• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAWIN LARI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI) KASUS DI DESA PARAMAN AMPALU KECAMATAN GUNUNG TULEH KABUPATEN PASARAMAN BARAT SUMATER BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAWIN LARI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI) KASUS DI DESA PARAMAN AMPALU KECAMATAN GUNUNG TULEH KABUPATEN PASARAMAN BARAT SUMATER BARAT"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

DI DESA PARAMAN AMPALU KECAMATAN GUNUNG TULEH KABUPATEN PASARAMAN BARAT SUMATER BARAT

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)

Oleh:

SYAHRINAL HATORANGAN NIM.108044100005

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ( A H W A L S Y A S K H S I Y Y A H )

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(2)
(3)

i

Skripsi yang berjudul “Kawin Lari dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Paraman Ampalu Kecamatan Gunung Tuleh Kabupaten Pasaraman Barat Sumater Barat” penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan bagaimana praktik praktek kawin lari yang dilakukan oleh masyarakat Desa Paraman Ampalu? Apakah Faktor yang menyebabkan calon suami dan istri menempuh kawin lari? Bagaimanakah kawin lari dalam pandangan hukum Islam? Apakah dampak kawin lari terhadap keharmonisan kedua keluarga pelaku kawin lari?

Data penelitian ini dihimpun melalui wawancara dengan pelaku kawin lari di Desa Paraman Ampalu dan masyarakat serta tokoh adat Desa Pamaran Ampalu, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis, yakni memaparkan keadaan objek penelitian sebagaimana keadaan sebenarnya kemudian dianalisis kesesuaiannya dengan hukum Islam. Setelah itu diambil kesimpulan dengan pola pikir deduktif, yakni yang bersifat umum kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa praktek kawin lari yang dilakukan di Desa Paraman Ampalu bisa dinyatakan sah menurut hukum Islam. Namun, menurut adat istiadat yang berlaku di Desa Paraman Ampalu menyatakan bahwa tindakan kawin lari merupakan perbuatan yang tidak terpuji dan dianggap orang yang tidak beradat istiadat. Karena seorang perempuan yang terhormat, harus diserahkan oleh orangtuanya kepada seorang pria yang menjadi suaminya dengan cara yang sangat baik dan terpola. Senada dengan hukum Islam yang mengatur proses khitbah atau lamaran sebelum perkawinan dimaknai sebagai proses perkenalan bagi kedua calon suami dan istri sekaligus sebagai wadah untuk mempererat hubungan keluarga kedua belah pihak. Sehingga, praktek kawin lari yang dilakukan oleh masyarakat Desa Paraman Ampalu baik menurut hukum adat maupun hukum Islam memiliki pandangan yang sama yaitu merupakan perbuatan yang tidak baik, sekalipun pada akhirnya pernikahannya dapat dinyatakan sah.

Sesuai dengan kesimpulan diatas, maka diharapkan kepada anak-anak muda, para orangtua untuk tetap berpegang teguh kepada hukum Islam serta hukum Adat dalam melaksanakan perkawinan ini. Karena di dalam kedua aturan itu terdapat nilai yang bisa membawa bahtera perkawinan itu ke dermaga kebahagiaan yang diimpikan setiap orang.

(4)

ii

Puji syukur kehadirat-Nya, sebagai Dzat yang maha indah dan terpuji, dimana seluruh pujian dijagad ini dipersembahkan untuk-Nya, takkan pernah terasa cukup untuk mengungkapkan rasa syukur dan terimakasih atas segala rahmat dan cinta yang diberikan kepada hamba-Nya.

Salam sejahtera semoga senantiasa tercurah kepada manusia agung, Muhammad SAW yang menjadi panutan ummat Islam, yang selalu dinantikan syafaatnya dihari pembalasan.

Tiada untaian kata yang pantas untuk disenandungkan, selain rasa syukur yang tiada terhingga yang menunjukkan betapa ALLAH telah memberikan rasa kasih sayang-Nya kepada Penulis dengan memberikan kekuatan fisik, psikis, dan ilmu pengetahuan untuk dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “KAWIN LARI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus Desa Paraman Ampalu)

Penulis sangat menyadari selesainya penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan beberapa pihak, baik itu berupa sumbangan pemikiran maupun berupa finansial, sehingga penulisan ini selesai. Dan penulis tidak dapat melukiskan dengan untaian kata-kata, ungkapan apa yang pantas penulis haturkan kepada mereka. Penulis hanya bisa mengucapkan terima kasih kepada:

(5)

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, sebagai Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Abdul Halim, MA sebagai Ketua Program Studi Ahwal

Al-Syahsiyyah, yang selama ini telah memberikan pelayanannya kepada penulis.

3. Hotnidah Nasution, M.Ag, yang telah membimbing penulis selama melakukan penulisan skripsi sampai dapat diselesaikan dengan hasil yang cukup memuaskan.

4. Dr. Djawahir Hejazziey, SH, M.A, MH., dan M. Yasir, MH., yang telah menguji penulis dalam ujian skripsi ini, dan telah memberikan saran, arahan dan masukan untuk kesempurnaan skripsi ini.

5. Arip Purqan, SH,I, M.A., sebagai Sekretaris Program Studi Ahwal Al-Syahshiyyah, terimakasih atas pelayanan yang sangat memuaskan dan bantuan yang tidak terlupakan.

6. Bapak dan Ibu dosen yang penulis hormati, yang telah memberikan tenaga dan pikirannya, untuk mendidik penulis agar kelak menjadi manusia yang berguna di dunia dan di akhirat, semoga do’a dan didikannya menjadi berkah dan dapat menuntun penulis untuk memasuki kehidupan yang lebih baik.

7. Pegawai Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Daerah Kabupaten Mandailing Natal, yang juga meberikan bantuan berupa bahan-bahan yang menjadi referensi dalam penulisan skripsi ini.

(6)

8. Ayahanda dan Ibunda yang senantiasa mendorong, membimbing, mendidik penulis dan teramat berjasa, arif mendidik, tiada hentinya berdoa untuk penulis agar menjadi manusia yang berguna. Kak Noviyaridelvi Nasution, yang senantiasa mendoakan serta memberikan support kepada penulis.

9. Teman-teman jurusan Peradilan Agama angkatan 2008, yang selalu menjadi guru, teman berdiskusi dilokal, semoga apa yang kita cita-citakan dapat terlaksana.

10. Bapak Kepala Jorong Paraman Ampalu (Abu Hanifah Nasution), Ustadz Malim Sulaiman, Bapak Muhammad Amin (Tokoh Adat), Ibu Amaliah Nasution, Kepala KUA Panyabungan Barat, Ketua Pengadilan Agama Mandailing Natal, yang telah memberikan waktu dan pemikirannya buat penulis, sehingga penelitian ini berjalan dengan lancar.

11. Teman-teman KOMPAS (Komunitas Mahasiswa Padangsidimpuan) Zulhamdi Bakri Tanjung, Anda Muanda, Ismar Rasoki, Imam Munandar, dan juga kawan-kawan KMSU (Komunitas Mahasiswa Sumatera Utara) Jakarta, ada Fadlika Himmah Sahputra Harahap, Raidong Habibi Rambe, Muhammad Syarif Nasution, Irsyadurrifai, Coyrulsan Siregar, dan kawan-kawan Situmalas (Khoirul Martua, Hafiz Husaini, Irwan Sofyan, Hermanto, Adnan Pardede, Muawi Siregar), serta sahabat lainnya yang tidak disebutkan namanya satu persatu, yang akan selalu menjadi guru, teman satu ide dan satu perjuangan.

(7)

Akhirnya, kepada semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini, penulis berdo’a semoga Allah SWT., senantiasa mencurahkan rahmat dan hidayahnya. Harapan terakhir penulis skripsi ini bermanfaat buat pengembangan ilmu pengetahuan.

Jakarta, 05 Januari 2016

(8)

vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Metodologi Penelitian... 10

E. Pengolahan dan Analisis Data ... 13

F. Tinjauan Kajian (Review) Terdahulu ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II PENGERTIAN DAN TUJUAN PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan ... 17

B. Dasar Hukum Perkawinan ... 23

C. Rukun dan Syarat Perkawinan ... 27

D. Larangan Perkawinan ... 32

E. Tujuan Perkawinan ... 38

F. Hikmah Perkawinan ... 43

BAB III POTRET UMUM DESA PARAMAN AMPALU A. Gambaran Umum Desa Paraman Ampalu ... 47

B. Tata Cara Perkawinan Masyarakat Desa Paraman Ampalu ... 51

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISA DATA A. Kawin Lari di Desa Paraman Ampalu ... 66

B. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kawin Lari di Desa Paraman Ampalu ... 68

C. Pelaksanaan Perkawinan Kawin Lari di Desa Paraman Ampalu . 72 D. Perspektif Hukum Islam Terhadap Kawin Lari di Desa Paraman Ampalu ... 75 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 82 B. Saran-saran ... 83 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN

(9)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk yang paling sempurna yang diciptakan oleh Allah SWT di muka bumi ini. Karena Allah telah melahirkan manusia dengan adanya akal pikiran sehingga mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Allah SWT menciptakan manusia tidak hanya sekedar menciptakan, tapi juga menciptakan manusia saling berpasangan dengan jalinan kasih sayang yang diberikan oleh Allah SWT terhadap makhluk-Nya yaitu dengan adanya ikatan tali pernikahan yang disetujui dan diresmikan oleh agama dan Negara, agar terjalin kehidupan yang harmonis di dalam rumah tangga dan dalam lingkungan masyarakat.

Kasih sayang merupakan suatu hal yang paling penting untuk menjadikan rumah tangga yang harmonis. Kasih sayang tidaklah seperti hal yang kita pikirkan, bahwa kasih sayang bisa menjadikan rumah tangga menjadi harmonis, namun juga kasih sayang membuat hal yang rumit dalam pernikahan, dikarenakan kasih sayang tidak dilandasi atas agama bisa menjadikan salah langkah menjalin kejenjang pernikahan.

(10)

Perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang wanita dengan seorang pria untuk membentuk satu keluarga dalam rangka melengkapi kebutuhan jasmani dan rohani serta pergaulan yang sah yang didirikan atas dasar kesucian.1

Pernikahan tersebut sangat dianjurkan karena di dalamnya mengandung suatu hikmah, antara lain memelihara manusia agar tidak jatuh kedalam jurang kemaksiatan (perzinahan), tempat melahirkan dan menumbuhkan anak-anak yang baik dan sholeh sebagai generasi penerus keturunan, menumbuhkan rasa kasih sayang, rasa tanggungjawab dan juga merupakan salah satu yang dapat mempererat silaturahmi.2

Undang-undang perkawinan menentukan selain harus mengikuti hukum agamanya dan kepercayaannya ini, para pihak yang melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi syarat-syarat perkawinan, salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah pencatatan perkawinan salah satu syarat dalam perkawinan.3

Menurut Sayyid Sabiq sebagaimana komentarnya dikutip oleh Abd Rahman Ghazaly menjelaskan bahwa perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah sebagai jalan manusia utuk beranak pinak, berkembang biak dan melestarikan hidupnya. Setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Allah tidak menjadikan manusia seperti

1Muhammad Ali Al-Hasyimy, Jati Diri Wanita Muslim (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,

1997), h 143

2

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (trj) Muhammad Thalit (Bandung: Al-Ma’arif, 1980), jilid 6

3Neng Djubaedah dkk, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Hacca Mitra

(11)

makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan secara anarkhi tanpa aturan. Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah mangadakan hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan rasa saling meridhoi dengan ucapan ijab dan qobul sebagai lambing adanya rasa ridho meridhoi dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan ini telah saling terikat. Bentuk perkawinan ini telah memberikan jalan yang aman pada naluri seks, memelihara keturunan dengan baik dan menjaga kaum perempuan agar tidak laksana rumput yang biasa dimakan oleh binatang ternak seenaknya. Pergaulan suami istri menurut ajaran Islam diletakkan di bawah naluri keibuan dan kebapaan, sebagaimana ladang yang baik yang nantinya menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang baik dan menghasilkan hasil yang baik pula.4

Menurut hukum Islam, perkawinan dianggap sah jika memenuhi beberapa syarat dan rukun perkawinan. Rukun yang dimaksud terdiri dari kedua calon mempelai, wali nikah, dua orang saksi serta ijab dan qobul. Dalam masing-masing rukun tersebut melekat beberapa syarat yang harus dipenuhi juga antara lain kedua calon mempelai orangnya jelas dan dapat dimintai persetujuan, wali nikah adalah orang yang mempunyai hak perwalian, ijab qobul diadakan dalam satu majelis, tidak dipenuhinya syarat dan rukun yang telah ditetapkan akan mengakibatkan perkawinan yang dilangsungkan menjadi batal.5

4Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003) h. 10-11 5

(12)

Sebelum melangsungkan pernikahan, Islam telah mensyari’atkan peminangan sebagai langkah sebelum diadakannya akad nikah.6 Peminangan ini disamping bertujuan agar masing-masing pihak saling mengenal saling menyetujui juga salah satu upaya untuk mencapai perkawinan yang sakinah mawaddah warahmah.

Di dalam Islam telah disyariatkan setiap makhluk yang diciptakan pasti akan berpasang-pasangan, seperti siang dan malam, bulan dan matahari dan sebagainya. Demikian juga manusia yang diciptakan oleh Allah dengan ciptaan yang paling sempurna berbanding makhluk-Nya yang berada di muka bumi ini, yang dipasangkan sebagai laki-laki dan perempuan.

Untuk menjaga kesucian dan kemuliaan manusia, Allah telah menetapkan syarat sebagai garis panduan bagi kehidupan dan kemaslahatan hamba-Nya yaitu masing-masing perkawinan atau hukum keluarga.7 Islam telah mensyariatkan perkawinan serta telah meletakkan peraturan-peraturan yang jelas dan tepat. Peraturan-peraturan diasaskan di atas prinsip-prinsip hukum yang menjamin kesejahteraan masyarakat, kebahagiaan rumah tangga, penyebaran kebaikan, penjagaan akhlak serta pengekalan keturunan manusia. Islam menggalakkan umatnya supaya menikah, karena perkawinan mempunyai faedah yang besar kepada semua umat-Nya.

Islam mengatur manusia dalam hidup berjodoh-jodohan melalui jenjang perkawinan yang ketentuannya dirumuskan dalam wujud aturan-aturan yang disebut dengan hukum perkawinan. Hukum Islam juga ditetapkan untuk

6Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998) h. 396 7M. Atho Mudzar dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,

(13)

kesejahteraan umat, baik secara bermasyarakat baik untuk hidup di dunia maupun di akhirat, kesejahteraan masyarakat akan tercapai dengan terciptanya kesejahteraan yang sejahtera, karena keluarga merupakan lembaga terkecil dalam masyarakat, sehingga kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kesejahteraan keluarga. Demikian pula dengan kesejahteraan perorangan sangat dipengaruhi dengan kesejahteraan hidup keluarga. Islam mengatur bukan secara garis besar, akan tetapi sampai terperinci. Yang demikian ini menunjukkan perhatian yang sangat besar terhadap kesejahteraan keluarga. Keluarga terbentuk melalui perkawinan, karena itu perkawinan sangat dianjurkan oleh Islam bagi telah mempunyai kemampuan. Tujuan tersebut dinyatakan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.

Namun dalam perkawinan sering ditemui berbagai masalah, baik sebelum, ketika dan sesudah dilangsungkannya perkawinan. Masalah-masalah tersebut ada kalanya datang dari keluarga dan juga masyarakat.

Salah satu masalah yang sering terjadi adalah menyangkut pelaksanaan akad nikah yang kadang-kadang memakan waktu sampai beberapa hari. Hal ini terjadi disebabkan ada beberapa kasus dimana seorang wali tidak mau menikahkan anak perempuannya dikarenakan tidak menyetujui pernikahan tersebut. Sehingga sering terjadi praktek kawin lari sebagai cara untuk mendapatkan persetujuan dari sang wali atau ayah perempuan tersebut.

Namun di sebagian kasus dengan kawin laripun belum tentu mendapatkan persetujuan dari wali, bahkan ada yang enggan untuk menikahkan anaknya.

(14)

Dalam ketentuan perwalian menurut hukum Islam yang lebih berhak menikahkan wanita adalah wali nasabnya, dan mendahulukan orang yang lebih dekat hubungannya kepada wanita tersebut seperti ayah, kakek, dan jika tidak ada baru beralih ketangan saudara kandung. Dan jika mereka tidak ada juga baru berpindah ketangan yang lain sesuai dengan urutan yang telah ditetapkan.8

Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting bagi kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan suatu akte yang juta dimuat dalam daftar catatan.9

Peminangan yang telah disyariatkan sebaiknya dilakukan oleh setiap orang yang ingin melangsungkan pernikahan, selain sebagai awal pekenalan juga sebagai cara memastikan sang calon istri belum terikat dengan pinangan orang lain.

Namun kenyataan yang ada di tengah-tengah masyarakat Desa Paraman Ampalu, meskipun ada perkawinan yang diawali dengan peminangan atau pelamaran, namun tidak sedikit yang diwujudkan dengan menempuh jalan lain yaitu dengan melarikan perempuan yang ingin dia nikahi terlebih dahulu dari rumahnya tanpa minta izin bahkan persetujuan dari orang tuanya. Dalam bahasa sehari-hari yang demikian diistilahkan dengan kawin lari.

Biasanya kawin lari tersebut dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang sudah saling kenal mengenal, suka antara satu dengan yang lain dan sepakat menuju jenjang perkawinan. Namun merasa aka nada sesuatu hal yang akan

8Muhammad Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: Lantiar Van Hoeve,

1997) h1339

9

(15)

menggagalkan kesepakatan mereka tersebut, mereka akhirnya memilih jalan kawin lari sebagai keluar.

Bentuk perkawinan yang demikian sudah lama dikenal dalam masyarakat dan hal yang demikian itu bukan lagi hal yang luar biasa karena sudah banyak orang yang melakukannya.

Kawin lari yang terjadi di Desa Paraman Ampalu kebanyakan terjadi disebabkan karena orang tuan dari salah satu atau kedua calon mempelai tidak memberikan izin untuk melangsungkan pernikahan dan juga banyaknya pergaulan bebas yang terjadi di Desa Paraman Ampalu sehinga mereka melakukan kawin lari sebagai jalan terakhir sehingga dinikahkan oleh wali hakim.

Melihat kenyataan yang demikian, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian untuk mengetahui apakah kawin lari yang ada di Desa Paraman Ampalu dalam mewujudkan perkawinan dan juga pelaksanaan akad nikahnya sesuai dengan hukum dan apakah peralihan wali dalam pelaksanaan akad nikahnya didasari atas alasan-alasan yang diperbolehkan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Penelitian tersebut akan penulis tuangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul “Kawin Lari dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Paraman Ampalu Kecamatan Gunuh Tuleh Kabupaten Pasaman Barat Sumatera Barat)”

B. Batasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar dalam pembahasan skripsi ini lebih terarah dan tidak meluas, sehingga pembaca dapat mengoptimalkan manfaat dari penelitian ini, maka

(16)

penulis melakukan pembatasan dan perumusan masalah, dan penulis membatasi permasalahan ini sampai penyebab kawin lari yang sudah menjadi kebiasaan atau banyaknya masyarakat yang melakukan kawin lari sampai saat ini di Desa Paraman Ampalu.

2. Rumusan Masalah

Dalam aturan format yang berlaku, tidak tercantum adanya kawin lari, akan tetapi pada kanyataannya kawi lari dapat terjadi karena orangtua antara kedua calon mempelai tidak mengizinkan menikahkan anaknya, yang disebabkan oleh adanya masalah keluarga antara kedua keluarga mereka dan karena adanya pergaulan bebas. Hal tersebut yang ingin penulis telusuri dalam penulisan skripsi ini, dan untuk memudahkan pembahasan rumusan tersebut penulis rincikan dalam bentuk pertanyaan:

a. Apakah faktor yang menyebabkan calon suami istri melakukan kawin lari?

b. Bagimanakah kawin lari dalam pandangan hukum Islam

c. Apakah dampak kawin lari terhadap keharmonisan kedua keluarga pelaku kawin lari?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya kawin lari di Desa Paraman Ampalu

(17)

b. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan perkawinan kawin lari di Desa Paraman Ampalu

c. Untuk mengetahui apakah kawin lari sesuai dengan hukum Islam d. Mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh praktek kawin lari terhadap

keharmonisan kedua keluarga. 2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

a. Dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat tentang perkawinan yang dilangsungkan, karena kawin lari khususnya dalam pelaksanaan akad nikah;

b. Menambah wawasan dan pengetahuan kepada penulis tentang kawin lari dan permasalahannya;

c. Sebagai bahan reverensi dan perbandingan kepada orang lain yang punya keinginan untuk melakukan penelitian yang pokok permasalahannya sama dengan yang diteliti oleh penulis.

D. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian lapangan (field research), yaitu mengumpulkan data-data dengan cara langsung turun ke lapangan untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat tentang objek yang menjadi

(18)

penelitian penulis, dan supaya sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penulis sendiri.

2. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan adalah berupa metode kualitatif, yang merupakan metode penelitian yang menggunakan data-data berupa pandangan-pandangan tentang study etnografi (etnis) dalam perkawinan adat Mandailing Natal ditinjau dari perspektif Hukum Islam. Adapun pendekatan Etnografi adalah suatu uraian dan penafsiran terhadap budaya atau sistem kelompok sosial, peneliti menguji kelompok tersebut dan mempelajari pola prilaku, kebiasaan, dan cara hidup masyarakatnya.10

Sedangkan metode hukum yang digunakan adalah bersifat doktriner (normatif), yaitu penelitian berdasarkan data-data yang ada sesuai dengan ketentuan Fiqh dan Hukum Positif.

Adapun yang dimaksud fiqh dalam penelitian ini adalah pendapat ulama yang bersumber dari al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Sedangkan hukum positif adalah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah perkawinan, yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

3. Populasi dan Sampel

Penelitian ini bersifat yuridis empiris, menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan mengetahui bagaimana sebenarnya kawin lari di Desa Paraman Ampalu. Sebagai informan yang dipakai dalam penelitian ini adalah

10Iyan Apriani, “Metode Penelitian Kualitatif” artikel diakses pada 12 Nopember 2010

(19)

masyarakat yang mewujudkan perkawinannya dengan menempuh kawin lari tersebut yang dalam hal ini adalah seluruh pasangan yang pernah melakukan kawin lari rentang waktu 2010-2012 yaitu sebanyak 48 pasangan, dan seluruh keseluruhan jumlah populasi tersebut ditetapkan sebagai sampel.

Dalam penentuan sampel ini, penulis berpedoman kepada pendapat yang mengatakan bahwa: “Apabila subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil semua, sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi”11

4. Sumber Data

Data-data diperlukan dalam penelitian ini ada dua macam, dengan demikian sumber data penelitian ini terdiri dari:

a. Data Primer, data ini diambil dari pelaku kawin lari di Desa Paraman Ampalu;

b. Data Sekunder, data ini diambil dari wawancara dengan pemuka-pemuka agama, tokoh-tokoh masyarakat, aparat pemerintahan yang ada di Desa Paraman Ampalu.

5. Instrumen Pengumpulan Data

Dalam upaya pengumpulan data untuk memahami realitas yang ada serta untuk lebih memfokuskan penelitian ini, penulis menggunakan beberapa metode yang dapat memberikan informasi dan data-data yang maksimal:

a. Wawancara

Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Tehnik wawancara

11Suharsini Arkunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka

(20)

yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam (in–depth interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai. Dalam penelitian ini penulis melakukan wawancara secara langsung dengan sumber data antara lain; pasangan yang mewujudkan perkawinan dengan kawin lari, Kepala Desa, pemuka agama dan semua pihak yang dianggap dapat mendukung data yang dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini.

b. Observasi

Dalam pengumpulan data ini peneliti menggunakan Observasi Partisipasi (participant observation) yaitu metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan dimana observer atau peneliti benar-benar terlibat dalam keseharian responden, yaitu kepada pasangan yang melakukan kawin lari di Desa Paraman Ampalu.

(21)

c. Dokumen

Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Sebagian besar data dapat berbentuk surat-surat, catatan harian, hasil survei, dokumen pemerintah atau swasta, data di server dan flashdisk, data tersimpan di website, dan lain-lain dan sebagainya. Salah satu data penting yang sangat mendukung penelitian ini adalah dokumen yang ada didapatkan dari Kantor Urusan Agama berupa jumlah pasangan yang melaksanakan perkawinan.

E. Pengolahan dan Analisis Data

Dalam proses pengolahan dan analisa data, penulis menggunakan metode analisis eksploratif berupa metode deskriptif yang berdasarkan pendekatan rasional dan logis secara induktif dan deduktif terhadap susunan penelitian. Dalam penelitian kualitatif memungkin peneliti untuk melakukan analisis mengalir (jalinan), dimana tiga komponen analisis bisa dilakukan saling menjalin, artinya tanpa harus menunggu terkumpulnya semua data yang dibutuhkan. Mengenai teknik penulisan, penulis menggunakan buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah Dan Hukum” yang diterbitkan oleh fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.12

Data-data yang diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisa secara deskriptif dengan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Mengklasifikasi data berdasarkan jenisnya;

12Tim Penyusun, Buku Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Fakultas Syari’ah dan

(22)

2. Menyeleksi dan mengelompokkan data sesuai dengan masalah yang di bahas;

3. Menghubungkan informasi data yang diperoleh satu sama lainnya untuk mendapatkan akurasi data;

4. Mendeskrisikan data secara sistematis sesuai dengan topik-topik pembahasan;

5. Membuat beberapa kesimpulan dari seluruh pembahasan secara deduktif dan induktif.

F. Tinjauan Kajian (Review) Terdahulu

Dalam studi review yang penulis lakukan, penulis menemukan beberapa skripsi yang berkaitan atau sama pokok pembahasannya dengan yang akan diteliti oleh penulis, yaitu:

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Ernie Nadia Ismail dengan judul kawin lari di luar sistem perundangan keluarga Islam Malaysia. Penelitian ini membahas bagaimana peradilan agama menangani pihak-pihak yang mau melangsungkan perkawinan secara kawin lari dan bagaimana penerapan hukum yang digunakan. Faktor-faktor penyebab terjadinya kawin lari di luar sistem perundangan keluarga di Malaysia. Implikasi kawin lari dan apakah kawin lari sesuai dengan maqashidu-syari’ah.

Kedua, oleh Mohd Azrul bin Rusman dengan judul penelitian kawin lari di Sempadan Thailand pada Masyarakat Manjung Provinsi Perak Malaysia menurut Anakman Undang-undang Keluarga Islam. Dalam pembahasannya,

(23)

penelitian ini diarahkan kepada bagaimana cara masyarakat Manjung Perak melakukan kawin lari, apa faktor-faktor yang menyebabkan mereka melakukan kawin lari, dan bagaimana kawin lari atau dalam Anakman Undang-undang keluarga Islam dan bagaimana implikasinya terhadap masyarakat manjung.

Ketiga, dengan judul Pengaruh dari Implikasi Perkawina di Bawah Tangan di Kelurahan Kenanga Kecamatan Cipondoh Tangerang. Skrisipsi ini dibahas oleh Sahfuddin. Dalam pembahasannya beliau mencoba melihat apa yang menjadi faktor penyebab terjadinya kawin di bawah tangan dan apa akibat hukum yang ditimbulkan praktek kawin di bawah tangan serta pengaruhnya terhadap anak, istri dan suami.

Adapun yang akan diteliti penulis adalah; Kawin Lari dalam perspektif hukum islam di Desa Paraman Ampalu Kecamatan Gunung Tuleh Kabupaten Pasaman Barat Sumatera Barat. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kawin lari, bagaimana praktek kawin lari di Desa Paraman Ampalu, dan apa pengaruhnya terhadap keharmonisan kedua keluarga suami istri.

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih memudahkan memahami pembahasan dalam penelitian ini, maka penulis akan membuatkan sistematika penulisan sebagaimana berikut:

BAB I Yang merupakan pendahuluan akan mengutarakan latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, kajian terdahulu dan sistematika penulisan.

(24)

BAB II akan mengutarakan sekitar perkawinan dalam hukum Islam yang meliputi, pengertian, dasar hukum, rukun dan syarat perkawinan, larangan perkawinan, tujuan perkawinan, serta hikmah perkawinan.

BAB III Akan dijelaskan potret umum Desa Paraman Ampalu, didalamnya dijelaskan gambaran umum Desa Paraman Ampalu, tata cara perkawinan masyarakat Desa Paraman Ampalu dan Adat Mandailing pada Umumnya.

BAB IV akan dipaparkan hasil penelitian yang meliputi, kawin lari yang ada di Desa Paraman Ampalu, Faktor yang menyebabkan terjadinya kawin lari di Desa Paraman Ampalu serta Pandangan Hukum Islam terhadap kawin lari.

BAB V sebagai penutup akan mengutarakan kesimpulan dan juga saran-saran dari penulis dari penelitian yang dilaksanakan.

(25)

17

TINJAUN PUSTAKA TENTANG KAWIN LARI

A. Pengertian Perkawinan

Prof. Muhammad Amin Suma dalam bukunya, sebagaimana beliau mengutip dari pendapat Abdur Rahman al-Jaziri menjelaskan, bahwa kata “kawin” paling tidak dapat didekati dari tiga aspek pengertian, yakni makna lughawi (etimologis), makna ushuli (syari’i) dan makna fiqh (hukum). Namun pembahasan di depan ini hanya ingin mencoba menjabarkan pengertian “nikah” dengan menggunakan paling tidak dua dari tiga pendekatan tersebut di atas, yaitu dari sudut pandang lughawi dan makna fiqh (hukum).1 Adapun pendekatan makna ushuli yang menitikberatkan pembahasannya pada filsafat hukum tidak menjadi pembahasan dalam tulisan ini, demi untuk mempersingkat penulisan.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.2 Sedangkan Dalam kamus istilah fiqh dijelaskan bahwa nikah adalah suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.3

Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah (حاكن ( dan zawaja (جاوز). Kedua kata ini yang

1

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 41

2Dep Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 456 3

M. Abdul Mujieb, dan Mabruri Tholhah, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), h.249

(26)

terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam al-Qur’an dan hadits Nabi.4

Secara arti kata nikah berarti “bergabung” (مض ), “hubungan kelamin” (ءطو) dan juga berarti “akad” (دقع). Adanya dua kemungkinan arti ini karena kata nikah yang terdapat dalam al-Qur’an memang mengandung arti tersebut.5 Kata nikah yang bermakna hubungan kelamin terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 230:

نِاَف

ًَُل ُلِّذَر بَلَّف بٍََقَلَّط

ۥ

ُيَسۡيَغ بًجََۡش َخِكىَر ٰىَزَد ُدۡعَث ۢهِم

ۗۥ

َحبَىُج بَلَّف بٍََقَلَّط نِاَف

َدَُدُد بَميِقُي نَأ ٓبَىَظ نِئ ٓبَعَجاَسَزَي نَأ ٓبَمٍِۡيَلَّع

ٱ

ًَِۗلّل

ُدَُدُد َكۡلِّرََ

ٱ

ًَِلّل

ٍمَُۡقِل بٍَُىِيَجُي

َنُُمَلّۡعَي

٠٣٢

حسقجلا (

:

032

)

Artinya : “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum

Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”

(al-Baqarah: 230)

Ayat ini mengandung arti “hubungan kelamin” bukan hanya sekedar akad nikah, karena ada petunjuk dari hadits Nabi bahwa setelah akad nikah dengan laki-laki yang kedua perempuan itu belum boleh dinikahi oleh mantan suaminya kecuali suami yang kedua telah merasakan nikmatnya hubungan kelamin dengan perempuan tersebut.

4Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan

Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), h. 35

5

(27)

Dalam al-Qur’an terdapat pula kata nikah dengan arti akad, seperti tersebut dalam firman Allah surat an-Nisa’ ayat 22:

ََ

بَل

َهِم مُكُؤٓبَثاَء َخَكَو بَم ْاُُذِكىَر

ٱ

ِءٓبَسِىل

ًَُوِئ َۚفَلَّس ۡدَق بَم بَلِئ

ۥ

زۡقَمََ خَشِذَٰف َنبَك

ب

َءٓبَسََ

بًلّيِجَس

٠٠

:ءبسىلا (

00

)

Artinya : “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan

(yang ditempuh)” (an-nisa‟: 22)

Ayat tersebut seolah ingin menegaskan bahwa hakikat dari perkawinan itu adalah akadnya. Asalkan saja seorang ayah sudah melangsungkan akad pernikahan dengan seorang perempuan, sekalipun belum pernah disetubuhi, maka tidak ada kebolehan bagi anak-anaknya untuk menikahi perempuan tersebut.

Adapun dalam arti terminologis terdapat beberapa defenisi yang berbeda, tetapi saling melengkapi satu sama lainnya. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan dalam titik pandangan di kalangan ulama. Salah satu di antaranya ialah:

“Akad yang ditetapkan syara‟ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalakan bersenang-senangnya perempuan

dengan laki-laki”6

Sedangkan dari kalangan Syafi’iyah merumuskan nikah sebagai berikut:

“Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan

kelamin dengan menggunakan lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja”7

6

(28)

Pemberian defenisi oleh kalangan Syafi’iyah sebagaimana disebutkan di atas melihat kepada hakikat dari akad itu bila dihubungkan dengan kehidupan suami dan istri yang berlaku sesudahnya yaitu bolehnya bergaul, sedangkan sebelum akad tersebut berlangsung di antara keduanya tidak ada kebolehan.

Hampir senada dengan itu kalangan Hanafiyah mendefenisikan dengan:

“Akad yang ditentukan untuk memberi hak kepada seorang laki-laki menikmati

kesenangan dengan seorang perempuan secara sengaja”.8

Defenisi lainnya dijelaskan oleh Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya al-Akhwal al-Syakhsiyyah, sebagai berikut:

“Akad yang berfungsi untuk membolehkan bersenang-senang (berhubungan

badan) antara dua orang yang berakad dengan cara yang disyariatkan”9

Namun yang dimaksud dengan dua orang yang berakad di sini adalah antara calon suami dengan calon istrinya.

Defenisi-defenisi yang diberikan oleh ulama terdahulu sebagaimana terlihat dalam kitab-kitab fiqh klasik tersebut di atas begitu pendek dan sederhana hanya mengemukakan hakikat utama dari suatu perkawinan, yaitu kebolehan melakukan hubungan kelamin setelah berlangsungnya perkawinan itu.10 Oleh karena itu ulama kontemporer mencoba memperluas jangkauan defenisi ataupun

7Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara fiqh Munakahat dan

Undang-undang Perkawinan, h. 37

8Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, jilid 9, (Damaskus: Dar al-Fikr,

2007), h. 6514

9Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, (Qahirah: Dar al-Fikr, 2005), h. 19 10

(29)

pengertian perkawinan, misalnya defenisi yang diberikan oleh Dr. Ahmad Ghundur dalam bukunya al-Ahwal al-Syakhsiyah fi al-Tasyri‟ al-Islamiy, mendefenisikan:

“Akad yang membolehkan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan, dan menjadikan untuk kedua

belah pihak secara timbal balik hak dan kewajiban”.11

Sedangkan di dalam UU No. 1 Tahun 1974 seperti yang termuat dalam pasal 1 ayat 2 perkawinan didefenisikan sebagai:12

“Ikatan lahir dan bathin seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami dan istri dengan tujaun membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.13

Dalam undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, perkawinan tidak hanya dilihat dari segi hukum formal, tapi juga dilihat dari sifat sosial sebuah perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga.14 Perkawinan adalah sendi keluarga, sedangkan keluarga adalah sendi masyarakat, bangsa, dan umat manusia. Hanya bangsa yang tidak mengenal nilai-nilai hidup dan kehormatan yang tidak mengutamakan tata aturan perkawinan.15

11

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara fiqh Munakahat dan

Undang-undang Perkawinan, h. 39

12Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,

(Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 42

13

Kamarusdiana dan Jaenal Arifin, Perbandingan Hukum Perdata, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2007), h. 4

14Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 42 15Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada

(30)

Pencantuman kata berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena Negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertamanya berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sedangkan dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa pernikahan adalah, “Akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.

Dari perumusan defenisi pernikahan di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

1. Digunakannya kata “seorang pria dengan seorang perempuan”. Hal ini mengandung arti bahwa perkawinan hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda.

2. Ungkapan “sebagai suami istri” mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam satu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”.

3. Penyebutan “berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”, menandaskan bahwa bagi Islam perkawinan adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama.16

Dari semua penjelasan yang disebutkan di atas, paling tidak dapat disimpulkan bahwa pernikahan itu adalah “suatu akad yang membolehkan hubungan suami istri untuk membangun keluarga yang sakinah, kekal, dan diridhoi Allah SWT”

16Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara fiqh Munakahat dan

(31)

B. Dasar Hukum Perkawinan

Hukum asal melakukan perkawinan menurut pendapat sebagian sarjana hukum Islam adalah ibahah (kebolehan) atau halal.17 Ini juga dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad yang membolehkan laki-laki perempuan melakukan sesuatu yang tidak boleh.

Namun dengan melihat kepada sifatnya sebagai sunnah Allah, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hukum asal perkawinan itu hanya semata-mata mubah saja. Dalam surah an-Nisa’ ayat 3 Allah berfirman:

ۡنِئََ

يِف ْاُُطِسۡقُر بَلَأ ۡمُزۡفِخ

ٱ

ٰىَمَٰزَيۡل

َف

ٲ

ْاُُذِكو

َهِم مُكَل َةبَط بَم

ٱ

ِءٓبَسِىل

ٰىَىۡثَم

بَلَأ ٰٓىَوۡدَأ َكِلَٰذ ۚۡمُكُىَٰمۡيَأ ۡذَكَلَّم بَم ََۡأ ًحَدِدََُٰف ْاُُلِدۡعَر بَلَأ ۡمُزۡفِخ ۡنِاَف َۖعَٰثُزََ َثَٰلُّثََ

ْاُُلُُعَر

٣

:ءبسىلا (

3

)

Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (an- Nisa‟: 3)

Berdasarkan kepada ayat di atas terjadi perbedaan pendapat dikalangan ahli hukum Islam dalam menentukan hukum asal perkawinan yang terbagi dalam tiga kelompok, yakni;

Pertama, golongan yang mengatakan hukum menikah adalah wajib, karena perintah menikah di dalam al-Qur’an sura an-Nisa ayat 3 menunjukkan perintah wajib. Hal ini berdasarkan pada kaidah bahwa setiap sighat “amar’ itu

17

(32)

menunjukkan wajib secara mutlak. Pendapat ini dipelopori oleh Daud az-Zhahiry, yakni satu kali kawin untuk seumur hidup walaupun yang bersangkutan impoten.

Kedua, hukum menikah atau menikahkan adalah sunnah, dengan mendasarkan pendapatnya pada surat an-Nisa ayat 3 yang menunjukkan bahwa jalan halal untuk mendekati wanita itu ada dua cara; dengan jalan menikah atau dengan jalan tasarri yakni memiliki jariyah (budak perempuan). Perbedaan antara keduanya adalah menikah dengan memberikan status kepada wanita untuk memperoleh dari suami suatu perawatan yang wajar, suami berkewajiban memberi nafkah istrinya sesuai dengan kedudukannya. Berdasarkan ijma’ ulama hukum tasarri itu adalah tidak wajib. Ketentuan surat an-Nisa menyuruh untuk memilih antara tasarri dan menikah. Oleh karena tasarri tidak wajib ini menunjukkan bahwa menikah hukumnya tidak wajib.18

Menurut ushul fiqh, tidak ada pilihan antara wajib dan tidak wajib, kerna yang dikatakan wajib itu sesuatu yang tidak dapat ditinggalkan, dengan demikian maka hukumnya adalah sunnah. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad Ibnu Hambal.

Ketiga, Hukum menikah adalah mubah, dengan alasan bahwa firman Allah dalam surah an-Nisa ayat 3 adalah Allah menyerahkan kepada kita untuk memperoleh wanita dengan jalan menikah atau dengan tasarri, yang menunjukkan bahwa kedua jalan itu sama derajatnya. Menurut ijma‟, tasarri hukumnya mubah, karena menikah juga hukumnya mubah (tidak sunah) karena tidak ada pilihan antara sunnah dan mubah. Pendapat ini dipelopori oleh Imam

18Abd. Soman, Hukum Islam, Penormaan Prinsip Syari‟ah dalam Hukum Indonesia,

(33)

Syafi’i yang menyatakan bahwa asal hukum nikah adalah jaiz atau mubah, atau dengan kata lain seseorang boleh kawin dan boleh tidak kawin.

Dari perbedaan dalam menentukan hukum asal menikah tersebut, para pakar hukum Islam juga berbeda pendapat dalam menentukan kedudukan hukumnya. Namun secara umum dapat diberikan perincian hukum nikah berdasarkan kondisi orang yang mau melaksanakan pernikahan tersebut, karena apabila berubah illah suatu hukum, maka hukum yang lahirpun akan berubah pula.19

1. Sunnah

Bagi orang-orang yang telah memiliki potensi biologis melakukan hubungan suami istri, akan tetapi ia tidak takut atau tidak khawatir akan terjebak ke dalam perbuatan terlarang. Menurut jumhur fuqaha kondisi seseorang pada tingkatan ini lebih baik baginya melakukan pernikahan daripada menunda-nunda. 2. Wajib

Wajib bagi orang-orang yang telah pantas untuk menikah, berkeinginan kuat untuk melakukan hubungan biologis dan memiliki perlengkapan dan ia takut akan terjerumus berbuat zina kalau ia tidak kawin.

Dalam term Ushul Fiqh disebutkan:

“Tidak sempurna suatu yang wajib tanpa adanya sesuatu yang lain, maka sesautu itu wajib adanya”.

19Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan, Analisa Perbandingan Antar Mazhab,

(34)

Menghindarkan diri dari perbuatan zina itu hukumnya wajib, maka apabila tidak bisa dicegah kecuali dengan nikah, maka menikah baginya dihukumkan menjadi wajib.20

3. Haram

Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga, sehingga apabila melangsungkan nikah istrinya akan terlantar, maka baginya haram hukumnya untuk menikah.21

Thabrani menjelaskan sebagaimana pendapatnya dikutip oleh Sayyid Sabiq bahwa “Ketika seseorang mengetahui secara pasti bahwa ia tidak akan mampu untuk memberi nafkah kepada istrinya, membayar maharnya, maupun menjalankan segala konsekuensi pernikahan, maka haram baginya untuk menikah hingga benar-benar merasa mampu.22 Penjelasan Thabrani ini ingin mengatakan bahwa yang mengetahui apakah seseorang mampu atau tidak untuk melangsungkan perkawinan adalah orang yang mau menikah tersebut. Pada saatnya dia merasa mampu untuk memenuhi konsekuensi dari perkawinan, maka kaharaman tersebut hilang.

Dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 195 menjelaskan bahwa Allah melarang orang untuk mendatangkan kerusakan:

ْاُُقِفوَأََ

ِلّيِجَس يِف

ٱ

ًَِلّل

ۡمُكيِدۡيَأِث ْاُُقۡلُّر بَلََ

ىَلِئ

ٱ

ِخَكُلٍَّۡزل

َنِئ ْۚآُُىِسۡدَأََ

ٱ

ًََلّل

ُتِذُي

ٱ

َهيِىِسۡذُمۡل

٥٩٥

: حسقجلا (

595

)

20 Ahmad Kuzari, NIkah Sebagai Perikatan , h. 30 21Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h.20

(35)

Artinya: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,

karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”

(al-Baqarah: 195)

4. Makruh

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan, dan cukup kuat untuk menahan diri sehingga tidak memungkin dirinya tergelincir berbuat zina, akan tetapi orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat dalam memenuhi kewajiban suami istri dengan baik. Maka bagi orang ini dimakruhkan untuk melangsungkan perkawinan.

5. Mubah

Bagi orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk menikah dan pernikahan tersebut tidak akan mendatangkan kemudharatan apa-apa kepada siapa pun.23

C. Rukun dan Syarat Perkawinan 1. Rukun Perkawinan

Rukun dalam semua tindakan hukum sangatlah menentukan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut. Diskursus tentang rukun merupakan masalah yang serius di kalangan fuqaha. Sebagai konsekuensinya terjadi silang pendapat berkenaan dengan apa yang termasuk rukun dan mana yang tidak.24 Hal ini bukanlah sesuatu yang aneh dalam ranah ijtihadiyah, dan hampir disemua aspek pembahasan fiqh bahkan sampai tataran teologi akan terjadi perbedaan pendapat.

23Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara fiqh Munakahat dan

Undang-undang Perkawinan, h. 46

24

(36)

Perbedaan itu juga terjadi dalam menentukan mana yang termasuk rukun dan mana yang syarat. Jadi bisa saja sebagian ulama menyebutnya sebagai rukun dan ulama yang lainnya menyebut sebagai syarat.

Wahbah Al-Zuhaily dalam kitabnya al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu menjelaskan bahwa, menurut kalangan Hanafiyah yang menjadi rukun nikah hanya “akad” saja, selain itu disebut dengan syarat.25

Hal ini tidak mengherankan karena menurut kalangan ini hakikat dari pernikahan itu adalah “akadnya”. Senada dengan itu Abdurrahman al-Jaziri menerangkan dalam kitabnya al-Fiqh „ala Mazahib al-Arba‟ah, bahwa yang dikategorikan sebagai rukun nikah itu adalah Ijab dan Qabul yang pada dasarnya akad itu sendiri. Karena menurutnya tanpa keduanya sebuah pernikahan tidak akan ada.26

Sedangkan menurut Ijma’ Ulama Indonesia dalam KHI menjelaskan bahwa rukun perkawinan itu ada lima dan masing-masing rukun itu memiliki syarat-syarat tertentu. Penjelasan tentang hal itu adalah:

a. Mempelai laki-laki/calon suami, dan syarat-syaratnya: 1) Bukan mahram dari calon istri

2) Tidak terpaksa/atas kehendak sendiri 3) Orangnya tertentu/jelas orangnya

Dalam pasal 6 UU No. 1 tahun 1974 ditentukan juga bahwa calon suami minimal berumur 19 tahun.

b. Mempelai wanita/calon istri, dan syarat-syaratnya:

25Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu,Jilid 9, h. 2522

26Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh „ala Mazahib al-Arb‟ah, Juz IV, (Qahirah: Dar al-Fikr,

(37)

1) Tidak ada halangan hukum, yakni - tidak sedang bersuami

- bukan mahram

- tidak sedang dalam iddah 2) Merdeka atas kemauan sendiri

Dalam pasal 16 KHI disebutkan bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.

3) Jelas orangnya

Pasal 15 KHI ayat 1. “untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapi umur yang ditetapkan dalam pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”

c. Wali nikah, dan syarat-syaratnya: 1) Laki-laki

2) Islam 3) Baligh

4) Waras akalnya

d. Dua orang saksi, syarat-syaratnya: 1) Laki-laki

(38)

3) Adil

4) Akil Baligh

5) Tidak terganggu ingatannya Waras akalnya 6) Dapat mendegar dan melihat

7) Bebas, tidak dipaksa

e. Ijab dan kabul, dan syarat-syaratnya:

1) dilakukan dengan bahasa yang dimengerti kedua belah pihak (pelaku akad dan penerima akad dan saksi)

2) akad dilakukan sendiri oleh wali

3) kabulnya diucapkan sendiri oleh calon suami 2. Syarat Pernikahan

Syarat, yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu.27

Jadi syarat sah perkawinan adalah ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi agar pernikahan yang dilaksanakan merupakan pernikahan yang sah dan diakui secara hukum, sehingga hak dan kewajiban yang berkenaan dengan pernikahan dapat berlaku.28

a. Perempuan yang dinikahi bukan mahram

Secara hukum, perempuan yang akan dinikahi adalah perempuan yang halal untuk dijadikan sebagai istri. Jadi, perempuan itu bukanlah

27H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap,

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 12

28

(39)

perempuan yang haram dinikahi, baik haram untuk sementara waktu maupun haram untuk selamanya.

b. Mahar

Secara istilah mahar diartikan sebagai “harta yang menjadi hak istri dari suaminya dengan adanya akad nikah atau dukhul”. Mahar secara ekplisit diungkapkan dalam al-Qur’an seperti yang terdapat di dalam surah an-Nisa’ ayat 4, sebagai berikut:

ْاُُراَءََ

ٱ

َءٓبَسِىل

خَلّۡذِو َهٍِِزَٰقُدَص

بسۡفَو ًُۡىِم ءۡيَش هَع ۡمُكَل َهۡجِط نِاَف ۚ

ٓيِىٌَ ُيُُلُّكَف

ٓيِسَم بٔ

بٔ

٤

:ءبسىلا (

4

)

Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang

sedap lagi baik akibatnya” )an-Nisa‟: 4)

Berangkat dari ayat ini para ulama telah menetapkan bahwa mahar itu hukumnya wajib berdasarkan al-Qur’an. Mahar oleh sebagian ulama ditempatkan sebagai syarat sahnya nikah seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Rusyd di dalam Bidayatul al-Mujtahidnya.29 Sedangkan ulama kalangan Malikiyah menempatkan mahar sebagai rukun dari rukun nikah yang ada, tetapi tidak mewajibkan penyebutannya ketika akad dilangsungkan.30 Berbeda dengan Wahbah Al-Zuhaily dalam kitabnya al-fiqh al-Islam wa Adillatuhu menjelaskan bahwa mahar itu bukanlah rukun dan juga bukan

29Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 64 30 Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh „ala Mazahib al-Arb‟ah, Juz IV, h. 12

(40)

syarat dari perkawinan, melainkan atsar atau akibat hukum dari perkawinan. Dengan penjelasannya:

31

“bahwasanya mahar bukanlah rukun dan juga bukan syarat dari beberapa syarat perkawinan, akan tetapi mahar merupakan atsar/akibat hukum dari beberapa atsar-atsar perkawinan”

Sejalan dengan itu dengan sangat jelas KHI menyatakan bahwa mahar itu bukanlah rukun dalam perkawinan, sebagaimana terdapat dalam pasal 34 ayat: “Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan”

D. Larangan Perkawinan

Meskipun perkawinan telah memenuhi seluruh rukun dan syarat yang ditentukan, belum tentu perkawinan tersebut sah, karena masih tergantung lagi pada satu hal, yaitu perkawinan tersebut telah lepas dari segala yang menghalangi, yang dimaksud dengan penghalang/larangan perkawinan dalam pembahasan ini adalah orang-orang yang tidak boleh melakukan perkawinan disebabkan hal tertentu. Adapun yang dibicarakan di sini ialah perempuan-perempuan yang tidak boleh dinikahi oleh seorang laki-laki, dan juga sebaliknya.32 Pembahasan larangan perkawinan dapat dikelompokkan kedalam dua garis besar:

1. Mahram Muabbad.

Mahram muabbad, yaitu orang-orang yang haram melakukan perkawinan untuk selamanya. Bagian ini ada tiga macam:

31Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu,Jilid 9, h. 6761 32

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara fiqh Munakahat

(41)

Pertama: Disebabkan adanya hubungan kekerabatan/nasab. Mereka itu adalah perempuan-perempuan yang haram dinikahi oleh seorang laki-laki untuk selamanya disebabkan hubungan kekerabatan, adalah:

a. Ibu

b. Anak Perempuan c. Saudara

d. Saudara Ayah/bibi e. Saudara Ibu

f. Anak dari saudara laki-laki g. Anak dari saudara perempuan

Penjelasan ini sesuai dengan apa yang telah difirmankan oleh Allah dalam surah an-Nisa’ ayat 23:

ۡذَمِسُد

ُدبَىَثََ ۡمُكُزَٰلَّٰخََ ۡمُكُزَٰمَعََ ۡمُكُرََُٰخَأََ ۡمُكُربَىَثََ ۡمُكُزٍََٰمُأ ۡمُكۡيَلَّع

ٱ

ِرَأۡل

ُدبَىَثََ

ٱ

ِذۡخُأۡل

...

:ءبسىلا (

34

)

Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan”(an-Nisa‟ ayat 23)

Kedua: Larangan perkawinan karena adanya hubungan perkawinan yang disebut dengan hubungan mushaharah. Bila seorang laki-laki melakukan perkawinan, maka terjadilah hubungan antara si laki-laki dengan keluarga si perempuan/istrinya dan demikian pula sebaliknya. Adapun perempuan yang tidak boleh dinikahi yang disebabkan hubungan mushaharah adalah:

(42)

a. Ibu tiri (perempuan yang telah dinikahi ayah)

b. Menantu (perempuan yang telah dinikahi oleh anak laki-laki) c. Ibu istri (mertua)

d. Anak dari istri (anak tiri) dengan ketentuan istri itu telah digauli. Penjelasan ini dapat ditemukan dalam ayat 22 dan sambungan ayat 23 surah an-Nisa di atas:

بَلََ

َهِم مُكُؤٓبَثاَء َخَكَو بَم ْاُُذِكىَر

ٱ

ِءٓبَسِىل

ًَُوِئ َۚفَلَّس ۡدَق بَم بَلِئ

ۥ

بزۡقَمََ خَشِذَٰف َنبَك

بًلّيِجَس َءٓبَسََ

٠٠

ۡذَمِسُد

ۡمُكُزَٰلَّٰخََ ۡمُكُزَٰمَعََ ۡمُكُرََُٰخَأََ ۡمُكُربَىَثََ ۡمُكُزٍََٰمُأ ۡمُكۡيَلَّع

ُدبَىَثََ

ٱ

ِرَأۡل

ُدبَىَثََ

ٱ

ِذۡخُأۡل

ُمُكُزٍََٰمُأََ

ٱ

ٓيِزَٰل

َهِم مُكُرََُٰخَأََ ۡمُكَىۡعَضۡزَأ

ٱ

ِخَعَٰضَسل

ُمُكُجِئَٰٓثَزََ ۡمُكِئٓبَسِو ُذٍََٰمُأََ

ٱ

يِزَٰل

يِف

ُمُكِئٓبَسِو هِم مُكِزُُجُد

ٱ

يِزَٰل

ۡمَل نِاَف َهٍِِث مُزۡلَّخَد

ُمُكِئٓبَىۡثَأ ُلِّئَٰٓلَّدََ ۡمُكۡيَلَّع َحبَىُج بَلَّف َهٍِِث مُزۡلَّخَد ْاُُوُُكَر

ٱ

َهيِرَل

نَأََ ۡمُكِجَٰلّۡصَأ ۡهِم

َهۡيَث ْاُُعَمۡجَر

ٱ

ِهۡيَزۡخُأۡل

ِئ َۗفَلَّس ۡدَق بَم بَلِئ

َن

ٱ

ًََلّل

بميِدَز ازُُفَغ َنبَك

٠٣

:ءبسىلا (

00

-03

)

Artinya:“dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”. (ayat 23). ....“Ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu

(menantu)” (an-Nisa‟: 22-23)

Ketiga: Larangan perkawinan karena adanya hubungan persusuan. Bila seorang anak menyusu kepada seorang perempuan, maka air susu perempuan tersebut akan menjadi darah daging dan pertumbuhan bagi si anak, sehingga perempuan itu telah seperti ibu bagi anak itu. Adanya hubungan persusuan ini setelah terpenuhinya beberapa syarat berikut:

a. Usia anak yang menyusui itu berumur 2 tahun, inilah yang dipegangi oleh jumhur ulama.

(43)

b. Kadar susuan sebanyak 5 kali menyusui, karena apabila kurang dari itu belum menyebabkan pertumbuhan.

c. Kemurnian air susu, dalam pengertian tidak bercampur dengan air susu lain atau zat lain.

d. Suami sebagai sebab adanya susu. Jumhur ulama berpendapat bahwa susu yang itu dari perempuan yang sudah menikah, karena apabila susu itu dari perempuan yang berzina, maka tidak menyebabkan keharaman.

Apabila syarat-syarat tersebut di atas telah terpenuhi, maka diharamkan bagi seseorang menikah dengan perempuan-perempuan yang disebutkan di bawah ini: a. Ibu susuan b. Anak susuan c. Saudara susuan d. Paman susuan e. Bibi susuan

f. Anak saudara laki dan saudara perempuan susuan. 2. Mahram Ghairu Muabbad

Mahram ghairu muabbad ialah larangan menikah bagi laki-laki dengan seorang perempuan yang bersifat sementara yang disebabkan oleh hal tertentu; bila hal tersebut sudah tidak ada, maka larangan itu tidak berlaku lagi. Adapun yang masuk dalam golongan ini adalah:

(44)

Bila dua perempuan itu dinikahi sekaligus dalam satu akad, maka pernikahan dengan kedua adalah batal, sedangkan bila pernikahan dalam waktu yang berurutan, maka pernikahan pertama dihitung sah dan pernikahan kedua batal.

b. Poligami di luar batas

Hukum Islam sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab fiqh memberikan perluang bagi laki-laki untuk memiliki istri lebih dari satu orang sampai batas tiga orang, sedangkan apabila lebih dari itu adalah tidak dibolehkan.

c. Larangan karena ikatan perkawinan

Seorang perempuan yang masih terikat perkawinan dengan laki-laki lain tidak boleh melangsungkan perkawinan.

d. Larangan karena talak tiga

Bagi perempuan yang telah dijatuhkan talak tiga tidak boleh lagi menikah dengan mantan suaminya, kecuali setelah ia menikah dengan laki-laki lain dan telah dijatuhkan talaknya, dan habis masa iddahnya dengan laki-laki tersebut. Hal ini tergambar dalam firman Allah surah al-Baqarah ayat 230:

نِاَف

ًَُل ُلِّذَر بَلَّف بٍََقَلَّط

ۥ

ۡعَث ۢهِم

ُيَسۡيَغ بًجََۡش َخِكىَر ٰىَزَد ُد

ۗۥ

نِاَف

َدَُدُد بَميِقُي نَأ ٓبَىَظ نِئ ٓبَعَجاَسَزَي نَأ ٓبَمٍِۡيَلَّع َحبَىُج بَلَّف بٍََقَلَّط

ٱ

ًَِۗلّل

ُدَُدُد َكۡلِّرََ

ٱ

ًَِلّل

َنُُمَلّۡعَي مَُۡقِل بٍَُىِيَجُي

٠٣٢

:حسقجلا (

032

)

Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami

(45)

pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.”(al-Baqarah: 230)

e. Larangan karena ihram

Larangan menikahi seorang permpuan yang sedang ihram berdasarkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh Muslim:

Artinya: “Dari Utsman Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Orang yang sedang

berihram tidak boleh menikah dan menikahkan." Riwayat Muslim.33

Namun dalam hal perkawinan perempuan yang sedang ihram ini kalangan Hanafiyah berbeda pendapat dengan kebanyakan ulama, yang menyatakan bahwa perkawinan itu tetap sah, berdasarkan kepada hadits dari Ibnu Abbas yang menjelaskan nabi telah menikahi Maimunah dalam keadaan ihram, namun sebagain ulama mengatakan bahwa nabi menikah itu sudah tidak dalam keadaan ihram lagi.

Aritnya: “Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menikahi Maimunah ketika beliau sedang ihram. Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim dari Maimunah sendiri:

33Muhammad Ibnu Ismail al-Amir al-Shan’any, Subulus Salam, juz 6, (Jeddah: Dar Ibnu

(46)

Bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menikahinya ketika beliau

telah lepas dari ihram”34

f. Larangan menikah karena perbedaan Agama

Larangan menikah ini tergambar dalam firmah Allah dalam surah al-Baqarah ayat 221:

بَلََ

ْاُُذِكىَر

ٱ

ِذَٰكِسۡشُمۡل

َۚهِمۡإُي ٰىَزَد

...

:حسقجلا(

332

)

Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman....” (al-Baqarah: 221)

g. Larangan menikahi bekas istri yang diputus perkawinannya karena sumpah li‟an.

Perjelasan larangan perkawinan ini dapat dilihat dalam Kompilasi Hukum Islam sebanyak enam pasal, dimulai dari pasal 39 sampai pasal 44. Penulis tidak akan menjelaskan lagi menurut KHI, karena secara prinsip tidak terjadi perbedaan yang signifikan.

E. Tujuan Perkawinan

Perkawinan disyari’atkan tentunya mempunyai tujuan yang sangat mulia. Nikah disyariatkan Allah seumur dengan perjalanan sejarah manusia. Sejak Nabi Adam dan Siti Hawa, nikah sudah disyariatkan. Pernikahan Nabi Adam dan Hawa di surga adalah ajaran pernikahan pertama dalam Islam.

Secara medis (kedokteran), pernikahan dapat memberikan dampak positif bagi kesehatan. Sebab, sperma bisa keluar secara normal. Bila sprema lama tidak

34

(47)

keluar maka akan berdampak negatif terhadap kesehatan manusia.35 Karena prilaku seksual yang normal dapat merupakan keseimbangan antara “motor erotik” yang mendorong hasrat untuk aktifitas seksual, dan suatu “rem seksual” yang menjaga keinginan tersebut tetap terkendali. Apabila sinyal “motor erotik” ini tidak ada pemenuhannya dapat mengakibatkan kelainan libido yang menyebabkan distress, maupun kesulitan berhubungan dengan orang lain.36

Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga; sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan bathin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan bathinnya, sehingga timbullah kebahagiaan.37

Sejalan dengan itu dalam Kompilasi Hukum Islam sangat jelas disebutkan dalam pasal 3 yang berbunyi: “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.38

Dari hal itulah tujuan pernikahan dapat disimpulkan kedalam empat point besar, yaitu:

1. Menenteramkan Jiwa

35Rahman Syakur, Fikih Kita di Masyarakat, antara Teori dan Praktek, (Pasuruan:

Pustaka Pesantren Sidogiri, tt), h 83

36

Linda J. Heffner dan Danny J. Sechust, At a Glance Sistem Reproduksi, edisi kedua, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), h. 74

37Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h. 22

38Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa : (1) penerapan model pembelajaran Tutor Sebaya (Peer Tutoring) dapat meningkatkan keaktifan belajar siswa pada

SERTIFIKAT HASIL PENGUJIAN Nomor Seri : 598-SL/|V/2013 Tanggal Penerimaan Tanggal Sampling ldentitas Customer Alamat Jenis Contoh Jumlah Contoh Lokasi Contoh Kode

Hasil pengamatan sementara pada Rumah Sakit Ibu Dan Anak Aminah Kota Blitar, bahwa pemimpin di rumah sakit ini kurang memberikan instruksi yang sangat dibutuhkan oleh para

Sebelum peneliti melaporkan hasil penelitian tentang Konsep Jihad dalam Kitab Minha>jut T{a>libi>n karya Imam Nawawi ini, akan dikemukakan beberapa penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh latihan rocket jump terhadap explosive power otot tungkai pada tim bola voli putra SMA Negeri 2 Rambah

Faktor Tidak Memilih Jokowi 11,0 7,3 1,4 1,6 1,6 1,9 1,9 2,1 2,6 3,1 3,5 3,8 4,0 4,5 6,4 7,3 8,5 12,0 15,6 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0 Tidak Tahu Lainnya Sudah cukup hanya sampai

emang kenalnya dari tempat dugem sih, tapi kadang kita meskipun nggak lagi dugem masih tetep komunikasi kok, kadang juga nongkrong bareng trus lagi kalo lagi butuh

Bappeda Provinsi Jawa Barat 14.. No Tujuan Sasaran Indikator Kinerja Satuan Target Tahun 2016 2) Meningkatnya konsistensi pelaksanaan pembangunan terhadap rencana