• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Apa saja faktor penyebab pendiskriminasian dan pengeksploitasian yang berujung pada viktimisasi struktural yang dialami oleh para buruh outsourcing pada Perusahaan X di Kecamatan Mandau ?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penilitian Tujuan Penelitian :

a. Menganalisis apa saja pendiskriminasian dan pengeksploitasian yang berujung pada viktimisasi struktural yang di alami oleh para buruh outsourcing pada salah satu Perusahaan X di Kecamatan Mandau.

Manfaat Penelitian ini adalah : a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis serta dapat menerapkan ilmu yang penulis peroleh dibangku perkuliahan khususnya mengenai analisis kriminologi terhadap viktimisasi struktural buruh outsourcing.

b. Manfaat Praktis

Dengan mengetahuinya pula pemerintah dapat mengambil sikap terkait upaya untuk meminimalisir dan mengantisipasi atas pendiskriminasian dan pengeksploitasi yang berujung pada viktimiasasi struktural terhadap buruh Outsourcing khususnya di daerah Riau.

c. Manfaat Akademis

Dapat dijadikan sebagai literatur bagi rekan-rekan mahasiswa dan mahasiswi yang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai penelitian ini.

x

BAB II

STUDI KEPUSTAKAAN

2.1 Studi Kepustakaan

Sebagai acuan dalam penelitian maka penulis mengemukakan beberapa konsep dan teori pendukung untuk membantu penulis menelaah masalah yang dikaji.

2.1.1 Kejahatan dalam Kriminologi

Secara semantik, kata kriminologi (criminology) dalam Bahasa Inggris, (kriminologie) dalam Bahasa Belanda, berasal dari dua kata Latin yaitu “crimen”

dan “logos”. Crimen berarti kejahatan, dan logos berarti ilmu. Dengan demikian secara harfiah kriminologi berarti ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan (bukan ilmu kejahatan/ilmu menjadi penjahat). Kata kriminologi ini untuk pertama kalinya dipergunakan pada akhir abad ke 19 oleh seorang sarjana antropologi berbangsa Perancis yaitu P.Topinard (Mustofa, 2010 : 3).

Kriminologi merupakan disiplin ilmu yang berbasiskan sosiologi.

Pengertian kejahatan menurut yuridis berbeda dengan pengertian kejahatan menurut kriminologi. Dengan pendefenisian yang khusus akan membawa implikasi ilmiah yang khusus pula, yakni syarat-syarat untuk mempelajari kejahatan dan penjahat harus sesuai dengan tradisi ilmiah sosiologi (Mustofa, 2010 : 22).

Mustofa mengelompokkan pengertian kejahatan sesuai dengan kriminologi yang sosiologis sebagai berikut :

a. Pola tingkah laku individu-individu, sekelompok individu maupun suatu organisasi yang terdapat di dalam masyarakat yang merugikan

12

masyarakat baik secara materi, fisik, maupun psikologis. Sebagian tingkah laku yang merugikan itu telah melalui suatu proses politik oleh lembaga legislatif yang kemudian dirumuskan secara yuridis dan ditetapkan sebagai pelanggaran hukum pidana sehingga diberikan sanksi pidana kepada pelakunya yang telah melanggar.

b. Pola tingkah laku individu-individu, sekelompok individu maupun suatu organisasi dalam masyarakat yang bertentangan dengan moral di suatu kalangan masyarakat, kemudian masyarakat memberikan reaksi non formal kepada pelakunya.

Pola tingkah laku kejahatan atau pola tingkah laku penyimpangan yang bermakna sosiologis menurut Manheim (1973:11) adalah tingkah laku yang dipertanyakan selalu dijumpai di dalam kehidupan masyarakat yang bertentangan dengan aturan-aturan di kalangan masyarakat banyak. Artinya tindakan tersebut bertolak belakang dengan “conduct norms”, yaitu tindakan-tindakan yang dianggap tidak sesuai dengan norma-norma yang ada dalam suatu masyarakat walaupun tindakan itu tidak terdapat di dalam Undang-undang (Dermawan, 2013:2).

Menurut Durkheim (1996:6) Kejahatan sebagai gejala yang normal karena tidak mungkin ada masyarakat tanpa kejahatan. Rumusan tentang kenormalan kejahatan tersebut untuk meyakinkan kejahatan bukanlah kelainan sosial yang harus diberantas atau dimusnahkan. Kenormalan kejahatan yang sesungguhnya ialah keberadaan atau tingkat kemunculannya tidak melampaui tingkat yang memungkinkan masyarakat mampu untuk mengendalikannya (Mustofa, 2010:24).

14

Kejahatan sebagai gejala sosial adalah tindakan yang merugikan dan melanggar aturan di dalam masyarakat, dan sering terjadi di masyarakat sehingga membentuk suatu pola atau keteraturan (Mustofa, 2010:25). Dengan demikian, meskipun mungkin terjadi suatu tindakan yang merugikan masyarakat, namun apabila tindakan tersebut jarang terjadi atau tidak membentuk suatu pola atau keteraturan maka tindakan tersebut tidak relevan sebagai obyek penelitian kriminologi. Karena nilai kegunaan ilmiah sosiologisnya rendah sehingga akan sulit dibangun penjelasan teoritis yang konsisten (Mustofa, 2010:25).

Kejahatan adalah sisi negatif yang harus di netralkan kembali, dan para pelaku kejahatan perlu mendapatkan sanksi hukuman agar mereka dapat dinetralkan kembali perilakunya. Maknanya adalah kejahatan itu akan hadir pada setiap manusia. Saat manusia menghadirkan “potensi kejahatan” menjadi

“perilaku jahat” (merugikan orang lain) maka saat itu pula kejahatan tersebut harus mendapatkan sanksi tanpa harus memandang status sosial ekonomi pelaku kejahatan tersebut. Kejahatan sebagai perbuatan negatif maka tentunya mendapat reaksi dari masyarakat dimana kejahatan itu terjadi (Dermawan, 2013:3).

Jadi perbuatan yang terjadi di masyarakat yang tidak disukai oleh masyarakat merupakan suatu kejahatan. Pola tingkah laku yang dapat merugikan masyarakat secara fisik dan materi, ataupun yang telah dirumuskan ke dalam hukum maupun tidak. Jadi suatu perbuatan yang terjadi di masyarakat yang merugikan dalam ilmu kriminologi dikatakan sebagai kejahatan (Dermawan, 2013:3).

Dari sudut pandang sosiologi yang melihat kejahatan sebagai suatu perilaku menyimpang, kejahatan dimaknai sebagai perbuatan yang bersifat anti sosial yang tidak diinginkan dan harus ditentang oleh masyarakat (Dermawan, 2000:2-4).

Jadi, kriminologi tidak hanya ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan tetapi juga ilmu yang mempelajari sebab-musabab terjadinya suatu kejahatan. Kriminologi sangat luas karena kejahatan di dalam kriminologi tidak hanya merupakan kejahatan yang bersifat konvensional seperti pembunuhan, pencurian, pengeroyokan dll, tetapi juga kejahatan yang bersifat non fisik, tidak kasat mata, dan kriminologi juga mempelajari kejahatan yang terorganisir seperti korupsi, kejahatan organisasi seperti yakuza di jepang, dan kriminologi juga berbicara tentang kejahatan dunia maya (Cyber Crime) seperti penipuan melalui media situs belanja online.

Pada penelitian ini, kejahatan yang dimaksudkan adalah kejahatan yang bersifat non fisik, tidak kasat mata, tidak mengandung unsur kekerasan, berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama dan kebanyakan korban tidak merasa menjadi korban.

2.1.2 Konsep Viktimisasi Struktural

Menurut Ezzat Fattah (1991) dan dikutip oleh Ernesto Kiza (2006) viktimisasi struktural sebagai proses yang berhubungan dengan kekuasaan dan tatanan atau susunan sosial yang ada dalam suatu masyarakat. Viktimisasi struktural tidak mempunyai batasan dan yang paling sering terjadi dalam konteks viktimisasi struktural adalah penyalahgunaan kekuasaan. Viktimisasi struktural

16

juga memiliki banyak karakter diantaranya seperti perang, genosida, eksploitasi, diskriminasi, rasisme, sesksisme, ageism, dan classism (dalam Andari, 2011).

Negara dianggap sebagai pelaku dari kejahatan viktimisasi struktural karena negara merupakan pihak yang menguasai kekuasaan. Fattah (1991) juga berpendapat bahwa viktimisasi struktural berakar dari stratifikasi, nilai-nilai dan institusi-institusi yang ada dalam masyarakat merupakan proses penyebab munculnya korban sehingga viktimisasi struktural tidak hanya berbicara tentang korban kejahatan konvensional melainkan juga berbicara tentang korban kejahatan tanpa kekerasan karena penyalahgunaan kekuasaan dan tidak berfungsinya lembaga hukum sebagaimana mestinya (Sahetapy:1995).

Kemudian, tidak negara saja yang bisa melakukan viktimisasi struktural, menurut Kramer dan Michalowski, perusahaan juga berperan aktif karena dianggap dengan sengaja berlaku curang dalam kegiatan usaha karena adanya pembiaran dari institusi negara melakukan pencegahan (Green dan Tony:2004).

Viktimisasi struktural yang dimaksudkan dalam penelitian ini dilakukan oleh perusahaann karena banyaknya diskriminasi dan eksploitasi dari segi hak-hak dasar buruh outsourcing yang tidak dikeluarkan sebagaimana dengan ketentuan yang tertera di perjanjian kerja ataupun yang ada di UU Ketenagakerjaan dimana hal ini terjadi karena adanya pembiaran dari institusi negara dalam melakukan pencegahan seperti tidak bersungguh-sungguh dalam melakukan penindakan terhadap perusahaan yang melakukan berbagai kecurangan-kecurangan dan mengakibatkan buruh outsourcing mengalami kejahatan yang bersifat non fisik, tidak mengandung unsur kekerasan, tidak kasat mata, dan berlangsung dalam

waktu yang cukup lama, dimana sebagian buruh outsourcing tidak menyadari bahwa dirinya adalah korban kejahatan karena ilmu pengetahuan yang kurang dan selalu beranggapan bahwa kejahatan itu hanyalah berbentuk kejahatan konvensional seperti pembunuhan, pencurian, pengeroyokan, dll. Hal inilah yang menyebabkan buruh outsourcing dapat dikategorikan kedalam viktimisasi struktural.

2.1.3 Konsep Pekerja (Buruh)

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dibedakan antara tenaga kerja dengan pekerja atau buruh. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tenaga kerja adalah mereka yang potensial untuk bekerja, berarti bahwa mereka bisa saja belum bekerja. Sedangkan pekerja atau buruh adalah potensi yang sudah terikat hubungan pekerjaan dengan pengusaha dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Buruh sebagai orang yang tidak memiliki penghidupan yang lain, maka dengan terpaksa harus bekerja pada orang lain (majikan) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya karena kedudukan buruh sangat lah tidak bebas secara sosiologis dan majikanlah yang pada dasarnya membuat dan menentukan syarat-syarat kerja. Maka dari itu perlu adanya campur tangan negara atau pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum terhadap buruh karena kedudukan buruh lebih rendah daripada majikan. Ada dua kekuasaan yang selalu menjadi perhatian menurut Philipus yakni kekuasaan pemerintah dan kekuasaan ekonomi.

18

Perlindungan hukum sangat diperlukan mengingat kedudukan buruh yang lemah, dalam hubungan dengan kekuasaan pemerintah, perlindungan hukum bagi rakyat (yang diperintah) terhadap pemerintah (yang memerintah). Dalam hubungan dengan kekuasaan ekonomi, permasalahan perlindungan hukum adalah perlindungan bagi silemah ekonomi (buruh/pekerja) terhadap sikuat ekonomi (pengusaha/majikan). Perlindungan hukum bagi buruh sangat diperlukan mengingat kedudukannya yang lemah (Khairani, 2016:87).

Perlindungan terhadap hak pekerja bersumber pada Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yaitu tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Perlindungan hukum bagi pekerja pada dasarnya ditujukan untuk melindungi hak-haknya. Selain itu jaminan perlindungan atas pekerjaan, dituangkan pula dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1), yaitu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Pasal 28D ayat (2), yaitu setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Ketentuan tersebut, menunjukkan bahwa di Indonesia hak untuk bekerja telah memperoleh tempat yang penting dan dilindungi oleh UUD 1945 (Khairani, 2016:86).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 8 disebutkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.

Penjelasan yang dimaksud dengan “perlindungan” adalah termasuk pembelaan hak asasi manusia.

Uraian di atas telah jelas menyatakan bahwa perlindungan adalah pembelaan hak asasi manusia baik buruh tetap maupun buruh outsourcing, namun, pada realitanya tidak ada pembelaan atau perlindungan terhadap buruh-buruh outsourcing di perusahaan x yang ingin penulis teliti karena banyak nya terjadi penyimpangan perjanjian kerja yang telah berlangsung selama 6 tahun dan tidak ada pengawasan dan penindakan lebih jauh baik dari Lembaga Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Duri maupun Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Provinsi Riau yang merupakan tempat pengaduan para buruh dikarenakan kelemahan substansi Undang-Undang yang tidak mengatur ketentuan sanksi pidana menyangkut outsourcing apabila dilanggar oleh perusahaan terkait. Hal ini telah jelas menjadikan buruh sebagai viktimisasi struktural.

2.1.4 Konsep Outsourcing

Alih daya atau yang lebih dikenal dengan sebutan outsourcing adalah penyerahan wewenang dari suatu perusahaan kepada perusahaan lain untuk menjalankan sebagian atau seluruh proses fungsi usaha dengan menetapkan suatu target atau tujuan tertentu (Yasar, 2011:29).

Menurut Maurice F Greaver outsourcing adalah tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside provider), dimana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak kerjasama (Indrajit, dan Djokopranoto, 2003:2).

Eugene Garaventa mendefinisikan outsourcing adalah kegiatan untuk mencapai suatu tujuan seperti penghematan biaya maupun memperoleh keahlian khusus, mengurangi beban proses dengan cara melakukan perjanjian kontrak

20

kepada pihak lain (diluar perusahaan) dalam rangka menjalani sebagian fungsi, tugas dan juga layanan organisasi (Indrajit, dan Djokopranoto, 2003:2).

Menurut Elfing dan Baven alih daya atau outsourcing adalah aktivitas dimana supplier (pihak pemasok/vendor) menyediakan barang dan/atau layanan kepada buyer (pihak perusahaan) berdasarkan perjanjian yang telah disepakati (Indrajit, dan Djokopranoto, 2003:3).

Dalam pengertian umum, istilah outsourcing diartikan sebagai contract (work out) dengan menyerahkan sebagian kegiatan perusahaan kepada pihak lain yang ditentukan dalam perjanjian kerja/kontrak. UU No.13 Tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan pada Pasal 65 menyebutkan praktek outsourcing yang berbunyi :

(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.

(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;

c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung.

(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum.

(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(5) Perubahan dan atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan keputusan Menteri.

(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.

(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.

(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.

(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).

22

Dalam UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan secara eksplisit tidak disebutkan istilah outsourcing. Tetapi praktek outsourcing dimaksud dalam Undang-Undang ini dikenal dalam dua (2) bentuk yaitu, “pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh” (Libertus, 2008:1).

Jadi perusahaan outsourcing adalah perusahaan yang menyediakan jasa tenaga kerja yang meliputi pekerjaan yang akan ditempatkan pada perusahaan yang menginginkannya (Libertus, 2008:2). UU Ketenagakerjaan pada pasal 66 menyatakan hanya beberapa pekerjaan saja yang dapat di pindah tanggung jawabkan kepada perusahaan lain, dimana berbunyi :

(1) Pekerja dari perusahaan penyedia jasa pekerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;

b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59

dan atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditanda tangani oleh kedua belah pihak;

c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan

d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerjaan/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.

Yang dimaksud dengan kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi pada Pasal 66 ayat (1) antara lain yaitu “cleaning service, catering, security, jasa penunjang dipertambangan dan perminyakan, serta penyedia angkutan pekerja/buruh”. Maka dari itu apabila diluar kegiatan tersebut tetap menjadi kegiatan pokok perusahaan, apalagi jika berpengaruh langsung terhadap proses produksi. Pada perusahaan outsourcing yang ingin penulis teliti

24

mempunyai usaha di bidang jasa satuan pengamanan yang selanjutnya disebut

“security”.

Kemudian di bawah ini akan diuraikan alasan perusahaan-perusahaan pada umumnya melakukan outsourcing yaitu sebagai berikut :

1. Meningkatkan fokus perusahaan

Perusahaan dapat memusatkan diri pada masalah dan strategi utama dan umum, sementara pelaksanaan tugas sehari-hari yang kecil-kecil diserahkan pada pihak ketiga.

2. Membagi risiko

Outsourcing memungkinkan suatu pembagian risiko, yang akan memperingan dan memperkecil risiko perusahaan.

3. Adanya dana kapital

Outsourcing juga bermanfaat untuk mengurangi investasi dana kapital pada kegiatan non core. Sebagai ganti dari melakukan investasi di bidang kegiatan tersebut dengan cara mengontrakkan sesuai dengan kebutuhan yang di biayai dengan dana operasi bukan dana investasi.

Dengan demikian dana kapital dapat digunakan pada aktivitas yang lebih bersifat utama.

4. Memiliki dana segar

Outsourcing sering kali dapat dilakukan tidak hanya mengontrakkan aktivitas tertentu pada pihak ketiga, tetapi juga disertai dengan penyerahan/penjualan/penyewaan aset yang digunakan untuk melakukan aktivitas tertentu.

5. Menghemat biaya operasi

Keuntungan yang sangat taktis dalam outsourcing adalah memungkinkan untuk mengurangi dan mengendalikan biaya operasi.

Pengurangan biaya ini dapat memungkinkan diperoleh dari mitra outsourcing dengan bervariasi, seperti struktur biaya menjadi rendah.

6. Memperoleh sumber daya yang tidak dimiliki sendiri

Perusahaan perlu melakukan outsourcing untuk suatu aktivitas tertentu karena perusahaan tidak memiliki sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan aktivitas tersebut secara baik dan memadai. Sumber daya perusahaan termasuk permodalan, sumber daya manusia, dan fasilitas sarana prasarana.

7. Memecahkan masalah yang sulit dikendalikan atau dikelola

Outsourcing dapat juga digunakan untuk mengatasi pengelolaan hal atau mengawasi fungsi yang sulit dikendalikan (Indrajit, dan Djokopranoto, 2003:5-7).

2.2 Kajian Terdahulu

a. Review Jurnal dari Abdul Munir, Vol.1. No.1-15 Juni 2016. “Kapitalis Medan Regulasi Ketenaga Kerjaan : Sebuah Manifesto Perjuangan Bagi Kaum Buruh.

Penelitian ini menguraikan kebijakan ketenagakerjaan yang dirumuskan pemerintah melalui Undang-Undang Ketenagakerjaan lengkap dengan turunannya, ternyata menjadi permasalahan baru yang amat mendasar.

Melalui praktek outsourcing, secara dominan hubungan kerja bermuara

26

pada diskriminasi dan eksploitasi terhadap hak-hak dasar buruh oleh pengusaha, menyangkut : upah lembur, upah pokok, biaya perpanjangan kontrak, jamsostek serta larangan bergabung ke dalam serikat. Kemudian penelitian ini juga menyebutkan jika dilihat dari produk kebijakan ketenagakerjaan yang ada, terkesan juga tidak memberikan proteksi perlindungan terhadap hak-hak dasar buruh. Dan bukan hanya amanat UUD 1945 yang dilanggar melainkan regulasi UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 sendiri juga banyak terlanggar utamanya menyangkut tentang perlakuan hak dasar buruh. Alhasil, baik regulasi ketenagakerjaan yang secara konfrehensif telah mengakomodir segala macam konvenan ILO menyangkut tentang kebijakan perburuhan yang adil dan berimbang, ditambah pula dibentuknya perangkat struktur hukum seperti pengawas ketenagakerjaan yang bersifat independen menjadi sebatas formalitas belaka sekedar mengisi kelengkapan administrasi Negara dalam bidang ketenagakerjaan.

b. Review Jurnal dari Abdul Munir, Vol.9. No.1 Desember 2013. “Viktimisasi Struktural Terhadap Buruh Melalui Sistem Outsourcing (Studi Kasus Buruh Outsourcing PT (X) Yang Dipekerjakan Pada PT (Y) Di Kabupaten Serang)”.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian ini berusaha menguraikan dengan nyata bahwa praktek outsourcing benar-benar sebagai realita viktimisasi struktural dimana sistem yang ada menghendaki akan hal itu terjadi dikarenakan banyaknya kepentingan dari

berbagai pihak sehingga melatarbelakangi pemikiran tentang praktik ini adalah perwujudan dari bentuk penjajahan di era moderenisasi. Hal mana identik dengan temuan peneliti terhadap buruh outsourcing PT (X) yang di pekerjakan di PT (Y), menunjukkan bahwa esensi dari hubungan kerja yang melibatkan tiga pihak ini benar-benar merugikan buruh dan menguntungkan pihak perusahaan penyalur (PT.X) terlebih perusahaan pengguna (PT.Y). Kemudian juga disebabkan dari faktor regulasi dalam bentuk Undang-Undang dan Peraturan Menteri yang ada, kiranya sangat terbuka untuk keberagamana tafsir utamanya menyangkut batasan bidang kerja yang boleh atau tidak di outsourcingkan serta tiadanya ketentuan pidana menyangkut aturan outsourcing sekiranya dilanggar oleh perusahaan terkait sehingga hal ini yang mendasari pihak disnakertrans sebagai komponen struktur hukum ketenagakerjaan tidak bisa melakukan tindakan tegas atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pengusaha baik perusahaan pengguna terlebih-lebih penyalur.

c. Skripsi Fitri, 2017. “Implementasi Hubungan Kerja Dengan Sistem Outsourcing Pada PT. Berlian Inti Mekar Di Kecamatan Dayun Kabupaten Siak Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan”.

Penelitian ini menggunakan metode berdasarkan jenis dan sifat penelitian yaitu berdasarkan jenisnya tergolong ke dalam penelitian hukum empiris/sosiologis yang dilakukan secara observational research, dan bersifat deskriptif. Penelitian ini berusaha menguraikan implementasi

28

hubungan kerja dengan sistem outsourcing pada PT. Berlian Inti Mekar tidaklah tepat penerapannya berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan beberapa faktor diantaranya perbedaan kepentingan antara kedua belah pihak, baik pihak perusahaan pemberi kerja maupun penyedia tenaga kerja, kemudian faktor lainnya disebabkan karena rendahnya tingkat pemahaman Tenaga Kerja Bongkar Maut (TKBM) mengenai penerapan aturan yang telah ada sehingga hak-hak Tenaga Kerja Bongkar Maut

hubungan kerja dengan sistem outsourcing pada PT. Berlian Inti Mekar tidaklah tepat penerapannya berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan beberapa faktor diantaranya perbedaan kepentingan antara kedua belah pihak, baik pihak perusahaan pemberi kerja maupun penyedia tenaga kerja, kemudian faktor lainnya disebabkan karena rendahnya tingkat pemahaman Tenaga Kerja Bongkar Maut (TKBM) mengenai penerapan aturan yang telah ada sehingga hak-hak Tenaga Kerja Bongkar Maut

Dokumen terkait