• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Yurisdiksi Unversal Melalui Mekanisme Ekstradisi Atas Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penerapan Yurisdiksi Unversal Melalui Mekanisme Ekstradisi Atas Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity)"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI

MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP

KEMANUSIAAN

(CRIMES AGAINTS HUMANITY)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH

050200293 FACHRIZAL LUBIS

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI

MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP

KEMANUSIAAN

(CRIMES AGAINTS HUMANITY)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan syarat-syarat

guna memperoleh gelar sarjana hukum

OLEH

FACHRIZAL LUBIS

050200293

Departemen Hukum Internasional

Disetujui oleh

Ketua Bagian

(Sutiarnoto MS, SH., M. Hum)

NIP 19561010 198603 1 003

Pembimbing I Pembimbing II

(Prof. Sanwani Nst, SH) (Makhdin Munthe,SH, M.Hum)

(3)

KATA PENGANTAR

Syukur penulis ucapkan ke Hadirat Allah SWT yang telah mengkaruniai

kesehatan dan kelapangan berpikir kepada penulis sehingga akhirnya tulisan

ilmiah dalam bentuk skripsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi Penulis ini berjudu l : “PENERAPAN YURISDIKSI UNVERSAL

MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY). Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan dalam rangka mencapai gelar Sarjana

Hukum di Fakultas Hukum Universits Sumatera Utara Departemen Hukum

Internasional.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan

bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini Penulis menyampaikan

ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, SH.MH selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak M. Husni, SH. M. Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

(4)

5. Bapak Sutiarnoto, SH, MS selaku ketua Departemen Hukum Internasional

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Prof. Sanwani Nst, SH selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak

membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi.

7. Bapak Makhdin Munthe, SH, M. Hum selaku Dosen Pembimbing II yang

telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan

skripsi.

8. Bapak/Ibu para dosen dan seluruh staf administrasi Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara dimana peenulis menimba ilmu selama ini.

9. Rekan-rekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat

disebutkan satu-persatu. Semoga persahabatan kita tetap abadi.

Demikian Penulis sampaikan, kiranya skripsi ini dapat bermanfaat untuk

menambah dan memperluas cakrawala berpikir kita semua.

Medan, Februari 2010

(5)

ABSTRAK

Istilah kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity) pertama

kali digunakan dalam piagam Nuremberg. Piagam ini merupakan perjanjian

multilateral antara Amerika Serikat dan sekutunya setelah selesai Perang Dunia II

karena mereka dianggap bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan

pada masa itu. Definisi kejahatan terhadap kemanusiaan yang diperincikan dalam

pasal 7 Statuta Roma 1998 yang secara umum merupakan salah satu perbuatan

yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang

diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap

penduduk sipil.

Pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan bisa jadi aparat / instansi negara,

atau pelaku non negara.

Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity) adalah satu

dari empat kejahatan-kejahatan internasional (international crimes), disamping

the crime of genocide, war crimes, dan the crimes of aggression. International

crimes sendiri didefinisikan sebagai kajahatan-kejahatan yang karena tingkat

kekejamannya, tidak satupun pelakunya boleh menikmati immunitas dari

jabatannya dan tidak ada proses peradilan oleh masyarakat internasional

terhadapnya. Dengan kata lain internasional crimes menganut azas universal

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Tulisan ... 5

D. Keaslian Tulisan ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan... 7

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MEKANISME EKSTRADISI A. Pengertian dan Sejarah Ekstradisi ... 14

B. Ruang Lingkup Ekstradisi ... 22

C. Prosedur Dalam Pelaksanaan Ekstradisi ... 26

D. Asas-Asas Yang Terdapat Dalam Ekstradisi ... 29

BAB III BEBERAPA BENTUK MENGENAI KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY) A. Pengertian Kejahatan Terhadap Kemanusiaan ( Crimes Againts Humanity) ... 35

B. Jenis-Jenis dan Prinsip-Prinsip Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) ... 37

C. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) dalam Statuta Roma 1999 ... 43

(7)

E. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) dalam

Konvensi Den Haag 1907 dan Konvensi Jenewa 1949 ... 51

BAB IV PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI

MEKNISME EKSTRADISI KEJAHATAN TERHADAP

KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINGTS HUMANITY)

A. Penerapan Yurisdiksi Universal ... 57

B. Ekstradisi Atas Pelaku Kejahatan Pada Umumnya ... 63

C. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity)

dan Penerapan Yurisdiksi Universal Melalui Mekanisme

Ekstradisi ... 67

D. Proses Peradilan Atas Pelaku Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(Crimes Againts Humanity) Oleh Mahkamah Pidana

Internasional (International Criminal Court) Berdasarkan

Yurisdiksi Universal ... 71

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 89

B. Saran ... 91

(8)

ABSTRAK

Istilah kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity) pertama

kali digunakan dalam piagam Nuremberg. Piagam ini merupakan perjanjian

multilateral antara Amerika Serikat dan sekutunya setelah selesai Perang Dunia II

karena mereka dianggap bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan

pada masa itu. Definisi kejahatan terhadap kemanusiaan yang diperincikan dalam

pasal 7 Statuta Roma 1998 yang secara umum merupakan salah satu perbuatan

yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang

diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap

penduduk sipil.

Pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan bisa jadi aparat / instansi negara,

atau pelaku non negara.

Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity) adalah satu

dari empat kejahatan-kejahatan internasional (international crimes), disamping

the crime of genocide, war crimes, dan the crimes of aggression. International

crimes sendiri didefinisikan sebagai kajahatan-kejahatan yang karena tingkat

kekejamannya, tidak satupun pelakunya boleh menikmati immunitas dari

jabatannya dan tidak ada proses peradilan oleh masyarakat internasional

terhadapnya. Dengan kata lain internasional crimes menganut azas universal

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengenalan “Crimes Againts humanity” ( Kejahatan terhadap

Kemanusiaan), pertama kali mulai dikenal dan telah menjadi hukum internasional

positif yakni, setelah terjadi Perang Dunia II, sebagaimana ditegaskan dalam

Article 6 Charter of The International Military Trybunal Mahkamah Militer

Internasional atau yang juga dikenal dengan London Agreement, August 8, 1945.

Pasal 6 tersebut tidak mendefinisikan tentang kejahatan terhadap kemanusiaan,

melainkan hanya menjabarkan kejahatan-kejahatan apa saja yang merupakan

kejahatan terhadap kemanusiaan.1

Dalam pergaulan masyarakat internasional, khususnya masyarakat

bangsa-bangsa atau negara-negara, seperti trauma terhadap akibat-akibat yang

mengerikan dari Perang Dunia II, sehingga hal-hal yang merupakan

penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia dan kemanusiaan mendapat

prioritas dalam pengaturannya pada dalam internasional. Dalam waktu yang tidak

begitu lama telah dihasilkan antara lain, Deklarasi Universal Tentang Hak Asasi

Manusia, 10 Desember 1948, konvensi Genocide pada tahun 1949, dan setahun

kemudian dihasilkan konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban. Dalam

perkembangan selanjutnya, pada tahun 1953 dikawasan Eropa Barat, lahirlah

European Convention on Human Rights and fundamental Freedoms (konvensi

1

(10)

Eropa tentang Hak-Hak Asasi dan Kebebasan Fundamental Manusia). Demikian

pula dikawasan Amerika dan Afrika juga lahir konvensi-konvensi regional

tentang hak-hak asasi manusia. Pada tahun 1966, Majelis Umum PBB berhasil

menyepakati dua instrumen Hak-Hak Asasi Manusia, yakni, Covenant on Civil

and Political Rights dan Covenant on Economic and Cultural Rights.

Selanjutnya, berbagai instrumen Hak-Hak Asasi Manusia baik dalam ruang

lingkup global dan regional, maupun yang bersifat sektoral serta spesifik, mulai

bermunculan.2

Semua ini dengan akibat-akibat yang tidak berbeda dengan akibat-akibat

yang ditimbulkan oleh Perang Dunia II, yakni tersentuhnya nilai-nilai

kemanusiaan universal yang tidak lagi mengenal batas-batas wilayah negara,

perbedaan ras, warna kulit, suku, etnis, agama, dan kepercayaan. Sebagai

konsekuensinya, muncullah usaha-usaha untuk menginternasionalisasikan

kejahatan-kejahatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal

ini dan mengaturnya dalam bentuk instrumen-instrumen hukum internasional,

seperti perjanjian-perjanjian atau konvesi-konvensi internasional.

Demikian pula kejahatan-kejahatan dalam berbagai bentuk dan jenisnya,

baik yang terjadinya berhubungan dengan peperangan, maupun

kejahatan-kejahatan yang terjadi dalam keadaan normal (bukan keadaan perang), baik yang

bersifat nasional atau domestik maupun internasional atau transnasional, seiring

dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga semakin banyak

bermuncullan.

2

(11)

Masyarakat nasional maupun internasional, mulai mengenal nama-nama

kejahatan yang relatif yang agak baru, seperti kejahatan terrorisme, kejahatan

penerbangan, kejahatan terhadap orang-orang yang memiliki hak-hak istimewa

dan kekebelan diplomatik atau orang-orang yang mendapat perlindungan

perlindungan secara internasional, kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan

umat manusia, kejahatan menurut hukum internasional, dan lain sebagainya,

disamping kejahatan sejenis yang sudah lebih dahulu dikenal seperti kejahatan

perang, kejahatan genocide, kejahatan pembajakan dilaut dan kejahatan narkotika.

Sedangkan istilah kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes Againtst

Humanity), setelah diterapkan dalam proses peradilan para penjahat perang oleh

Mahkamah Militer Internasional di Nurenberg 1946 dan Tokyo1948, selanjutnya

berkembang dalam wacana akademik dalam bentuk karya-karya ilmiah para ahli

hukum internasional. Namun dengan berjalannya waktu, istilah Kejahatan

Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) ini,mulai memudar untuk

beberapa lama dari wacana publik.

Pasal 5 Statuta Mahkamah Pidana Internasional (Traktat Roma,1998)

menegaskan empat jenis kejahatan yang menjadi yurisdiksi dari Mahkamah, yakni

kejahatan perang (war crimes), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts

humanity), kejahatan agresi (crimes agression) dan kejahatan genocide (crimes of

genocide). Sedangkan yang termasuk dalam ruang lingkup kejahatan terhadap

kemanusiaan adalah seperti yang tertuang dalam Pasal 7 dalam Statuta Roma

(12)

Jadi mengenai ruang lingkup dari kejahatan terhadap kemanusiaan sudah

mengalami perluasan jika dibandingkan dengan ruang lingkupnya pada awal mula

kemunculannya, yakni sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 Statuta Mahkamah

Militer Internasional (perjannjian London,1945). Perluasan ini disebabkan karena

perkembangan dari berbagai bentuk dan jenis kejahatan-kejahatan itu sendiri.

Tentu saja secara hipotesis dapat dikemukakan, bahwa pada masa-masa yang akan

datang dengan semakin bertambah atau berkembangnya bentuk dan jenis-jenis

kejahatan maka ruang lingkup kejahatan terhadap kemanusiaan juga semakin

bertambah luas. Jadi, untuk sementara waktu dapat dikatakan, bahwa apa yang

dinamakan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity) ini

hanyalah merupakan himpunan atau kumpulan dari beberapa kejahatan yang dapat

saling berkaitan satu sama lainnya, yang dipandang bertentangan dengan

nilai-nilai kemanusiaan secara universal.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal diatas, maka penulis ingin lebih mengetahui tentang

segala sesuatu yang berkaitan dengan Penerapan Yurisdiksi Universal Melalui

Mekanisme Ekstradisi Atas Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts

Humanity). Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana Penerapan Yurisdiksi Universal?

2. Bagaimana Pelaksanaan Ekstradisi atas Pelaku Kejahatan pada umumnya?

(13)

4. Bagaimana Proses Peradilan atas Pelaku Kejahatan terhadap Kemanusiaan

(Crimes Againts humanity) oleh Badan Peradilan Internasional

Berdasarkan Yurisdiksi Universal?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, penulisan skripsi ini juga bertujuan

untuk:

a. Untuk mengetahui bagaimana Penerapan Yurisdiksi Universal atas

kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity).

b. Untuk mengetahui bagaimana Pelaksanaan Ekstradisi atas Pelaku

Kejahatan pada umumnya.

c. Untuk mengetahui bagaimana Yuisdiksi Universal atas Kejahatan terhadap

Kemanusiaan (Crimes Againts humanity) melalui Mekanisme Ekstradisi.

d. Untuk mengetahui Bagaimana Proses Peradilan atas Pelaku Kejahatan

terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity) oleh Badan Peradilan

Internasional Berdasarkan Yurisdiksi Universal.

2. Manfaat Penulisan

Disamping itu tentunya diharapkan dengan adanya pembahasan ini, maka

penulis berharap dapat memberikan masukan dan manfaat untuk:

a. Manfaat Teoritis

1) Memberikan masukan sekaligus pengetahuan kepada kita tentang

(14)

Mekanisme Ekstradisi dan bagaimana eksistensinya atas Kejahatan

terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity).

2) Memberikan masukan dan manfaat dalam rangka pengembangan

ilmu pengetahuan dan dimana dalam penulisan skripsi ini penulis

memberikan analisa-analisa yang brsifat objektif.

b. Manfaat Praktis

Yaitu memberikan masukan sekligus pengetahuan kepada para pihak

dalam kaitannya dengan perkembangan politik dunia mengenai Penerapan

Yurisdiksi Universal melalui Mekanisme Ekstradisi pada saat ini khususnya

dalam kaitannya dengan Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts

humanity).

D. Keaslian Penulisan

Pembahasan ini dengan judul: “Penerapan Yurisdiksi Universal Melalui

Mekanisme Ekstradisi Atas Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts

humanity)”, adalah judul yang sebenarnya tidak asing lagi ditelinga kita, karena

sebelumnya telah banyak dibahas diberbagai media, namun dalam pembahasan

skripsi ini penulis khusus membahas mengenai masalah Penerapan Yurisdiksi

Universal Melalui Mekanisme Ekstradisi atas Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(Crimes Againts humanity), khususnya mengenai bagaimana sebenarnya

Penerapan Yurisdiksi Universal melalui Mekanisme Ekstradisi dan apa

(15)

Judul ini adalah murni hasil pemikiran dalam rangka melengkapi tugas dan

memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Ekstradisi

Ekstradisi berasal dari kata latin “axtradere” (extradition = Inggris) yang

berarti ex adalah keluar, sedangkan tradere berarti memberikan yang maksudnya

ialah menyerahkan. Istilah ekstradisi ini lebih dikenal atau biasanya digunakan

terutama dalam penyerahan pelaku kejahatan dari suatu negara kepada negara

peminta.3

Menurut I Wayan Parthiana, SH, “Ekstradisi adalah Penyerahan yang

dilakukan secara formal baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang diadakan

sebelumnya atau berdasarkan prinsip timbal balik, atas seseorang yang tertuduh

(terdakwa) atau atas seorang yang telah dijatuhi hukuman atas kejahatan yang

dilakukannya (terhukum, terpidana) oleh negara tempatnya melarikan diri atau

berada atau bersembunyi kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili

atau menghukumnya atas permintaan dari negara tersebut, dengan tujuan untuk

mengadili atau melaksanakan hukumannya.”4

3

www.interpol.go.id/interpol/files/EKSTRADISI_f541e0.doc

4

I Wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional,

(16)

M. Budiarto5

a. L. Oppenheim menyatakan:

, mengatakan bahwa secara umum ekstradisi dapat diartikan

suatu proses penyerahan tersangkan atau terpidana karena telah melakukan suatu

kejahatan yang dilakukan secara formal oleh suatu negara kepada negara lain yang

berwenang memeriksa dan mengadili pelaku kejahatan tersebut.

Sedangkan sarjana-sarjana asing yang memberikan definisi ialah:

Extradition is the delivery of an accused or confited individual to the

state on whose teritory he is alleged to have committed, or to have been convicted

of a crime by the state on whose territory the alleged criminal happens for the

time to be”.6

b. J. G. Starke memberikan pengertian sebagai berikut:

“The term extradition denotes the process where by under treaty or upon a

basis of reciprocity one state surrenders to another state at its request a person

accused or convicted of a criminal offence comitted againts the law of the

requesting state competent to try alleged offender”.7

Pada umumnya, ekstradisi adalah merupakan sebagai tujuan politik dan

merupakan sarana untuk mencapai tujuan kekuasaan, namun pada saat ini

ekstradisi dipraktekkan guna menembus batas wilayah negara dalam arti agar

hukum pidana nasional dapat diterapkan terhadap para penjahat yang melarikan

diri ke negara lain atau agar keputusan pengadilan terhadap seorang penjahat yang

5

M. Budiarto, Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan Hak-Hak Azasi Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hal.13.

6

L. Oppenheim, International Law A Treaties, 8 th edition, 1960, vol. On-Peace, Hal. 696

7

(17)

melarikan diri ke luar negeri dapat dilaksanakan. Secara umum permintaan

ekstradisi didasarkan pada perundang-undangan nasional, perjanjian ekstradisi,

perluasan konvensi dan tata krama internasional. Tetapi bila terjadi permintaan

ekstradisi diluar aturan-aturan tersebut, maka ekstradisi dapat dilakukan atas dasar

hubungan baik antara suatu negara dengan negara lain, baik untuk kepentingan

timbal balik maupun sepihak. Praktek ekstradisi yang didasarkan tata cara tersebut

disebut ”Handing Over” atau Disguished Extradition” (ekstradisi terselubung).

Handing Over atau Disguished Extradition diartikan sebagai penyerahan

pelaku kejahatan dengan cara terselubung atau dengan kata lain penyerahan

pelaku kejahatan yang tidak sepenuhnya sesuai dengan proses dan prosedur

ekstradisi sebagaimana ditentukan penagaturannya.8

Istilah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity)

pertama kali digunakan dalam piagam Nuremberg. Piagam ini merupakan

multilateral antara Amerika Serikat dan sekutunya setelah Perang Dunia II.

Amerika Serikat dan sekutunya menilai para pelaku (NAZI) dianggap

bertanggung jawab terhadap Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts

Humanity) pada masa tersebut.

2. Pengertian Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity)

9

Adapun definisi Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts

Humanity) menurut Statuta Mahkamah Internasional pada Pasal 7 Statuta Roma

adalah : salah satu dari perbuatan berikut apabila dilakukan sebagai bagian dari

serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk

8

www.interpol.go.id/interpol/files/EKSTRADISI_f541e0.doc,op.cit.

9

(18)

sipil, lebih lagi kejahatan yang dilakukan dalam kejahatan yang dikualifikasi

sebagai Crimes Againts humanity, antara lain;

a) murder (pembunuhan),

b) exterminatio (pembasmian/pemusnahan),

c) enslavement (perbudakan),

d) deportation or forcible transfer of population (pengusiran atau

pemindahan secara paksa atas penduduk),

e) penahanan atau penghukuman yang berupa pengurangan kebebasan yang

merupakan pelanggaran atas kaidah hukum yang fundamental (detention

or deprivation of liberty in violation of fundamental legal norms),

f) torture (penyiksaan),

g) rape or other sexual abuse or enforced prostitution (pemerkosaan atau

penyalahgunaan seksual lainnya atau pemaksaan untuk melakukan

prostitusi),

h) penyiksaan/penganiayaan yang dilakukan terhadap kelompok manusia

berdasarkan alasan politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya atau agama,

gender, atau alasan-alasan lain yang serupa (persecution againts any

identifiable group or collectivity on political, racial, national, ethnic,

cultural or relegious or gender or other similar grounds),

i) enforced disapearance of persons (penghilangan secara paksa atas

seseorang individu),

j) tindakan-tindakan lainnya yang tidak manusiawai atau tidak

(19)

serupa yang mengakibatkan penderitaan yang berat atau kerusakan yang

serius terhadap badan, mental atau kesehatan fisik (other inhumane acts

ofa similar character causing great sufering or serious injury to body or

mental or physical health).10

Pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan bisa jadi aparat/ instansi negara,

atau pelaku non negara.11 Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts

humanity) adalah satu dari empat “kejahatan-kejahatan internasional”

(international crimes), disamping The Crime of Genocide, War Crimes dan The

Crime of Aggression. International Crimes sendiri didefinisikan sebagai

kejahatan-kejahatan yang karena tingkat kekejamannya, tidak satupun pelakunya

boleh menikmati imunitas dari jabatannya, dan tidak ada yurisdiksi dari satu

negara tempat kejahatan itu terjadi digunakan untuk mencegah proses peradilan

oleh masyarakat internasional terhadapnya. Dengan kata lain, internasional

crimes ini menganutasas universal yurisdiction.12

10

Statuta Roma 1998, pasal 7 11

Ibid 12

Ibid

F. Metode Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mempergunakan dan melakukan

pengumpulan data-data untuk mendukung dan melengkapi penulisan skripsi ini

dengan cara Library Reseach (penelitian kepustakaan) sebagai bahan utama yaitu

melakukan penelitian dari berbagai sumber berita seperti surat kabar, internet dan

(20)

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini, maka penulis akan membuat

sistematikan secara teratur dalam bagian-bagian yang semuanya saling

berhubungan satu sama dengan yang lainnya.

Sistematika atau gambaran isi tersebut dibagi dalam beberapa bab dan

diantara bab-bab ini terdiri pula atas sub bab.

Adapun gambaran isi atau sistematika tersebut adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pembukaan yang berisikan Latar Belakang, Rumusan

Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan

Kepustakaan, Metode Penulisan dan yang terakhir adalah gambaran isi yang

merupakan Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MEKANISME

EKSTRADISI

Pada bab ini akan diuraikan mengenai Pengertian dan Sejarah Ekstradisi,

Ruang Lingkup Ekstradisi, Prosedur Dalam Pelaksanaan Ekstradisi, Azas-azas

Yang Terdapat Dalam Eksradisi.

BAB III BEBERAPA BENTUK MENGENAI KEJAHATAN

TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY)

Pada bab ini akan dibahas mengenai Pengertian Kejahatan Terhadap

Kemanusiaan (Crimes Againts humanity), Jenis-jenis dan Prinsip-prinsip

(21)

Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity) dalam Statuta Roma 1999,

Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity) dalam Piagam

Perserikatan Banga-Bangsa, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts

humanity) dalam Konvensi Den Haag 1907 dan Konvensi Jenewa 1949.

BAB IV PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI

MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN

TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY)

Pada bab ini akan dibahas mengenai Penerapan Yurisdiksi Universal,

Ekstradisi Atas Pelaku Kejahatan Pada Umumnya, Kejahatan Terhadap

Kemanusiaan (Crimes Againts humanity) dan Penerapan Yurisdiksi Universal

Melalui Mekanisme Ekstradisi, Proses Peradilan Atas Pelaku Kejahatan Terhadap

Kemanusiaan (Crimes Againts humanity) Oleh Mahkamah Pidana Internasional

(22)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI MEKANISME EKSTRADISI

A. Pengertian Ekstradisi dan Sejarah Ekstradisi

Ekstradisi berasal dari kata latin “axtradere” (extradition = Inggris) yang

berarti ex adalah keluar, sedangkan tradere berarti memberikan yang maksudnya

ialah menyerahkan. Istilah ekstradisi ini lebih dikenal atau biasanya digunakan

terutama dalam penyerahan pelaku kejahatan dari suatu negara kepada negara

peminta.

Menurut I Wayan Parthiana, SH13

M. Budiarto

, “Ekstradisi adalah Penyerahan yang

dilakukan secara formal baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang diadakan

sebelumnya atau berdasarkan prinsip timbal balik, atas seseorang yang tertuduh

(terdakwa) atau atas seorang yang telah dijatuhi hukuman atas kejahatan yang

dilakukannya (terhukum, terpidana) oleh negara tempatnya melarikan diri atau

berada atau bersembunyi kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili

atau menghukumnya atas permintaan dari negara tersebut, dengan tujuan untuk

mengadili atau melaksanakan hukumannya.”

14

13

I Wayan Pharthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional”.

Alumni, Bandung, 1993, hal. 16. 14

M. Budiarto, Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan Hak-Hak Azasi Manusia,

, mengatakan bahwa secara umum ekstradisi dapat diartikan

suatu proses penyerahan tersangkan atau terpidana karena telah melakukan suatu

kejahatan yang dilakukan secara formal oleh suatu negara kepada negara lain yang

berwenang memeriksa dan mengadili pelaku kejahatan tersebut.

(23)

L. Oppenheim15

J. G. Starke

menyatakan:

“Extradition is the delivery of an accused or confited individual to the state

on whose teritory he is alleged to have committed, or to have been convicted of a

crime by the state on whose territory the alleged criminal happens for the time to

be”.

Yang artinya ialah; ekstradisi adalah penyerahan seorang tertuduh oleh

suatu negara diwilayah mana ia suatu waktu berada, kepada negara dimana ia

disangka melakukan atau telah melakukan atau telah dihukum karena perbuatan

kejahatan.

16

15

L. Oppenheim, International Law A Treaties, 8 th edition, 1960, vol. On-Peace, Hal. 696

16

J. G. Starke, An Introduction International Law (terjemahan F. Isjwara) Penerbit Alumni, Bandung, Hal. 13

memberikan pengertian sebagai berikut:

“The term extradition denotes the process where by under treaty or upon a

basis of reciprocity one state surrenders to another state at its request a person

accused or convicted of a criminal offence comitted againts the law of the

requesting state competent to try alleged offender”.

Artinya ialah penyerahan (Ekstradisi) menunjukkan suatu proses dimana

suatu negara menyerahkan atas permintaan negara lainnya, seorang dituduh

karena kriminal yang dilakukannya terhadap undang-undang negara pemohon

yang berwenang untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut. Biasanya kejahatan

yang berwenang untuk mengadili penjahat tersebut yang dilakukannya dalam

(24)

Pada umumnya, ekstradisi adalah merupakan sebagai tujuan politik dan

merupakan sarana untuk mencapai tujuan kekuasaan, namun pada saat ini

ekstradisi dipraktekkan guna menembus batas wilayah negara dalam arti agar

hukum pidana nasional dapat diterapkan terhadap para penjahat yang melarikan

diri ke negara lain atau agar keputusan pengadilan terhadap seorang penjahat yang

melarikan diri ke luar negeri dapat dilaksanakan. Secara umum permintaan

ekstradisi didasarkan pada perundang-undangan nasional, perjanjian ekstradisi,

perluasan konvensi dan tata krama internasional. Tetapi bila terjadi permintaan

ekstradisi diluar aturan-aturan tersebut, maka ekstradisi dapat dilakukan atas dasar

hubungan baik antara suatu negara dengan negara lain, baik untuk kepentingan

timbal balik maupun sepihak. Praktek ekstradisi yang didasarkan tata cara tersebut

disebut ”Handing Over” atau Disguished Extradition” (ekstradisi terselubung).

Handing Over atau Disguished Extradition diartikan sebagai penyerahan

pelaku kejahatan dengan cara terselubung atau dengan kata lain penyerahan

pelaku kejahatan yang tidak sepenuhnya sesuai dengan proses dan prosedur

ekstradisi sebagaimana ditentukan dalam pengaturannya diekstradisi.

Dalam memberikan definisi mengenai ekstradisi ini penulis hanya

mengemukakan beberapa pendapat dari para sarjana, namun tidaklah berarti

sarjana-sarjana termuka lainnya tidak memberikan definisi. Akan tetapi masih

banyak lagi sarjana-sarjana yang memberikan batasan-batasan.

Ekstradisi pertama sekali dikenal yakni dengan adanya perjanjian yang

dibuat secara tertulis pada tahun 1979 sebelum Masehi antara Ramses II dari

(25)

kerja sama dalam menghadapi musuh-musuh dalam negeri yang harus diserahkan

kepada negara asal kalau pelaku kejahatan berlindung pada raja dan negara lain.

Dengan dibuatnya perjanjian antara kedua negara tersebut menandakan adanya

tahap-tahap permulaan dari lahirnya perjanjian ekstardisi. Akan tetapi suatu hal

yang merupakan ciri istimewa dalam perjanjian yang dibuat pada tahun 1279

sebelum Masehi ini adalah adanya ketentuan bahwa orang yang akan diserahkan

tidak dijatuhi hukuman.17

Kemajuan-kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi disertai

dengan berkembangnya pemikiran-pemikiran yang baru dalam bidang politik,

ketatanegaraan dan kemanusiaan turut pula memberikan dorongan terhadap

perkembangan lembaga ekstradisi dalam konteks hukum internasional. Memang

kita akui bahwa kemajuan ilmu pengetahuan pada satu sisi dapat meningkatkan

kesejahteraan hidup umat manusia, namun pada sisi lain timbul pula efek-efek

negatifnya. Misalnya timbulnya kejahatan-kejahatan dalam bidang keuangan,

perbankan, kejahatan komputer dan lain-lain yang dapat menimbulkan akibat

yang cukup meresahkan masyarakat tidak saja pada satu negara tetapi juga

berpengaruh pada negara-negara lain. Dengan demikian untuk mengantisipasi

kejahatan-kejahatan yang berkembang tersebut sangat diperlukan adanya kerja

sama antara negara-negara dalam menanggulanginya. Hal ini dapat diwujudkan

misalnya, dengan menangkap pelaku kejahatan yang melarikan diri dan

menyerahkannya kepada negara yang mempunyai yurisdiksi untuk mengadili dan

menghukumnya atas permintaan dari negara tersebut. Dengan demikian kita dapat

17

(26)

melihat bahwa ekstradisi adalah merupakan sarana yang ampuh untuk

memberantas kejahatan.

Memang kita akui bahwa lembaga ekstradisi adalah lembaga atau sarana

yang ampuh untuk dapat memberantas kejahatan. Hal ini hanya dapat diwujudkan

jika terdapat hubungan yang baik antara negara-negara didunia, sehingga dapat

lebih memudahkan dan mempercepat peneyerahan penjahat pelarian. Namun

bukanlah tidak mungkin yang terjadi adalah sebaliknya, dimana antara negara

sipelaku kejahatan dengan negara dimana ia melarikan diri saling bermusuhan,

sehingga sangat sulit untuk saling menyerahkan penjahat pelarian. Bahkan

masing-masing pihak akan membiarkan wilayahnya dijadikan sebagai tempat

pelarian dan mencari perlindungan bagi penjahat-penjahat dari negara musuhnya.

Dengan demikian kesediaan menyerahkan penjahat pelarian bukanlah didasarkan

bahwa orang yang bersangkutan patut diadili dan dihukum. Demikian pula

memberikan perlindungan kepada seseorang atau beberapa orang yang

bersangkutan patut untuk dilindungi. Apabila hubungan kedua negara yang

semula bersahabat berubah menjadi bermusuhan, maka kerja sama saling

menyerahkan penjahat pelarian bisa berubah menjadi saling melindungi penjahat

tersebut, Demikian pula sebaliknya. Disamping itu pula praktek-pratek

penyerahan penjahat pelarian belum didasarkan atas keinginan untuk kerja sama

dalam mencegah dan memberantas kejahatan.

Dalam merumuskan dan membuat perjanjian-perjanjian ekstradisi,

negara-negara yang bersangkutan perlu memperhatikan beberapa aspek, baik aspek

(27)

dan kewajiban. Dengan demikian perjanjian-perjanjian ekstradisi dalam isi dan

bentuknya yang modern memberikan jaminan kesimbangan antara tujuan

memberantas kejahatan dan penghormatan hak-hak azasi manusia. Apalagi

masalah hak azasi manusia adalah merupakan masalah yang cukup aktual

dibicarakan didunia. Prinsip tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik adalah

merupakan wujud dari pengakuan hak azasi manusia untuk menganut keyakinan

politik atau hak politik seseorang.

Pada masa sekarang ini, didalam pelaksanaannya negara-negara dalam

melakukan penyerahan penjahat pelarian tidak harus tergantung kepada adanya

perjanjian antara negara-negara tersebut. Bisa saja antara kedua negara tersebut

tidak mempunyai perjanjian ekstradisi, namun mereka menyerahkan

penjahat-penjahat pelarian untuk diadili, meskipun bukti-bukti untuk menguatkan dugaan

tentang kejahatan belum dapat ditunjukkan. Hal ini umumnya terjadi diantara

negara-negara yang mempunyai hubungan yang baik. Dengan demikian tidaklah

berarti bahwa adanya perjanjian merupakan persyaratan yang mutlak dalam

melaksanakan penyerahan penjahat tersebut.

Agar dapat dimengerti dan dipahami lebih dalam mengenai ekstradisi,

maka haruslah diketahui hal-hal pokok-pokok atau unsur-unsur dari ekstradisi itu

sendiri. Menurut I Wayan Parthiana, SH ada beberapa unsur dari ekstradisi yakni:

1. Unsur Subjek.

Yang dimaksud dengan unsur Subjek adalah negara. Dalam hal ini ada 2

(28)

a) Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukum

sipelaku kejahatan.

b) Negara tempat pelaku kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa)

atau siterhukum itu berada atau bersembunyi.

Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukum ini

sangat berkepentingan untuk mendapatkan kembali orang tersebut untuk diadili

atau dihukum atas kejahatan yang telah dilakukannya itu. Biasanya negara yang

memiliki yurisdiksi untuk menghukum ini lebih dari satu. Untuk mendapatkan

kembali orang yang bersangkutan, negara atau negara-negara tersebut mengajukan

permintaan kepada negara tempat orang itu berada atau bersembunyi. Negara ini

disebut negara peminta (the resqusthing state).

Negara tempat pelaku kejahatan berada atau bersembunyi diminta oleh

negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili supaya menyerahkan orang

yang berada dalam wilayahnya itu (tersangka, terhukum) yang dengan singkat

disebut negara diminta (the resquithing State).

2. Unsur Objek.

Unsur objek yang dimaksud adalah sipelaku itu sendiri (tersangka,

tertuduh, terhukum) yang diminta oleh negara peminta kepada negara diminta

supaya diserahkan. Dengan perkataan lain disebut sebagai “orang yang diminta”.

Walaupun sebagai objek namun sebagai manusia dia harus diperlakukan sebagai

subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya yang azasi, yang tidak boleh

(29)

3. Unsur Tata cara dan Prosedur.

Maksud dari pada unsur tata cara atau prosedur yakni bagaimana tata cara

untuk mengajukan permintaan penyerahan maupun tata cara untuk menyerahkan

atau menolak penyerahan itu sendiri serta segala hal yang ada hubungannya

dengan itu. Penyerahan hanya dapat dilakukan apabila diajukan permintaan untuk

menyerahkan oleh negara peminta kepada negara diminta. Permintaan itu haruslah

didasarkan pada perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya antara kedua

belah pihak atau apabila perjanjian itu belum ada juga bisa didasarkan pada azas

timbal balik yang telah disepakati. Kalau tidak ada permintaan untuk

menyerahkan dari negara peminta, maka sitersangka tidak boleh ditangkap atau

diserahkan. Kecuali penangkapan atau penahanan itu didasarkan atas adanya

yurisdiksi negara tersebut atau orang yang kejahatannya sendiri atau atas

kejahatan lain yang dilakukan orang itu sendiri harus diajukan secara formal

kepada negara yang bersangkutan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan

atau menurut hukum kebiasan internasional.

4. Unsur Tujuan.18

Sedangkan yang dimaksud dengan unsur tujuan adalah untuk tujuan apa

orang yang bersangkutan dimintakan penyerahan atau diserahkan. Hal ini

tentunya melihat kepada bentuk kejahatan yang telah melakukan suatu kejahatan

yang menjadi yurisdiksi negara atau negara diminta. Penyerahan atau ekstradisi

yang dimaksudkan ialah untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut dan

menjatuhkan hukuman apabila terbukti bersalah dan agar sipelaku kejahatan

18

(30)

menjalani hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya yang telah mempunyai

kekuatan hukum dinegara yang berwenang mengadilinya. Namun satu hal yang

lebih penting bukan hanya menyeret pelaku kejahatan kedepan pengadilan untuk

mempertanggung jawabkan perbuatannya secara hukum, tetapi lebih jauh lagi

sebagai upaya mencegah makin meluasnya tindakan serupa yang akan

mengancam keamanan dan ketertiban serta keselamatan internasional yang sudah

menjadi tanggung jawab dari seluruh negara-negara didunia ini.

B. Ruang Lingkup Ekstradisi

Pada masa sekarang ini, akibat dari kemajuan teknologi yang semakin

canggih khususnya dibidang komunikasi dan kedirgantaraan, maka jarak antara

satu negara dengan negara lain dapat ditempuh dengan waktu yang singkat. Disatu

sisi kemajuan ini tentunya berdampak positif terhadap proses percepatan

pembangunan diseluruh dunia tetapi disisi lain hal ini sangat berpengaruh pula

terhadap kecanggihan-kecanggihan baik dari bentuk-bentuk kejahatan maupun

pelaku-pelaku kejahatan dalam menghindari tuntutan yang akan dijatuhkan

terhadapnya.

Seorang pelaku kejahatan tentunya dengan mudah untuk mudah melarikan

diri ke negara lain untuk menghindari tuntutan dan ancaman yang akandijatuhkan

terhadapnya. Jika hal ini terjadi, maka telah terlibatlah kepentingan dua negara

bahkan lebih.

Agar orang yang telah melakukan kejahatan disuatu negara dimana ia telah

melarikan diri ke negara lain dapat dihukum, maka negara tempat ia melakukan

(31)

lain, karena hal ini telah melanggar kedaulatan di wilayah negara lain. Ini hanya

dapat dilakukan dengan persetujuan dari negara dimana sipelaku tersebut berada.

Jika dilakukan tanpa adanya persetujuan dari negara tersebut maka hal ini telah

dipandang sebagai intervensi atau campur tangan yang dilarang menurut hukum

internasional.

Cara yang legal untuk dapat mengadili dan menghukum sipelaku

kejahatan itu ialah dengan meminta kepada negara tempat sipelaku kejahatan itu

berada, supaya menangkap dan menyerahkan orang tersebut. Sedangkan negara

tempat sipelaku kejahatan berada, setelah menerima permintaan untuk

menyerahkan itu dapat menyerahkan sipelaku kejahatan tersebut kepada negara

atau salah satu negara yang mengajukan permintaan penyerahan tersebut. Cara

atau prosedur semacam ini telah diakui dan merupakan prosedur yang telah umum

dianut baik dalam hukum internasional maupun dalam hukum nasional yang lebih

dikenal dengan ekstradisi.

Hal ini tentunya dapat berjalan dengan lancar jika hubungan antara negara

yang meminta penyerahan dengan negara yang diminta penyerahannya berjalan

dengan lancar pula. Secara teoritis kelihatannya ekstradisi ini mudah untuk

dilaksanakan, namun dalam pelaksanaannya ditemui banyak kesulitan-kesulitan.

Apabila dalam pelaksanaan ekstradisi ini tidak ada satu patokan apakah harus ada

perjanjian antara negara-negara tersebutnya sebelumnya atau tidak.

Oleh karena itulah kita harus melihat ekstradisi ini dari lingkup yang lebih

luas, baik dalam konteks hukum internasional maupun dalam konteks hukum

(32)

Dalam hukum internasional, sampai saat ini belum mengenal adanya suatu

perjanjian internasional multilateral (International Convention) yang mengatur

lembaga ekstradisi secara umum atau universal. Yang ada dikalangan masyarakat

internasional (International Community) kebanyakan ialah perjanjian bilateral

ekstradisi dan sejumlah kecil perjanjian multilateral yang sifatnya kerja sama

regional dibidang ekstradisi, misalnya:

The Arab Leage Extradition Agreement Tahun 1952.

The Inter America Convention Extradition.

European Extradition Convention, dan lain-lain.

Memang diakui, agar ekstradisi mudah dilakukan maka keberadaan

perjanjian internasional tentang ekstradisi sebelumnya akan sangat diperluka.

Dengan demikian penyerahan seorang dapat dilakukan dengan mengikuti

ketentuan yang telah diletakkan dengan pasti dalam perjanjian tersebut. Walau

demikian, tanpa adanya perjanjian ekstradisi penyerahan seseorang yang dituduh

melakukan kejahatan dapat dilakukan menurut hukum kebiasaan internasional.

Ekstradisi yang dimintakan bukan berdasarkan suatu perjanjian

internasional (karena adanya traktat) biasanya sering menimbulkan masalah. Hal

ini disebabkan tidak adanya dasar hukum yang pasti yang dapat digunakan

sebagai landasan untuk menyerahkan seseorang. Dalam keadaan demikian itu

umumnya penyerahan seseorang yang tertuduh melakukan kejahatan dilakukan

dengan cara permintaan secara sopan santun internasional (international

courtesty), perlakuan timbal balik (reciprocity), juga berupa kemurahan hati

(33)

Ekstradisi tumbuh dan berkembang dari praktek negara-negara yang lama

kelamaan bekembang menjadi hukum kebiasaan. Negara-negara mulai

merumuskannya didalam perjanjian-perjanjian ekstradisi baik yang bilateral,

multilateral, ataupun multilateral regional. Disamping menambahkan

ketentuan-ketentuan baru sesuai dengan kesepakatan para pihak.

Beberapa konvensi internasional yang dapat dijadikan dasar hukum

sebagai pelaku kejahatan menurut ketentuan tentang ekstradisi sebenarnya juga

sudah ada sebelumya, misalnya kejahatan penerbangan yang telah diatur dalam

konvensi Tokyo 1963, konvensi Den Haag 1970, konvensi Montreal 1971,

konvensi Tentang Obat Bius 1971, dan lain-lain.

Disamping melihatnya dari aspek hukum internasional, ekstradisi juga

harus dilihat dari aspek hukum nasional, karena tidaklah mungkin pembahasan

ekstradisi dapat dipecahkan jika hanya ditinjau dari sisi hukum internasional saja.

Hal ini disebabkan karena adanya hal-hal yang tidak diatur atau dirumuskan

sepenuhnya dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi, terutama hal-hal yang

merupakan masalah dalam negeri masing-masing negara yang bersangkutan.

Dalam hal seperti inilah perjanjian-perjanjian ekstradisi menunjukkan kepada

hukum nasional masing-masing pihak untuk menentukannya dan pengaturannya

secara lebih mendetail. Misalnya tentang penangkapan dan penahanan orang yang

diminta, keputusan tentang penentuan kejahatannya apakah termasuk kejahatan

politik atau tidak, tentang lembaga atau instansi yang berwenang untuk

memutuskan apakah permintaan akan diterima atau ditolak dan lain-lain

(34)

belum dapat menjawab semua masalah yang timbul bertalian dengan ekstradisi

ini. Oleh karena negara-negara juga memandang perlu memiliki sebuah

undang-undang nasional yang secara khusus mengatur mengenai tentang ekstradisi.

Disamping itu, mengadakan perjanjian-perjanjian ekstradisi dengan negara-negara

lain.

Perjanjian-perjanjian yang telah lebih dahulu diadakan, akan merupakan

pembatasan-pembatasan yang harus diperhatikan oleh negara yang bersangkutan

apabila kemudian hendak membuat undang-undang ekstradisi nasional. Hal ini

dimaksudkan supaya tidak timbul pertentangan antara ketentuan-ketentuan dalam

perjanjian ekstradisi dengan terdapat didalam perundang-undangan ekstradisi itu

sendiri.

Hukum internasional pada prinsipnya tidak membenarkan suatu negara

melalaikan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam hukum internasional

berdasarkan alasan-alasan yang merupakan masalah dalam negeri dari negara

yang bersangkutan.

C. Prosedur Dalam Pelaksanaan Ekstradisi

Yang dimaksud dengan prosedur disini ialah tata cara untuk mengajukan

permintaan penyerahan maupun tata cara untuk menyerahkan atau menolak

penyerahan itu sendiri dengan segala hal yang ada hubungannya dengan itu.

Penyerahan hanya dapat dilakukan apabila sebelumnya ada diajukan

permintaan untuk menyerahkan oleh negara peminta kepada negara diminta.

Penyerahan dan permintaan itu haruslah didasarkan pada perjanjian ekstradisi

(35)

perjanjian itu tidak ada, juga bisa didasarkan pada azas timbal balik yang telah

disepakati. Jadi bila sebelumnya tidak ada permintaan untuk menyerahkan dari

negara peminta, orang yang bersangkutan tidak boleh ditangkap, atau ditahan

ataupun diserahkan. Kecuali penangkapan dan penahanan itu didasarkan adanya

yurisdiksi negara tersebut atas orang dan kejahatannya sendiri atau atas kejahatan

lain yang dilakukan orang itu dalam wilayah negara tersebut.

Permintaan untuk menyerahkan itu haruslah diajukan secara formal

kepada negara diminta sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan dalam

perjanjian ekstradisi atau hukum kebiasaan internasional. Jika permintaan untuk

menyerahkan tersebut tidak diajukan secara formal melainkan hanya informal saja

misalnya hanya dikemukakan secara lisan oleh wakil negara peminta kepada

wakil negara diminta yang kebetulan bertemu dalam suatu pertemuan ataupun

dalam konferensi internasional. Hal itu tidak dapat dianggap sebagai permintaan

untuk menyerahkan dalam pengertian dan ruang lingkup ekstradisi. Tetapi barulah

merupakan tahap penjajakan saja.

Sebelum permohonan ekstradisi diajukan melalui saluran dipomatik, harus

ada dua faktor yang harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu:19

1. Adanya orang yang harus diserahkan (extraditiable person)

Dalam praktek ekstradisi umumnya terdapat keseragaman antara

negara-negara, yaitu bahwa negara peminta lazimnya memperoleh orang yang diminta,

bila orang itu warga negara dari peminta atau warga negara suatu negara ketiga,

dimana adanya perjanjian sebelumnya. Tetapi kebanyakan negara yang diminta

19

(36)

biasanya menolak untuk menyerahkan warga negaranya sendiri untuk diserahkan

kepada negara lain. Dengan perkataan lain warga negara yang telah melakukan

kejahatan akan diserahkan kembali kenegara asalnya (non extradition of

nationals).

2. Kejahatan yang dapat diserahkan (extraditiable offence)

Kejahatan yang dapat diserahkan pada umumnya atas kesepakatan dari

negara yang melaksanakan perjanjian tersebut dengan pengecualian yaitu:

a) Kejahatan politik.

b) Kajahatan militer.

c) Kejahatan agama.20

Dalam praktek negara-negara dewasa ini, dalam menetapkan

kejahatan-kejahatan apa yang dapat diserahkan, dipergunakan salah satu dari tiga sistem,

yaitu:

1) Sistem Enumeratif atau sistem daftar (list system) yaitu sistem yang

memuat dalam perjanjian suatu daftar yang mencantumkan satu persatu

kejahatan mana yang dapat diekstradisi.

2) Sistem Eliminatif, yaitu sistem yang hanya menggunakan maksimum

hukuman atau minimum hukuman sebagai ukuran untuk menerapkan

apakah suatu kejahatan merupakan kejahatan yang dapat diserahkan

atau tidak, tanpa menyebutkan satu persatu nama delik yang dapat

diekstradisi.

(37)

3) Sistem campuran yang merupakan kombinasi sistem enumeratif dan

sistem eliminatif, mencantumkan juga kejahatan dengan minimum atau

maksimum hukumman yang dapat diekstradisi.

Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa untuk melaksanakan

ekstradisi ini haruslah dilihat kepada perjanjian yang telah disepakati sebelumnya,

sedangkan jika tidak ada perjanjian ekstradisi sebelumnya harus menuruti prinsip

timbal balik yang disepakati.

D. Azas-azas Yang Terdapat Dalam Ekstradisi

Azas-azas atau dasar-dasar yang dipakai dalam ekstradisi, apakah itu

merupakan perjanjian ekstradisi bilateral atau multilateral maupun dalam

undang-undang nasional suatu negara megenai ekstradisi pada pokoknya adalah sama.

Dasar-dasar yang sama tersebut terus diikuti oleh negara-negara yang membuat

perjanjian ekstradisi maupun yang merumuskan peraturan ekstradisi dalam

perundang-perundangan.

Dengan demkian azas-azas yang sama ini telah dapat diterima dan diikuti

sebagai azas-azas yang melandasi ekstradisi. Adapun azas-azas tersebut ialah:

1. Azas Kejahatan Ganda (Double Criminality).

Azas ini merupakan azas yang memandang bahwa penyerahan pelaku

kejahatan hanya dapat dilakukan apabila kejahatan yang dilakukan oleh orang

tersebut juga diyakini dan diterima sebagai suatu kejahatan yang terhadapnya

harus dijatuhi hukuman baik oleh negara peminta maupun negara diminta.

Dengan demikian apabila negara diminta memandang bahwa permintaan dari

(38)

kejahatan dinegara yang diminta maka negara tersebut tidak dapat menyerahkan

orang yang diminta tersebut kepada negara peminta, karena hal ini akan

melanggar azas kejahatan ganda yang telah diterima sebagai azas utama dalam

suatu perjanjian ekstradisi yang telah dibuat sebelumnya. Dengan perkataan lain

bahwa penyerahan pelaku kejahatan hanya dapat dilakukan apabila perbuatan

orang tersebut merupakan kejahatan yang diakui oleh kedua negara.

2. Azas Kekhusussan atau Specially.

Azas ini berhubungan dengan azas yang pertama karena azas ini mengatur

tentang penyerahan atas tuduhan kejahatan yang disebutkan dalam permintaan

penyerahan pelaku kejahatan.

Jika sipelaku kejahatan tersebut hanya melakukan satu kejahatan saja dan

sipelaku diminta untuk diserahkan berdasarkan atas kejahatan tersebut tidaklah

menjadi masalah. Namun bagaimana jika sipelaku tersebut telah melakukan

pembunuhan, sipelaku juga melakukan kejahatan penipuan, pemalsuan mata uang

dan lain-lain yang kesemua jenis kejahatan ini dapat dijadikan dasar untuk

penyerahannya kepada negara peminta.

Untuk itulah harus ditentukan secara khusus oleh negara peminta atas

dasar kejahatan apa sipelaku tersebut diminta untuk diserahkan, sekalipun semua

jenis kejahatan yang dilakukan dapat dijadikan dasar untuk penyerahan tersebut.

Oleh karena itu negara peminta dalam mengajukan permintaan penyerahan

itu harus menegaskan untuk kejahatan apa saja orang tersebut diminta

penyerahannya. Kemudian negara diminta mempertimbangkan apakah

(39)

sipelaku tersebut akan diserahkan maka negara diminta harus menegaskan pula

untuk kejahatan apa sipelaku tersebut diserahkan. Dalam hal ini ada 2 (dua)

kemungkinan yakni:

 Negara diminta menyerahkan sipelaku tersebut berdasarkan semua

kejahatan yang telah dituduhkan kepadanya.

 Negara diminta hanya menyerahkan sipelaku berdasarkan beberapa

atau sebagian perbuatan kejahatan yang dituduhkan kepada pelaku

tersebut:

Dalam hal peradilannya, maka sipelaku hanya boleh dituntut oleh negara

peminta berdasarkan jenis-jenis kejahatan untuk mana sipelaku tersebut

diserahkan oleh negara diminta. Diluar dari kejahatan tersebut sipelaku tidak

dibenarkan untuk dituntut. Hal ini penting karena tujuan ekstradisi itu sendiri

adalah untuk menjamin kepastian hukum terutama dalam kaitannya dengan

kepastian hukum bagi orang yang diminta.

3. Azas Tidak Menyerahkan Pelaku Kejahatan Politik (Non Extradition of

Political Criminal).

Kejahatan politik mempunyai pengaturan tersendiri dalam perjanjian

politik maupun perundang-undangan mengenai ekstradisi. Terhadap kejahatan

politik erat kaitannya dengan pengakuan tentang hak-hak azasi manusia yang

tertuang dalam deklarasi tentang hak-hak azasi manusia yang dalam salah satu

isinya ialah setiap orang berhak mencari dan menikmati perlindungan politik dari

negara lain. Meskipun Pasal tersebut tidak mewajibkan suatu negara untuk

(40)

perlindungan kepadanya.21

4. Azas Tidak Menyerahkan Warga Negara (Non Extradition Nationality).

Dengan demikian negara peminta apabila memandang

bahwa kejahatan yang dilakukan oleh sipelaku yang melarikan diri tersebut

sebagai kejahatan politik, maka sebaiknya tidak meminta kepada negara lain,

karena besar kemungkinan permintaan tersebut akan ditolak oleh negara diminta.

Kalau persoalan hak azasi manusia menjadi cukup kompleks aplikasinya, karena

hak azasi manusia dimasuki unsur politik, dan topik itu akan selalu menarik untuk

dibicarakan sebahagian manusia baik oleh negara-negara yang telah benar-benar

menghormati hak azasi manusia secara formal dan material ataupun bagi

negara-negara yang kurang menghormati. Bagi negara-negara yang sudah menghormati hak-hak

azasi manusia akan dijadikan contoh kebaikannya, dan yang sebaliknya dijadikan

intropeksi bagi negaranya.

Negara diminta diberikan kekuasaan untuk tidak menyerahkan warga

negaranya kepada negara peminta sehubungan dengan kejahatan yang

dilakukannya dinegara tersebut dengan pertimbangan bahwa setiap negara wajib

melindungi warga negaranya, karena dikhawatirkan apakah negara peminta akan

mengadilinya secara jujur dan adil serta keobjektifannya sehingga warga negara

tersebut betul-betul memperoleh keadilan yang sama dengan apabila ia diadili

dinegaranya sendiri.

5. Azas Non Bis In Idem.

Azas ini memberikan kepastian hukum bagi pelaku kejahatan untuk tidak

dihukum dua kali dengan kejahatan yang sama. Suatu peristiwa pidana dapat saja

21

(41)

melibatkan lebih satu negara yang berhak atas yurisdiksi bagi kejahatan tersebut.

Apabila pelaku kejahatan telah dijatuhi hukumman dinegara dimana ia berada,

maka negara peminta tidak dapat meminta penyerahan penjahat tersebut untuk

diekstradisi karena kejahatan yang sama yang baginya telah mempunyai kekuatan

hukum yang pasti dinegara diminta. Karena tujuan ekstradisi adalah memberantas

kejahatan dengan kerja sama tanpa mengesampingkan pelaku sebagai manusia

dengan segala hak dan kewajibannya yang harus dijamin dan dihormati.

6. Azas Kedaulatan.

Azas ini berbeda tetapi mengandung makna yang sama, yaitu tidak akan

melakukan penyerahan apabila penuntutan atau pelaksanaan hukumman terhadap

kejahatannya yang dijadikan dasar untuk meminta penyerahan telah kadaluarsa

menurut hukum dari salah satu pihak. Batasan waktu yang diberikan sehubungan

dengan ini bagi tiap-tiap perjanjian berbeda. Suatu peristiwa dianggap kadaluarsa

apabila telah lewat waktunya yang seharusnya berlaku. Peristiwa tersebut

dibiarkan begitu saja sehingga dilupakan orang seakan-akan tidak pernah terjadi.

7. Azas Capital Punishment.

Yaitu suatu prinsip yang menyatakan apabila negara menuntut suatu

ekstradisi atau kejahatan yang diancam dengan hukumman mati maka ekstradisi

demikian tidak dapat diterima.

8. Azas Lex Loci Delictus.

Yakni suatu azas yang menyatakan tempat dimana kejahatan terjadi akan

(42)

suatu ekstradisi. Hal ini berarti tuntutan ekstradisi yang diutamakan ialah tuntutan

dari negara diwilayah mana kejahatan itu dilakukan.

9. Azas yang menyatakan prosedur penangkapan, penahanan dan penyerahan

tunduk kepada hukum nasional dari negara masing-masing.

10. Azas yang menyatakan suatu permintaan ekstradisi dapat saja ditolak bila

kejahatan yang dilakukan seluruhnya atau sebagian berada dalam

yurisdiksi dari negara yang diminta. Azas ini tampaknya mempunyai

kaitan dengan azas Lex Loci Delictus mengenai tempat dimana kejahatan

itu dilakukan. Jelasnya disini faktor tempat sangat mempengaruhi

kemungkinan dapat tidaknya permintaan ekstradisi suatu negara

dikabulkan.

11. Azas yang menyatakan bila mana terjadi ekstradisi kenegara ketiga, maka

hanya dapat dilakukan dengan izin dari negara yang diminta.

Dari berbagai azas yang mewarnai peraturan ekstradisi, dapat dilihat

bahwa ekstradisi merupakan tindakan yang harus diambil dengan penuh

pertimbangan dan jaminan demi tercapainya tujuan ekstradisi itu sendiri yaitu

yakni memberantas kejahatan secara kerja sama untuk mewujudkan masyarakat

internasional yang aman, tertib, dan adil. Disamping itu azas-azas ini telah

mendapat pengakuan dari negara-negara didunia dalam usaha untuk menjamin

(43)

BAB III

BEBERAPA BENTUK MENGENAI KEJAHATAN TERHADAP

KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY)

A. Pengertian Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity)

Istilah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity )

pertama kali digunakan dalam piagam Nuremberg. Piagam ini merupakan

multilateral antara Amerika Serikat dan sekutunya setelah Perang Dunia II.

Amerika Serikat dan sekutunya menilai para pelaku (NAZI) dianggap

bertanggung jawab terhadap Kejahatan Terhadap Kemanusiaan pada masa

tersebut.22

1. Murder (pembunuhan),

Adapun definisi Kejahatan Terhadap Kemanusiaan menurut Statuta

Mahkamah Internasional pada Pasal 7 Statuta Roma adalah : salah satu dari

perbuatan berikut apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau

sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil, lebih lagi

kejahatan yang dilakukan dalam kejahatan yang dikualifikasi sebagai Crimes

Againts humanity, antara lain;

2. Exterminatio (pembasmian/pemusnahan),

3. Enslavement (perbudakan),

4. Deportation or forcible transfer of population (pengusiran atau

pemindahan secara paksa atas penduduk),

22

(44)

5. Penahanan atau penghukuman yang berupa pengurangan kebebasan yang

merupakan pelanggaran atas kaidah hukum yang fundamental (detention

or deprivation of liberty in violation of fundamental legal norms),

6. Torture (penyiksaan),

7. Rape or other sexual abuse or enforced prostitution (pemerkosaan atau

penyalahgunaan seksual lainnya atau pemaksaan untuk melakukan

prostitusi),

8. Penyiksaan/penganiayaan yang dilakukan terhadap kelompok manusia

berdasarkan alasan politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya atau agama,

gender, atau alasan-alasan lain yang serupa (persecution againts any

identifiable group or collectivity on political, racial, national, ethnic,

cultural or relegious or gender or other similar grounds),

9. Enforced disapearance of persons (penghilangan secara paksa atas

seseorang individu),

10.Tindakan-tindakan lainnya yang tidak manusiawai atau tidak

berperikemanusiaan atau tindakan-tindakan yang memiliki ciri-ciri yang

serupa yang mengakibatkan penderitaan yang berat atau kerusakan yang

serius terhadap badan, mental atau kesehatan fisik (other inhumane acts

ofa similar character causing great sufering or serious injury to body or

mental or physical health).

Pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan bisa jadi aparat/ instansi negara,

atau pelaku non negara.23

(45)

humanity) adalah satu dari empat “kejahatan-kejahatan internasional”

(international crimes), disamping The Crime of Genocide, War Crimes dan The

Crime of Aggression. International Crimes sendiri didefinisikan sebagai

kejahatan-kejahatan yang karena tingkat kekejamannya, tidak satupun pelakunya

boleh menikmati imunitas dari jabatannya; dan tidak ada yurisdiksi dari satu

negara tempat kejahatan itu terjadi digunakan untuk mencegah proses peradilan

oleh masyarakat internasional terhadapnya. Dengan kata lain, internasional

crimes ini menganutasas universal yurisdiction.24

1) Pembunuhan

Jadi, definisi dari kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan sendiri

adalah “tindakan-tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari sebuah

penyerangan yang luas dan sistematik yang terjadi secara langsung terhadap

populasi sipil”.

B. Jenis-Jenis dan Prinsip-Prinsip Kejahatan Hukum Kejahatan Terhadap

Kemanusiaan (Crimes Againts humanity)

Jenis-jenis Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity)

Lebih spesifik lagi yang dapat dikatergorikan kedalam kejahatan terhadap

kemanusiaan adalah:

Pembunuhan adalah suatu tindakan yang dapat mengakibatkan matinya

orang lain. Pembunuhan dalam kasus kejahatan terhadap kemanusiaan ini harus

24

(46)

memenuhi unsur-unsur kesengajaan dan yang lebih penting lagi harus

dikategorikan kedalam kejahatan yang paling serius.

2) Pemusnahan

Pemusnahan ini ditimbulkan secara sengaja pada kondisi kehidupan,

antara lain dengan dihilangkannya akses kepada pangan dan obat-obatan, yang

diperhitungkan akan membawa kehancuran terhadap sebahagian penduduk.25

3) Perbudakan

Perbudakan berarti pelaksanaan dari setiap atau semua kekuasaan yang

melekat pada hak kepemilikan atas seseorang dan termasuk dilaksanakannya

kekuasaan tersebut dalam perdagangan manusia, khususnya perempuan dan

anak-anak.26

4) Deportasi atau pemindahan secara paksa penduduk

Deportasi atau pemindahan secara paksa penduduk berarti perpindahan

orang-orang yang bersangkutan secara paksa dengan pengusiran atau perbuatan

pemaksaan lainnya dari daerah dimana mereka hidup secara sah, tanpa alasan

yang diperbolehkan berdasarkan hukum internasional.27

5) Penyiksaan

Memenjarakan atau

perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-aturan dasar

hukum internasional.

Penyiksaan berarti ditimbulkannya secara sengaja rasa sakit atau

penderitaan yang hebat, baik fisik maupun mental terhadap seseorang yang

ditahan atau dibawah penguasaan tertuduh; kecuali kalau siksaan tersebut tidak

25

Statuta Mahkamah Internasioan, Pasal 7 ayat (2) sub (b). 26

(47)

termasuk rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari yang melekat pada

atau sebagai akibat yang sah.28

7) Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, pengahmilan paksa,

pemaksaan sterilisasi, atau bentuk lain dari kekerasan seksual lain yang cukup

berat

Pengahmilan paksa berarti penahanan tidak sah, terhadap seorang

perempuan yang secara paksa dibuat hamil, dengan mempengaruhi komposisi

etnis dari suatu kelompok penduduk atau melaksanakan suatu pelanggaran berat

terhadap hukum internasional29

8) Penganiayaan

Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat didefinisikan atau

klektivitas atas dasar politik, ras nasional, etnis budaya, agama, jender atau atas

dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diijinkan berdasarkan hukum

internasional yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksuddalam

jurisdiksi mahkamah.

9) Penghilangan paksa

Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa berarti perpindahan

orang-orang yang bersangkutan secara paksa dengan pengusiran atau perbuatan

pemaksaan lainnya dari daerah dimana mereka hidup secara sah, tanpa alasan

yang diperbolehkan berdasarkan hukum internasional.

10) Kejahatan Apartheid

28

Ibid, sub (e) 29

(48)

Berarti perbuatan tidak manusiawi dengan sifat yang sama dengan

sifat-sifat yang disebutkan dalam ayat (1), yang dilakukan dalam konteks suatu rejim

kelembagaan berupa penindasan dan dominasi sistematik oleh satu kelompok

rasial atas suatu kelompok atau kelompok-kelompok ras lain dan dilakukan

dengan maksud untuk mempertahankan rejim itu.

11). Perbuatan tidak manusiawi lain

Perbuatan tidak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja

menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau

kesehatan fisik.

Prinsip-prinsip Hukum Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity)

Seperti yang diketahui, bahwa Pasal 7 dalam Statuta Roma harus dihargai

sebagai Pasal yang bernilai tinggi dalam Statuta Roma. Oleh karena itu, Pasal ini

merealisasikan konsep kejahatan terhadap kemanusiaan yang wajib dipatuhi oleh

negara-negara di dunia dan membedakannya dari kejahatan lain dengan

mengaitkan pada kebijakan negara atau organisasi politik. Kejahatan ini tidak

didefinisikan atas dasar gawatnya kejahatan itu: seseorang pembunuh berantai

dapat menimbulkan kerusakan lebih luas daripada penyiksaan rutin yang

dilakukan oleh polisi. Yang memisahkan kejahatan terhadap kemanusiaan baik

dalam kelicikannya dan dalam kebutuhan akan peraturan-peraturan khusus

tentang penolakan terhadapnya adalah suatu fakta yang sederhana, yaitu bahwa

kejahatan itu merupakan suatu aksi brutal yang nyata-nyata dilakukan oeh

Referensi

Dokumen terkait

Komposisi mineralogi dari batuan beku merupakan ciri penting karena digunakan untuk klasifikasi dan interprestasi dari asal evolusi magma, sebagian besar batuan

Instrumen yang digunakan untuk mendapatkan data sense of humor adalah Multidimensional Sense Of Humor Scale (MSHS) yang disusun pertama kali oleh Thorson dan Powell

Pada satu sisi, ia menegaskan keesaan Allah sebagai satu- satunya zat yang dipertuhan (al-lllah) oleh manusia, dan menjadi titik tolak dari seorang muslim dalam

signifikan antara kelompok Potensi dengan kelompok farmakologi, fisioterapi, serta farmakologi dan fisioterapi baik pada domain fisik psikologis, relasi sosial maupun

Masyarakat kecil seperti petani pada dasarnya layak untuk diberikan pinjaman bank bila mekanisme perbankan yang diberlakukan sesuai dengan karakteristik usaha pertanian..

Batas kritis hara fosfor pada padi sawah dengan menggunakan model persamaan di atas dapat dilihat pada Tabel 4.. Batas Kritis Hara Fosfor menggunakan Model Mitscherlich dan

Form pengolahan data nasabah adalah form yang ditampilkan sebagai form untuk mengolah data nasabah pada Sistem Pendukung Keputusan Pemilihan Bank Dikota Medan.. Adapun

dilanjutkan dengan pengamatan lebih mendalam tentang proses komunikasi terapeutik terapis pada saat kegiatan terapi anak retardasi mental, dan mengumpulkan data