BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.7. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan
2.7.2. Ruang Lingkup Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Adapun ruang lingkup program Jaminan Sosial Tenaga Kerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah
a. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)
Jaminan Kecelakaan Kerja adalah santunan berupa uang sebagai pengganti biaya pengangkutan, biaya pemeriksaan, biaya pengobatan atau perawatan, biaya rehabilitasi serta santunan sementara tidak mampu bekerja, santunan cacat sebagian untuk selama-lamanya baik, fisik maupun mental, santunan kematian sebagai akibat peristiwa berupa kecelakaan kerja. Tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja berhak menerima jaminan kecelakaan kerja (JKK).Kecelakaan kerja termasuk penyakit akibat kerja merupakan risiko yang harus dihadapi oleh
tenaga kerja dalam melakukan pekerjaannya.Untuk menanggulangi hilangnya sebagian atau seluruh penghasilan yang diakibatkan oleh adanya risiko-risiko sosial seperti kematian atau cacat karena kecelakaan kerja baik fisik maupun mental, maka diperlukan adanya jaminan kecelakaan kerja. Kesehatan dan keselamatan tenaga kerja merupakan tanggung jawab pengusaha sehingga pengusaha memiliki kewajiban untuk membayar iuran jaminan kecelakaan kerja yang berkisar antara 0,24% - 1,74% sesuai kelompok jenis usaha.
Adapun Tata Cara Pengajuan Jaminankecelakaan kerja adalah
1. Apabila terjadi kecelakaan kerja pengusaha wajib mengisi form BPJS Ketenagakerjaan 3 (laporan kecelakaan tahap I) dan mengirimkan kepada BPJS Keteneagakerjaan tidak lebih dari 2 x 24 Jam terhitung sejak terjadinya kecelakaan
2. Setelah tenaga kerja dinyatakan sembuh atau meninggal dunia oleh dokter yang merawat, pengusaha wajib mengisi form 3a (laporan kecelakaan tahap II) dan dikirim kepada BPJS Ketenagakerjaan tidak lebih dari 2 x 24 jam sejak tenaga kerja dinyatakan sembuh/meninggal. Selanjutnya BPJS Ketenagakerjaan akan menghitung dan membayar santunan dan ganti rugi kecelakaan kerja yang menjadi hak tenaga kerja/ahli waris.
3. Form BPJS Ketenagakerjaan 3a berfungsi sebagai pengajuan permintaan pembayaran jaminan disertai bukti-bukti:
a. Fotokopi kartu peserta (KPJ)
b. Surat keterangan dokter yang merawat dalam bentuk form BPJS Ketenagakerjaan 3b atau 3c
c. Kuitansi biaya pengobatan dan perawatan serta kwitansi pengangkutan
b. Jaminan Kematian
Jaminan kematian (JK) adalah santunan kematian berupa uang tunai dan santunan berupa uang pengganti biaya pemakaman, seperti pembelian tanah (sewa atau retribusi), peti jenazah, kain kafan, transportasi, dan lain-lain yang berkaitan dengan tata cara pemakaman sesuai dengan adat istiadat, agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta kondisi daerah masing-masing dan tenaga kerja yang bersangkutan. Tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja, keluarganya berhak atas jaminan kematian (JK).
Jaminan Kematian diperuntukkan bagi ahli waris dari peserta program BPJS Ketenagakerjaan yang meninggal bukan karena kecelakaan kerja.Jaminan Kematian diperlukan sebagai upaya meringankan beban keluarga baik dalam bentuk biaya pemakaman maupun santunan berupa uang. Pengusaha wajib menanggung iuran Program Jaminan Kematian sebesar 0,3% dengan jaminan kematian yang diberikan adalah Rp 21.000.000,- terdiri dari Rp 14.200.000,- santunan kematian dan Rp 2 juta biaya pemakaman dan santunan berkala.
Adapun manfaat program jaminan kematian adalah memberikan manfaat kepada keluarga tenaga kerja seperti:
1. Santunan Kematian: Rp 14.200.000,- 2. Biaya Pemakaman: Rp 2.000.000,-
3. Santunan Berkala: Rp 200.000,-/ bulan (selama 24 bulan) (sesuai dengan PP Nomor 53 Tahun 2012)
Adapun Tata Cara Pengajuan Jaminan Kematian adalah Pengusaha atau keluarga dari tenaga kerja yang meninggal dunia mengisi dan mengirim form 4 kepada BPJS Ketenagakerjaan disertai bukti-bukti:
1. Kartu peserta BPJS Ketenagakerjaan (KPJ) Asli tenaga Kerja yang Bersangkutan
2. Surat keterangan kematian dari Rumah sakit/Kepolisian/Kelurahan 3. Salinan/Copy KTP/SIM dan Kartu Keluarga Tenaga Kerja bersangkutan
yang masih berlaku
4. Identitas ahli waris (photo copy KTP/SIM dan Kartu Keluarga) 5. Surat Keterangan Ahli Waris dari Lurah/Kepala Desa setempat
6. Surat Kuasa bermeterai dan copy KTP yang diberi kuasa (apabila pengambilan JKM ini dikuasakan). Dimana BPJS Ketenagakerjaan hanya akan membayar jaminan kepada yang berhak
c. Jaminan hari tua
Jaminan hari tua (JHT) adalah santunan berupa uang yang dibayarkan secara sekaligus atau berkala atau sebagian dan berkala kepada tenaga kerja karena telah mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun, atau cacat total tetap setelah ditetapkan oleh dokter. Dalam hal tenaga kerja meninggal dunia, jaminan hari tua (JHT) dibayarkan kepada janda atau duda atau anak yatim piatu. Yang dimaksud dengan yatim piatu adalah anak yatim atau anak piatu yang ada pada
saat janda atau duda meninggal dunia masih menjadi tanggungan janda atau duda tersebut. Jaminan Hari Tua (JHT) dapat dibayarkan kepada tenaga kerja yang belummencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun, yaitu dalam hal ini tenaga kerja telah mempunyai masa kepesertaan sekurang-kurangnya 5 tahun dan mengalami pemutusan kerja. Program jaminan hari tua (program pensiun) dapat dibedakan antara program manfaat pasti dan program iuran pasti yaitu:
1. Program manfaat pasti (defined benefit), yaitu program yang manfaatnya ditetapkan dalam ketentuan yang mengaturnya, sedang iuran disesuaikan dengan manfaat tersebut.
2. Program iuran pasti (defined contribution), yaitu program pension yang iurannya ditentukan dalam ketentuan yang mengaturnya, sedang manfaat bergantung pada akumulasi iuran dan hasil pengembangannya.
Jaminan hari Tua (JHT) pada pokoknya termasuk kedalam jenis program pensiunan iuran pasti, dimana besar iuran telah ditentukan secara pasti dalam ketentuan yang mengaturnya (dalam hal ini perturan pemerintah No. 14 Tahun 1993), sedangkan manfaatnya bergantung dari akumulasi iuran yang terpupuk beserta hasil pengembangannya.
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947 adalah Undang-Undang tentang Kecelakaan. Oleh karena itu maka undang-undang inimemberikan jaminan kecelakaan atau menderita sakit dalam hubungan kerja yang meliputi jaminan sosial untuk :
1. Jaminan Sosial/Tunjangan untuk Sakit (perawatan dan pengobatan) 2. Jaminan Sosial/Tunjangan Cacat (yaitu tunjangan kepada buruh sendiri)
3. Jaminan Sosial/Tunjangan Meninggal dunia, janda/duda, dan anak yatim piatu (H. Zainal Asikin, S.H., S.U. (dkk), op. cit., hal. 114
Jaminan-jaminan sosial tersebut diberikan kepada yang berhak sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan untuk masing-masing kecelakaan.Namun karena undang-undang ini dikeluarkan Tahun 1947 maka tentu saja jumlah pemberian ganti kerugian (jaminan) nya sudah tidak sesuai lagi untuk zaman sekarang.
Dalam praktek, yang berlaku sekarang adalah Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977).Namun ini hanya terbatas pada pekerja yang menjadi peserta ASTEK saja.Bagi yang tidak, pada prinsipnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947 masih tetap berlaku bagi mereka.
a. Jaminan Sosial atau Tunjangan untuk Sakit
Perlu diingat bahwa yang dimaksud dengan sakit dalam hal ini adalah sakit yang berhubungan dengan pekerjaan/hubungan kerja. Jadi bukan semacam sakit malaria atau sakit kepala, panas dan lain-lainnya yang satu, dua atau tiga hari akan sembuh. Sakit yang akan mendapatkan tunjangan adalah sakit yang diderita lebih dari tiga hari dan nyata-nyata penyakit itu disebabkan oleh karena adanya hubungan kerja atau alat-alat kerja.
Besarnya tunjangan sakit tidak ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947.Yang jelas, bahwa segala biaya pengobatan dan perawatan termasuk obat-obat yang berkaitan dengan penyakitnya harus diberikan penggantian kerugian.Oleh karena itu, segala kwitansi atau bukti-bukti pembayaran lainnya dari si penderita harus disimpan untuk nanti setelah dia
sembuh egala biaya tersebut dapat dimintakan penggantian kerugian kepada pengusaha.
Di samping itu, bagi pekerja yang terkena kecelakaan, sehingga terpaksa dirawat di rumah sakit akan mendapatkan tunjangan berdasarkan pasal 11 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947. Besarnya tunjangan itu adalah sebesar upahnya setiap hari selama 120 hari. Apabila setelah lewat 120 hari pekerja ini belum juga sehat, dan tenaganya belum pulih untuk bekerja maka tunjangan itu menjadi 50% dari upah setiap hari selama pekerja yang bersangkutan belum mampu bekerja. Pembayaran tunjangan ini dilakukan setiap waktu para pekerja menerima upahnya, kecuali jika antara pengusaha dan pekerja yang bersangkutan telah dibuat perjanjian lain dari pada itu. Dalam hal menentukan mampu tidaknya seorang pekerja untuk bekerja kembali, setelah mengalami kecelakaan tentunya diperlukan jasa seorang dokter penasihat.Dokter ini adalah dokter khusus yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan sehubungan dengan diberlakukannya Undang-Undang Kecelakaan tersebut.
b. Jaminan Sosial/Tunjangan Cacat
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947 sebetulnya membagi pengertian cacat ini ke dalam 2 (dua) bagian, yaitu:
1. Cacat yang mengakibatkan pekerja untuk sementara tidak mampu bekerja
2. Cacat yang mengakibatkan pekerja untuk selama-lamanya tidak mampu bekerja
Cacat yang tersebut pada poin 1 (satu) bahwa tidaklah termasuk yang namanya cacat, sebab yang namanya cacat menurut persepsi adalah keadaan yang mengakibatkan seorang pekerja itu selamanya tidak mampu lagi mengerjakan yang biasa ia lakukan. Sedangkan kalau tidak mampu bekerjanya itu hanya untuk sementara saja maka itu bukanlah cacat, tetapi itu digolongkan ke dalam keadaan sakit. Dari tunjangan untuk ini sudah diuraikan pada sub a sebelumnya. Sedangkan tunjangan untuk pekerja yang mengalami kecelakaan yang mengakibatkan selamanya pekerja tersebut tidak akan mampu lagi untuk bekerja, sudah ditentukan di dalam lampiran Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947. Tunjangan tersebut harus sudah dibayar oleh pengusaha setelah dokter penasihat menyatakan, bahwa pekerja karena kecelakaan tersebut selamanya tidak akan mampu lagi bekerja.
Untuk lebih jelasnya berapa besarnya tunjangan cacat untuk selamanya tidak mampu bekerja ini dapat dilihat dari Undang-Undang Nomor 33 tahun 1947, yaitu:
Tabel 2.1
Persentase Santunan Tunjangan Cacat Tetap Sebagian
No Macam Cacat Tetap Sebagian % X Upah
1 Lengan kanan dari sendi bahu ke bawah 40
2 Lengan kiri dari sendi bahu ke bawah 35
3 Lengan kanan dari atau dari atas siku ke bawah 35
4 Lengan kiri dari atau dari atas siku ke bawah 30
6 Tangan kiri dari atau dari atas pergelangan kebawah 28
7 Kedua belah kaki dari pangkal paha ke bawah 70
8 Sebelah kaki dari pangkal paha ke bawah 35
9 Kedua belah kaki dari mata kaki kebawah 50
10 Sebelah kaki dari mata kaki ke bawah 25
11 Kedua belah mata 70
12 Sebelah mata atau diplopia pada penglihatan dekat 35
13 Pendengaran pada kedua belah telinga 40
14 Pendengaran pada sebelah telinga 20
15 Ibu jari tangan kanan 15
16 Ibu jari tangan kiri 12
17 Telunjuk tangan kanan 9
18 Telunjuk tangan kiri 7
19 Salah satu jari lain tangan kanan 4
20 Salah satu jari lain tangan kiri 3
21 Ruas pertama telunjuk kanan 4,5
22 Ruas pertama telunjuk kiri 3,5
23 Ruas pertama jari lain tangan kanan 2
24 Ruas pertama telunjuk tangan kiri 1,5
25 Salah satu ibu jari kaki 5
26 Slah satu telunjuk jari kaki 3
27 Salah satu jari kaki lainnya 2
Tabel 2.2
Persentase santunan tunjangan cacat-cacat lainnya
No Cacat-Cacat Lainnya % X Upah
1 Terkelupasnya kulit kepala 10-30
2 Impotensi 30
3 Kaki memendek sebelah a. Kurang dari 5 cm
b. 5 Cm sampai kurang dari 7,5 cm c. 7,5 cm atau lebih
10 20 30 4 Penurunan daya dengar kedua belah telinga setiap 10
desibel
6
5 Penurunan daya dengar sebelah telinga setiap 10 desibel 3
6 Kehilangan daun telinga sebelah 5
7 Kehilangan kedua belah daun telinga 10
8 Cacat hilangnya cuping hidung 30
9 Perforasi sekat rongga hidung 15
10 Kehilangan daya penciuman 10
11 Hilangnya kemampuan kerja fisik
a. 51%-70% b. 26%-50% c. 10%-25% 40 20 5
12 Hilangnya kemampuan kerja mental tetap 70
kehilangan efisiensi tajam penglihatan kanan dan kiri berbeda, maka efisiensi penglihatan binokuler dengan rumus kehilangan efisiensi penglihatan: (3 x % efisiensi penglihatan terbaik) + % efisiensi penglihatan terburuk.
14 Setiap kehilangan efisiensi tajam penglihatan 10% 7
15 Kehilangan penglihatan warna 10
16 Setiap kehilangan lapang pandang 10% 7
Sumber: BPJS Ketenagakerjaan
2.7.3.Alasan yang Menyebabkan Perusahaan Tidak Mengikuti Program