• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV IMPLEMENTASI PEMBERIAN GRASI

A. Ruang Lingkup Grasi

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, pada pasal 14 menyatakan bahwa Presiden memberi Grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Setelah diadakan amandemen atas UUD 1945 tersebut, maka pasal 14 menjadi 2 (dua) ayat, dan pasa pasal 14 ayat 1 UUD 1945 menyebutkan bahwa Presiden memberikan Grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Ketentuan pasal 14 ayat 1 ini menjadi landasan konstitusional bagi Presiden dalam Grasi yang diatur lebih kanjut di Undang-Undang Grasi.

Sebelumnya pengaturan mengenai Grasi diatur dalam Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi. Undang- Undang tersebut dibentuk dengan mengacu UUD Sementara 1950, sehingga dianggap tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan Indonesia yang berlaku pada saat ini dan substansinya juga sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat. UUD Sementara 1950 itu sendiri sudah dicabut sejak Dekrit Presiden Tahun 1959, sehingga sesungguhnya Undang Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi, menjadi sudah tidak relevan lagi dengan dasar hukum pembentukannya undang-undang itu sendiri.

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi yang mulai diundangkan pada masa Republik Indonesia Serikat, mengatur prosedur yang melibatkan beberapa instansi terkait, termasuk Mahkamah Agung, dan juga melibatkan instansi penegak hukum yang tidak terkait dalam pemberian Grasi itu sendiri. Dengan pertimbangan di atas, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi perlu dicabut dan diganti

26 Peran Layanan Hukum Pidana Dan Pemberian Pertimbangan Hukum Grasi pada Hak Prerogatif Presiden

dengan undang-undang yang baru. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950, tidak diatur secara tegas mengenai penyelesaian permohonan Grasi, sehingga permohonan Grasi tidak diketahui kapan atau waktu permohonan Grasi tersebut terselesaikan, dalam arti ditolak atau dikabulkan permohonan Grasi dimaksud oleh Presiden.

Untuk menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat maka sejak tanggal 22 Oktober 2002 Presiden dengan persetujuan DPR telah mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Sejak diundangkan undang-undang ini maka undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 dinyatakan tidak berlaku. Pembentukan undang-undang ini bertujuan menyesuaikan pengaturan mengenai Grasi dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUD RI 1945.

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002, Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi disebutkan, Grasi pada dasarnya pemberian dari Presiden dalam bentuk pengampunan yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan putasan kepada terpidana. Dengan demikian pemberian Grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan pengadilan.

Pemberian Grasi bukan merupakan bentuk campur tangan Presiden selaku lembaga eksekutif dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Walaupun demikian pemberian Grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan ataupun menghapuskan kesalahan terpidana, karena pada hakekatnya kesalahan terpidana sudah terbukti secara sah dan meyakinkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dan Grasi juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana, mengingat rehabiltasi atau pengembalian nama baik sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lain.

Grasi adalah upaya-upaya (non) hukum yang luar biasa, sebab secara legalistik positivistik, merupakan suatu perbuatan pidana, setelah diputus oleh Pengadilan Negeri, melalui upaya hukum Banding diputus oleh Pengadilan Tinggi, dan kemudian dapat pula mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung, dan jika putusan Mahkamah Agung sudah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), maka hanya tinggal satu upaya hukum lagi yaitu Peninjauan Kembali, apabila upaya hukum tersebut ditolak, maka pertolongan terakhir yang sesungguhnya bukan merupakan upaya hukum, melainkan melalui upaya non hukum, yang dapat ditempuh dengan mengajukan permohonan Grasi kepada Presiden. Dengan perkataan lain Grasi sesungguhnya seperti upaya hukum, tetapi pada hakekatnya bukan upaya hukum, mengingat upaya hukum sudah berakhir dengan terbitnya putusan Mahkamah Agung yang menjatuhkan putusan Kasasi atau Putusan Peninjauan Kembali.

Grasi diberikan oleh Presiden dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara, walaupun dengan pertimbangan dari Mahkamah Agung, Grasi oleh Presiden pada dasarnya adalah bukan suatu tindakan hukum, melainkan suatu tindakan non-hukum berdasarkan hak preogratif seorang Kepala Negara. Dengan demikian Grasi bersifat pengampunan, yang dapat berupa mengurangi pidana, atau memperingan pidana atau penghapusan pelaksanaan pidana yang telah diputuskan oleh lembaga peradilan.

Hal ini sesuai dengan pakar hukum Universitas Gajah Mada, Sigit Riyanto, Mailinda Eka Yuniza, Fatahilah Akbar, dan Amalinda menyampaikan bahwa dari sisi akademisi dalam hal permohonan Grasi seharusnya tidak diperlukan lagi pertimbangan dari Mahkamah Agung, karena proses selesai dan tanggung jawab beralih kepada eksekutif. Pemurnian sesuai ajaran trias politika pertimbangan Mahkamah Agung tidak diperlukan lagi, namun didalam prakteknya pertimbangan dari Mahkamah agung masih dibutuhkan sebelum Presiden mengambil keputusan menolak atau mengabulkan permohonan Grasi. Menurut Hamdan, akademisi, Pertimbangan Grasi oleh Mahkamah Agung juga tidak berarti bahwa hal tersebut merupakan alat untuk mengevaluasi kembali putusan-putusan yang dikeluarkan oleh peradilan. Hal tersebut karena selain pertimbangan-pertimbangan hukum

28 Peran Layanan Hukum Pidana Dan Pemberian Pertimbangan Hukum Grasi pada Hak Prerogatif Presiden

terdapat pula pertimbangan-pertimbangan lainnya seperti pertimbangan kemanusiaan dan lain sebagainya.

Meskipun demikian pemberian Grasi oleh Presiden yang dapat berupa mengurangi atau mengubah pidana ataupun membebaskan dari kewajiban menjalani pidana, tidak berarti menghapus atau menghilangkan akibat hukum dari pemindanaan bagi seorang terpidana. Pemberian Grasi itu, juga tidak menghapuskan kesalahan terpidana.

Grasi disatu sisi menjadi hak terpidana, namun disisi lain juga menjadi hak prerogatif Presiden selaku kepala negara. Sebagai hak terpidana, pemohonan Grasi tidak membedakan jenis tindak pidananya, melainkan yang dibatasi hanyalah pidananya. Namun demikian Grasi sebagai hak terpidana tidak pernah diberitahukan kepada terpidana itu sendiri, oleh Hakim atau Panitera yang menangani perkara tersebut. Dalam praktek Hakim lebih cenderung memberitahukan hak terdakwa mengenai upaya hukum biasa ataupun upaya hukum luar biasa, dibanding upaya non hukum (Grasi). Hal tersebut tentunya sangat bertentangan dengan Pasal 4 Undang-Undang Grasi itu sendiri.

Hal ini senada dengan ahli hukum Sularto menyampaikan bahwa Grasi tidak termasuk dalam kategori upaya hukum, namun dalam undang-undang Grasi hakim diberikan amanah untuk menyampaikan adanya hak mengajukan Grasi kepada terpidana. Alasan tersebut yang mungkin menjadi penyebab mengapa dalam pembacaan keputusan tidak menyampaikan adanya hak pengajuan Grasi. Oleh karena itu dalam undang-undang Grasi tidak perlu pengamanahan kepada hakim untuk menyampaikan adanya hak pengajuan Grasi. Karena hal tersebut seolah menggambarkan bahwa Grasi sama dengan upaya hukum.

Dalam perkembangannya undang-undang Grasi, mengalami perubahan sejak diundangkanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, yang mulai berlaku sejak tanggal diundangkan, yaitu tanggal 20 Agustus 2010. Perubahan hal sangat mendasar yaitu munculnya kewenangan Menteri Hukum dan HAM di bidang Grasi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6A, yaitu .”Demi kepentingan kemanusiaan dan keadilan menteri yang

membidangi dibidang hukum dan hak asasi manusia dapat meminta para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 mengajukan permohonan Grasi.” dan Menteri berwenang meneliti dan melaksanakan proses pengajuan Grasi dan menyampaikan permohonan kepada Presiden.”

Menurut akademisi, Pasal 6A untuk grasi yang diberikan untuk alasan kemanusiaan dan keadilan yang tidak ada penjelasannya, maka sebagai ukurannya adalah asas-asas pemerintahan yang baik dan harus dirumuskan ukuran kemanusiaan misalnya usia, keadaan ekonomi, sakit dan sebagainya dan juga harus dirumuskan ukuran keadilan.

Ketentuan ini secara impilisit memberikan kewenangan menteri di bidang Grasi, dengan memberikan pertimbangan ataupun kajian atas permohonan Grasi kepada Presiden. Meskipun demikian, walaupun pertimbangan ataupun kajian Grasi ini sudah diterbitkan oleh menteri, namun dalam prekteknya tanpa pertimbangan dari Mahkamah Agung, Keppres mengenai Grasi dimaksud belum dapat diterbitkan oleh Presiden. Dengan perkataan lain pertimbangan dari Mahkamah Agung bersifat mutlak, sejalan dengan apa yang diamanatkan dalam Undang Undang Dasar 1945.

Dengan demikian apabila ingin melakukan perubahan terhadap undang-undang Grasi, khususnya dalam mengembalikan kewenangan menteri dalam memberikan pertimbangan Grasi, sebagaimana diatur dalam undang-undang Grasi sebelumnya, menjadi sangat sulit dan mustahil. Untuk merubahnya harus terlebih dahulu merubah Undang Undang Dasar 1945, sebagai landasan konstitusional dalam pemberian Grasi oleh Presiden. Sedangkan untuk melakukan perubahan Undang Undang Dasar 1945, diperlukan persetujuan dari Rapat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Oleh karena itu untuk memberikan ruang bagi Menteri Hukum dan HAM dalam kewenangannya memberikan pertimbangan dalam permohanan Grasi, masih dibutuhkan waktu yang panjang, yang harus diikuti dengan perubahan atau amandemen terhadap UUD 1945.

Perubahan lainnya adalah pada ketentuan Pasal 7 ayat (2), yang menyatakan.”Permohonan Grasi diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.” Ketentuan ini sesungguhnya diperuntukan bagi permohonan Grasi terhadap terpidana

30 Peran Layanan Hukum Pidana Dan Pemberian Pertimbangan Hukum Grasi pada Hak Prerogatif Presiden

hukuman mati, agar terdapat kepastian hukum sehingga eksekusi atau pelaksanaan pidana mati bagi terpidana mati tidak tertunda sampai batas waktu yang tidak terbatas. Namun pada akhirnya ketentuan Pasal 7 ayat (2) ini dibatalkan dengan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-X11/2015 tanggal 15 Juni 2016, yang dianggap ketentuan tersebut bertentangan dengan ketentuan undang undang yang lebih tinggi tingkatannya. Karena itu permohonan Grasi pasca putusan Mahkamah Konstitusi tidak ada lagi pembatasan waktu dalam pengajuan permohonan Grasi, sepanjang putusan pengadilan tersebut telah berkekuatan hukum tetap.

Dokumen terkait