• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGERTIAN DAN TUJUAN PERKAWINAN

C. Rukun dan Syarat Perkawinan

Rukun dalam semua tindakan hukum sangatlah menentukan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut. Diskursus tentang rukun merupakan masalah yang serius di kalangan fuqaha. Sebagai konsekuensinya terjadi silang pendapat berkenaan dengan apa yang termasuk rukun dan mana yang tidak.24 Hal ini bukanlah sesuatu yang aneh dalam ranah ijtihadiyah, dan hampir disemua aspek pembahasan fiqh bahkan sampai tataran teologi akan terjadi perbedaan pendapat.

23Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara fiqh Munakahat dan

Undang-undang Perkawinan, h. 46

24

Perbedaan itu juga terjadi dalam menentukan mana yang termasuk rukun dan mana yang syarat. Jadi bisa saja sebagian ulama menyebutnya sebagai rukun dan ulama yang lainnya menyebut sebagai syarat.

Wahbah Al-Zuhaily dalam kitabnya al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu menjelaskan bahwa, menurut kalangan Hanafiyah yang menjadi rukun nikah hanya “akad” saja, selain itu disebut dengan syarat.25

Hal ini tidak mengherankan karena menurut kalangan ini hakikat dari pernikahan itu adalah “akadnya”. Senada dengan itu Abdurrahman al-Jaziri menerangkan dalam kitabnya al-Fiqh „ala Mazahib al-Arba‟ah, bahwa yang dikategorikan sebagai rukun nikah itu adalah Ijab dan Qabul yang pada dasarnya akad itu sendiri. Karena menurutnya tanpa keduanya sebuah pernikahan tidak akan ada.26

Sedangkan menurut Ijma’ Ulama Indonesia dalam KHI menjelaskan bahwa rukun perkawinan itu ada lima dan masing-masing rukun itu memiliki syarat-syarat tertentu. Penjelasan tentang hal itu adalah:

a. Mempelai laki-laki/calon suami, dan syarat-syaratnya: 1) Bukan mahram dari calon istri

2) Tidak terpaksa/atas kehendak sendiri 3) Orangnya tertentu/jelas orangnya

Dalam pasal 6 UU No. 1 tahun 1974 ditentukan juga bahwa calon suami minimal berumur 19 tahun.

b. Mempelai wanita/calon istri, dan syarat-syaratnya:

25Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu,Jilid 9, h. 2522

26Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh „ala Mazahib al-Arb‟ah, Juz IV, (Qahirah: Dar al-Fikr, tt), h. 12

1) Tidak ada halangan hukum, yakni - tidak sedang bersuami

- bukan mahram

- tidak sedang dalam iddah 2) Merdeka atas kemauan sendiri

Dalam pasal 16 KHI disebutkan bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.

3) Jelas orangnya

Pasal 15 KHI ayat 1. “untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapi umur yang ditetapkan dalam pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”

c. Wali nikah, dan syarat-syaratnya: 1) Laki-laki

2) Islam 3) Baligh

4) Waras akalnya

d. Dua orang saksi, syarat-syaratnya: 1) Laki-laki

3) Adil

4) Akil Baligh

5) Tidak terganggu ingatannya Waras akalnya 6) Dapat mendegar dan melihat

7) Bebas, tidak dipaksa

e. Ijab dan kabul, dan syarat-syaratnya:

1) dilakukan dengan bahasa yang dimengerti kedua belah pihak (pelaku akad dan penerima akad dan saksi)

2) akad dilakukan sendiri oleh wali

3) kabulnya diucapkan sendiri oleh calon suami 2. Syarat Pernikahan

Syarat, yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu.27

Jadi syarat sah perkawinan adalah ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi agar pernikahan yang dilaksanakan merupakan pernikahan yang sah dan diakui secara hukum, sehingga hak dan kewajiban yang berkenaan dengan pernikahan dapat berlaku.28

a. Perempuan yang dinikahi bukan mahram

Secara hukum, perempuan yang akan dinikahi adalah perempuan yang halal untuk dijadikan sebagai istri. Jadi, perempuan itu bukanlah

27H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 12

28

perempuan yang haram dinikahi, baik haram untuk sementara waktu maupun haram untuk selamanya.

b. Mahar

Secara istilah mahar diartikan sebagai “harta yang menjadi hak istri dari suaminya dengan adanya akad nikah atau dukhul”. Mahar secara ekplisit diungkapkan dalam al-Qur’an seperti yang terdapat di dalam surah an-Nisa’ ayat 4, sebagai berikut:

ْاُُراَءََ

ٱ

َءٓبَسِىل

خَلّۡذِو َهٍِِزَٰقُدَص

بسۡفَو ًُۡىِم ءۡيَش هَع ۡمُكَل َهۡجِط نِاَف ۚ

ٓيِىٌَ ُيُُلُّكَف

ٓيِسَم بٔ

بٔ

٤

:ءبسىلا (

4

)

Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang

sedap lagi baik akibatnya” )an-Nisa‟: 4)

Berangkat dari ayat ini para ulama telah menetapkan bahwa mahar itu hukumnya wajib berdasarkan al-Qur’an. Mahar oleh sebagian ulama ditempatkan sebagai syarat sahnya nikah seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Rusyd di dalam Bidayatul al-Mujtahidnya.29 Sedangkan ulama kalangan Malikiyah menempatkan mahar sebagai rukun dari rukun nikah yang ada, tetapi tidak mewajibkan penyebutannya ketika akad dilangsungkan.30 Berbeda dengan Wahbah Al-Zuhaily dalam kitabnya al-fiqh al-Islam wa Adillatuhu menjelaskan bahwa mahar itu bukanlah rukun dan juga bukan

29Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 64

syarat dari perkawinan, melainkan atsar atau akibat hukum dari perkawinan. Dengan penjelasannya:

31

“bahwasanya mahar bukanlah rukun dan juga bukan syarat dari beberapa syarat perkawinan, akan tetapi mahar merupakan atsar/akibat hukum dari beberapa atsar-atsar perkawinan”

Sejalan dengan itu dengan sangat jelas KHI menyatakan bahwa mahar itu bukanlah rukun dalam perkawinan, sebagaimana terdapat dalam pasal 34 ayat: “Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan”

Dokumen terkait