• Tidak ada hasil yang ditemukan

JUAL BELI DAN PERCALOAN DALAM HUKUM ISLAM

A. JUAL BELI

3. Rukun dan syarat Jual Beli

Rukun jual beli menurut Prof.Dr.Hendi Suhendi, ada 3 yaitu akad (ijab qobul), orang yang berakad (penjual dan pembeli) dan ma‟kud „alaih (objek akad). Akad adalah ikatan kata antara penjual dan pembeli. Jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab qobul menunjukkan kerelaan (keridaan). Pada dasarnya, Ijab qobul dilakukan dengan lisan, tetapi tidak mungkin, misalnya bisu atau lainnya, boleh ijab qobul dengan surat menyurat yang mengandung ijab qobul. Dalil yang mendukung tentang jual beli harus suka sama suka adalah firman Allah SWT surah An-nisa ayat 29:

ًةَراَِت َنوُكَت ْنَأ َّلاِإ ِلِطاَبْلاِب ْمُكَنْ يَ ب ْمُكَلاَوْمَأ اوُلُكْأَت َلا اوُنَمآ َنيِذَّلا اَهُّ يَأ اَي

ْمُكْنِم ٍضاَرَ ت ْنَع

ۚ

ْمُكَسُفْ نَأ اوُلُ تْقَ ت َلاَو

ۚ

اًميِحَر ْمُكِب َناَك َوَّللا َّنِإ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.

Orang yang berakad adalah orang yang boleh melakukan akad, yaitu orang yang telah baliqh, berakal, dan mengerti, maka akad yang dilakukan oleh anak yang dibawah umur, orang gila, atau idiot, tidak sah kecuali seizin walinya. Berdasarkan firman Allah SWT dalam QS An-Nisa ayat 5-6

اَهيِف ْمُىوُقُزْراَو اًماَيِق ْمُكَل ُوَّللا َلَعَج ِتَِّلا ُمُكَلاَوْمَأ َءاَهَفُّسلا اوُتْؤُ ت َلاَو

اًفوُرْعَم ًلاْوَ ق ْمَُلَ اوُلوُقَو ْمُىوُسْكاَو

ْنِإَف َحاَكِّنلا اوُغَلَ ب اَذِإ ََّٰتََّح َٰىَماَتَيْلا اوُلَ تْ باَو

اوُعَ فْداَف اًدْشُر ْمُهْ نِم ْمُتْسَنآ

ْمَُلَاَوْمَأ ْمِهْيَلِإ

ۚ

ْنَأ اًراَدِبَو اًفاَرْسِإ اَىوُلُكْأَت َلاَو

اوُرَ بْكَي

ۚ

ْفِفْعَ تْسَيْلَ ف اًّيِنَغ َناَك ْنَمَو

ۚ

ْلُكْأَيْلَ ف اًيرِقَف َناَك ْنَمَو

ِفوُرْعَمْلاِب

ۚ

ْمِهْيَلَع اوُدِهْشَأَف ْمَُلَاَوْمَأ ْمِهْيَلِإ ْمُتْعَ فَد اَذِإَف

ۚ

َفَكَو

ِوَّللاِب َٰى

اًبيِسَح

Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik (5) Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara

harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu)tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).

Anak kecil dikecualikan dari kaidah di atas, dia boleh melangsungkan akad yang bernilai rendah, seperti membeli kembang gula. Menurut jumhur ulama, jual beli yang menjadi kebiasaan, misalnya jual beli sesuatu yang menjadi kebutuhan sehari-hari tidak disyaratkan ijab dan qobul. Menurut fatwa ulama Syafi‟iyah, jual beli barang-barang yang kecil pun harus ijab qobul, tetapi menurut imam nawawi dan ulama muta‟akhirin Syafi‟iyah, boleh jual beli barang-barang yang kecil seperti membeli sebungkus rokok. (Mardani, 2013:87) Adapun Rukun jual dan syarat beli:

a. Aqid (Penjual dan Pembeli)

Syarat-syarat Aqid (penjual dan pembeli). Penjual dan pembeli bisa digolongkan sebagai orang yang berakad. Persyaratan yang harus dipenuhi penjual sama dengan persyaratan yang harus dipenuhi pembeli. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh keduanya adalah:

1) Berakal, agar dia tidak terkecoh. Orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya.

2) Dengan Kehendak sendiri (bukan paksaan). Keduanya melakukan akad atas kehendak sendiri karena itu apabila akad jual beli dilakukan karena terpaksa secara fisilk ataupun mental, maka menurut Jumhur Ulama, jual beli tersebut tidak sah. Adapun Abdurrahman al-Jaziri mengutip secara terperinci tentang pandangan empat madzab dalam masalah pemaksaan dalam jual beli ini.

Pertama, menurut ulama madzab Hambali menyatakan bahwa kedua belah pihak yang melakukan akad tidak boleh dipaksa baik secara lahir maupun batin. Apabila keduanya hanya sepakat secara lahiriyah maka jual beli tersebut batal demi hukum. Kedua, Madzab Hanafi bahwa akad yang dipaksakan oleh seseorang kepada orang lain dianggap sah, tetapi kedua belah pihak dapat memfasakh atau membatalkannya karena terdapat cacat hukum. Menurut mereka apabila seorang hakim memaksa orang lain menjual barangnya guna melunasi hutangnya dengan perbedaan harga yang mencolok antara harga pasaran, jual beli tersebut dinyatakan fasid. Ketiga, Ulama madzab Maliki menyatakan bahwa jual beli tidak mempunyai kekuatan Hukum apabila terdapat unsur paksaan tanpa hak. Paksaan tanpa hak menurut mereka ada dua macam, yaitu: Paksaan untuk menjual, dan paksaan karena suatu alasan yang akhirnya memaksa seseorang

untuk menjual barangnya. Keempat, Ulama madzab Syafi‟i berpendapat bahwa jual beli yang di dalamnya terdapat unsur paksaan dianggap tidak sah. Namun menurut mereka, jenis paksaan menjual barang dibagi menjadi dua, yaitu: Paksaan tanpa suatu hak, dan paksaan karena suatu hak ( Djamil, 2002 : 137 ).

3) Tidak Mubazir (pemboros), sebab harta orang yang mubazir itu di tangan walinya

4) Baliq berumur 15 tahun ke atas/ dewasa. Anak kecil tidak sah jual belinya. Adapun anak-anak yang sudah mengerti tetapi belum sampai umur dewasa, menurut pandangan sebagian ulama, mereka diperbolehkan berjual beli barang yang kecil-kecil, karena kalau tidak diperbolehkan, sudah tentu menjadi kesulitan dan kesukaran, sedangkan agama Islam sekali-kali tidak akan menetapkan peraturan yang mendatangkan kesulitan kepada pemeluknya.

b. Ma‟qud alaih (Objek akad)

Ma‟qud alaih adalah barang yang diperjualbelikan. Para Ulama telah Menetapkan persyaratan-persyaratan yang harus ada dalam ma‟qud alaih ada empat macam. Perbedaan tersebut sebenarnya tidak terlalu signifikan, karena pada dasarnya dua dari enam syarat ini telah tercakup pada empat syarat.

1) Benda yang diperjualbelikan merupakan barang yang berharga. Barang yang berharga yang dimaksud dalam konteks ini adalah Suci dan mempunyai manfaat bagi manusia. Barang najis tidak sah dijual dan tidak boleh dijadikan uang untuk dibelikan, seperti kulit binatang atau bangkai yang belum disamak. Seduai dengan hadist Nabi yang berbunyi :

“Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan jual beli khamr (minuman keras), bangkai, babi dan berhala. Rasul ditanya; “Bagaimana dengan minyak bangkai untuk kapal, melicinkan kulit dan untuk penerangan bagi manusia? Rasul menjawab: Tidak halal, itu perbuatan haram”.

Para Ulama telah berbeda pendapat terhadap pengertian hadist di atas. Ibn Qayyim al-Jauziah, mengatakan bahwa perkataan haram dari Rasulullah SAW mengandung dua unsur penafsiran yaitu perbuatan tersebut haram sekalipun pembeli membelinya untuk kepentingan tertentu selain dimakan. Kalangan Jumhur Ulama berpendapat, barang tersebut diharamkan karena dianggap najis. Sedangkan menurut kalangan Hanafiyah dan Dhahiriyah, barang yang ada manfaatnya dibolehkan menurut syara‟. Karena itu menurut mereka dibolehkan memperjualbelikan kotoran najis yang benar-benar diperlukan untuk pupuk tanaman, bukan untuk dimakan atau diminum.

Adapun barang yang dijual harus ada manfaatnya, dalam hal ini Abu Hanifah berpendapat, bahwa boleh

memperjualbelikan anjing untuk keperluan menjaga keamanan dari kejahatan dan menjaga tanaman. Sementara itu Atha‟ dan an-Nakha‟i membolehkan menjual anjing hanya untuk kepentingan berburu saja, karena Rasulullah SAW membolehkan memakan daging dari hasil anjing buruan saja.

2) Barang itu dapat diserahkan. Artinya benda yang dijual harus konkret dan ada pada waktu akad. Karena itu tidak sah menjual suatu barang yang tidak dapat diserahkan kepada yang membeli, misalnya ikan dalam laut, barang rampasan yang masih berada di tangan yang merampasnya, barang yang sedang dijaminkan, sebab semua itu mengandung tipu daya (kecohan). Teknis penyerahan benda bergerak dengan beberapa macam, yaitu :

a) Menyempurnakan takaran atau ukurannya baik dengan takaran, timbangan dan sebagainya untuk menentukan ukuran sesuatu.

b) Memindahkannya dari tempatnya jika termasuk benda yang termasuk benda yang tidak diketahui kadarnya secara terperinci kecuali oleh ahlinya.

c) Kembali kepada „Urf (adat) setempat yang tidak disebutkan di atas.

d) Adapun penyerahan benda yang tidak dapat bergerak cukup mengosongkannya atau menyerahkan surat atau

sertifikasinya. Demikianlah pendapat yang dikemukakan Sayyid sabiq

3) Barang tersebut merupakan kepunyaan si penjual, kepunyaan yang diwakilinya, atau yang mengusahakan. Maka jual beli barang yang bukan milik penjual hukumnya tidak sah. Benda tersebut dianggap milik penjualnya, apabila proses transaksi jual belinya diizinkan oleh pemiliknya. Proses jual beli yang tidak mendapat izin dari pemiliknya disebut jual beli fuhuli. Akad dalam proses jual beli fudhuli tersebut menurut ulama Maliki dianggap sah menurut hukum, tetapi kepastian hukumnya masih ditangguhkan sampai dibolehkan atau diizinkan oleh pemilik atau walinya. Apabila dia membolehkannya, maka jual beli tersebut sah namun jika tidak, jual beli tersebut menjadi batal.

4) Barang tersebut diketahui oleh si penjual dan si pembeli, zat, bentuk, kadar (ukuran), dan sifat-sifatnya jelas sehingga antara keduanya tidak akan terjadi kecoh-mengecoh. Keterangannya adalah hadist dari Abu Hurairah yang wajib diketahui zatnya, kalau barang itu tertentu ialah kadarnya, umpamanya sukatan atau timbangannya. Kalau barang itu bercampur dengan yang lain, umpamanya segantang beras atau sekilo gula, cukup melihat sebagian barang, asal yang lainnya sama dengan contoh yang dilihat itu, dan cukup melihat kulitnya kalau sekiranya

kulit itu dipecah bakal rusak, yang dimaksud adalah tempurung, umpamanya. Begitupulah sesuatu yang telah dimaklumi menurut kebiasaan seperti bawang yang masih dalam tanah walaupun keadaan barang boleh jadi ada lebih kurangnya serta bakal merugikan salah satu pembeli atau penjual, tetapi hanya sedikit. Keadaan yang sedikit itu dimaafkan karena kemaslahatan untuk memudahkan kelancaran pekerjaan. Kata Ibnu Qayim,” Sesungguhnya orang yang ahli dapat mengetahui barang yang berada di dalam tanah dengan melihat yang di atasnya, maka jika barang di dalam tanah tidak boleh dijual, sudah tentu akan memperlambat pekerjaan yang tidak semestinya (Huda, 2011: 62).

c. Lafaz ijab qobul

Ijab adalah perkataan penjual, umpamanya, “Saya jual barang ini sekian”. Qobul adalah ucapan si pembeli, “Saya terima (saya beli) dengan harga sekian”. Jual beli seharus nya didasari dengan kerelaan atau ridlo dan suka sama suka, sedangkan suka sama suka itu tidak dapat diketahui dengan jelas kecuali dengan perkataan, karena perasaan suka itu bergantung pada hati masing-masing. Ini pendapat kebanyakan ulama. Tetapi Nawawi, Mutawali, Bagawi dan beberapa ulama yang lain berpendapat bahwa lafaz itu tidak menjadi rukun, hanya menurut kebiasaan saja. Apabila menurut adat telah berlaku bahwa hal yang semacam itu

sudah dipandang sebagai jual beli, itu saja sudah cukup karena tidak ada suatu dalil yang jelas untuk mewajibkan lafaz.

Menurut ulama yang mewajibkan lafaz, lafaz itu diwajibkan memenuhi beberapa syarat:

1) Keadaan ijab dan qobul berhubungan. Artinya, salah satu dari keduanya pantas menjadi jawaban dari yang lain dan belum berselang lama.

2) Makna keduanya hendaklah mufakat (sama) walaupun lafaz keduanya berlainan.

3) Keduanya tidak disangkutkan dengan urusan yang lain, seperti katannya,” Kalau saya jadi pergi, saya jual barang ini sekian”

4) Tidak berwaktu, sebab jual beli berwaktu-seperti sebulan atau setahun tidak sah (Rasjid,2017:279).

Masalah ijab dan kabul ini para ulama fiqh berbeda pendapat, di antaranya berikut ini :

1) Menurut Ulama Syafi‟iyah ijab dan kabul ialah: “Tidak sah akad jual beli kecuali dengan Shighat (ijab kabul) yang diucapkan”.

2) Menurut Ulama Malik berpendapat: “Bahwa jual beli itu telah sah dan dapat dilakukan secara dipahami saja”.

3) Pendapat ketiga ialah penyampaian akad dengan perbuatan atau disebut juga dengan aqad bi al-mu‟athah yaitu: “aqad bi al-mu‟athah ialah mengambil dan memberikan dengan tanpa perkataan (ijab kabul), sebagaimana seseorang membeli sesuatu yang telah diketahui harganya, kemudian ia mengambilnya dari penjual dan memberikan uang sebagai pembayaran”. Bentuk ketiga ini lebih diartikan ijab dan kabul dengan muhadalah karena yang diutamakannya pertukarannya. (Suhendi,2002:70)

B. PENGERTIAN PERCALOAN

Dokumen terkait