• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

4. Ruptur Plak

2.1.5 ANGIN PEKTORIS TAK STABIL (Unstable Angina)

Di Amerika Serikat setiap tahun 1 juta psien dirawat di rumah sakit karena angina pectoris tak stabil ; dimana 6 sampai 8 persen kemudian mendapat serangan infark jantung yang tak fatal . Yang termasuk ke dalam kategori angina tak stabil yaituxvii :

1. Pasien dengan angina yang masih baru dalam 2 bulan, dimana angina cukup berat dan frekuensi cukup sering, lebih dari 3 kali per hari .

2. Pasien dengan angina yang makin bertambah berat, sebelumnya angina stabil , lalu serangan angina timbul lebih sering, dan lebih berat sakit dadanya.

3. Pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat

Menurut klassfikasi Braunwald , angina dibedakan berdasarkan beratnya serangan angina dan keadaan klinik .

Beratnya angina :

a. Kelas I : Angina yang berat untuk pertama kali , atau makin bertambah beratnya nyeri dada

b. Kelas II : Angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam 1 bulan, tapi taka da serangan angina dalam waktu 48 jam terakhir

c. Kelas III : Adanya serangan angina waktu istirahat dan terjadinya secara akut baik sekali atau lebih, dalam waktu 48 jam terakhir.

Keadaan Klinis :

a. Kelas A. Angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, infeksi lain atau febris

b. Kelas B . Angina tak stabil yang primer, tak ada factor ekstra kardiak. c. Kelas C. Angina yang timbul setelah serangan infark jantung .

Ruptur plak aterosklerosis dianggap penyebab terpenting UA , sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh darah coroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal.Plak aterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotic ( fibrotic

cap) . Plak yang tidak stabil terdiri dari inti yang banyak mengandung lemak dan

adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya rupture terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul pada dinding plak yang paling lemah karena adanya enzim protease yang dihasilkan makrofag dan secara enzimatik melemahkan dinding plakxviii.

Terjadinya rupture menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya thrombus. Bila thrombus menutup pembuluh darah 100% akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila thrombus tidak menyumbah 100% , dan hanya menimbulkan stenosis yang berakhir akan menyebabkan UA .Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai

peran penting pada angina tak stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh platelet berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasme. Spasme yang terlokalisir seperti pada angina juga dapat menyebabkan angina tak stabil. Adanya spasme seringkali terjadi pada plak yang tak stabil, dan mempunyai peran dalam pembentukan thrombus17.

Pada gambaran EKG untuk penderita UA didapati adanya depresi segmen ST yang baru menunjukkan kemungkinan adanya iskemia akut . Gelombang T negative juga salah satu tanda iskemia atau NSTEMI . Perubahan gelombang ST dan T yang non spesifik seperti depresi segmen ST kurang dari 0,5 mm dan gelombang T negative kurang dari 2 mm, tidak spesifik untuk iskemia .Perubahan EKG pada UA bersifat sementara dan masing-masing dapat terjadi sendiri-sendiri ataupun bersamaan. Perubahan tersebut timbul di saat serangan angina dan kembali ke gambaran normal atau awal setelah keluhan angina hilang dalam waktu 24 jam. Bila perubahan tersebut menetap setelah 24 jam atau terjadi evolusi gelombang Q, maka disebut sebagai IMA17.

2.1.6 INFARK MIOKARD AKUT TANPA ELEVASI ST

(NSTEMI)

Unstable Angina ( Angina Pektoris tak Stabil) dan Infark Miokard akut Tanpa elevasi ST (Non ST Elevation myocardial infarction / NSTEMI ) diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripin patofisiologi dan gambaran klinis sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan keduanya tidak berbeda . Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis UA menunjukkan adanya bukti nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker jantung17.

Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri dada, yang menjadi salah satu gejala yang paling sering didapatkan pada pasien . NSTEMI dapat disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi coroner. Trombosis akut pada

arteri coroner diawali dengan adanya rupture plak yang tak stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai inti lipid yang besar, densitas otot polos yang rendah,fibrous cap yang tipis dan konsentrasi factor jaringan yang tinggi.Inti lemak yang cenderung rupture mempunyai konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi . Pada lokasi rupture plak dapat dijumpai sel makrofag dan limfosit T yang menunjukkan adanya proses inflamasi . Sel –sel ini akan mengeluarkan sitokin proinflamasi seperti TNF α, dan IL -6 . Selanjutnya IL-6 akan merangsang pengeluaran hsCRP di hati17 .

Manifestasi klinis pada NSTEMI didapati nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadangkala di epigastrium dengan ciri – ciri seperti diperas, perasaan diikat, perasaan terbakar,nyeri tumpul , rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi presentasi gejala yang sering ditemukan pada NSTEMI. Analisis berdasarkan gambaran klinis menunjukkan bahwa mereka yang memiliki gejala dengan onset baru angina berat memiliki prognosis lebih baik dibandingkan dengan yang memiliki nyeri pada waktu istirahat.

Gambaran elektrokardiogram (EKG),secara spesifik berupa deviasi segmen ST merupakan hal penting yang menentukan resiko pada pasien. Menururt TIMI III Registry, adanya depresi segmen ST baru sebanyak 0,05 mV merupakan predictor outcome yang buruk . Kaul et al menunjukkan peningkatan resiko outcome yang buruk meningkat secara progresif dengan memberatnya depresi segmen ST, dan baik depresi segmen ST maupun perubahan troponinT keduanya memberikan tambahan informasi prognosis pasien dengan NSTEMI17 .

2.1.7 INFARK MIOKARD AKUT DENGAN ELEVASI ST

(STEMI)

Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) umumnya terjadi jika aliran darah coroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pad aplak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri coroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika thrombus arteri coroner

terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskularm dimana injuri ini dicetuskan oleh factor-faktor seperti merokok , hipertensi, dan akumulasi lipid17.

Pada sebagian besar kasus , infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, rupture atau ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik memicu trombogenesis, sehningga terjadi thrombus mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri coroner. Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red thrombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMi memberikan respons terhadap terpai trombolitik. Selanjutnya pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit ,yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2(vasokonstrikstor local yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti factor von Willebrand dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalent yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simulltan, menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi .

Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi thrombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri coroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh thrombus yang terdiri dari agregat rombosit dan fibrin. Pada kondisi yang jarang,STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri coroner yang disebabkan oleh emboli coroner, abnormalitas kongenital, spasme coroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.

Diagnosis STEMI ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST > 2mm, minimal pada 2 sadapan precordial yang berdampingan atau > 1mm pada 2 sadapan ekstremitas.

Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis .

Peningkatan nilai enzim diatas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis jantung ( infark miokard)

a. CKMB : meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam

b. cTn : ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I meningkat setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10 – 24 jam , dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5 - 10 hari

Pemeriksaan enzim Jantung yang lain yaitu :

a. Mioglobin : dideteksi setelah 1 jam terjadi infark dan mencapai puncak dalam 4-8 jam

b. Creatinin Kinase : Meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10- 36 jam dan kembali normal dalam 3- 4 hari

c. Lactic dehydrogenase (LDH) : meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari .

2.2 SGOT

Aminotransferase aspartate / transaminase oksaloasetat glutamate serum (AST/SGOT) adalah enzim mitokondria yang mengkatalisis reaksi transamninasi, merupakan enzim intrasel yang terdapat di jantung, hati , dan jaringan skelet konsentrasi sedang terdapat pada otot rangka, ginjal dan pankreasxix. Konsentrasi rendah terdapat dalam darah, kecuali terjadi cedera seluler , kemudian dalam jumlah banyak dilepaskan ke dalam sirkulasi. Enzim ini mengkatalisis reaksi reversible dari :

Apabila terjadi gangguan fungsi hati, enzim aminotransferase di dalam sel akan masuk ke dalam peredaran darah karena terjadi perubahan permeabilitas membran sel sehingga kadar enzim aminotransferase dalam darah akan meningkat. Dua macam enzim aminotransferase yang paling sering dihubungkan dengan kerusakan sel hati adalah aspartat aminotransferase (AST) yang juga disebut SGOT dan alanin aminotransferase (ALT) yang juga disebut SGPTxxi . SGOT juga merupakan enzim yang terlibat dalam glukoneogenesis

Nilai kadar SGOT normal yang dianut oleh laboratorium Patologi Klinik RSUP Haji Adam Malik Medan adalah 5-34 U/L .Kadar SGOT biasanya dibandingkan dengan kadar enzim jantung lainnya, seperti CK (creatin kinase), LDH (lactat dehydrogenase). Dalam kondisi normal enzim yang dihasilkan oleh sel hepar konsentrasinya rendah. Fungsi dari enzim -enzim hepar tersebut hanya sedikit yang diketahui .Kadar SGOT pada kejadian infark miokard akut meningkat mulai 8-12 jam setelah serangan nyeri dada, lalu mencapai puncak paling tinggi yaitu 2-10 kali dari nilai normal pada 18-36 jam setelah nyeri dada, dan menurun sampai nilai normal pada hari ke-3 sampai hari ke-4 . Pada penyakit hati, kadar serum akan meningkat 10 kali atau lebih, dan tetap demikian dalam waktu yang lamaxxii. Pemeriksaan kadar SGOT di RSUP Haji Adam Malik Medan menggunakan chemistry analyzer secara automation

2.2.2 Metode Pemeriksaan SGOT

Metode pemeriksaan SGOT berdasarkan IFCC (International Federation of Clinical Chemistry and Laboratory Medicine)

1. Alat dan Bahan

a. Photometer 4010

b. Sentrifuge

c. Mikropipet 200 μl, 100 μl

d. Tabung Reaksi

e. Reagen

Reagen yang digunakan terdiri dari reagen ASATdan ALAT. Reagen ASAT berisi antara lain:

L-aspartat 240 mmol/l MDH ( Malate dehyill'ogenase ) ≥ 600 u/l LDH (lactate dehyrogenase) ≥ 900u/l

reagen 2 : 2-oxoglutarate 12 mmol/l

NADH 0,8 mmol/l

Reagen ALAT yang berisi antara lain:

reagen 1 TRIS pH 7,15 100 mmol/l

L-alanine 500 mmol/l

LDH (lactate dehyrogenase ) ≥ 1700 u/l

reagen 2 2-oxoglutaI1e 15 mmol/l

NADH 0,18 mmol/l

2. Cara Kerja

a. Dicampurkan empat bagian reagen I dengan satu bagian reagen 2 (monoreagen).

b. Diambil 1 ml monoreagen, dimasukkan ke dalam tabung reaksi, inkubasi pada suhu 37°C minimal 1jam.

c. Ditambahkan serum/ sampel / serum normal sebanyak 0,1 ml.

d. Dikocok dan inkubasi dalam waterbath pada suhu 37°C selama 1 menit. e. Dibaca absorban sampel dengan photometer pada panjang gelombang 340

nm, swicth Filter K20 dan factor 1745.

f. Photometer secara otomatis mengulangi pembacaan kedua, ketiga, dan terakhir, hasil pembacaan yang digunakan adalah yang terakhir.Nilai absorb an serum normal yang diuji harus sesuai dengan kontrol kualitas internal yang direkomendasikan.

g. Pada saat pemeriksaan, suhu reagen dalam kuvet harns sesuai dengan yang dikehendaki, suhu harus dijagakonstan (±0,5°C) selama pemeriksaan. h. Hitung kadar SGOT dengan rumus :

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Sindroma Koroner Akut merupakan salah satu manifestasi klinis dari penyakit jantung koroner selain stable angina (angina stabil). Proses aterosklerosis dianggap menjadi penyebab utama munculnya sindroma ini,dengan sebagian besar kasus terjadi karena adanya gangguan dari lesi sebelumnya yang bersifat tidak parah. Namun apabila lesi ini sudah menyebabkan aterosklerosis dan menyumbat arteri koroner yang memasok darah dan oksigen ke sel-sel otot jantung maka dapat menghasilkan manifestasi klinis Sindroma Koroner Akut (SKA)i.Pada SKA untuk gejala klinis yang berkena dengan iskemik myocardial akut dan mencakup dari keadan klinis mulai dari UA (Unstable Angina) dan non-ST-segment elevation myocardial infarction dan non-ST-segment elevation myocardial infarction(STEMI)ii. Menurut Heart Disease and Stroke Statistics 2008 Update from the American Heart(AHA), 1,413,000 pasien rumah sakit di Amerika Serikat adalah pasien yang menderita ACS pada tahun 2005.Sekitar 80% dari kasus tersebut adalah UA atau non-ST-segment elevation myocardial infarction (NSTEMI), dan sekitar 20% adalah kasus dari ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI)iii.Sindroma Koroner Akut sendiri juga merupakan salah satu manifestasi klinis PJK (Penyakit Jantung Koroner). SKA terjadi ketika plak atherosclerotic pada arteri coroner menstimulasi agregasi platelet dan thrombus formation dimana thrombus formation ini akan menghambat aliran darah dan mencegah terjadinya myocardial perfusioniv.

Menurut WHO (World Health Organization) ,CVD(CardioVascular Disease) adalah penyebab kematian nomor 1 diseluruh dunia: banyak orang yang meninggal disebabkan oleh CVD dibandingkan dengan penyakit lain .Diperkirakan 17.5 juta orang meninggal dikarenakan CVD pada tahun 2012, mewakili 31% dari keseluruhan kematian di dunia.Dari kematian tersebut, diperkirakan 7.4 juta disebabkan oleh coronary heart disease dan 6.7 juta

disebabkan oleh stroke. Lebih dari 16 juta kematian dibawah umur 70 tahun disebabkan oleh penyakit tidak menular , 82% dari Negara dengan pemasukan rendah – sedang dan 32 % disebabkan oleh penyakit kardiovaskularv.Di Indonesia sendiri ,prevalensi PJK di Indonesia tahun 2013 sebesar 0,5% atau diperkirakan sekitar 883.447 orang, sedangkan,estimasi jumlah penderita penyakit jantung koroner terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Barat sebanyak 160.812 orang (0,5%), sedangkan Provinsi Maluku Utara memiliki jumlah penderita paling sedikit, yaitu sebanyak 1.436 orang (0,2%). Berdasarkan diagnosis/gejala, estimasi jumlah penderita penyakit jantung koroner terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Timur sebanyak 375.127 orang (1,3%), sedangkan jumlah penderita paling sedikit ditemukan di Provinsi Papua Barat, yaitu sebanyak 6.690 orang (1,2%)vi. Pada SKA terdapat 2 faktor resiko yaitu : Modifiable Risk Factor dan Nonmodifiable Risk Factor,yang termasuk Modifiable Risk Factor diabetes tipe 2, merokok, obesitas , hipertensi , dan stress. Sedangkan untuk Nonmodifiable Risk Factor adalah : umur , jenis kelamin, riwayat keluarga, ras dan etnikvii.Pada keadaan infark myocard,terjadi pelepasan enzim-enzim atau biomarker jantung , menurut American Heart Association definisi kasus untuk infark myocard

membutuhkan ―adequate set‖ dari biomarker yaitu 2 hasil yang sama dari satu marker setidaknya 6 jam . Enzim jantung yang dapat digunakan untuk mendeteksi Myocard Infarct adalah LDH , aspartate transaminase (Serum Glutamate Oxaloacetate Transaminase,SGOT), dan CK-MBviii.

SGOT umumnya dapat dijumpai pada hati dan jantung.Menurut Sobel and Shell (1972) pada pasien dengan serangan myocard infarct , aktivitas SGOT melewati batas normal dalam 8 sampai 12 jam dari onset nyeri dada, mencapai puncak elevasi 2-10 kali dalam 18 sampai 36 jam, dan menurun ke batas normal dalam 3 sampai 4 hari.SGOT akan meningkat berhubungan dengan berbagai penyakit , meskipun sering pada waktu enzim SGOT meningkat kontras dengan pasien yang tipikal dengan Myocard Infarct. Hepatic Kongesti , primary liver disease, skeletal muscle disorders, dan shock dapat berkontribusi pada peningkatan SGOT.Aktivitas peningkatan SGOT diikuti tachyaritmia pada lebih

dari 50% dari kasus ketika HR melebihi 140x/menit setidaknya 30 menit pada ketiadaan dari Myocard Infarctix.

Myocarditis dapat menyebabkan SGOT menjadi elevasi , pada pericarditis, SGOT yang mengalami elevasi kurang dari 15% dari pasien dan peningkatan tersebut dapat menggambarkan supepicardial injury.Berdasarkan penelitian oleh B. L. Chapman (1972) dengan meningkatnya kadar SGOT terdapat peningkatan insidens yaitu supraventricular aritmia,ventricular arrhythmia, complete heart block, bundle-branch block,semua derajat dari myocardial insufficiency,dan secondary cardiac arrest9.

Berdasarkan data diatas,dengan terjadinya peningkatan kadar SGOT pada penderita SKA, maka penulis tertarik untuk mengetahui kadar SGOT pada Penderita SKA.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Apakah ada perbedaan kadar SGOT pada penderita Sindroma Koroner Akut di RSUP H. Adam Malik tahun 2014 – 2015 ?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui perbedaan kadar SGOT pada penderita Sindroma Koroner Akut di RSUP H. Adam Malik pada tahun 2014-2015

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui kadar SGOT pada UA 2. Mengetahui kadar SGOT pada STEMI

3. Mengetahui kadar SGOT pada NSTEMI

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :

a. Sebagai sumbangan informasi terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran (IPTEKDOK)

b. Sebagai masukkan dan tambahan untuk mahasiswa yang akan melakukan penelitian terkait

c. Untuk peneliti dapat dijadikan pengalaman dalam membuat penelitian

d. Sebagai sumber informasi dan ilmu pengetahuan bagi masyarakat,

sehingga dapat mengatur pola hidup untuk menghindari serangan jantung yang merupakan manifestasi SKA

ABSTRAK

Sindroma Koroner Akut merupakan salah satu manifestasi klinis dari penyakit jantung koroner .Proses aterosklerosis dianggap menjadi penyebab utama munculnya sindroma ini,dengan sebagian besar kasus terjadi karena adanya gangguan dari lesi sebelumnya yang bersifat tidak parah. Namun apabila lesi ini sudah menyebabkan aterosklerosis dan menyumbat arteri koroner yang memasok darah dan oksigen ke sel-sel otot jantung maka dapat menghasilkan manifestasi klinis Sindroma Koroner Akut (SKA).Pada SKA untuk gejala klinis yang berkena dengan iskemik myocardial akut dan mencakup dari keadan klinis mulai dari UA(Unstable Angina)dan non-ST-segment elevation myocardial infarction dan ST-segment elevation myocardial infarction(STEMI). Menurut Heart Disease and Stroke Statistics 2008 Update from the American Heart(AHA),1,413,000 pasien rumah sakit di Amerika Serikat adalah pasien yang menderita ACS pada tahun 2005.Sekitar 80% dari kasus tersebut adalah UA atau non-ST-segment elevation myocardial infarction (NSTEMI), dan sekitar 20% adalah kasus dari ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI).SGOT umumnya dapat dijumpai pada hati dan jantung.Pada pasien dengan serangan myocard infarct , aktivitas SGOT melewati batas normal dalam 8 sampai 12 jam dari onset nyeri dada, mencapai puncak elevasi 2-10 kali dalam 18 sampai 36 jam, dan menurun ke batas normal dalam 3 sampai 4 hari.

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain penelitian cross sectional,pada penelitian ini dilakukan observasi data untuk mengetahui kadar SGOT pada pasien Sindroma Koroner Akut di RSUP Haji Adam Malik Medan dan retrospektif dengan pengumpulan data berdasarkan data sekunder yaitu rekam medik. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengambil data rekam medik pasien penderita SKA di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2014-2015. Besar sampel untuk penelitian ini dihitung berdasarkan rumus uji hipotesis populasi tunggal dengan hasil yaitu sebanyak 48 orang,lalu dianalisa dengan menggunakan uji non parametrik Kruskal-Wallis untuk mengetahui adanya perbedaan.

Berdasarkan uji non parametric Kruskal-Wallis diperoleh nilai p= 0,121.Dari hasil analisis data tersebut disimpulkan dari uji Kruskal - Wallis peneliti mendapatkan hasil (p>0,05) dimana dari hasil yang didapat dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna dari kelompok SKA terhadap kadar SGOT. Kata kunci: Sindroma Koroner Akut (SKA), kadar SGOT, Unstable Angina, STEMI , NSTEMI

ABSTRACT

Acute Coronary Syndrome is one of the clinical manifestations of atherosclerotic coronary heart disease.It considered to be the major cause of this syndrome, with most cases occurring because of interference from previous lesions that are not severe.However, if the lesion already causing atherosclerosis and clogged coronary arteries that supply blood and oxygen to the cells of the heart muscle that result in clinical manifestations Acute Coronary Syndrome (ACS) .In ACS one of clinical symptoms is acute myocardial ischemia and covers of clinical ranging from UA (Unstable Angina) and non-ST-segment elevation myocardial infarction and ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI). According to Heart Disease and Stroke Statistics 2008 Update from the American Heart (AHA), 1,413,000 hospital patients in the United States is the ACS patients in 2005.Approximately 80% of cases were UA or non-ST-segment elevation myocardial infarction(NSTEMI),and approximately 20% are cases of ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI) .SGOT can generally be found in the liver and heart.On patients with myocardial infarct, SGOT activity past the normal limits in 8 to 12 hours of onset of chest pain , reaching the peak elevation of 2-10 times in 18 to 36 hours, and decreased to normal within 3 to 4 days.This type of research is an analytic study with cross sectional study design, the study was conducted observation of data to determine levels of AST in patients with Acute Coronary Syndrome in Haji Adam Malik Hospital and retrospective collection of data based on secondary data records. The data collection is done by taking the medical records of patients with ACS in the Adam Malik Hospital in 2014-2015. The sample size for this study was calculated based on the formula of a single population hypothesis test with the result that as many as 48 people, and then analyzed using non-parametric test of Kruskal-Wallis to know the difference. Based on non-parametric test of Kruskal-Wallis obtained by value p = 0,121.From

Dokumen terkait