• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN LAYANAN HUKUM PIDANA DAN PEMBERIAN PERTIMBANGAN HUKUM GRASI PADA HAK PREROGATIF PRESIDEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN LAYANAN HUKUM PIDANA DAN PEMBERIAN PERTIMBANGAN HUKUM GRASI PADA HAK PREROGATIF PRESIDEN"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PERAN LAYANAN HUKUM PIDANA

DAN PEMBERIAN PERTIMBANGAN HUKUM GRASI

PADA HAK PREROGATIF PRESIDEN

(3)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA

Pasal 1

(1) Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 113

(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).

(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau

pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

(4)

PERAN LAYANAN HUKUM PIDANA

DAN PEMBERIAN PERTIMBANGAN HUKUM GRASI

PADA HAK PREROGATIF PRESIDEN

Teknis Substantif

Bidang Administrasi Hukum Pidana

MAFTUH

RACHMAT PRIO SUTARDJO

BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA

2020

MODUL BEST PRACTICE

(5)

MODUL BEST PRACTICE

PERAN LAYANAN HUKUM PIDANA

DAN PEMBERIAN PERTIMBANGAN

HUKUM GRASI PADA HAK

PREROGATIF PRESIDEN

Teknis Substantif

Bidang Administrasi Hukum Pidana

MAFTUH

RACHMAT PRIO SUTARDJO

BPSDM KUMHAM Press

Jalan Raya Gandul No. 4 Cinere – Depok 16512

Telepon (021) 7540077, 754124 Faksimili (021) 7543709, 7546120 Laman: http://bpsdm.kemenkumham.go.id

Cetakan ke-1 : Oktober 2020 Perancang Sampul : Panjibudi Penata Letak : Panjibudi xii + 44 hlm.; 18 × 25 cm ISBN: 978-623-6869-03-1

Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang mengutip dan mempublikasikan

sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin dari Penerbit Dicetak oleh:

PERCETAKAN POHON CAHAYA

(6)

KATA SAMBUTAN

Puji Syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya Modul Best Practice berjudul ”Peran Layanan Hukum Pidana dan Pemberian Pertimbangan Hukum Grasi pada Hak Prerogatif Presiden” telah terselesaikan. Modul ini disusun untuk membekali para pembaca agar mengetahui dan memahami salah satu tugas dan fungsi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Modul Best Practice merupakan strategi pendokumentasian pengetahuan tacit yang masih tersembunyi dan tersebar di banyak pihak, untuk menjadi bagian dari aset intelektual organisasi. Langkah ini dilakukan untuk memberikan sumber- sumber pengetahuan yang dapat disebarluaskan sekaligus dipindah tempatkan atau replikasi guna peningkatan kinerja individu maupun organisasi. Keberadaan Modul Best Practice dapat mendukung proses pembelajaran mandiri, pengayaan materi pelatihan dan peningkatan kemampuan organisasi dalam konteks pengembangan kompetensi yang terintegrasi (Corporate University) dengan pengembangan karir.

Modul Best Practice pada artinya dapat menjadi sumber belajar guna memenuhi hak dan kewajiban pengembangan kompetensi paling sedikit 20 jam pelajaran (JP) bagi setiap pegawai. Hal ini sebagai implementasi amanat Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN).

Dalam kesempatan ini, kami atas nama Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan Hak Asasi Manusia menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak atas dukungan dan kontribusinya dalam penyelesaian modul ini. Segala kritik dan saran sangat kami harapkan guna peningkatan kualitas

(7)

vi Peran Layanan Hukum Pidana Dan Pemberian Pertimbangan Hukum Grasi pada Hak Prerogatif Presiden

publikasi ini. Semoga modul ini dapat berkontribusi positif bagi para pembacanya dan para pegawai di Lingkungan Kementerian Hukum dan HAM.

Selamat Membaca… Salam Pembelajar…

Jakarta, Agustus 2020

Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan Hak Asasi Manusia,

(8)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas kehendak dan perkenan-Nya masih diberikan kesempatan dan kesehatan dalam rangka penyusunan Modul Best Practice berjudul ”Peran Layanan Hukum Pidana dan Pemberian Pertimbangan Hukum Grasi pada Hak Prerogatif Presiden”.

Modul Best Practice ”Peran Layanan Hukum Pidana dan Pemberian Pertimbangan Hukum Grasi pada Hak Prerogatif Presiden” sebagai sumber pembelajaran dalam meningkatkan pemahaman dan pengetahuan terhadap keberagaman bidang tugas dan fungsi serta kinerja organisasi Kemenkumham. Selain itu upaya untuk memperkuat dan mengoptimalkan kegiatan pengabadian aset intelektual dari pengetahuan tacit individu menjadi pengetahuan organisasi. Pengetahuan tacit yang berhasil didokumentasikan, akan sangat membantu sebuah organisasi dalam merumuskan rencana strategis pengembangan kompetensi baik melalui pelatihan maupun belajar mandiri, serta implementasi Kemenkumham Corporate University (CorpU).

Demikian Modul Best Practice ”Peran Layanan Hukum Pidana dan Pemberian Pertimbangan Hukum Grasi pada Hak Prerogatif Presiden” disusun, dengan harapan modul ini dapat bermanfaat dalam meningkatkan kompetensi bagi pembaca khususnya pegawai di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Depok, 26 Oktober 2020 Kepala Pusat Pengembangan Diklat Teknis dan Kepemimpinan,

Hantor Situmorang

(9)
(10)

DAFTAR ISI

KATA SAMBUTAN ...v

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ...ix

DAFTAR GAMBAR ...xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Deskripsi Singkat ... 2 C. Tujuan Pembelajaran ... 3 D. Materi Pokok ... 3 E. Petunjuk Belajar ... 3

BAB II ATURAN HUKUM PEMBERIAN GRASI DI INDONESIA ... 5

A. Latar Belakang Grasi ... 5

B. Sejarah Grasi ... 7

C. Perkembangan Pengaturan Grasi ... 13

BAB III EKSISTENSI GRASI SEBAGAI BENTUK UPAYA HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN PIDANA ... 19

A. Grasi sebagai Hak Warga Negara ... 19

B. Grasi Mengatasi Keterbatasan Hukum (Recovery System) ... 21

C. Hapusnya Hak Negara Untuk Menjalankan Pidana ... 22

D. Hubungan Grasi dengan Tujuan Pemidanaan ... 23

BAB IV IMPLEMENTASI PEMBERIAN GRASI OLEH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ... 25

A. Ruang Lingkup Grasi ... 25

B. Tata Cara Pengajuan Permohonan Grasi ... 30

(11)

x Peran Layanan Hukum Pidana Dan Pemberian Pertimbangan Hukum Grasi pada Hak Prerogatif Presiden

BAB V Penutup ... 41

A. Kesimpulan ... 41

B. Saran ... 41

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Alur Permohonan Grasi Umum ... 32 Gambar 4.1 Alur Permohonan Grasi dalam Kondisi Tertentu ... 33

(13)
(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah Negara hukum, sebagaimana yang telah di amanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Hal ini memberikan konsekuensi bahwa setiap kehidupan bernegara harus lebih dahulu memiliki ketentuan hukum yakni peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan sebagai bentuk aturan pelaksanaan teknis atas ketentuan Undang-Undang Dasar sebagaimana yang berlaku di Indonesia, adalah bentuk konkrit yang wajib ditaati baik oleh warga negara maupun para penyelenggara negara. Kedua subyek inilah yang sangat menentukan terwujudnya kemanfaatan akan cita-cita kehidupan bernegara yang ditandai dengan mengarahnya bangsa ini pada cita-cita pembentukannya yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan peraturan tertinggi bangsa Indonesia dengan falsafah Pancasila sebagai spirit-nya. Dengan kata lain Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan konstitusi Negara Indonesia sehingga setiap peraturan yang dibuat kemudian tidaklah dapat bertentangan dan berseberangan dengan nilai-nilai yang termaktub dalam konstitusi Negara.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengalami perubahan sebanyak empat kali. Perubahan ini dimaksudkan untuk dapat mengimbangi kebutuhan akan peraturan tertinggi bangsa ini dengan memperhatikan perkembangan kehidupan sosial dan

(15)

kemasyara-2 Peran Layanan Hukum Pidana Dan Pemberian Pertimbangan Hukum Grasi pada Hak Prerogatif Presiden

kat an Indonesia. Salah satu amandemennya disebutkan bahwa Presiden memiliki hak untuk memberikan grasi dan rehabilitasi kepada narapidana dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung serta amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Amandemen ini memberikan kewenangan kepada Presiden untuk mengurangi dan merubah hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim.

Dalam prakteknya, dalam pemberian grasi oleh Presiden, selain memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung, Presiden juga meminta pertimbangan kepada kementrian/lembaga negara lainya. Melalui Kementerian Sekretariat Negara, Presiden meminta pertimbangan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan, Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi, bahkan dalam tindak pidana tertentu sepeti, kejahatan yang dilakukan oleh anak, Presiden juga meminta pertimbangan pula dari Komisi Perlindungan Anak.

Berdasarkan Pasal 335 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 29 Tahun 2015 tanggal 29 September 2015 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia mengatur bahwa Subdirektorat Pelayanan Hukum Pidana dan Grasi mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang pelayanan hukum pidana dan grasi. Berdasarkan penjelasan yang disampaikan di atas, maka Modul Best Practice ini berjudul “Peran Layanan Hukum Pidana Dan Pemberian Pertimbangan Hukum Grasi Pada Hak Prerogatif Presiden”.

B.

Deskripsi Singkat

Materi modul “Peran Layanan Hukum Pidana Dan Pemberian Pertimbangan Hukum Grasi Pada Hak Prerogratif Presiden” diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi pembelajar tentang implementasi pemberian grasi oleh Presiden Republik Indonesia, terkait sejarah pemberian grasi , tata cara pengajuan permohonan grasi dan tata cara penyelesaian grasi.

(16)

C.

Tujuan Pembelajaran

Setelah mempelajari modul ini, pembelajar diharapkan mampu memahami Pemberian Pertimbangan Hukum Grasi Pada Hak Prerogatif Presiden.baik konsep maupun implementasi pemberian grasi oleh Presiden Republik Indonesia.

D.

Materi Pokok

Dalam rangka mencapai pemahaman yang diharapkan, materi pokok modul ini diuraikan ke dalam beberapa bagian yang satu dengan lainnya saling terkait dan mendukung, yaitu sebagai berikut:

1. Aturan Hukum Pemberian Grasi di Indonesia

2. Eksistensi Gras sebagai Bentuk Upaya Hukum terhadap Pelaksanaan Pidana

3. Implementasi Pemberian Grasi oleh Presiden Republik Indonesia.

E.

Petunjuk Belajar

Agar supaya dapat memahami seluruh isis modul inidengan baik, pembelajar diharapkan dapat membacanya secara beurutan serta membaca referensi pendukung, Hal tersebut untuk mengurangi kesenjangan terhadap substansi dalam modul ini. Pembelajar disarankan melakukan curah pendapat dengan sesame pembelajar karena metode pembelajaran tersebut dapat mempercepat pemahaman modul ini.

(17)
(18)

BAB II

ATURAN HUKUM PEMBERIAN GRASI DI INDONESIA

A.

Latar Belakang Grasi

Permohonan grasi ini diajukan oleh yang dihukum bersalah kepada kepala negara atau Presiden yang kedudukannya sebagai Kepala Negara yang mempunyai hak prerogatif. Pemberian grasi merupakan suatu hak, maka kepala negara tidak berkewajiban untuk mengabulkan semua permohonan grasi yang ditujukan kepadanya. Kedudukannya sebagai Kepala Negara, maka walaupun ada nasihat atau pertimbangan dari Mahkamah Agung, Grasi oleh Presiden pada dasarnya adalah bukan suatu tindakan hukum, melainkan suatu tindakan non-hukum berdasarkan hak preogratif seorang Kepala Negara. Dengan demikian Grasi bersifat pengampunan berupa mengurangi pidana (starfverminderend) atau memperingan pidana atau penghapusan pelaksanaan pidana yang telah diputuskan oleh Mahkamah Agung. Bisa juga Grasi itu ditolak oleh Presiden. Pemberian grasi oleh kepala negara kepada si terhukum pada umumnya dilatarbelakangi oleh hal-hal sebagai berikut; (a) Seandainya dipandang adanya kekurang layakan dalam penerapan hukum, maka pemberian grasi dalam hal ini adalah untuk memperbaiki penerapan hukum; (b) Seandainya dipandang bahwa para terhukum sangat dibutuhkan negara atau pada mereka terdapat penyesalan yang sangat mendalam, maka dalam hal ini pemberian grasi adalah demi kepentingan negara. Pertimbangan pemberian grasi kepada si terhukum lebih dititikberatkan pada memberi penilaian kembali terhadap putusan hakim. Putusan tersebut dinilai kembali apakah putusan tersebut telah sesuai dengan kesalahan yang terbukti dilakukan oleh si terhukum atau apakah putusan tersebut ternyata terlalu berat dibandingkan dengan keadaan atau situasi pada saat putusan tersebut dijatuhkan. Pemberian grasi merupakan

(19)

6 Peran Layanan Hukum Pidana Dan Pemberian Pertimbangan Hukum Grasi pada Hak Prerogatif Presiden

suatu koreksi atas putusan hakim dengan dasar alasan-alasan yang telah diketahui setelah hakim menjatuhkan putusannya.

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi (UU Permohonan Grasi), tidak disebutkan secara jelas mengenai pengertian grasi. Namun, pengertian grasi dapat kita simpulkan dari pasal 1 UU Permohonan Grasi yang berbunyi; “Atas hukuman- hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman, baik militer maupun sipil, yang tidak dapat diubah lagi, orang yang dihukum atau pihak lain dapat memajukan permohonan grasi kepada Presiden.” Sebelum tahun 2002, pemberian grasi didasarkan pada Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 40) yang dikeluarkan pada masa Republik Indonesia Serikat, mengatur prosedur yang melibatkan beberapa instansi terkait, termasuk Mahkamah Agung yang diberi kewenangan untuk memberikan pertimbangan permohonan grasi. Jadi, Undang- undang Nomor 3 Tahun 1950 yang tidak mendasarkan pada Undang-undang Dasar 1945 Pasal 14 dan Undang-undang Dasar 1945 beserta Perubahan Pertama, dengan sendirinya tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat, di samping prosedurnya yang terlalu panjang dengan melibatkan instansi penegak hukum yang tidak terkait lagi dengan pemberian grasi itu sendiri. Pertimbangan yang selama ini diberikan dengan melihat sistem peradilan pidana, tidak diperlukan lagi. Untuk itu, substansi Undang-undang mengatur proses pemberian grasi tanpa melalui pertimbangan yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana (criminal justice system) itu sendiri. Setelah tahun 2002 pemberian grasi didasarkan pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (UU Grasi). Ruang lingkup permohonan dan pemberian grasi menurut UU Permohonan Grasi yaitu semua putusan pengadilan sipil maupun pengadilan militer yang telah berkekuatan hukum tetap. Ruang lingkup permohonan dan pemberian grasi menurut UU Grasi yaitu terhadap semua putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Putusan tersebut adalah pidana mati, penjara seumur hidup atau penjara paling rendah dua tahun.

Berdasarkan bunyi pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa grasi merupakan pengampunan yang dapat diajukan kepada Presiden atas

(20)

hukuman-hukuman yang dijatuhkan kepada si terhukum. Pasal 1 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (UU Grasi) memberikan pengertian mengenai grasi yaitu sebagai pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Pada penjelasan pasal 2 UU Grasi dinyatakan bahwa putusan pengadilan yang dapat dimintakan grasi adalah putusan pengadilan sipil atau putusan pengadilan militer. Dengan demikian tidak ada perubahan yang menonjol dalam pengertian grasi menurut kedua UU tersebut. Grasi, pada dasarnya, pemberian dari Presiden dalam bentuk pengampunan yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan putusan kepada terpidana. Dengan demikian, pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim. Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Kendati pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana.

B.

Sejarah Grasi

Pada mulanya pemberian grasi atau pengampunan di zaman kerajaan absolut di Eropa, adalah berupa anugerah raja (vorstelijke gunst) yang memberikan pengampunan terhadap orang yang telah dipidana. Jadi sifatnya sebagai kemurahan hati raja yang berkuasa. Tetapi setelah tumbuhnya negara-negara modern, di mana kekuasaan kehakiman telah terpisah dengan kekuasan pemerintahan atas pengaruh dari paham trias politica, maka pemberian grasi berubah sifatnya menjadi upaya koreksi terhadap putusan pengadilan khususnya mengenai pelaksanannya.

Kamus Umum Bahasa Indonesia, eksistensi berarti adanya atau keberadaan. Sedangkan grasi, dalam Kamus Hukum berarti wewenang dari kepala negara untuk memberi pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim untuk menghapuskan seluruhnya, sebagian,

(21)

8 Peran Layanan Hukum Pidana Dan Pemberian Pertimbangan Hukum Grasi pada Hak Prerogatif Presiden

atau merobah sifat atau bentuk hukuman itu. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No.22 Tahun 2002 tentang Grasi, menyebutkan bahwa “Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden”. Jadi, dapat disimpulkan bahwa grasi adalah hak Presiden untuk menghapuskan hukuman keseluruhannya ataupun sebagian yang dijatuhkan oleh hakim, atau menukarkan hukuman itu dengan yang lebih ringan menurut urutan Pasal 10 KUHP Sebelum berlakunya Undang-undang No.22 Tahun 2002 tentang Grasi, dua Konstitusi yang pernah berlaku yakni Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, juga memberikan dasar kepada Presiden untuk memberikan grasi. Dalam dua Konstitusi ini, rumusan mengenai grasi justru diatur lebih lengkap. Pasal 160 ayat (1) dan (2) Konstitusi RIS, merumuskan sebagai berikut:

1) Presiden mempunyai hak memberi ampun dari hukuman- hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman. Hak itu dilakukannya sesudah meminta nasihat dari Mahkamah Agung, sekedar dengan Undang-undang federal tidak ditunjuk pengadilan yang lain untuk memberi nasihat.

2) Jika hukuman mati dijatuhkan, maka keputusan kehakiman itu tidak dapat dijalankan, melainkan sesudah Presiden, menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan Undang- undang federal diberikan kesempatan untuk memberikan ampun.

Berlakunya Kontitusi RIS 1949, diundangkan Undang-undang Darurat No.3 Tahun 1950 tentang Grasi pada 6 Juli 1950. Pada zaman Hindia Belanda, mengenai hukum acara grasi diatur dalam Gratieregeling (Stb. 1933 No.2). Setelah Proklamasi, dikeluarkan Peraturan Pemerintah RI No.67 Tahun 1948 tentang Permohonan Grasi. Keduanya kemudian dicabut oleh Undang-undang No.3 Tahun 1950 tentang Grasi (L.N. 1950 No. 40), yang juga dicabut oleh Undang-undang No.22 Tahun 2002 tentang Grasi (L.N. 2002 No.108). Keterangan mengenai grasi di dalam KUHP, hanya terdapat dalam satu Pasal saja. Yaitu pada Pasal 33a, yang berbunyi: “Jika orang yang ditahan sementara dijatuhi pidana penjara atau pidana kurungan, dan

(22)

kemudian dia sendiri atau orang lain dengan persetujuannya mengajukan permohonan ampun, maka waktu mulai permohonan diajukan hingga ada putusan Presiden, tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana, kecuali jika Presiden, dengan mengingat keadaan perkaranya, menentukan bahwa waktu itu seluruhnya atau sebagian dihitung sebagai waktu menjalani pidana”.

Pasal 33a tersebut tidak mengatur mengenai grasi secara lengkap. Namun hanya mengatur mengenai waktu menjalani hukuman bagi yang mengajukan permohonan grasi, dalam hal yang berkepentingan dijatuhi hukuman pidana penjara atau hukuman pidana kurungan. Permohonan grasi kepada Presiden dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Artinya, setelah suatu perkara selesai diputus oleh hakim, barulah dapat diajukan permohonan grasi. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah putusan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, dan pidana penjara paling rendah selama 2 (dua) tahun. Namun, terpidana yang biasanya mengajukan permohonan grasi adalah terpidana yang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.

Hukuman pidana penjara dalam waktu tertentu maupun hukuman pidana penjara seumur hidup, eksekusinya dilakukan oleh jaksa yaitu dijalankan oleh terpidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan untuk pidana mati, menurut Pasal 11 KUHP, eksekusi dilakukan dengan cara digantung di tiang gantungan. Ketentuan Undang-undang No.11 Tahun 1964, eksekusi dilakukan oleh regu tembak.

Permohonan grasi sebagaimana dimaksud, hanya dapat diajukan satu kali, kecuali dalam hal:

A. Terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu dua tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut; atau

B. Terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana seumur hidup dan telah lewat waktu dua tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima.

(23)

10 Peran Layanan Hukum Pidana Dan Pemberian Pertimbangan Hukum Grasi pada Hak Prerogatif Presiden

Permohonan grasi dapat diajukan oleh terpidana sendiri, kuasa hukumnya, atau keluarga terpidana dengan persetujuan terpidana. Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan dari terpidana. Permohonan grasi ini diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya, kepada Presiden.

Dalam permohonan grasi ini, Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan, setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 14 ayat (1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945, “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”. Pernyataan ini juga sejalan dengan isi Pasal 27 Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, “Mahkamah Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum, kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta”. Oleh karenanya kewenangan Presiden memberikan grasi ini disebut kewenangan dengan konsultasi, maksudnya kewenangan yang memerlukan usulan atau nasihat dari institusi lain. Selain grasi, yang termasuk dalam kewenangan dengan konsultasi yaitu kewenangan memberikan amnesti dan abolisi, dan kewenangan memberikan rehabilitasi.

Adapun mengenai wewenang Presiden, biasanya dirinci secara tegas dalam Undang-Undang Dasar. Perincian kewenangan ini penting untuk membatasi sehingga Presiden tidak bertindak sewenang-wenang. Beberapa kewenangan Presiden yang biasa dirumuskan dalam Undang-undang Dasar berbagai negara, mencakup lingkup kewenangan sebagai berikut:

a. Kewenangan yang bersifat eksekutif atau menyelenggarakan berdasarkan Undang-undang Dasar (to govern based on constitution). Bahkan, dalam sistim yang lebih ketat, semua kegiatan pemerintahan yang dilakukan oleh Presiden haruslah didasarkan atas perintah konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian kecenderungan yang biasa terjadi dengan apa yang disebut dengan discretionary power, dibatasi sesempit mungkin wilayahnya.

(24)

b. Kewenangan yang bersifat legislatif atau untuk mengatur kepentingan umum atau publik (to regulate public affairs based on the law and the constitution). Dalam sistim pemisahan kekuasaan (separation of power), kewenangan untuk mengatur ini dianggap ada di tangan lembaga perwakilan, bukan di tangan eksekutif. Jika lembaga eksekutif merasa perlu mengatur maka kewenangan mengatur di tangan eksekutif itu bersifat derivatif dari kewenangan legislatif. Artinya, Presiden tidak boleh menetapkan suatu, misalnya Keputusan Presiden tidak boleh lagi bersifat mengatur secara mandiri seperti dipahami selama ini. c. Kewenangan yang bersifat judisial dalam rangka pemulihan yang

terkait dengan putusan pengadilan, yaitu untuk mengurangi hukuman, memberikan pengampunan, ataupun menghapuskan tuntutan yang terkait erat dengan kewenangan pengadilan. Dalam sistim parlementer yang mempunyai Kepala Negara, ini biasanya mudah dipahami karena adanya peran simbolik yang berada di tangan Kepala Negara. Tetapi dalam sistim Presidensiil, kewenangan untuk memberikan grasi, abolisi, dan amnesti itu ditentukan berada di tangan Presiden.

d. Kewenangan yang bersifat diplomatik, yaitu menjalankan perhubungan dengan negara lain atau subjek hukum internasional lainnya dalam konteks hubungan luar negeri, baik dalam keadaan perang maupun damai. Presiden adalah pucuk pimpinan negara, dan karena itu dialah yang menjadi simbol kedaulatan politik suatu negara dalam berhadapan dengan negara lain. Dengan persetujuan parlemen, dia jugalah yang memiliki kewenangan politik untuk menyatakan perang dan berdamai dengan negara lain.

e. Kewenangan yang bersifat administratif untuk mengangkat dan mem-berhentikan orang dalam jabatan-jabatan kenegaraan dan jabatan- jabatan administrasi negara. Karena Presiden juga merupakan kepala eksekutif maka sudah semestinya dia berhak untuk mengangkat dan memberhentikan orang dalam jabatan pemerintahan atau jabatan administrasi Negara.

(25)

12 Peran Layanan Hukum Pidana Dan Pemberian Pertimbangan Hukum Grasi pada Hak Prerogatif Presiden

Kelima jenis kewenangan di atas sangat luas cakupannya, sehingga perlu diatur dan ditentukan batas-batasnya dalam Undang- undang Dasar atau Undang- undang. Oleh karena itu, biasanya ditentukan:

A. Penyelengaraan pemerintahan oleh Presiden haruslah didasarkan atas Undang-undang Dasar;

B. Dalam sistem pemisahan pemisahan kekuasaan dan checks and balances, kewenangan regulatif bersifat derivatif dari kewenangan legislatif yang dimiliki oleh parlemen;

C. Dalam sistem pemerintahan parlementer, jabatan kepala pemerintahan biasanya dibedakan dan bahkan dipisahkan dari kepala pemerintahan. Kepala negara biasanya dianggap berwenang pula memberikan grasi abolisi, dan amnesti untuk kepentingan memulihkan keadilan. Namun, dalam sistem Presidensiil kewenangan tersebut dianggap ada pada Presiden yang merupakan kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Untuk membatasi kewenangan tersebut, Presiden harus mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Agung atau Dewan Perwakilan Rakyat sebelum memberikan grasi, amnesti, dan abolisi; D. Dalam konteks hubungan diplomatik, puncak jabatan adalah Presiden.

Untuk membatasi agar jangan sampai Presiden mengadakan perjanjian yang merugikan kepentingan rakyat, maka setiap perjanjian internasional harus mendapat persetujuan lembaga perwakilan rakyat (parlemen). Begitu juga halnya mengenai pernyataan perang dengan negara lain;

E. Kewenangan yang bersifat administratif, meliputi pengangkatan dan pemberhentian pejabat publik, juga tetap harus diatur dan dibatasi.

Adanya peran serta Mahkamah agung dalam hal pertimbangan pemberian grasi ini, memberikan indikasi pembatasan terhadap otoritasi Presiden. Sebagaimana kita ketahui, sistim Presidensiil yang dianut oleh negara ini mempunyai kelemahan berupa kecenderungan terlalu kuatnya otoritas dan konsentrasi kekuasaan di tangan Presiden. Dan dengan pembatasan ini, hak preogratif Presiden tidak lagi bersifat mutlak.

(26)

Permohonan grasi diajukan dalam jangka waktu yang bersamaan dengan permohonan peninjauan kembali atau jangka waktu antara kedua permohonan tersebut tidak terlalu lama, maka permohonan peninjauan kembali yang diputus terlebih dahulu. Selanjutnya, keputusan permohonan grasi ditetapkan paling lambat tiga bulan sejak salinan putusan peninjauan kembali diterima Presiden.

Hasil keputusan permohonan grasi yang dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden, dapat berupa penolakan atau penerimaan grasi. Penerimaan permohonan grasi dapat berupa:

1) Peringanan atau perubahan jenis pidana; 2) Pengurangan jumlah pidana;

3) Penghapusan pelaksanaan pidana.

C.

Perkembangan Pengaturan Grasi

Setelah Indonesia merdeka, ketentuan dasar peniadaan pidana yang telah dibicarakan di atas diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Disamping itu diatur juga dalam konstitusi pasal 14 ayat (1) UUD RI Tahun 1945 yang menentukan Presiden memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Atas dasar ketentuan ini, pada tanggal 14 April 1947, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1947 yang memuat tata cara pelaksanaan permohonan ampun kepada Presiden. Pada tanggal 25 Juli 1947 keluar Peraturan Pemerintah No. 18 tahun1947 yang memuat perubahan terhadap Peraturan Pemerintah sebelumnya. Masih pada tahun yang sama, pemerintah mengeluarkan lagi Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1947 yang isinya memuat perubahan terhadap peraturan sebelumnya.

Perubahan peraturan itu masih tetap berlanjut. Pada tahun 1948, pemerintah mengeluarkan empat kali Peraturan Pemerintah mengenai permohonan grasi ini, yakni Peraturan Pemerintah No. 3, No. S 1, No. 16, dan terakhir Peraturan Pemerintah No. 67 tahun 1948. Dan menarik, keempat Peraturan Pemerintah ini isinya kembali memuat perubahan terhadap peraturan sebelumnya tentang permohonan grasi.

(27)

14 Peran Layanan Hukum Pidana Dan Pemberian Pertimbangan Hukum Grasi pada Hak Prerogatif Presiden

Tanggal 27 Desember 1949 terbentuk negara Republik Indonesia Serikat. Konstitusi yang berlaku adalah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) 1949. Berkenaan dengan masalah grasi, konstitusi tersebut mengatur dalam pasal 160. Atas dasar ketentuan tersebut, pada tanggal 1 Juli 1950 dikeluarkan Undang-undang No. 3 tahun 1950 Tentang Permohonan Grasi, Lembaran Negara 1950 No. 40, yang m u l a i berlaku pada tanggal 6 Juli 1950. undang ini disebut pula Undang-undang Grasi. Materi muatan Undang-Undang-undang ini pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan Peraturan Pemerintah lainnya mengenai permohonan grasi yang dikeluarkan berdasarkan pasal 14 UUD 1945 sebelum amandemen. tersebut sekalipun terpidana tidak mengajukan permohonan grasi. Dalam Undang- undang Grasi tenggang waktunya tiga puluh (30) hari, sementara dalam peraturan sebelumnya 14 hari. Meskipun demikian, ada hal-hal yang baru dalam undang- undang grasi ini. Misalnya, tenggang waktu penundaan pelaksanaan hukuman penjara yang dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Presiden untuk mempertimbangkan grasi kepada terpidana Tanggal 15 Agustus 1950, Pemerintah Republik Indonesia Serikat mengeluarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1950 yang mengubah Konstitusi RIS untuk menjadi Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Undang-undang Dasar ini dikenal dengan sebutan UUDS 1950. Pasal 2 UU No. 7 tahun 1950 menyatakan, UUDS RI ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950

Berkenaan dengan grasi/pengampunan hukuman, pengaturannya tercantum dalam pasal 107 UUDS 1950. Ayat (1) pasal tersebut menetapkan, Presiden mempunyai hak memberi grasi atas hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan pengadilan. Pelaksanaan hak grasi tersebut didasarkan atas nasehat Mahkamah Agung. Ayat (2) mengatur penangguhan putusan terpidana untuk memberikan kesempatan kepada Presiden untuk menggunakan hak grasinya. Ayat (3) mengatur masalah amnesti dan abolisi.

Masa UUDS 1950, pengaturan tata cara pelaksanaan grasi masih tetap menggunakan UU Grasi tahun 1950 yang dikeluarkan pada masa RIS. Hal ini sesuai dengan perihal pasal 142 UUDS 1950 yang menentukan segala peraturan yang ada tanggal 17 Agustus 1950 tetap berlaku selama

(28)

peraturan- peraturan tidak dicabut, ditambah, diubah atas kuasa Undang- undang Dasar ini.

Masa ini, peraturan yang keluar berkenaan dengan grasi tercatat Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1954 tentang Kasasi dan Grasi. Pasal 2 peraturan ini menetapkan, seorang terpidana yang berada dalam tahanan dan mengajukan grasi sehingga ia tidak harus menjalani hukumannya. Jika terdapat alasan- alasan yang penting. Disamping itu keluar surat edaran Menteri Kehakiman No. J.G.2/135/5 tanggal 29 Agustus 1951 tentang Pelaksanaan Urusan Grasi. Surat Edaran ini ditujukan kepada ketua-ketua Pengadilan Negeri dan Kepala-kepala Kejaksaan Negeri, yang isinya antara lain, menjelaskan maksud dan pengertian tempo 14 hari sebagaimana tercantum dalam pasal 5 ayat (1) Undang-undang Grasi.

UUDS 1950 berlaku sampai dengan tanggal 5 Juli 1959. Presiden melalui Dekritnya tanggal 5 juli 1959 menetapkan berlakunya kembali UUD 1945. Berlakunya UUD 1945 mempengaruhi status hukum badan-badan kenegaraan dan peraturan-peraturan yang ada dan berlaku pada masa 5 Juli 1959. Namun hal ini dapat diatasi melalui pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menetapkan, segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini. Peraturan yang ada dan berlaku sebelum 5 Juli 1959 dan masih tetap berlaku setelah keluarnya dekrit tersebut antara lain, UU Grasi No. 3 tahun 1950. Ketentuan- ketentuan yang terbit berkenaan dengan masalah grasi, misalnya Surat Edaran Menteri Kehakiman No. J.G.2/42/11, tanggal 5 Nopember 1969.

Di samping grasi menurut Undang-undang Grasi, ada pula grasi yang khusus yang didasarkan Keppres (Keputusan Presiden) No. 568 tahun 1961 hal ini berkaitan dengan Keppres No. 449 tahun 1961 tanggal 17 Agustus 1961 tentang Pemberian Amnesti dan Abolisi kepada orang-orang yang tersangkut dalam pemberontakan.

Perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara merupakan wewenang Presiden. Dalam hal ini, berlaku UU Grasi No. 3 tahun 1950 (pasal 7). Mengenai tatacara perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara, Menteri Kehakiman

(29)

16 Peran Layanan Hukum Pidana Dan Pemberian Pertimbangan Hukum Grasi pada Hak Prerogatif Presiden

mengeluarkan Keputusan No. M.03.HN.02.01 tahun 1988 tentang Tatacara Permohonan Perubahan Pidana Penjara Seumur Hidup menjadi Pidana Penjara Sementara berdasarkan Keppres No. 5 tahun 1987 tentang Pengurangan Masa Menjalani Pidana (Remisi).

Tatacara pengajuan permohonan perubahan pidana tersebut harus menggunakan tatacara yang diatur dalam UU Grasi tersebut karena mengajukan permohonan kepada Presiden untuk mengubah atau mengganti bentuk hukuman/pemidanaan dengan bentuk pemidanaan yang lebih ringan artinya sama dengan mengajukan grasi.

Setelah UU No. 3 tahun 1950 tentang Grasi tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan Indonesia yang berlaku pada saat ini dan substansinya sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat, maka lahirlah Undang-undang No. 22 tahun 2002 tentang Grasi, yang diberlakukan mulai tanggal 22 Oktober 2002, dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 108. Sejak saat itu UU No. 3 tahun 1950 tentang Grasi dinyatakan tidak berlaku lagi.

Penyesuaian dengan sistem ketatanegaraan Indonesiaan yang dimaksud adalah berhubungan dengan amandemen UUD 1945, yakni ketentuan pasal 14 ayat (1) yang menentukan bahwa Presiden memberikan grasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Tatacara pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi dalam undang-undang grasi yang lama menimbulkan celah yang selama ini menjadi permasalahan, antara lain mengenai penundaan eksekusi karena permohonan grasi. Hal ini mengakibatkan penyalahgunaan permohonan grasi untuk menghindarkan diri dari eksekusi. Seperti halnya dalam undang-undang grasi yang lama, seorang terpidana mati hanya dapat mengajukan grasi jika putusan pemidanaannya telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Jika terpidana masih dalam proses melakukan upaya hukum berupa banding atau kasasi maka tidak dapat mengajukan grasi, sebab putusan pidana mati pada saat tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Undang-undang ini putusan pemidanaan yang dapat diajukan grasinya selain pidana mati dan penjara seumur hidup adalah pidana penjara yang ditentukan lamanya paling rendah 2 (dua) tahun. Berbeda dengan

(30)

undang-undang grasi lama yang tidak membatasi lamanya pidana penjara yang dapat dimohonkan grasi. Sehingga dimungkinkan terjadi proses pengajuan grasi lebih lama dari masa hukuman seorang terpidana. Selain itu, tidak adanya batasan tersebut menyebabkan banyaknya permohonan grasi yang harus diproses.

(31)
(32)

BAB III

EKSISTENSI GRASI SEBAGAI BENTUK UPAYA HUKUM

TERHADAP PELAKSANAAN PIDANA

A.

Grasi sebagai Hak Warga Negara

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pemberian grasi merupakan pencabutan atau upaya meringankan sanksi yang dijatuhkan melalui putusan pengadilan pidana. Dahulu kala, penguasa beranjak dari kekuasaan mutlak yang dimilikinya menganugerahkan grasi sebagai wujud kebajikan hatinya. Sekarang tak lagi mengenal grasi dalam bentuk seperti itu, terutama karena hak prerogatif (hak istemewa) telah diserahkan kepada pemerintah dan pelaksanaannya menjadi tanggung jawab Kepala Negara atau dalam sistem pemerintahan Presidensiil ada di tangan Presiden.

Dalam uraian sebelumnya juga telah dijelaskan mengenai perubahan sistem pemerintahan yang dianut oleh Negara Republik Indonesia, yaitu menjadi Presidensiil murni. Dalam sistem pemerintahan Presidensiil murni, meskipun tidak ada pembedaan antara Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, tugas dan wewenang Presiden sebagai puncak kepemimpinan Negara, tetap saja ada tugas dan wewenangnya yang merupakan lingkup pemerintahan atau eksekutif dan kewenangan yang berada di luar lingkup tersebut. Meskipun hal ini tidak secara nyata dibedakan, seperti nampak dalam sistem pemerintahan parlementer.

Kewenangan Presiden di luar lingkup eksekutif tersebut, misalnya kewenangan di bidang judisial. Kewenangan ini mencakup pemulihan yang terkait dengan putusan pengadilan, yaitu untuk mengurangi hukuman, memberikan pengampunan, ataupun menghapuskan tuntutan yang terkait erat dengan kewenangan pengadilan.

Mengenai pemberian ampunan atau grasi, perlu diketahui konsep bahwa terpidana yang mengajukan permohonan grasi ini bukan sebagai

(33)

20 Peran Layanan Hukum Pidana Dan Pemberian Pertimbangan Hukum Grasi pada Hak Prerogatif Presiden

terpidana, melainkan sebagai warga negara. Sebagai seorang warga negara, seseorang berhak meminta ampun kepada Presiden sebagai pemimpin negara. Pasal 28 D ayat (1) Amandemen Undang- undang Dasar 1945 dalam sub mengenai Hak Asasi Manusia, diatur mengenai “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Inilah yang menjadi dasar setiap warga negara apapun status yang sedang disandangnya, untuk mendapatkan suatu kepastian hukum.

Pemberian grasi bukan isu kepastian hukum, tetapi cerminan tingkat kearifan hukum Presiden dan juga masyarakat. Dengan adanya pertimbangan dari Mahkamah Agung, dan berbagai faktor sosial serta respon dari kelompok tertentu, pemberian grasi mencerminkan kearifan hukum dari Presiden. Mungkin lupa bahwa pemberian grasi adalah juga tempat dimana memberikan tempat bagi hati nurani kemanusiaan.

Bagi pemohon yang dijatuhi pidana mati, grasi merupakan persoalan hidup dan mati. Melalui pemberian grasi, mungkin saja seseorang yang dijatuhi pidana mati dapat menjadi penjara seumur hidup atau pidana penjara dalam waktu tertentu. Hal seperti ini akan terasa lebih arif. Karena terpidana akan mempunyai kesempatan untuk memperbaiki dirinya. Berbeda dengan pidana mati yang tidak memberikan kesempatan bagi terpidana untuk memperbaiki kesalahannya.

Seorang pemohon yang mengajukan permohonan grasi mempunyai satu dari dua alasan berikut, mengapa ia mengajukan grasi:

1. seorang yang telah mengakui kesalahannya dan memohon ampun atas kesalahannya, namun pidana yang dijatuhkan kepadanya dirasakannya terlalu berat. Sehingga ia mengajukan grasi dengan harapan memperoleh keringanan pidana (hukuman);

2. seorang yang merasa dirinya benar-benar tidak bersalah, berniat ingin mencari keadilan bagi dirinya. Dengan mengajukan grasi ia berharap Presiden dapat mengoreksi kesalahan pengadilan sebelumnya, sehingga keadilan dapat ditegakkan.

(34)

Menurut Adami Chazawi, dengan mengajukan grasi berarti dari sudut hukum pemohon telah dinyatakan bersalah, dan dengan mengajukan permohonan ampuan (grasi) berarti dia telah mengakui kesalahannya itu.

B.

Grasi Mengatasi Keterbatasan Hukum (Recovery System)

Keterbatasan dan kelemahan dalam sistem hukum, dapat terjadi dimana saja dan pada tingkat masyarakat manapun. Negara-negara maju seperti Amerika, meskipun tingkat kejahatan dan kontrol terhadap aparat pelaksana hukum sangat tinggi, namun orang masih menyadari kemungkinan terjadi kekeliruan pada subjek orang dan penerapan hukumnya. Lebih dari pada itu, terdapat pula pengertian bahwa sampai di suatu titik tertentu hukum mempunyai keterbatasan internal (the limit of law). Seperti tentang adanya kelemahan-kelemahan dalam sistem pengumpulan informasi di lingkungan peradilan pidana yang dapat merusak kehidupan atau masa depan seseorang.

Beban mengejar pengajuan target perkara, sering kali mendorong aparat Kepolisian menggunakan cara-cara yang tidak fair untuk menjebak terdakwa. Saksi terdakwa yang dijadikan saksi memperoleh kemudahan seperti pengurangan hukuman atau bebas dari tuntutan hukum. Praktik demikian ini telah umum di lingkungan para penyidik perkara pidana di Kepolisian.

Hakim di Indonesia, sesuai dengan sistem beracara hakim aktif, mempunyai peran yang aktif dalam persidangan. Peran aktif ini sering kali tidak dijalankan sesuai standar profesi kehakiman. Banyak faktor yang mempengaruhi, diantaranya gaji yang relatif rendah, dan tingkat pendidikan hukum yang hanya S1. dapat dibayangkan seseorang yang baru selesai dari program S1, kemudian diterima sebagai hakim dan mengikuti kursus calon hakim selama 12 bulan, kemudian magang selama 6 bulan, lalu mulai menangani perkara.

Putusan-putusan dan analisa hukum hakim tidak terbuka untuk umum. Sehingga publik tidak dapat mengetahui bobot analisa hukum hakim. Hal ini di satu pihak tidak mendidik hakim, karena tidak ada sarana mempertajam

(35)

22 Peran Layanan Hukum Pidana Dan Pemberian Pertimbangan Hukum Grasi pada Hak Prerogatif Presiden

analisa hukum hakim akibatnya sebuah putusan dapat menjadi bias atau error.

Kesemua keterbatasan dan kelemahan sistem hukum tersebut, mengharuskan untuk menyingkapi prinsip-prinsip pengambilan keputusan hukum. Bidang-bidang hukum sendiri telah menyediakan lembaga atau sarana untuk memungkinkan memperbaiki ”error hukum itu”, seperti adanya lembaga peninjauan kembali ( herziening) yang dapat digunakan oleh terpidana. Di luar ranah hukum, lembaga rekoveri untuk error itu adalah grasi. Grasi dapat sebagai sarana mengoreksi kesalahan- kesalahan dalam penyelenggaraan hukum. Oleh karenanya lembaga ini tidak dengan kebetulaan berada di luar sistem peradilan. Di sini sebenarnya Presiden dapat melakukan koreksi-koreksi dengan menunjukan kearifan hukumnya. Kearifan hukum di perlukan untuk mengisi lubang-lubang dalam penyelenggaraan sistem hukum dan peradilan pada khususnya.

C.

Hapusnya Hak Negara Untuk Menjalankan Pidana

Jan remelink memasukan grasi sebagai salah satu dari tiga alasan gugurnya kewenangan untuk mengeksekusi pidana. Adami Chazawi juga menyebutkan hal yang sama, namun ia menyebutnya dengan istilah hapusnya hak negara untuk menjalankan pidana Dasar hapusnya hak negara menjalankan pidana yang di tentukan dalam KUHP, ialah:

1. Matinya terpidana ( Pasal 83 ) 2. Daluarsa dari eksekusi ( Pasal 84 )

Sedangkan dasar dari hapusnya hak negara menjalankan pidana di luar KUHP adalah grasi yang diberikan oleh Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (Amademen Undang- undang Dasar 1945 Pasal 14 Junto. Undang- undang No 22 tahun 2002).

Prinsip dasar pemberian grasi ialah diberikan pada orang yang telah dipidana dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sifat pemberian grasi sekedar mengoreksi mengenai pidana yang dijatuhkan, tidak mengoreksi substansi pertimbangan pokok perkaranya. Sifat yang

(36)

demikian ini tampak dari tiga hal yang dapat diputuskan oleh Presiden dalam permohoanan grasi, yakni:

1. Meniadakan pelaksanaan seluruh pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan pengadilan;

2. Melaksanakan sebagian saja dari pidana yang dilakukan dalam putusan;

3. Mengubah jenis pidana (komutasi) jenis pidananya yang telah dijatuhkan dalam putusan menjadi pidana yang lebih ringan seperti tersebut dalam Pasal 10 KUHP.

Dari tiga hal tersebut di atas, yang menjadi dasar dari hapusnya hak negara untuk menjalankan pidana adalah poin no1 saja. Sedangkan poin no 2 dan 3 tidak menghapuskan hak negara untuk melaksanakan pidana, tetapi sekedar meringankan pelaksanaan pidananya.

D.

Hubungan Grasi dengan Tujuan Pemidanaan

Terlepas dari hal-hal tersebut diatas, mengenai pemberian grasi harus didasarkan pada tujuan pemidanaan, Presiden baik mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan, haruslah disandarkan pada tujuan pemidanaan. Menurut literatur mengenai KUHP ( Undang- undang N0 1 tahun 1946 ) dengan menilik sistem dan susunan yang masih tidak berubah dari materi hukum induknya (WvS Ned.) dapat dikatakan mempunyai tujuan pemidanaan dengan aliran kompromis atau teori gabungan, mencakup semua aspek yang ada di dalamnya.

Jadi, dalam permohonan grasi ini Presiden harus mempertimbangkan masalah pembalasan juga tidak lupa mempertimbangkan masalah mengenai perlindungan tertib hukum masyarakat, baik mengabulkan atau menolak permohonan grasi dari permohonan. Dalam hal ini masukan dari Mahkamah Agung sangat diperlukan oleh Presiden sebagai badan yang memang brekompeten untuk itu, dalam pengambilan putusan oleh Presiden.

(37)
(38)

BAB IV

IMPLEMENTASI PEMBERIAN GRASI

OLEH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

A.

Ruang Lingkup Grasi

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, pada pasal 14 menyatakan bahwa Presiden memberi Grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Setelah diadakan amandemen atas UUD 1945 tersebut, maka pasal 14 menjadi 2 (dua) ayat, dan pasa pasal 14 ayat 1 UUD 1945 menyebutkan bahwa Presiden memberikan Grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Ketentuan pasal 14 ayat 1 ini menjadi landasan konstitusional bagi Presiden dalam Grasi yang diatur lebih kanjut di Undang-Undang Grasi.

Sebelumnya pengaturan mengenai Grasi diatur dalam Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi. Undang- Undang tersebut dibentuk dengan mengacu UUD Sementara 1950, sehingga dianggap tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan Indonesia yang berlaku pada saat ini dan substansinya juga sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat. UUD Sementara 1950 itu sendiri sudah dicabut sejak Dekrit Presiden Tahun 1959, sehingga sesungguhnya Undang Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi, menjadi sudah tidak relevan lagi dengan dasar hukum pembentukannya undang-undang itu sendiri.

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi yang mulai diundangkan pada masa Republik Indonesia Serikat, mengatur prosedur yang melibatkan beberapa instansi terkait, termasuk Mahkamah Agung, dan juga melibatkan instansi penegak hukum yang tidak terkait dalam pemberian Grasi itu sendiri. Dengan pertimbangan di atas, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi perlu dicabut dan diganti

(39)

26 Peran Layanan Hukum Pidana Dan Pemberian Pertimbangan Hukum Grasi pada Hak Prerogatif Presiden

dengan undang-undang yang baru. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950, tidak diatur secara tegas mengenai penyelesaian permohonan Grasi, sehingga permohonan Grasi tidak diketahui kapan atau waktu permohonan Grasi tersebut terselesaikan, dalam arti ditolak atau dikabulkan permohonan Grasi dimaksud oleh Presiden.

Untuk menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat maka sejak tanggal 22 Oktober 2002 Presiden dengan persetujuan DPR telah mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Sejak diundangkan undang-undang ini maka undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 dinyatakan tidak berlaku. Pembentukan undang-undang ini bertujuan menyesuaikan pengaturan mengenai Grasi dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUD RI 1945.

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002, Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi disebutkan, Grasi pada dasarnya pemberian dari Presiden dalam bentuk pengampunan yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan putasan kepada terpidana. Dengan demikian pemberian Grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan pengadilan.

Pemberian Grasi bukan merupakan bentuk campur tangan Presiden selaku lembaga eksekutif dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Walaupun demikian pemberian Grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan ataupun menghapuskan kesalahan terpidana, karena pada hakekatnya kesalahan terpidana sudah terbukti secara sah dan meyakinkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dan Grasi juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana, mengingat rehabiltasi atau pengembalian nama baik sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lain.

(40)

Grasi adalah upaya-upaya (non) hukum yang luar biasa, sebab secara legalistik positivistik, merupakan suatu perbuatan pidana, setelah diputus oleh Pengadilan Negeri, melalui upaya hukum Banding diputus oleh Pengadilan Tinggi, dan kemudian dapat pula mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung, dan jika putusan Mahkamah Agung sudah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), maka hanya tinggal satu upaya hukum lagi yaitu Peninjauan Kembali, apabila upaya hukum tersebut ditolak, maka pertolongan terakhir yang sesungguhnya bukan merupakan upaya hukum, melainkan melalui upaya non hukum, yang dapat ditempuh dengan mengajukan permohonan Grasi kepada Presiden. Dengan perkataan lain Grasi sesungguhnya seperti upaya hukum, tetapi pada hakekatnya bukan upaya hukum, mengingat upaya hukum sudah berakhir dengan terbitnya putusan Mahkamah Agung yang menjatuhkan putusan Kasasi atau Putusan Peninjauan Kembali.

Grasi diberikan oleh Presiden dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara, walaupun dengan pertimbangan dari Mahkamah Agung, Grasi oleh Presiden pada dasarnya adalah bukan suatu tindakan hukum, melainkan suatu tindakan non-hukum berdasarkan hak preogratif seorang Kepala Negara. Dengan demikian Grasi bersifat pengampunan, yang dapat berupa mengurangi pidana, atau memperingan pidana atau penghapusan pelaksanaan pidana yang telah diputuskan oleh lembaga peradilan.

Hal ini sesuai dengan pakar hukum Universitas Gajah Mada, Sigit Riyanto, Mailinda Eka Yuniza, Fatahilah Akbar, dan Amalinda menyampaikan bahwa dari sisi akademisi dalam hal permohonan Grasi seharusnya tidak diperlukan lagi pertimbangan dari Mahkamah Agung, karena proses selesai dan tanggung jawab beralih kepada eksekutif. Pemurnian sesuai ajaran trias politika pertimbangan Mahkamah Agung tidak diperlukan lagi, namun didalam prakteknya pertimbangan dari Mahkamah agung masih dibutuhkan sebelum Presiden mengambil keputusan menolak atau mengabulkan permohonan Grasi. Menurut Hamdan, akademisi, Pertimbangan Grasi oleh Mahkamah Agung juga tidak berarti bahwa hal tersebut merupakan alat untuk mengevaluasi kembali putusan-putusan yang dikeluarkan oleh peradilan. Hal tersebut karena selain pertimbangan-pertimbangan hukum

(41)

28 Peran Layanan Hukum Pidana Dan Pemberian Pertimbangan Hukum Grasi pada Hak Prerogatif Presiden

terdapat pula pertimbangan-pertimbangan lainnya seperti pertimbangan kemanusiaan dan lain sebagainya.

Meskipun demikian pemberian Grasi oleh Presiden yang dapat berupa mengurangi atau mengubah pidana ataupun membebaskan dari kewajiban menjalani pidana, tidak berarti menghapus atau menghilangkan akibat hukum dari pemindanaan bagi seorang terpidana. Pemberian Grasi itu, juga tidak menghapuskan kesalahan terpidana.

Grasi disatu sisi menjadi hak terpidana, namun disisi lain juga menjadi hak prerogatif Presiden selaku kepala negara. Sebagai hak terpidana, pemohonan Grasi tidak membedakan jenis tindak pidananya, melainkan yang dibatasi hanyalah pidananya. Namun demikian Grasi sebagai hak terpidana tidak pernah diberitahukan kepada terpidana itu sendiri, oleh Hakim atau Panitera yang menangani perkara tersebut. Dalam praktek Hakim lebih cenderung memberitahukan hak terdakwa mengenai upaya hukum biasa ataupun upaya hukum luar biasa, dibanding upaya non hukum (Grasi). Hal tersebut tentunya sangat bertentangan dengan Pasal 4 Undang-Undang Grasi itu sendiri.

Hal ini senada dengan ahli hukum Sularto menyampaikan bahwa Grasi tidak termasuk dalam kategori upaya hukum, namun dalam undang-undang Grasi hakim diberikan amanah untuk menyampaikan adanya hak mengajukan Grasi kepada terpidana. Alasan tersebut yang mungkin menjadi penyebab mengapa dalam pembacaan keputusan tidak menyampaikan adanya hak pengajuan Grasi. Oleh karena itu dalam undang-undang Grasi tidak perlu pengamanahan kepada hakim untuk menyampaikan adanya hak pengajuan Grasi. Karena hal tersebut seolah menggambarkan bahwa Grasi sama dengan upaya hukum.

Dalam perkembangannya undang-undang Grasi, mengalami perubahan sejak diundangkanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, yang mulai berlaku sejak tanggal diundangkan, yaitu tanggal 20 Agustus 2010. Perubahan hal sangat mendasar yaitu munculnya kewenangan Menteri Hukum dan HAM di bidang Grasi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6A, yaitu .”Demi kepentingan kemanusiaan dan keadilan menteri yang

(42)

membidangi dibidang hukum dan hak asasi manusia dapat meminta para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 mengajukan permohonan Grasi.” dan Menteri berwenang meneliti dan melaksanakan proses pengajuan Grasi dan menyampaikan permohonan kepada Presiden.”

Menurut akademisi, Pasal 6A untuk grasi yang diberikan untuk alasan kemanusiaan dan keadilan yang tidak ada penjelasannya, maka sebagai ukurannya adalah asas-asas pemerintahan yang baik dan harus dirumuskan ukuran kemanusiaan misalnya usia, keadaan ekonomi, sakit dan sebagainya dan juga harus dirumuskan ukuran keadilan.

Ketentuan ini secara impilisit memberikan kewenangan menteri di bidang Grasi, dengan memberikan pertimbangan ataupun kajian atas permohonan Grasi kepada Presiden. Meskipun demikian, walaupun pertimbangan ataupun kajian Grasi ini sudah diterbitkan oleh menteri, namun dalam prekteknya tanpa pertimbangan dari Mahkamah Agung, Keppres mengenai Grasi dimaksud belum dapat diterbitkan oleh Presiden. Dengan perkataan lain pertimbangan dari Mahkamah Agung bersifat mutlak, sejalan dengan apa yang diamanatkan dalam Undang Undang Dasar 1945.

Dengan demikian apabila ingin melakukan perubahan terhadap undang-undang Grasi, khususnya dalam mengembalikan kewenangan menteri dalam memberikan pertimbangan Grasi, sebagaimana diatur dalam undang-undang Grasi sebelumnya, menjadi sangat sulit dan mustahil. Untuk merubahnya harus terlebih dahulu merubah Undang Undang Dasar 1945, sebagai landasan konstitusional dalam pemberian Grasi oleh Presiden. Sedangkan untuk melakukan perubahan Undang Undang Dasar 1945, diperlukan persetujuan dari Rapat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Oleh karena itu untuk memberikan ruang bagi Menteri Hukum dan HAM dalam kewenangannya memberikan pertimbangan dalam permohanan Grasi, masih dibutuhkan waktu yang panjang, yang harus diikuti dengan perubahan atau amandemen terhadap UUD 1945.

Perubahan lainnya adalah pada ketentuan Pasal 7 ayat (2), yang menyatakan.”Permohonan Grasi diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.” Ketentuan ini sesungguhnya diperuntukan bagi permohonan Grasi terhadap terpidana

(43)

30 Peran Layanan Hukum Pidana Dan Pemberian Pertimbangan Hukum Grasi pada Hak Prerogatif Presiden

hukuman mati, agar terdapat kepastian hukum sehingga eksekusi atau pelaksanaan pidana mati bagi terpidana mati tidak tertunda sampai batas waktu yang tidak terbatas. Namun pada akhirnya ketentuan Pasal 7 ayat (2) ini dibatalkan dengan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-X11/2015 tanggal 15 Juni 2016, yang dianggap ketentuan tersebut bertentangan dengan ketentuan undang undang yang lebih tinggi tingkatannya. Karena itu permohonan Grasi pasca putusan Mahkamah Konstitusi tidak ada lagi pembatasan waktu dalam pengajuan permohonan Grasi, sepanjang putusan pengadilan tersebut telah berkekuatan hukum tetap.

B.

Tata Cara Pengajuan Permohonan Grasi

Ketentuan mengenai tata cara pengajuan permohonan Grasi, sesungguhnya sudah diatur dalam Undang Undang Grasi dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penganjuan Permohonan Grasi, yang selanjutnya disebut dengan ”Permenkumham”. yang mulai berlaku sejak tanggal 6 Desember 2016.

Undang-Undang tentang Grasi, seyogyanya Undang-Undang itu memenuhi persyaratan asas yuridis, filofofis dan sosiologis. Aspek sosilogis atau filosofis harus ditegaskan, misalnya Grasi itu dimaksudkan untuk apa sebagai bentuk pengampunan apa, jangan sampai indikasi politis pemberian Grasi justru lebih tinggi. Untuk itu perlu dibuat semacam instrumen apa saja yg bisa menjadi pertimbangan bagi Presiden ketika memberikan Grasi atas permohonan Grasi. Instrumen menjadi lebih penting dan harus memperhatikan instrumen yg berkaitan berhubungan dengan pertimbangan-pertimbangan terkait keadilan dan kemanusia, termasuk dengan sanksinya. Dalam Undang-Undang Grasi, hanya ada satu perintah untuk diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 14 ayat (3) Undang Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi yaitu .”Ketentuan mengenai tata cara penyelesaian permohonan Grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.” Dalam faktanya hampir 6 (enam) tahun lamanya

(44)

Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Undang Undang Grasi tersebut belum juga diterbitkan. Bahkan rancangan mengenai Peraturan Pemerintah itu sendiri juga belum ada. Menjadi menarik untuk dikaji apakah Peraturan Pemerintah tersebut perlu diinisiasi oleh Menteri Hukum dan HAM atau Mahkamah Agung atau Kementerian/Lembaga lainnya, mengingat ketiga institusi tersebut sebagai lembaga yang terkait dengan Grasi.

Kementerian Hukum dan HAM dapat menginisiasi untuk menarik kewenangan sesuai tugasnya adalah memasyaratkan terpidana tersebut, karena secara proses peradilannya sudah selesai ketika putusannya dijatuhkan, tingal bagaimana tugas Kementerian Hukum dan HAM untuk memasyarakatkan terpidana tersebut supaya siap kembali ke masyarakat.

Mengenai pembentukan Permenkumhan, ini bersifat mandiri meng-ingat disusun atau dibuat tidak berdasarkan amanah atau perintah dari undang-undang atau peraturan lain di atasnya, yang secara hierarki lebih tinggi tingkatannya. Secara teknis peraturan perundang undangan, Menteri berwenang membuat regulasi, sepanjang menjadi kewenangannya, dan belum diatur dalam peraturan perundang perundang undangan lainnya.

Permenkumham, mengatur tetang tata cara pengajuan permohonan Grasi, yang membedakan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu (1) permohonan Grasi yang diajukan pada umumnya, dan (2) Grasi yang diajukan berdasarkan kemanusiaan dan keadilan. Untuk mempermudah pemahaman atas kedua permohonan Grasi tersebut dapat dikatakan sebagai Grasi umum dan Grasi khusus. Yang dimaksud dengan Grasi khusus adalah sebagaimana Grasi dimaksud dalam pasal 12 Permenkumham, yaitu Grasi berdasarkan alasan demi kepentingan kemanusiaan dan keadilan dapat diusulkan kepada terpidana (a). anak bermasalah dengan hukum, (b). berusia diatas 70 tahun; dan (c). menderita sakit berkepanjangan. Grasi tersebut dapat diusulkan setelah dilakukan penelitian dan/atau mendapat informasi dari masyarakat atau Kalapas.

Alur permohonan grasi umum dapat dilakukan oleh Pemohon secara langsung kepada Presiden (Pasal 6 jo Pasal 8 UU Nomor 22 Tahun 2002 jo Pasal 2 dan Pasal 3 Permenkumham Nomor 49 Tahun 2016) sebagai berikut.

(45)

32 Peran Layanan Hukum Pidana Dan Pemberian Pertimbangan Hukum Grasi pada Hak Prerogatif Presiden

Gambar 4.1 Alur Permohonan Grasi Umum

Sebagaimana disinggung dalam Bab I di atas, permohonan Grasi dapat diajukan secara tertulis kepada Presiden RI, oleh terpidana sendiri, keluarga, ataupun kuasa hukumnya. Dalam hal permohonan Grasi diajukan oleh keluarga atau kuasa hukumnya, maka dalam permohonan Grasi harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari terpidana. Persetujuan dari terpidana dapat ditiadakan dalam hal terpidana dikenakan pidana hukuman mati.

Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, syarat untuk dapat mengajukan permohonan Grasi adalah putusan pengadilan terpidana telah berkekuatan hukum tetap, pidananya adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau penjara paling rendah 2 (dua) tahun.

Permohonan Grasi dapat diajukan sejak putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, tanpa batas waktu. Permohonan Grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali, kecuali dengan alasan lain yaitu demi kepentingan kemanusiaan dan keadilan, dan Grasi juga tidak menunda pelaksanaan putusan pengadilan, kecuali dalam hal putusan pidana mati.

Selain itu, alur terhadap Permohonan Grasi dari Pemohon dalam kondisi tertentu berdasarkan Pasal 6A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 jo. Pasal 12 ayat 1 Permenkumham Nomor 49 Tahun 2016 sebagai berikut.

(46)

Gambar 4.1 Alur Permohonan Grasi dalam Kondisi Tertentu

Terhadap pemohon Grasi yang mengajukan peninjauan kembali, maka permohonan Grasinya ditunda terlebih dahulu, sampai adanya putusan Mahkamah Agung atas Peninjauan Kembali tersebut, dalam arti kata harus penyelesaian Peninjauan Kembali terlebih dahulu dari MA, agar terdapat kepastian hukum, atas tindak pidana tersebut.

Permohonan Grasi yang ditujukan kepada Presiden RI, salinan nya disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Salinan dimaksud juga dapat disampaikan melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana. Dalam hal permohonan Grasi dan salinannya disampaikan melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan, maka permohonan Grasi disampaikan kepada Presiden dan salinannya dikirimkan kepada pengadilan negeri yang memutus perkara.

Menurut Pasal 5 Permenkumham, permohonan Grasi diajukan secara tertulis kepada Presiden melalui Menteri. Yang dimaksud dengan menteri dalam ketentuan umum Permenkumham ini adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Permohonan Grasi paling sedikit memuat:

a. Identitas terpidana yang terdiri dari: 1. nama ;

(47)

34 Peran Layanan Hukum Pidana Dan Pemberian Pertimbangan Hukum Grasi pada Hak Prerogatif Presiden

3. tempat tanggal lahir ; 4. alamat ;

5. agama ; dan 6. status perkawinan. b. tindak pidana yang dilakukan ; c. putusan pengadilan ; dan

d. alasan pengajuan permohonan Grasi.

Dokumen persyaratan yang harus dilampirkan dalam permohonan Grasi, antara lain adalah:

a. surat persetujuan Terpidana, kecuali permohonan yang diajukan oleh Keluarga terhadap Terpidana mati;

b. fotokopi kartu keluarga, jika yang mengajukan adalah Keluarga Terpidana;

c. fotokopi surat kenal lahir atau kartu tanda penduduk Terpidana; d. surat kuasa, jika permohonan diajukan melalui kuasa hukum Terpidana; e. foto Terpidana;

f. fotokopi salinan register F dari Kepala Lapas;

g. fotokopi hasil penelitian kemasyarakatan dari Kepala Balai Pemasyarakatan;

h. fotokopi salinan putusan pegadilan yang t e l a h memperoleh kekuatan hukum tetap; dan

i. fotokopi paspor atau bukti tanda pengenal lain bagi Terpidana warga negara asing.

Berdasarkan permohonan tersebut, Menteri mempersiapkan pertimbangan hukum Grasi kepada Presiden. Sebelumnya Menteri, melalui Direktur Jenderal melakukan penelitian terlebih dahulu atas permohonan Grasi. Hasil penelitian Direktur Jenderal berupa pertimbangan hukum Grasi. disampaikan kepada Menteri. Menteri menyampaikan pertimbangan hukum Grasi kepada Presiden. Penelitian permohonan Grasi dilakukan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari, dan diperpanjang dalam waktu 14 (empat belas) hari. Yang dimaksud dengan Direktur Jenderal

(48)

sesuai ketentuan umum dalam Permenkumham adalah Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum.

Permohonan Grasi harus ditandatangani atau dibubuhi cap jempol terpidana/keluarga/kuasa hukumnya. Dalam hal permohonan Grasi diajukan oleh keluarga/kuasa hukumnya maka harus ada surat persetujuan terpidana dibuat secara tertulis yang memuat paling sedikit identitas terpidana dan alasan memberikan persetujuan. Persetujuan secara tertulis dari terpidana ini, dalam faktanya atau dalam prakteknya juga sulit untuk dilaksanakan. Pada umumnya terpidana memberikan persetujuan cukup dengan menandatangani atau membubuhi cap jempol pada surat permohonan Grasi, tanpa disertai alasan sebagaimana dikehendaki dalam Permenkumham. Namun terhadap permohonan Grasi tersebut, tetap diproses sebagimana mestinya, mengingat hal tersebut dianggap tidak mengurangi prinsip pokok atau dasar dalam permohonan Grasi.

Permohonan Grasi baik karena Grasi umum maupun Grasi khusus, pada prinsipnya sama, hanya saja jika pemohon adalah terpidana warga negara asing maka dokumen persyaratan ditambahkan paspor kewarganegaraan terpidana yang bersangkutan. Dalam hal permohonan Grasi khusus, maka dokumen persyaratan, yang harus dilampirkan, disamping dokumen persyaratan yang telah disebutkan di atas, juga ditambahkan dokumen, berupa:

a. fotokopi surat kenal lahir bagi lanjut usia atau kartu tanda penduduk atau paspor atau bukti tanda pengenal lain bagi terpidana warga negara asing ;

b. asli surat keterangan dokter spesialis sesuai dengan penyakitnya dari rumah sakit pemerintah dan resume pemeriksaan medis bagi yang menderita sakit berkepanjangan;

c. fotokopi risalah pembinaan dari Kepala Lapas.

Apabila dicermati dengan memperbandingkan Undang-Undang Grasi dan Permenkumham di atas, dalam permohonan Grasi antara Undang-Undang Grasi dengan Permenkumham, terdapat hal yang berbeda, yaitu jika menurut Undang-Undang Grasi permohonan Grasi ditujukan kepada

(49)

36 Peran Layanan Hukum Pidana Dan Pemberian Pertimbangan Hukum Grasi pada Hak Prerogatif Presiden

Presiden, tetapi jika menurut Permenkumhan permohonan Grasi ditujukan kepada Presiden melalui Menteri. Perbedaan ini dengan kata “melalui menteri” sesungguhnya tidak boleh terjadi, mengingat secara hirarkis peraturan perundang undangan kedudukan Undang-Undang Grasi tingkatannya lebih tinggi dari pada Permenkumham. Pada prinsipnnya peraturan perundang- undangan yang ada di bawahnya juga tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang tingkatanya lebih tinggi, misalnya Peraturan Pemerintah dengan Undang Undang atau Peraturan Menteri dengan Peraturan Pemerintah.

Perbedaan kata ”melalui menteri” dalam permohonan Grasi, seakan dapat ditafsirkan, seluruh permohonan Grasi harus melalui menteri, padahal dalam faktanya tidak seluruhnya permohonan Grasi harus melalui Menteri Hukum dan HAM. Dalam kasus permohonan Grasi umumnya, seperti tindak pidana korupsi, pembunuhan, makar, narkotika dan sebagainya, pada umumnya terpidana mengajukan permohonan Grasi kepada Presiden dan salinannya disampaikan melalui Pengadilan negeri tempat terpidana menjalani hukuman. Karena itu Permenkumham ini, juga dapat ditafsirkan memperluas kewenangan menteri, padahal jika diperhatikan dalam undang undang Grasi kewenangan Menteri Hukum dan HAM terbatas pada permohonan Grasi dengan alasan demi kepentingan kemanusiaan dan keadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A Undang Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 22 tahun 2002 tengang Grasi.

Selain itu ketentuan mengenai dokumen persyaratan, yang harus dilampirkan dalam permohonan Grasi, sebagaimana diatur dalam Permenkumham, juga tidak dapat diberlakukan, terhadap permohonan Grasi yang bersifat umum, yang diajukan kepada Presiden. Dalam pelaksanaannya pemberian pertimbangan Grasi yang dimintakan oleh Presiden tidak pernah dilampirkan dokumen sebagaimana diatur dalam Permenkumham. Oleh karena itu Permenkumham ini, daya berlakunya tidak mengikat secara efektif terhadap permohonan Grasi, yang diajukan kepada Presiden dan salinannya melalui pengadilan negeri, tanpa diketahui oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan. Misal, Permohonan Grasi pada terpidana yang diajukan

Gambar

Gambar 4.1 Alur Permohonan Grasi Umum
Gambar 4.1 Alur Permohonan Grasi dalam Kondisi Tertentu

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut disebabkan karena banyak pasien yang tidak peduli terhadap infeksi HIV-nya dan baru melakukan perawatan medis setelah terdiagnosis IO yang menjadi penyebab

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan: 1) kualitas proses pembelajaran dan 2) keterampilan menulis karangan eksposisi pada siswa kelas VII A SMP Negeri 2

merupakan langkah awal dan yang menentukan keberhasilan suatu organisasi atau perusahaan, karena tenaga kerja merupakan faktor yang paling penting dalam suatu

Semakin baik budaya organisasi yang ada di perusahaan, maka akan semakin tinggi pula tingkat kepuasan kerja pada karyawan, artinya semakin baik budaya organisasi yang dimiliki

Rencana Strategis Dinas PU dan Penataan Ruang Kota Batu tahun 2018 - 2022 merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang disusun OPD

Melihat dari penjabaran diskripsi terhadap peristiwa – peristiwa yang ada di dalam permainan video game Harvest Moon Back to Nature dapat disimpulkan konten video game

Irakurtzeko zailtasun maila altuagoa badute ere (poesia irakurtzeko dagoen ohitura gutxi dela medio), heldu baten laguntzaz iristeko aukera ematen dute Colomer-ek eta Durán-ek

Berdasarkan hal tersebut, saat ini dibutuhkan alternatif lain yang dapat diaplikasikan secara aman dalam mengendalikan penyakit antraknosa pada cabai diantaranya