarikan diri ke luar negeri dapat dilaksanakan. Secara umum permintaan
ekstradisi didasarkan pada perundang-undangan nasional, perjanjian ekstradisi,
perluasan konvensi dan tata krama internasional. Tetapi bila terjadi permintaan
ekstradisi diluar aturan-aturan tersebut, maka ekstradisi dapat dilakukan atas dasar
hubungan baik antara suatu negara dengan negara lain, baik untuk kepentingan
timbal balik maupun sepihak. Praktek ekstradisi yang didasarkan tata cara tersebut
disebut ”Handing Over” atau Disguished Extradition” (ekstradisi terselubung).
Handing Over atau Disguished Extradition diartikan sebagai penyerahan
pelaku kejahatan dengan cara terselubung atau dengan kata lain penyerahan
pelaku kejahatan yang tidak sepenuhnya sesuai dengan proses dan prosedur
ekstradisi sebagaimana ditentukan penagaturannya.8
Istilah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity)
pertama kali digunakan dalam piagam Nuremberg. Piagam ini merupakan
multilateral antara Amerika Serikat dan sekutunya setelah Perang Dunia II.
Amerika Serikat dan sekutunya menilai para pelaku (NAZI) dianggap
bertanggung jawab terhadap Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts
Humanity) pada masa tersebut.
2. Pengertian Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity)
9
Adapun definisi Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts
Humanity) menurut Statuta Mahkamah Internasional pada Pasal 7 Statuta Roma
adalah : salah satu dari perbuatan berikut apabila dilakukan sebagai bagian dari
serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk
8
www.interpol.go.id/interpol/files/EKSTRADISI_f541e0.doc,op.cit.
9
sipil, lebih lagi kejahatan yang dilakukan dalam kejahatan yang dikualifikasi
sebagai Crimes Againts humanity, antara lain;
a) murder (pembunuhan),
b) exterminatio (pembasmian/pemusnahan),
c) enslavement (perbudakan),
d) deportation or forcible transfer of population (pengusiran atau
pemindahan secara paksa atas penduduk),
e) penahanan atau penghukuman yang berupa pengurangan kebebasan yang
merupakan pelanggaran atas kaidah hukum yang fundamental (detention
or deprivation of liberty in violation of fundamental legal norms),
f) torture (penyiksaan),
g) rape or other sexual abuse or enforced prostitution (pemerkosaan atau
penyalahgunaan seksual lainnya atau pemaksaan untuk melakukan
prostitusi),
h) penyiksaan/penganiayaan yang dilakukan terhadap kelompok manusia
berdasarkan alasan politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya atau agama,
gender, atau alasan-alasan lain yang serupa (persecution againts any
identifiable group or collectivity on political, racial, national, ethnic,
cultural or relegious or gender or other similar grounds),
i) enforced disapearance of persons (penghilangan secara paksa atas
seseorang individu),
j) tindakan-tindakan lainnya yang tidak manusiawai atau tidak
serupa yang mengakibatkan penderitaan yang berat atau kerusakan yang
serius terhadap badan, mental atau kesehatan fisik (other inhumane acts
ofa similar character causing great sufering or serious injury to body or
mental or physical health).10
Pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan bisa jadi aparat/ instansi negara,
atau pelaku non negara.11 Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts
humanity) adalah satu dari empat “kejahatan-kejahatan internasional”
(international crimes), disamping The Crime of Genocide, War Crimes dan The
Crime of Aggression. International Crimes sendiri didefinisikan sebagai
kejahatan-kejahatan yang karena tingkat kekejamannya, tidak satupun pelakunya
boleh menikmati imunitas dari jabatannya, dan tidak ada yurisdiksi dari satu
negara tempat kejahatan itu terjadi digunakan untuk mencegah proses peradilan
oleh masyarakat internasional terhadapnya. Dengan kata lain, internasional
crimes ini menganutasas universal yurisdiction.12
10
Statuta Roma 1998, pasal 7 11
Ibid 12
Ibid
F. Metode Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mempergunakan dan melakukan
pengumpulan data-data untuk mendukung dan melengkapi penulisan skripsi ini
dengan cara Library Reseach (penelitian kepustakaan) sebagai bahan utama yaitu
melakukan penelitian dari berbagai sumber berita seperti surat kabar, internet dan
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini, maka penulis akan membuat
sistematikan secara teratur dalam bagian-bagian yang semuanya saling
berhubungan satu sama dengan yang lainnya.
Sistematika atau gambaran isi tersebut dibagi dalam beberapa bab dan
diantara bab-bab ini terdiri pula atas sub bab.
Adapun gambaran isi atau sistematika tersebut adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pembukaan yang berisikan Latar Belakang, Rumusan
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan
Kepustakaan, Metode Penulisan dan yang terakhir adalah gambaran isi yang
merupakan Sistematika Penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MEKANISME
EKSTRADISI
Pada bab ini akan diuraikan mengenai Pengertian dan Sejarah Ekstradisi,
Ruang Lingkup Ekstradisi, Prosedur Dalam Pelaksanaan Ekstradisi, Azas-azas
Yang Terdapat Dalam Eksradisi.
BAB III BEBERAPA BENTUK MENGENAI KEJAHATAN
TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY)
Pada bab ini akan dibahas mengenai Pengertian Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan (Crimes Againts humanity), Jenis-jenis dan Prinsip-prinsip
Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity) dalam Statuta Roma 1999,
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity) dalam Piagam
Perserikatan Banga-Bangsa, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts
humanity) dalam Konvensi Den Haag 1907 dan Konvensi Jenewa 1949.
BAB IV PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI
MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN
TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY)
Pada bab ini akan dibahas mengenai Penerapan Yurisdiksi Universal,
Ekstradisi Atas Pelaku Kejahatan Pada Umumnya, Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan (Crimes Againts humanity) dan Penerapan Yurisdiksi Universal
Melalui Mekanisme Ekstradisi, Proses Peradilan Atas Pelaku Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan (Crimes Againts humanity) Oleh Mahkamah Pidana Internasional
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI MEKANISME EKSTRADISI
A. Pengertian Ekstradisi dan Sejarah Ekstradisi
Ekstradisi berasal dari kata latin “axtradere” (extradition = Inggris) yang
berarti ex adalah keluar, sedangkan tradere berarti memberikan yang maksudnya
ialah menyerahkan. Istilah ekstradisi ini lebih dikenal atau biasanya digunakan
terutama dalam penyerahan pelaku kejahatan dari suatu negara kepada negara
peminta.
Menurut I Wayan Parthiana, SH13
M. Budiarto
, “Ekstradisi adalah Penyerahan yang
dilakukan secara formal baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang diadakan
sebelumnya atau berdasarkan prinsip timbal balik, atas seseorang yang tertuduh
(terdakwa) atau atas seorang yang telah dijatuhi hukuman atas kejahatan yang
dilakukannya (terhukum, terpidana) oleh negara tempatnya melarikan diri atau
berada atau bersembunyi kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili
atau menghukumnya atas permintaan dari negara tersebut, dengan tujuan untuk
mengadili atau melaksanakan hukumannya.”
14
13
I Wayan Pharthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional”.
Alumni, Bandung, 1993, hal. 16. 14
M. Budiarto, Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan Hak-Hak Azasi Manusia,
, mengatakan bahwa secara umum ekstradisi dapat diartikan
suatu proses penyerahan tersangkan atau terpidana karena telah melakukan suatu
kejahatan yang dilakukan secara formal oleh suatu negara kepada negara lain yang
berwenang memeriksa dan mengadili pelaku kejahatan tersebut.
L. Oppenheim15
J. G. Starke
menyatakan:
“Extradition is the delivery of an accused or confited individual to the state
on whose teritory he is alleged to have committed, or to have been convicted of a
crime by the state on whose territory the alleged criminal happens for the time to
be”.
Yang artinya ialah; ekstradisi adalah penyerahan seorang tertuduh oleh
suatu negara diwilayah mana ia suatu waktu berada, kepada negara dimana ia
disangka melakukan atau telah melakukan atau telah dihukum karena perbuatan
kejahatan.
16
15
L. Oppenheim, International Law A Treaties, 8 th edition, 1960, vol. On-Peace, Hal. 696
16
J. G. Starke, An Introduction International Law (terjemahan F. Isjwara) Penerbit Alumni, Bandung, Hal. 13
memberikan pengertian sebagai berikut:
“The term extradition denotes the process where by under treaty or upon a
basis of reciprocity one state surrenders to another state at its request a person
accused or convicted of a criminal offence comitted againts the law of the
requesting state competent to try alleged offender”.
Artinya ialah penyerahan (Ekstradisi) menunjukkan suatu proses dimana
suatu negara menyerahkan atas permintaan negara lainnya, seorang dituduh
karena kriminal yang dilakukannya terhadap undang-undang negara pemohon
yang berwenang untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut. Biasanya kejahatan
yang berwenang untuk mengadili penjahat tersebut yang dilakukannya dalam
Pada umumnya, ekstradisi adalah merupakan sebagai tujuan politik dan
merupakan sarana untuk mencapai tujuan kekuasaan, namun pada saat ini
ekstradisi dipraktekkan guna menembus batas wilayah negara dalam arti agar
hukum pidana nasional dapat diterapkan terhadap para penjahat yang melarikan
diri ke negara lain atau agar keputusan pengadilan terhadap seorang penjahat yang
melarikan diri ke luar negeri dapat dilaksanakan. Secara umum permintaan
ekstradisi didasarkan pada perundang-undangan nasional, perjanjian ekstradisi,
perluasan konvensi dan tata krama internasional. Tetapi bila terjadi permintaan
ekstradisi diluar aturan-aturan tersebut, maka ekstradisi dapat dilakukan atas dasar
hubungan baik antara suatu negara dengan negara lain, baik untuk kepentingan
timbal balik maupun sepihak. Praktek ekstradisi yang didasarkan tata cara tersebut
disebut ”Handing Over” atau Disguished Extradition” (ekstradisi terselubung).
Handing Over atau Disguished Extradition diartikan sebagai penyerahan
pelaku kejahatan dengan cara terselubung atau dengan kata lain penyerahan
pelaku kejahatan yang tidak sepenuhnya sesuai dengan proses dan prosedur
ekstradisi sebagaimana ditentukan dalam pengaturannya diekstradisi.
Dalam memberikan definisi mengenai ekstradisi ini penulis hanya
mengemukakan beberapa pendapat dari para sarjana, namun tidaklah berarti
sarjana-sarjana termuka lainnya tidak memberikan definisi. Akan tetapi masih
banyak lagi sarjana-sarjana yang memberikan batasan-batasan.
Ekstradisi pertama sekali dikenal yakni dengan adanya perjanjian yang
dibuat secara tertulis pada tahun 1979 sebelum Masehi antara Ramses II dari
kerja sama dalam menghadapi musuh-musuh dalam negeri yang harus diserahkan
kepada negara asal kalau pelaku kejahatan berlindung pada raja dan negara lain.
Dengan dibuatnya perjanjian antara kedua negara tersebut menandakan adanya
tahap-tahap permulaan dari lahirnya perjanjian ekstardisi. Akan tetapi suatu hal
yang merupakan ciri istimewa dalam perjanjian yang dibuat pada tahun 1279
sebelum Masehi ini adalah adanya ketentuan bahwa orang yang akan diserahkan
tidak dijatuhi hukuman.17
Kemajuan-kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi disertai
dengan berkembangnya pemikiran-pemikiran yang baru dalam bidang politik,
ketatanegaraan dan kemanusiaan turut pula memberikan dorongan terhadap
perkembangan lembaga ekstradisi dalam konteks hukum internasional. Memang
kita akui bahwa kemajuan ilmu pengetahuan pada satu sisi dapat meningkatkan
kesejahteraan hidup umat manusia, namun pada sisi lain timbul pula efek-efek
negatifnya. Misalnya timbulnya kejahatan-kejahatan dalam bidang keuangan,
perbankan, kejahatan komputer dan lain-lain yang dapat menimbulkan akibat
yang cukup meresahkan masyarakat tidak saja pada satu negara tetapi juga
berpengaruh pada negara-negara lain. Dengan demikian untuk mengantisipasi
kejahatan-kejahatan yang berkembang tersebut sangat diperlukan adanya kerja
sama antara negara-negara dalam menanggulanginya. Hal ini dapat diwujudkan
misalnya, dengan menangkap pelaku kejahatan yang melarikan diri dan
menyerahkannya kepada negara yang mempunyai yurisdiksi untuk mengadili dan
menghukumnya atas permintaan dari negara tersebut. Dengan demikian kita dapat
17
melihat bahwa ekstradisi adalah merupakan sarana yang ampuh untuk
memberantas kejahatan.
Memang kita akui bahwa lembaga ekstradisi adalah lembaga atau sarana
yang ampuh untuk dapat memberantas kejahatan. Hal ini hanya dapat diwujudkan
jika terdapat hubungan yang baik antara negara-negara didunia, sehingga dapat
lebih memudahkan dan mempercepat peneyerahan penjahat pelarian. Namun
bukanlah tidak mungkin yang terjadi adalah sebaliknya, dimana antara negara
sipelaku kejahatan dengan negara dimana ia melarikan diri saling bermusuhan,
sehingga sangat sulit untuk saling menyerahkan penjahat pelarian. Bahkan
masing-masing pihak akan membiarkan wilayahnya dijadikan sebagai tempat
pelarian dan mencari perlindungan bagi penjahat-penjahat dari negara musuhnya.
Dengan demikian kesediaan menyerahkan penjahat pelarian bukanlah didasarkan
bahwa orang yang bersangkutan patut diadili dan dihukum. Demikian pula
memberikan perlindungan kepada seseorang atau beberapa orang yang
bersangkutan patut untuk dilindungi. Apabila hubungan kedua negara yang
semula bersahabat berubah menjadi bermusuhan, maka kerja sama saling
menyerahkan penjahat pelarian bisa berubah menjadi saling melindungi penjahat
tersebut, Demikian pula sebaliknya. Disamping itu pula praktek-pratek
penyerahan penjahat pelarian belum didasarkan atas keinginan untuk kerja sama
dalam mencegah dan memberantas kejahatan.
Dalam merumuskan dan membuat perjanjian-perjanjian ekstradisi,
negara-negara yang bersangkutan perlu memperhatikan beberapa aspek, baik aspek
dan kewajiban. Dengan demikian perjanjian-perjanjian ekstradisi dalam isi dan
bentuknya yang modern memberikan jaminan kesimbangan antara tujuan
memberantas kejahatan dan penghormatan hak-hak azasi manusia. Apalagi
masalah hak azasi manusia adalah merupakan masalah yang cukup aktual
dibicarakan didunia. Prinsip tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik adalah
merupakan wujud dari pengakuan hak azasi manusia untuk menganut keyakinan
politik atau hak politik seseorang.
Pada masa sekarang ini, didalam pelaksanaannya negara-negara dalam
melakukan penyerahan penjahat pelarian tidak harus tergantung kepada adanya
perjanjian antara negara-negara tersebut. Bisa saja antara kedua negara tersebut
tidak mempunyai perjanjian ekstradisi, namun mereka menyerahkan
penjahat-penjahat pelarian untuk diadili, meskipun bukti-bukti untuk menguatkan dugaan
tentang kejahatan belum dapat ditunjukkan. Hal ini umumnya terjadi diantara
negara-negara yang mempunyai hubungan yang baik. Dengan demikian tidaklah
berarti bahwa adanya perjanjian merupakan persyaratan yang mutlak dalam
melaksanakan penyerahan penjahat tersebut.
Agar dapat dimengerti dan dipahami lebih dalam mengenai ekstradisi,
maka haruslah diketahui hal-hal pokok-pokok atau unsur-unsur dari ekstradisi itu
sendiri. Menurut I Wayan Parthiana, SH ada beberapa unsur dari ekstradisi yakni:
1. Unsur Subjek.
Yang dimaksud dengan unsur Subjek adalah negara. Dalam hal ini ada 2
a) Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukum
sipelaku kejahatan.
b) Negara tempat pelaku kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa)
atau siterhukum itu berada atau bersembunyi.
Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukum ini
sangat berkepentingan untuk mendapatkan kembali orang tersebut untuk diadili
atau dihukum atas kejahatan yang telah dilakukannya itu. Biasanya negara yang
memiliki yurisdiksi untuk menghukum ini lebih dari satu. Untuk mendapatkan
kembali orang yang bersangkutan, negara atau negara-negara tersebut mengajukan
permintaan kepada negara tempat orang itu berada atau bersembunyi. Negara ini
disebut negara peminta (the resqusthing state).
Negara tempat pelaku kejahatan berada atau bersembunyi diminta oleh
negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili supaya menyerahkan orang
yang berada dalam wilayahnya itu (tersangka, terhukum) yang dengan singkat
disebut negara diminta (the resquithing State).
2. Unsur Objek.
Unsur objek yang dimaksud adalah sipelaku itu sendiri (tersangka,
tertuduh, terhukum) yang diminta oleh negara peminta kepada negara diminta
supaya diserahkan. Dengan perkataan lain disebut sebagai “orang yang diminta”.
Walaupun sebagai objek namun sebagai manusia dia harus diperlakukan sebagai
subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya yang azasi, yang tidak boleh
3. Unsur Tata cara dan Prosedur.
Maksud dari pada unsur tata cara atau prosedur yakni bagaimana tata cara
untuk mengajukan permintaan penyerahan maupun tata cara untuk menyerahkan
atau menolak penyerahan itu sendiri serta segala hal yang ada hubungannya
dengan itu. Penyerahan hanya dapat dilakukan apabila diajukan permintaan untuk
menyerahkan oleh negara peminta kepada negara diminta. Permintaan itu haruslah
didasarkan pada perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya antara kedua
belah pihak atau apabila perjanjian itu belum ada juga bisa didasarkan pada azas
timbal balik yang telah disepakati. Kalau tidak ada permintaan untuk
menyerahkan dari negara peminta, maka sitersangka tidak boleh ditangkap atau
diserahkan. Kecuali penangkapan atau penahanan itu didasarkan atas adanya
yurisdiksi negara tersebut atau orang yang kejahatannya sendiri atau atas
kejahatan lain yang dilakukan orang itu sendiri harus diajukan secara formal
kepada negara yang bersangkutan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan
atau menurut hukum kebiasan internasional.
4. Unsur Tujuan.18
Sedangkan yang dimaksud dengan unsur tujuan adalah untuk tujuan apa
orang yang bersangkutan dimintakan penyerahan atau diserahkan. Hal ini
tentunya melihat kepada bentuk kejahatan yang telah melakukan suatu kejahatan
yang menjadi yurisdiksi negara atau negara diminta. Penyerahan atau ekstradisi
yang dimaksudkan ialah untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut dan
menjatuhkan hukuman apabila terbukti bersalah dan agar sipelaku kejahatan
18
menjalani hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya yang telah mempunyai
kekuatan hukum dinegara yang berwenang mengadilinya. Namun satu hal yang
lebih penting bukan hanya menyeret pelaku kejahatan kedepan pengadilan untuk
mempertanggung jawabkan perbuatannya secara hukum, tetapi lebih jauh lagi
sebagai upaya mencegah makin meluasnya tindakan serupa yang akan
mengancam keamanan dan ketertiban serta keselamatan internasional yang sudah
menjadi tanggung jawab dari seluruh negara-negara didunia ini.
B. Ruang Lingkup Ekstradisi
Pada masa sekarang ini, akibat dari kemajuan teknologi yang semakin
canggih khususnya dibidang komunikasi dan kedirgantaraan, maka jarak antara
satu negara dengan negara lain dapat ditempuh dengan waktu yang singkat. Disatu
sisi kemajuan ini tentunya berdampak positif terhadap proses percepatan
pembangunan diseluruh dunia tetapi disisi lain hal ini sangat berpengaruh pula
terhadap kecanggihan-kecanggihan baik dari bentuk-bentuk kejahatan maupun
pelaku-pelaku kejahatan dalam menghindari tuntutan yang akan dijatuhkan
terhadapnya.
Seorang pelaku kejahatan tentunya dengan mudah untuk mudah melarikan
diri ke negara lain untuk menghindari tuntutan dan ancaman yang akandijatuhkan
terhadapnya. Jika hal ini terjadi, maka telah terlibatlah kepentingan dua negara
bahkan lebih.
Agar orang yang telah melakukan kejahatan disuatu negara dimana ia telah
melarikan diri ke negara lain dapat dihukum, maka negara tempat ia melakukan
lain, karena hal ini telah melanggar kedaulatan di wilayah negara lain. Ini hanya
dapat dilakukan dengan persetujuan dari negara dimana sipelaku tersebut berada.
Jika dilakukan tanpa adanya persetujuan dari negara tersebut maka hal ini telah
dipandang sebagai intervensi atau campur tangan yang dilarang menurut hukum
internasional.
Cara yang legal untuk dapat mengadili dan menghukum sipelaku
kejahatan itu ialah dengan meminta kepada negara tempat sipelaku kejahatan itu
berada, supaya menangkap dan menyerahkan orang tersebut. Sedangkan negara
tempat sipelaku kejahatan berada, setelah menerima permintaan untuk
menyerahkan itu dapat menyerahkan sipelaku kejahatan tersebut kepada negara
atau salah satu negara yang mengajukan permintaan penyerahan tersebut. Cara
atau prosedur semacam ini telah diakui dan merupakan prosedur yang telah umum
dianut baik dalam hukum internasional maupun dalam hukum nasional yang lebih
dikenal dengan ekstradisi.
Hal ini tentunya dapat berjalan dengan lancar jika hubungan antara negara
yang meminta penyerahan dengan negara yang diminta penyerahannya berjalan
dengan lancar pula. Secara teoritis kelihatannya ekstradisi ini mudah untuk
dilaksanakan, namun dalam pelaksanaannya ditemui banyak kesulitan-kesulitan.
Apabila dalam pelaksanaan ekstradisi ini tidak ada satu patokan apakah harus ada
perjanjian antara negara-negara tersebutnya sebelumnya atau tidak.
Oleh karena itulah kita harus melihat ekstradisi ini dari lingkup yang lebih
luas, baik dalam konteks hukum internasional maupun dalam konteks hukum
Dalam hukum internasional, sampai saat ini belum mengenal adanya suatu
perjanjian internasional multilateral (International Convention) yang mengatur
lembaga ekstradisi secara umum atau universal. Yang ada dikalangan masyarakat
internasional (International Community) kebanyakan ialah perjanjian bilateral
ekstradisi dan sejumlah kecil perjanjian multilateral yang sifatnya kerja sama
regional dibidang ekstradisi, misalnya:
The Arab Leage Extradition Agreement Tahun 1952.
The Inter America Convention Extradition.
European Extradition Convention, dan lain-lain.
Memang diakui, agar ekstradisi mudah dilakukan maka keberadaan
perjanjian internasional tentang ekstradisi sebelumnya akan sangat diperluka.
Dengan demikian penyerahan seorang dapat dilakukan dengan mengikuti
ketentuan yang telah diletakkan dengan pasti dalam perjanjian tersebut. Walau
demikian, tanpa adanya perjanjian ekstradisi penyerahan seseorang yang dituduh
melakukan kejahatan dapat dilakukan menurut hukum kebiasaan internasional.
Ekstradisi yang dimintakan bukan berdasarkan suatu perjanjian
internasional (karena adanya traktat) biasanya sering menimbulkan masalah. Hal
ini disebabkan tidak adanya dasar hukum yang pasti yang dapat digunakan
sebagai landasan untuk menyerahkan seseorang. Dalam keadaan demikian itu
umumnya penyerahan seseorang yang tertuduh melakukan kejahatan dilakukan
dengan cara permintaan secara sopan santun internasional (international
courtesty), perlakuan timbal balik (reciprocity), juga berupa kemurahan hati
Ekstradisi tumbuh dan berkembang dari praktek negara-negara yang lama
kelamaan bekembang menjadi hukum kebiasaan. Negara-negara mulai
merumuskannya didalam perjanjian-perjanjian ekstradisi baik yang bilateral,
multilateral, ataupun multilateral regional. Disamping menambahkan
ketentuan-ketentuan baru sesuai dengan kesepakatan para pihak.
Beberapa konvensi internasional yang dapat dijadikan dasar hukum
sebagai pelaku kejahatan menurut ketentuan tentang ekstradisi sebenarnya juga
sudah ada sebelumya, misalnya kejahatan penerbangan yang telah diatur dalam
konvensi Tokyo 1963, konvensi Den Haag 1970, konvensi Montreal 1971,
konvensi Tentang Obat Bius 1971, dan lain-lain.
Disamping melihatnya dari aspek hukum internasional, ekstradisi juga
harus dilihat dari aspek hukum nasional, karena tidaklah mungkin pembahasan
ekstradisi dapat dipecahkan jika hanya ditinjau dari sisi hukum internasional saja.
Hal ini disebabkan karena adanya hal-hal yang tidak diatur atau dirumuskan
sepenuhnya dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi, terutama hal-hal yang
merupakan masalah dalam negeri masing-masing negara yang bersangkutan.
Dalam hal seperti inilah perjanjian-perjanjian ekstradisi menunjukkan kepada
hukum nasional masing-masing pihak untuk menentukannya dan pengaturannya
secara lebih mendetail. Misalnya tentang penangkapan dan penahanan orang yang
diminta, keputusan tentang penentuan kejahatannya apakah termasuk kejahatan
politik atau tidak, tentang lembaga atau instansi yang berwenang untuk
memutuskan apakah permintaan akan diterima atau ditolak dan lain-lain
belum dapat menjawab semua masalah yang timbul bertalian dengan ekstradisi
ini. Oleh karena negara-negara juga memandang perlu memiliki sebuah
undang-undang nasional yang secara khusus mengatur mengenai tentang ekstradisi.
Disamping itu, mengadakan perjanjian-perjanjian ekstradisi dengan negara-negara
lain.
Perjanjian-perjanjian yang telah lebih dahulu diadakan, akan merupakan
pembatasan-pembatasan yang harus diperhatikan oleh negara yang bersangkutan
apabila kemudian hendak membuat undang-undang ekstradisi nasional. Hal ini
dimaksudkan supaya tidak timbul pertentangan antara ketentuan-ketentuan dalam
perjanjian ekstradisi dengan terdapat didalam perundang-undangan ekstradisi itu
sendiri.
Hukum internasional pada prinsipnya tidak membenarkan suatu negara
melalaikan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam hukum internasional
berdasarkan alasan-alasan yang merupakan masalah dalam negeri dari negara
yang bersangkutan.
C. Prosedur Dalam Pelaksanaan Ekstradisi
Yang dimaksud dengan prosedur disini ialah tata cara untuk mengajukan
permintaan penyerahan maupun tata cara untuk menyerahkan atau menolak
penyerahan itu sendiri dengan segala hal yang ada hubungannya dengan itu.
Penyerahan hanya dapat dilakukan apabila sebelumnya ada diajukan
permintaan untuk menyerahkan oleh negara peminta kepada negara diminta.
Penyerahan dan permintaan itu haruslah didasarkan pada perjanjian ekstradisi
perjanjian itu tidak ada, juga bisa didasarkan pada azas timbal balik yang telah
disepakati. Jadi bila sebelumnya tidak ada permintaan untuk menyerahkan dari
negara peminta, orang yang bersangkutan tidak boleh ditangkap, atau ditahan
ataupun diserahkan. Kecuali penangkapan dan penahanan itu didasarkan adanya
yurisdiksi negara tersebut atas orang dan kejahatannya sendiri atau atas kejahatan
lain yang dilakukan orang itu dalam wilayah negara tersebut.
Permintaan untuk menyerahkan itu haruslah diajukan secara formal
kepada negara diminta sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan dalam
perjanjian ekstradisi atau hukum kebiasaan internasional. Jika permintaan untuk
menyerahkan tersebut tidak diajukan secara formal melainkan hanya informal saja
misalnya hanya dikemukakan secara lisan oleh wakil negara peminta kepada
wakil negara diminta yang kebetulan bertemu dalam suatu pertemuan ataupun
dalam konferensi internasional. Hal itu tidak dapat dianggap sebagai permintaan
untuk menyerahkan dalam pengertian dan ruang lingkup ekstradisi. Tetapi barulah
merupakan tahap penjajakan saja.
Sebelum permohonan ekstradisi diajukan melalui saluran dipomatik, harus
ada dua faktor yang harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu:19
1. Adanya orang yang harus diserahkan (extraditiable person)
Dalam praktek ekstradisi umumnya terdapat keseragaman antara
negara-negara, yaitu bahwa negara peminta lazimnya memperoleh orang yang diminta,
bila orang itu warga negara dari peminta atau warga negara suatu negara ketiga,
dimana adanya perjanjian sebelumnya. Tetapi kebanyakan negara yang diminta
19
biasanya menolak untuk menyerahkan warga negaranya sendiri untuk diserahkan
kepada negara lain. Dengan perkataan lain warga negara yang telah melakukan
kejahatan akan diserahkan kembali kenegara asalnya (non extradition of
nationals).
2. Kejahatan yang dapat diserahkan (extraditiable offence)
Kejahatan yang dapat diserahkan pada umumnya atas kesepakatan dari
negara yang melaksanakan perjanjian tersebut dengan pengecualian yaitu:
a) Kejahatan politik.
b) Kajahatan militer.
c) Kejahatan agama.20
Dalam praktek negara-negara dewasa ini, dalam menetapkan
kejahatan-kejahatan apa yang dapat diserahkan, dipergunakan salah satu dari tiga sistem,
yaitu:
1) Sistem Enumeratif atau sistem daftar (list system) yaitu sistem yang
memuat dalam perjanjian suatu daftar yang mencantumkan satu persatu
kejahatan mana yang dapat diekstradisi.
2) Sistem Eliminatif, yaitu sistem yang hanya menggunakan maksimum
hukuman atau minimum hukuman sebagai ukuran untuk menerapkan
apakah suatu kejahatan merupakan kejahatan yang dapat diserahkan
atau tidak, tanpa menyebutkan satu persatu nama delik yang dapat
diekstradisi.
3) Sistem campuran yang merupakan kombinasi sistem enumeratif dan
sistem eliminatif, mencantumkan juga kejahatan dengan minimum atau
maksimum hukumman yang dapat diekstradisi.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa untuk melaksanakan
ekstradisi ini haruslah dilihat kepada perjanjian yang telah disepakati sebelumnya,
sedangkan jika tidak ada perjanjian ekstradisi sebelumnya harus menuruti prinsip
timbal balik yang disepakati.
D. Azas-azas Yang Terdapat Dalam Ekstradisi
Azas-azas atau dasar-dasar yang dipakai dalam ekstradisi, apakah itu
merupakan perjanjian ekstradisi bilateral atau multilateral maupun dalam
undang-undang nasional suatu negara megenai ekstradisi pada pokoknya adalah sama.
Dasar-dasar yang sama tersebut terus diikuti oleh negara-negara yang membuat
perjanjian ekstradisi maupun yang merumuskan peraturan ekstradisi dalam
perundang-perundangan.
Dengan demkian azas-azas yang sama ini telah dapat diterima dan diikuti
sebagai azas-azas yang melandasi ekstradisi. Adapun azas-azas tersebut ialah:
1. Azas Kejahatan Ganda (Double Criminality).
Azas ini merupakan azas yang memandang bahwa penyerahan pelaku
kejahatan hanya dapat dilakukan apabila kejahatan yang dilakukan oleh orang
tersebut juga diyakini dan diterima sebagai suatu kejahatan yang terhadapnya
harus dijatuhi hukuman baik oleh negara peminta maupun negara diminta.
Dengan demikian apabila negara diminta memandang bahwa permintaan dari
kejahatan dinegara yang diminta maka negara tersebut tidak dapat menyerahkan
orang yang diminta tersebut kepada negara peminta, karena hal ini akan
melanggar azas kejahatan ganda yang telah diterima sebagai azas utama dalam
suatu perjanjian ekstradisi yang telah dibuat sebelumnya. Dengan perkataan lain
bahwa penyerahan pelaku kejahatan hanya dapat dilakukan apabila perbuatan
orang tersebut merupakan kejahatan yang diakui oleh kedua negara.
2. Azas Kekhusussan atau Specially.
Azas ini berhubungan dengan azas yang pertama karena azas ini mengatur
tentang penyerahan atas tuduhan kejahatan yang disebutkan dalam permintaan
penyerahan pelaku kejahatan.
Jika sipelaku kejahatan tersebut hanya melakukan satu kejahatan saja dan
sipelaku diminta untuk diserahkan berdasarkan atas kejahatan tersebut tidaklah
menjadi masalah. Namun bagaimana jika sipelaku tersebut telah melakukan
pembunuhan, sipelaku juga melakukan kejahatan penipuan, pemalsuan mata uang
dan lain-lain yang kesemua jenis kejahatan ini dapat dijadikan dasar untuk
penyerahannya kepada negara peminta.
Untuk itulah harus ditentukan secara khusus oleh negara peminta atas
dasar kejahatan apa sipelaku tersebut diminta untuk diserahkan, sekalipun semua
jenis kejahatan yang dilakukan dapat dijadikan dasar untuk penyerahan tersebut.
Oleh karena itu negara peminta dalam mengajukan permintaan penyerahan
itu harus menegaskan untuk kejahatan apa saja orang tersebut diminta
penyerahannya. Kemudian negara diminta mempertimbangkan apakah
sipelaku tersebut akan diserahkan maka negara diminta harus menegaskan pula
untuk kejahatan apa sipelaku tersebut diserahkan. Dalam hal ini ada 2 (dua)
kemungkinan yakni:
Negara diminta menyerahkan sipelaku tersebut berdasarkan semua
kejahatan yang telah dituduhkan kepadanya.
Negara diminta hanya menyerahkan sipelaku berdasarkan beberapa
atau sebagian perbuatan kejahatan yang dituduhkan kepada pelaku
tersebut:
Dalam hal peradilannya, maka sipelaku hanya boleh dituntut oleh negara
peminta berdasarkan jenis-jenis kejahatan untuk mana sipelaku tersebut
diserahkan oleh negara diminta. Diluar dari kejahatan tersebut sipelaku tidak
dibenarkan untuk dituntut. Hal ini penting karena tujuan ekstradisi itu sendiri
adalah untuk menjamin kepastian hukum terutama dalam kaitannya dengan
kepastian hukum bagi orang yang diminta.
3. Azas Tidak Menyerahkan Pelaku Kejahatan Politik (Non Extradition of
Political Criminal).
Kejahatan politik mempunyai pengaturan tersendiri dalam perjanjian
politik maupun perundang-undangan mengenai ekstradisi. Terhadap kejahatan
politik erat kaitannya dengan pengakuan tentang hak-hak azasi manusia yang
tertuang dalam deklarasi tentang hak-hak azasi manusia yang dalam salah satu
isinya ialah setiap orang berhak mencari dan menikmati perlindungan politik dari
negara lain. Meskipun Pasal tersebut tidak mewajibkan suatu negara untuk
perlindungan kepadanya.21
4. Azas Tidak Menyerahkan Warga Negara (Non Extradition Nationality).
Dengan demikian negara peminta apabila memandang
bahwa kejahatan yang dilakukan oleh sipelaku yang melarikan diri tersebut
sebagai kejahatan politik, maka sebaiknya tidak meminta kepada negara lain,
karena besar kemungkinan permintaan tersebut akan ditolak oleh negara diminta.
Kalau persoalan hak azasi manusia menjadi cukup kompleks aplikasinya, karena
hak azasi manusia dimasuki unsur politik, dan topik itu akan selalu menarik untuk
dibicarakan sebahagian manusia baik oleh negara-negara yang telah benar-benar
menghormati hak azasi manusia secara formal dan material ataupun bagi
negara-negara yang kurang menghormati. Bagi negara-negara yang sudah menghormati hak-hak
azasi manusia akan dijadikan contoh kebaikannya, dan yang sebaliknya dijadikan
intropeksi bagi negaranya.
Negara diminta diberikan kekuasaan untuk tidak menyerahkan warga
negaranya kepada negara peminta sehubungan dengan kejahatan yang
dilakukannya dinegara tersebut dengan pertimbangan bahwa setiap negara wajib
melindungi warga negaranya, karena dikhawatirkan apakah negara peminta akan
mengadilinya secara jujur dan adil serta keobjektifannya sehingga warga negara
tersebut betul-betul memperoleh keadilan yang sama dengan apabila ia diadili
dinegaranya sendiri.
5. Azas Non Bis In Idem.
Azas ini memberikan kepastian hukum bagi pelaku kejahatan untuk tidak
dihukum dua kali dengan kejahatan yang sama. Suatu peristiwa pidana dapat saja
21
melibatkan lebih satu negara yang berhak atas yurisdiksi bagi kejahatan tersebut.
Apabila pelaku kejahatan telah dijatuhi hukumman dinegara dimana ia berada,
maka negara peminta tidak dapat meminta penyerahan penjahat tersebut untuk
diekstradisi karena kejahatan yang sama yang baginya telah mempunyai kekuatan
hukum yang pasti dinegara diminta. Karena tujuan ekstradisi adalah memberantas
kejahatan dengan kerja sama tanpa mengesampingkan pelaku sebagai manusia
dengan segala hak dan kewajibannya yang harus dijamin dan dihormati.
6. Azas Kedaulatan.
Azas ini berbeda tetapi mengandung makna yang sama, yaitu tidak akan
melakukan penyerahan apabila penuntutan atau pelaksanaan hukumman terhadap
kejahatannya yang dijadikan dasar untuk meminta penyerahan telah kadaluarsa
menurut hukum dari salah satu pihak. Batasan waktu yang diberikan sehubungan
dengan ini bagi tiap-tiap perjanjian berbeda. Suatu peristiwa dianggap kadaluarsa
apabila telah lewat waktunya yang seharusnya berlaku. Peristiwa tersebut
dibiarkan begitu saja sehingga dilupakan orang seakan-akan tidak pernah terjadi.
7. Azas Capital Punishment.
Yaitu suatu prinsip yang menyatakan apabila negara menuntut suatu
ekstradisi atau kejahatan yang diancam dengan hukumman mati maka ekstradisi
demikian tidak dapat diterima.
8. Azas Lex Loci Delictus.
Yakni suatu azas yang menyatakan tempat dimana kejahatan terjadi akan
suatu ekstradisi. Hal ini berarti tuntutan ekstradisi yang diutamakan ialah tuntutan
dari negara diwilayah mana kejahatan itu dilakukan.
9. Azas yang menyatakan prosedur penangkapan, penahanan dan penyerahan
tunduk kepada hukum nasional dari negara masing-masing.
10. Azas yang menyatakan suatu permintaan ekstradisi dapat saja ditolak bila
kejahatan yang dilakukan seluruhnya atau sebagian berada dalam
yurisdiksi dari negara yang diminta. Azas ini tampaknya mempunyai
kaitan dengan azas Lex Loci Delictus mengenai tempat dimana kejahatan
itu dilakukan. Jelasnya disini faktor tempat sangat mempengaruhi
kemungkinan dapat tidaknya permintaan ekstradisi suatu negara
dikabulkan.
11. Azas yang menyatakan bila mana terjadi ekstradisi kenegara ketiga, maka
hanya dapat dilakukan dengan izin dari negara yang diminta.
Dari berbagai azas yang mewarnai peraturan ekstradisi, dapat dilihat
bahwa ekstradisi merupakan tindakan yang harus diambil dengan penuh
pertimbangan dan jaminan demi tercapainya tujuan ekstradisi itu sendiri yaitu
yakni memberantas kejahatan secara kerja sama untuk mewujudkan masyarakat
internasional yang aman, tertib, dan adil. Disamping itu azas-azas ini telah
mendapat pengakuan dari negara-negara didunia dalam usaha untuk menjamin
BAB III
BEBERAPA BENTUK MENGENAI KEJAHATAN TERHADAP
KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY)
A. Pengertian Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity)
Istilah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity )
pertama kali digunakan dalam piagam Nuremberg. Piagam ini merupakan
multilateral antara Amerika Serikat dan sekutunya setelah Perang Dunia II.
Amerika Serikat dan sekutunya menilai para pelaku (NAZI) dianggap
bertanggung jawab terhadap Kejahatan Terhadap Kemanusiaan pada masa
tersebut.22
1. Murder (pembunuhan),
Adapun definisi Kejahatan Terhadap Kemanusiaan menurut Statuta
Mahkamah Internasional pada Pasal 7 Statuta Roma adalah : salah satu dari
perbuatan berikut apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau
sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil, lebih lagi
kejahatan yang dilakukan dalam kejahatan yang dikualifikasi sebagai Crimes
Againts humanity, antara lain;
2. Exterminatio (pembasmian/pemusnahan),
3. Enslavement (perbudakan),
4. Deportation or forcible transfer of population (pengusiran atau
pemindahan secara paksa atas penduduk),
22
5. Penahanan atau penghukuman yang berupa pengurangan kebebasan yang
merupakan pelanggaran atas kaidah hukum yang fundamental (detention
or deprivation of liberty in violation of fundamental legal norms),
6. Torture (penyiksaan),
7. Rape or other sexual abuse or enforced prostitution (pemerkosaan atau
penyalahgunaan seksual lainnya atau pemaksaan untuk melakukan
prostitusi),
8. Penyiksaan/penganiayaan yang dilakukan terhadap kelompok manusia
berdasarkan alasan politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya atau agama,
gender, atau alasan-alasan lain yang serupa (persecution againts any
identifiable group or collectivity on political, racial, national, ethnic,
cultural or relegious or gender or other similar grounds),
9. Enforced disapearance of persons (penghilangan secara paksa atas
seseorang individu),
10.Tindakan-tindakan lainnya yang tidak manusiawai atau tidak
berperikemanusiaan atau tindakan-tindakan yang memiliki ciri-ciri yang
serupa yang mengakibatkan penderitaan yang berat atau kerusakan yang
serius terhadap badan, mental atau kesehatan fisik (other inhumane acts
ofa similar character causing great sufering or serious injury to body or
mental or physical health).
Pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan bisa jadi aparat/ instansi negara,
atau pelaku non negara.23
humanity) adalah satu dari empat “kejahatan-kejahatan internasional”
(international crimes), disamping The Crime of Genocide, War Crimes dan The
Crime of Aggression. International Crimes sendiri didefinisikan sebagai
kejahatan-kejahatan yang karena tingkat kekejamannya, tidak satupun pelakunya
boleh menikmati imunitas dari jabatannya; dan tidak ada yurisdiksi dari satu
negara tempat kejahatan itu terjadi digunakan untuk mencegah proses peradilan
oleh masyarakat internasional terhadapnya. Dengan kata lain, internasional
crimes ini menganutasas universal yurisdiction.24
1) Pembunuhan
Jadi, definisi dari kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan sendiri
adalah “tindakan-tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari sebuah
penyerangan yang luas dan sistematik yang terjadi secara langsung terhadap
populasi sipil”.
B. Jenis-Jenis dan Prinsip-Prinsip Kejahatan Hukum Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan (Crimes Againts humanity)
Jenis-jenis Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity)
Lebih spesifik lagi yang dapat dikatergorikan kedalam kejahatan terhadap
kemanusiaan adalah:
Pembunuhan adalah suatu tindakan yang dapat mengakibatkan matinya
orang lain. Pembunuhan dalam kasus kejahatan terhadap kemanusiaan ini harus
24
memenuhi unsur-unsur kesengajaan dan yang lebih penting lagi harus
dikategorikan kedalam kejahatan yang paling serius.
2) Pemusnahan
Pemusnahan ini ditimbulkan secara sengaja pada kondisi kehidupan,
antara lain dengan dihilangkannya akses kepada pangan dan obat-obatan, yang
diperhitungkan akan membawa kehancuran terhadap sebahagian penduduk.25
3) Perbudakan
Perbudakan berarti pelaksanaan dari setiap atau semua kekuasaan yang
melekat pada hak kepemilikan atas seseorang dan termasuk dilaksanakannya
kekuasaan tersebut dalam perdagangan manusia, khususnya perempuan dan
anak-anak.26
4) Deportasi atau pemindahan secara paksa penduduk
Deportasi atau pemindahan secara paksa penduduk berarti perpindahan
orang-orang yang bersangkutan secara paksa dengan pengusiran atau perbuatan
pemaksaan lainnya dari daerah dimana mereka hidup secara sah, tanpa alasan
yang diperbolehkan berdasarkan hukum internasional.27
5) Penyiksaan
Memenjarakan atau
perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-aturan dasar
hukum internasional.
Penyiksaan berarti ditimbulkannya secara sengaja rasa sakit atau
penderitaan yang hebat, baik fisik maupun mental terhadap seseorang yang
ditahan atau dibawah penguasaan tertuduh; kecuali kalau siksaan tersebut tidak
25
Statuta Mahkamah Internasioan, Pasal 7 ayat (2) sub (b). 26
termasuk rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari yang melekat pada
atau sebagai akibat yang sah.28
7) Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, pengahmilan paksa,
pemaksaan sterilisasi, atau bentuk lain dari kekerasan seksual lain yang cukup
berat
Pengahmilan paksa berarti penahanan tidak sah, terhadap seorang
perempuan yang secara paksa dibuat hamil, dengan mempengaruhi komposisi
etnis dari suatu kelompok penduduk atau melaksanakan suatu pelanggaran berat
terhadap hukum internasional29
8) Penganiayaan
Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat didefinisikan atau
klektivitas atas dasar politik, ras nasional, etnis budaya, agama, jender atau atas
dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diijinkan berdasarkan hukum
internasional yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksuddalam
jurisdiksi mahkamah.
9) Penghilangan paksa
Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa berarti perpindahan
orang-orang yang bersangkutan secara paksa dengan pengusiran atau perbuatan
pemaksaan lainnya dari daerah dimana mereka hidup secara sah, tanpa alasan
yang diperbolehkan berdasarkan hukum internasional.
10) Kejahatan Apartheid
28
Ibid, sub (e) 29
Berarti perbuatan tidak manusiawi dengan sifat yang sama dengan
sifat-sifat yang disebutkan dalam ayat (1), yang dilakukan dalam konteks suatu rejim
kelembagaan berupa penindasan dan dominasi sistematik oleh satu kelompok
rasial atas suatu kelompok atau kelompok-kelompok ras lain dan dilakukan
dengan maksud untuk mempertahankan rejim itu.
11). Perbuatan tidak manusiawi lain
Perbuatan tidak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja
menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau
kesehatan fisik.
Prinsip-prinsip Hukum Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity)
Seperti yang diketahui, bahwa Pasal 7 dalam Statuta Roma harus dihargai
sebagai Pasal yang bernilai tinggi dalam Statuta Roma. Oleh karena itu, Pasal ini
merealisasikan konsep kejahatan terhadap kemanusiaan yang wajib dipatuhi oleh
negara-negara di dunia dan membedakannya dari kejahatan lain dengan
mengaitkan pada kebijakan negara atau organisasi politik. Kejahatan ini tidak
didefinisikan atas dasar gawatnya kejahatan itu: seseorang pembunuh berantai
dapat menimbulkan kerusakan lebih luas daripada penyiksaan rutin yang
dilakukan oleh polisi. Yang memisahkan kejahatan terhadap kemanusiaan baik
dalam kelicikannya dan dalam kebutuhan akan peraturan-peraturan khusus
tentang penolakan terhadapnya adalah suatu fakta yang sederhana, yaitu bahwa
kejahatan itu merupakan suatu aksi brutal yang nyata-nyata dilakukan oeh