Rumput laut merupakan salah satu komoditi sub-sektor perikanan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi karena menghasilkan alginat, agar-agar dan karaginan. Alginat, agar-agar dan karaginan mempunyai tingkat kegunaan tinggi dalam berbagai bidang, seperti industri makanan, farmasi, dan kosmetik. Seiring dengan berkembangnya industri tersebut, menyebabkan permintaan rumput laut terus meningkat baik untuk keperluan dalam negeri maupun ekspor.
Secara ekonomi rumput laut dapat memberikan sumbangan devisa bagi negara dan meningkatkan pendapatan nasional. Di samping itu budidaya rumput laut ternyata mampu mengubah tingkat sosial-ekonomi masyarakat pantai dan meningkatkan pendapatan serta dapat melindungi sumberdaya pesisir melalui pengalihan kegiatan yang dapat merusak lingkungan misalnya pengambilan
karang dan penggunaan bahan peledak untuk penangkapan ikan (Madeali et al.
1999).
Perairan Indonesia memiliki sumberdaya plasma nutfah rumput laut kurang lebih 555 jenis (Basmal 2001). Beberapa jenis rumput laut tersebut telah mampu dikembangkan untuk dimanfaatkan dalam berbagai bidang industri.
Rumput laut yang dikembangkan di Kabupaten Bantaeng adalah jenis K.alvarezii.
Jenis ini mempunyai nilai ekonomis penting karena merupakan penghasil karaginan. Dalam dunia industri dan perdagangan, karaginan mempunyai manfaat yang sama dengan agar-agar dan alginat, yakni digunakan sebagai bahan baku
untuk industri farmasi, kosmetik, makanan dan lain-lain (Mubarak et al. 1990).
2.3.1 Deskripsi Kappaphycus alvarezii
Menurut Doty (1985), K.alvarezii merupakan salah satu jenis rumput laut
merah (Rhodophyceae) dan berubah nama menjadi K.alvarezii karena karaginan
yang dihasilkan termasuk fraksi kappa-karaginan. Maka jenis ini secara taksonomi
disebut K.alvarezii . Nama daerah ‘cottonii’ umumnya lebih dikenal dan biasa
dipakai dalam dunia perdagangan nasional maupun internasional. Klasifikasi
Kelas : Rhodophyceae Ordo : Gigartinales
Famili : Solieracea
Genus : Eucheuma
Species : Kappaphycus alvarezii (Doty)
Ciri fisik K.alvarezii adalah mempunyai tallus silindris, permukaan licin,
cartilogeneus. Keadaan warna tidak selalu tetap, kadang-kadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah. Perubahan warna sering terjadi hanya karena faktor lingkungan. Kejadian ini merupakan suatu proses adaptasi kromatik yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan. Duri- duri pada tallus runcing memanjang agak jarang-jarang dan tidak bersusun melingkari tallus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama keluar saling berdekatan ke daerah basal (pangkal). Tumbuh melekat ke substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh dengan membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus mengarah ke arah
datangnya sinar matahari (Atmadja et al. 1996) (Gambar 3). Rumput laut
bereproduksi dengan tiga cara, yaitu: vegetatif, generatif dan pembelahan sel. Berbagai faktor lingkungan sangat berpengaruh dalam proses reproduksi rumput laut seperti suhu, salinitas, cahaya, arus, dan unsur hara (Departemen Pertanian 2001).
2.3.2 Kondisi dan Persyaratan Tumbuh Rumput Laut
Lokasi yang sesuai dengan persyaratan tumbuh merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan suatu budidaya rumput laut. Faktor- faktor lainnya adalah teknis budidaya atau penanaman, bibit unggul, sosial ekonomi dan pemasaran. Wilayah perairan pesisir Kabupaten Bantaeng, secara umum dapat dikatakan cukup memenuhi syarat untuk pertumbuhan rumput laut, walaupun berhadapan langsung dengan Laut Flores sehingga pada bulan Desember-Februari ombak besar. Hal tersebut terbukti dengan semakin
berkembangnya usaha rumput laut di wilayah tersebut. Pertumbuhan K.alvarezii
membutuhkan kondisi perairan seperti tertera pada Tabel 1.
Tabel 1 Kondisi dan persyaratan tumbuh K.alvarezii
No. Parameter Kondisi/Persyaratan Tumbuh
1. Kec. Arus (m/det.) 0.2-0.3
2. Substrat dasar Pasir, pecahan karang
3. Salinitas (‰) 28-34 4. Keterlindungan Terlindung 5. Tinggi gelombang (m) 0.20-0.30 6. Suhu (0C) 28-30 7. Kecerahan (%) 80-100 8. Derajat keasaman 7.5-8.5 9. Kedalaman (m) 2-10
Sumber: Modifikasi dari Puslitbangkan (1991); Sulistijo (1996); Aslam (1998); FAO (2008).
2.3.3 Metode Budidaya Rumput Laut
Di dalam teknik budidaya ada dua hal yang perlu diperhatikan. yaitu pemilihan bibit dan metoda budidaya. Dikenal lima metode budidaya rumput laut,
yaitu: metode lepas dasar, metode rakit apung, metode long line, metode jalur dan
metode keranjang (kantung) (Direktorat Produksi Dirjen Perikanan Budidaya 2006). Penerapan metode tersebut harus disesuaikan dengan kondisi perairan dimana rumput laut akan dibudidayakan. Di Kabupaten Bantaeng petani rumput
biofisik perairan serta biaya konstruksinya lebih murah bila dibandingkan dengan
metode lainnya. Metode long line menggunakan tali panjang yang dibentangkan,
pada kedua ujungnya diberi jangkar dan pelampung besar, setiap 25 m diberi
pelampung utama yang berupa drum plastik/styrofoam.
Aji dan Murdjani (1986) menyebutkan bahwa dengan sistem pemeliharaan yang baik untuk budidaya tambak dapat dicapai produksi sebanyak 1 000 sampai dengan 1 500 kg berat kering/ha/panen atau sekitar 6-9 ton/ha/tahun. Untuk
budidaya dengan sistem rakit dapat mencapai produksi sekitar 2 kg/m2/tahun.
Sedangkan untuk metode long line, rumput laut yang dipanen pada umur 45 hari
menghasilkan rumput laut basah antara 25 600 kg-51 200 kg/ha atau setara dengan 2 800-5 600 kg/ha rumput laut kering (Direktorat Produksi Dirjen Perikanan Budidaya 2006).
2.3.4 Potensi dan Permasalahan Pengembangan Rumput Laut
Secara umum ada beberapa permasalahan pengembangan rumput laut di Indonesia, antara lain: 1) sumberdaya manusia yang tersedia walaupun dalam jumlah cukup namun dalam hal mutu masih relatif rendah akibatnya rumput laut yang dihasilkan, produktivitas dan kualitasnya rendah; 2) belum menguasai teknologi untuk mengolah rumput laut menjadi karaginan agar bisa memperoleh nilai tambah; dan 3) petani rumput laut umumnya kesulitan dalam hal permodalan karena belum tersentuh oleh lembaga keuangan yang ada sehingga kesulitan dalam mengembangkan usahanya.
Disisi lain, Indonesia sangat berpeluang untuk mengembangkan rumput laut karena didukung oleh potensi kawasan yang sesuai untuk budidaya hampir di seluruh wilayah pesisir Indonesia. Gambar 4 memperlihatkan total luas lahan perairan yang potensial dapat dimanfaatkan untuk usaha budidaya rumput laut
jenis K.alvarezii seluas 1 471 532 ha (Ma’ruf 2010). Bahkan Master Plan
Budidaya Laut tahun 2004 (Nurdjana 2006) menyatakan bahwa potensi indikatif mencapai 4 720 000 ha dan potensi efektif 2 350 000 ha. Kemudian, sinar matahari yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tersedia sepanjang tahun dan sumberdaya manusia yaitu nelayan juga cukup tersedia, maka Indonesia
berpotensi besar untuk menimba untung dari bisnis ini. Proyeksi pengembangan rumput Laut 2006-2009 adalah sebagai berikut (Tabel 2).
Sulawesi Selatan memiliki potensi budidaya laut sekitar 600 500 Ha. Dari potensi tersebut sekitar 250 000 Ha dapat dimanfaatkan menjadi usaha budidaya rumput laut dengan prediksi produksi mencapai 1 250 000 ton berat kering/tahun
(Anonim 2004). Jenis K.alvarezii merupakan salah satu komoditas ”unggulan
perikanan” Sulawesi Selatan yang cenderung mengalami peningkatan produksi dan volume ekspor. Pada tahun 2003 volume ekspor mencapai 15 339 ton dengan nilai US$ 5.7 juta dan mampu menyerap tenaga kerja yang cukup besar pada sektor produksi, pengolahan dan pemasaran.
Gambar 4 Kawasan yang potensial untuk budidaya rumput laut K.alvarezii di
Indonesia (Sumber gambar: Ma’ruf 2010).
Kabupaten Bantaeng sebagai salah satu produsen rumput laut di Provinsi Sulawesi Selatan mempunyai potensi lahan sekitar 6 000 ha dan sudah dikelola seluas 1 965 ha. Adapun produksi rumput laut yang dihasilkan antara 1 000-1 500 kg/ha/siklus berat kering pada musim baik (Maret-Juli) dan dari segi kualitas, rendemen yang dihasilkan berkisar 25-30% (Subdiskan Bantaeng 2006).
Tabel 2 Proyeksi pengembangan rumput laut tahun 2006-2009 No Parameter Tahun 2006 2007 2008 2009 1 Produksi (ton) 1 120 010 1 343 696 1 611 911 1 900 000 - Gracillaria sp. 235 800 282 880 339 360 400 000 - K.alvarezii. 884 210 1 060 816 1 272 631 1 500 000
2 Luas lahan (ha) 18 220 21 453 25 336 29 283
- Pengembangan Gracillaria sp. 5 895 7 072 8 484 10 000
- Pengembangan K.alvarezii. 8 842 10 608 12 726 15 000
- Tambahan Pengembangan
K.alvarezii. 3 483 3 773 4 126 4 283
3 Pengembangan Kebun Bibit
Rumput Laut 1 474 1 767 2 121 2 500
- Gracillaria sp. 590 707 848 1 000
- K.alvarezii. 884 1 060 1 273 1 500
4 Investasi dan Modal Kerja 46 231 54 747 65 662 70 484
- Gracillaria sp. (Rp. Juta) 1 912 1 765 2 118 2 274
- K.alvarezii. (Rp. Juta) 44 319 52 982 63 544 68 210
5 Kebutuhan Mesin Pre-Processing
(unit) 88 106 127 150
6 Tenaga kerja (Orang) 150 315 180 336 216 342 255 000
Sumber: Nurdjana 2006.
2.3.5 Ketersediaan dan Permintaan Rumput Laut
Indonesia merupakan produsen rumput laut K.alvarezii terbesar ke dua di
dunia setelah Filipina (Ma’ruf 2010). Peningkatan produksi setiap tahun sangat signifikan. Pada tahun 2002 produksi Indonesia baru 25 700 ton, merupakan 25 %
dari produksi Filipina tetapi pada tahun 2007 produksi K.alvarezii Indonesia
sudah hampir menyamai jumlah produksi Filipina (Gambar 5 dan Lampiran 1). Produk rumput laut Indonesia mayoritas diekspor dalam bentuk kering tanpa olahan lebih lanjut. Padahal beberapa pabrik pengolahan di dalam negeri masih kekurangan bahan baku dan kebutuhan Indonesia terhadap produk olahan rumput laut baik karaginan, alginat maupun agar-agar sangat tinggi (DKP 2006) Kebutuhan karaginan untuk beberapa industri di Indonesia pada tahun 2002 adalah sebesar 1 864 ton dan baru sebagian kecil (740 ton) yang bisa dipasok oleh industri pengolahan karaginan dalam negeri. Sisanya diimpor dari luar negeri (DKP 2006). Tingginya pemanfaatan karaginan menyebabkan permintaan terhadap rumput laut juga cenderung meningkat setiap tahun (Tabel 3)
Gambar 4 Produsen rumput laut (K.alvarezii) tahun 2002-2007
Gambar 5 Produsen dan produksi rumput laut dunia Tahun 2002-2007.
Tabel 3 Perkembangan produksi, volume ekspor dan nilai ekspor rumput laut Indonesia Tahun 2001-2004
No. Tahun Produksi (Ton) Volume Ekspor (Ton) Nilai Ekspor (US$ 1000) 1. 2001 212 478 27 874 17 230 2. 2002 223 080 28 560 17 230 3. 2003 231 927 40 162 20 511 4. 2004 410 570 51 011 25 296 Sumber: Nurdjana 2006.
Potensi lahan budidaya untuk lingkup Provinsi Sulawesi Selatan ± 600 500 Ha, dari potensi tersebut sekitar 250 000 Ha dapat dimanfaatkan menjadi usaha budidaya rumput laut dengan prediksi produksi mencapai 1 250 000 ton berat kering/tahun (Dinas Perikanan dan Kelautan Sulsel 2003). Pemanfaatan lahan di Sulawesi Selatan sampai saat ini masih kurang dari 50% dengan produksi pada tahun 2003 mencapai 21 581 ton kering atau baru 20% dari produksi nasional.
Produksi dan luas lahan Kabupaten Bantaeng sejak tahun 2001 – 2008 tertera
pada Tabel 4. 0 20000 40000 60000 80000 100000 120000 2002 2003 2004 2005 2006 2007 96,120 94,960 102,820 96,600 93,00092,700 25,700 36,150 45,000 62,300 86,000 92,000
P
roduk
si
(T
on)
Tahun Filipina Indonesia Malaysia Afrika Timur China Vietnam IndiaTabel 4 Produksi dan luas lahan budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng Tahun 2001-2008
No. Tahun Produksi (ton) Luas Lahan (ha)
1 2001 120.10 505.20 2 2002 360.50 885.20 3 2003 720.40 1 875.00 4 2004 999.40 1 952.00 5 2005 1 395.00 1 965.00 6 2006 3 521.95 2 377.00 7 2007 5 700.25 3 102.00 8 2008 7 677.55 3 792.00
(Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bantaeng 2009). 2.4 Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut
Kesesuaian lahan merupakan kecocokan suatu lahan untuk tujuan
penggunaan tertentu, melalui penentuan nilai (kelas) lahan serta pola tata guna lahan yang dihubungkan dengan potensi wilayahnya, sehingga dapat diusahakan penggunaan lahan yang lebih terarah berikut usaha pemeliharaan kelestariannya (Hardjowigeno 2001). Penilaian kesesuaian lahan merupakan suatu penilaian sistematik dari lahan dan menggolong-golongkannya ke dalam kategori berdasarkan persamaan sifat atau kualitas lahan yang mempengaruhi kesesuaian lahan bagi suatu usaha atau penggunaan tertentu (Hardjowigeno 2001). Proses penilaian kesesuaian lahan budidaya rumput laut adalah membandingkan antara syarat-syarat penggunaan lahan pesisir bagi peruntukan budidaya rumput laut dengan kualitas lahan pesisir. Oleh karena itu, perlu dijelaskan syarat-syarat penggunaan lahan pesisir bagi peruntukan budidaya rumput laut. Syarat-syarat penggunaan lahan tersebut kadang-kadang memiliki parameter dengan nilai yang berbeda dan tergantung pada letak geografis (Diadaptasi dari FAO 1976).
Pengembangan wilayah pesisir dengan sasaran penentuan kesesuaian lahan untuk kegiatan budidaya rumput laut, klasifikasi kesesuaian lahannya ditujukan untuk mengurangi atau mencegah berbagai dampak negatif yang mungkin ditimbulkan, serta menjamin kegiatan budidaya rumput laut tersebut dapat berlangsung secara optimal, terpadu dan berkelanjutan, ditinjau secara ekologis, ekonomis, sosial, teknologi dan kelembagaan.
Langkah awal yang harus diperhatikan untuk memulai budidaya rumput laut adalah pemilihan lokasi yang sesuai, terutama kesesuaian dari dimensi ekologi. Akan tetapi menurut Aji dan Murdjani (1986), sangat sulit untuk menetapkan batas dari masing-masing faktor ekologi yang dibutuhkan bagi pertumbuhan rumput laut yang optimal. Karena faktor-faktor ekologis ini sangat bervariasi dari suatu daerah dengan daerah lain. Faktor-faktor ekologi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1) Terdapat gerakan air yang berbentuk arus. Arus air berperan dalam membawa
nutrien yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan rumput laut dan membersihkan rumput laut dari kotoran yang menempel.
2) Perairan terlindung dari tiupan angin dan ombak yang terlalu keras.
3) Airnya jernih dengan kecerahan yang tinggi. Hal ini berhubungan dengan
kebutuhan terhadap sinar matahari untuk proses fotosintesis bagi pertumbuhan rumput laut.
4) Pada saat surut terendah, masih tergenang air dengan kedalaman 30-60 cm
agar rumput laut tidak mengalami kekeringan.
5) Dasar perairan terdiri dari pasir dan pecahan karang namun tidak ada endapan
dan kotoran.
6) Tidak terdapat hewan-hewan pemangsa (ikan-ikan herbivora, penyu dan bulu
babi).
7) Terdapat bentos, teripang, kerang-kerangan dan lain-lain, yang tumbuh
dengan baik.
8) Perubahan kadar garam tidak telalu besar.
9) Kaya akan nutrien.
10) Derajat keasaman air antara netral sampai agak basa (pH 7-8).
11) Bebas dari aliran bahan pencemar.
Selain kesesuaian dari dimensi ekologi, penting juga diperhatikan kesesuaian dari dimensi lingkungan sosial ekonomi agar usaha rumput laut bisa optimal dan berkelanjutan. Adapun dimensi sosial ekonomi yang harus diperhatikan (Deptan DKI, 2001), adalah sebagai berikut:
1) lokasi tersebut tidak termasuk dalam wilayah jalur pelayaran lalu lintas
2) lokasi tersebut tidak menjadi sengketa dengan kegunaan usaha lain.
3) tersedia banyak tenaga kerja karena usaha budidaya rumput laut
merupakan usaha yang padat karya.
4) Mudah terjangkau dengan alat transportasi.
Pemilihan lahan yang tidak sesuai akan berdampak pada berbagai dimensi yang saling terkait, yakni: dari dimensi ekonomi akan menyebabkan bertambahnya kebutuhan modal dan tingginya biaya operasional; dari dimensi ekologi, kualitas dan produktivitas rumput laut yang dihasilkan rendah dan kemungkinan akan terjadi degradasi lingkungan; dari dimensi kelembagaan, tersedianya lembaga yang dapat membantu petani rumput laut dalam hal permodalan, pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, informasi pasar dan lain- lain, akan berdampak terhadap pemanfaatan dan pengelolaan rumput laut yang berkelanjutan.