Ruptur uterus dapat timbul akibat cedera atau kelainan yang telah ada, ruptur juga dapat terjadi akibat trauma, atau dapat terjadi sebagai komplikasi persalinan pada uterus yang sebulumnya tidak memiliki jaringan parut.8
2. EPIDEMIOLOGI
Angka mortalitas dan morbiditas prenatal dapat tinggi pada kasus ruptur bekas insisi uterus selama persalinan. Angka kematian janin hampir mencapai
70% pada ruptur uterus, baik traumatik maupun spontan. 8
3. ETIOLOGI
Penyebab tersering ruptur uterus adalah terpisahnya parut akibat histerotomi caesaer. Dengan menurunnya tindakan percobaan persalinan pada perempuan yang pernah menjalani pelahiran caesar, ruptur pada uterus tanpa parut sekarang ini menyebabkan hampir separuh diantara semua kasus ruptur uterus. Faktor predisposisi lain yang lazim adalah riwayat bedah atau tindakan yang menyebabkan trauma seperti kuretase, perforasi, atau miomektomi. Stimulus uterus yang berlebihan atau tidak sesuai indikasi dengan menggunakan oksitosin, suatu penyebab yang dulu sering ditemukan, telah jarang didapatkan.8
Tabel 4. Klasifikasi etiologi ruptur uteri8
Cedera atau kelainan uterus yang terjadi sebelum kehamilan saat ini
Cedera atau kelainan uterus yang terjadi pada kehamilan ini
Pembedahan yang melibatkan miometrium:
Pelahiran caesar atau histerektomi
Riwayat ruptur uterus yang telah dikoreksi
Insisi miomektomi melalui atau hingga mencapai endometrium
Reseksi kornu profunda pada tuba uterina interstisial
Metroplasti
Sebelum pelahiran
Kontraksi kuat, spontan yang menetap
Stimulasi persalinan - oksitosin, prostaglandin
Instilasi intra-amnion - salin atau prostaglandin
Perforasi oleh kateter tekanan uterus internal
Trauma eksternal - tajam atau tumpul
hidramnion, kehamilan multifetal
Trauma uterus koinsidental :
Aborsi menggunakan alat-sonde, kuer
Trauma tajam atau tumpul -kecelakaan, peluru, pisau
Ruptur asimtomatik pada kehamilan sebelumnya
Selama pelahiran :
Versi internal
Pelahiran dengan forsep yang sulit
Persalinan dan pelahiran presipitatum
Ekstraksi bokong
Kelainan jantung yang menyebabkan distensi segmen bawah uterus
Penekanan uterus yang sangat kuat selama pelahiran
Pengeluaran manual plasenta yang sulit
Kelainan kongenital :
Kehamilan pada kornu uteri yang tidak berkembang sempurna
Didapat :
Plasenta inkreta atau prekreta
Neoplasma trofoblastik gestasional
Adenomiosis
Sakulasi uterus dalam posisi retroversi yang terjepit
4. KLASIFIKASI
Ruptur uterus biasanya diklasifikasikan menjadi8 :
a. Ruptur uteri komplet, bila semua lapisan dinding uterus terpisah b. Ruptur uterus inkomplet, bila otot uterus terpisah, tetapi peritoneum
viseral intak.
Ruptur inkomplit juga lazim disebut sebagai dehisensi uterus. Seperti yang telah diketahui angka mortalitas dan morbiditas lebih tinggi jika ruptur terjadi komplet.
Menurut proses terjadinya8 : a. Ruptur traumatik
Meskipun uterus, diluar perkiraan, tahan terhadap trauma tumpul, perempuan hamil yang mengalami trauma tumpul abdomen harus dipantau secara cermat untuk mencari rupur uterus sekaligus tanda solusio plasenta. Dimasa lampau versi podalik internal dan ekstraksi sering melnyebabkan ruptur traumatik selama pelahiran. Penyebab lain ruptur traumatik meliputi
pelahiran dengan forsep yang sulit, pembesaran janin yang tidak lazim, seperti hidrosefalus dan ekstraksi bokong
b. Insiden ruptur uterus spontan hanya sekitar 1: 15000 pelahiran. Ruptur spontan juga lebih mungkin terjadi pada perempuan dengan paritas tinggi. Stimulasi pelahiran dengan oksitosin telah sering dihunbungkan dengan ruptur uterus, khuusnya pada perempuan dengan paritastinggi. Agen uterotonika lain juga dikaitkan dengan ruptur. Ruptur uterus pernah terjadi pada induksi persalinan menggunakan gel prostaglandin E2 atau tablet
vagina prostagglandin E1. Karena alasan tersebut, semua agen uterotonika untuk induksi atau stimulasi persalinan pada perempuan dengan paritas tinggi harus diberikan dengan hati-hati. Seruapa dengan hal ini, pada perempuan dengan paritas tinggi percobaan persalinan pada dugaan disporposi sefalopelvik, presentasi kepala tinggi, atau presentasi abnormal seperti presentasi dahi, harus dilakukan dengan hati-hati.
5. PATOFISIOLOGI
Rupturnya uterus yang sebelumnya intak pada saat persalinan paling sering terjadi pada segmen bawah uterus yang menipis. Lubang robekan apabila berdekatan dengan serviks, sering meluas secara transfersal atau oblik.
Biasanya robekan berbentuk longintudinal jika terjadi pada bagian uterus yang berdekatan dengan ligamentum latum uteri
Gambar 13. Uterus yang mengalami ruptur spontan pada tepi lateral kiri segmen bawah uterus8
Meskipun terutama timbul di segmen bawah uterus, tidak jarang laserasi meluas keatas hingga mencapai korpus uteri atau ke bawah, melewati serviks, hingga mencapai vagina. Sesekali kandung kemih dapat ikut robek. Setelah ruptur komplit isi uterus akan keluar ke rongga peritoneum. Namun, jika bagian presentasi telah memasuki pintu atas panggul, maka hanya sebagian tubuh janin dapat menjulur keluar dari uterus. Pada ruptur uterus dengan peritoneum intak, perdarahan sering meluas hingga ligamentum latum uteri.
Perdarahan yang luas ini dapat menyebabkan hematoma retroperitoneal besar dan eksanguinasi.8
Gambar 14. Ruptur uteri pada laparatomi dengan ekspulsi parsial fetus11
6. MANIFESTASI KLINIS
Tidak ada tanda yang dapat diyakini dari impending ruptur uteri yang terjadi sebelum kehamilan, walaupun gross hematuria yang tampak tiba-tiba bisa dicurigai sebagai ruptur plasenta. Ruptur dapat menyebabkan nyeri lokal yang berhubungan dengan peningkatan iritabilitas uteri, pada beberapa kasus, dengan perdarahan pervagina. Kemudian dapat diikuti pelahiran secara prematur. Seiring dengan perluasan ruptur, nyeri dan perdarahan bertambah dan mungkin tanda-tanda syok juga dapat terjadi. Sekitar 78-90 % pasien memilki abnormalitas dengan denyut jantung janin sebagai tanda pertama ruptur.
7. DIAGNOSIS
Sebelum terjadi syok hipovolemik, gejala dan temuan klinis pada perempuan yang mengalami ruptur uterus dapat terlihat aneh, kecuali jika kemungkinan
ruptur selalu diingat. Sebagai contoh, hemoperitoneum dari uterus yang ruptur dapat menyebabkan iritasi diafragmatik dengan nyeri yang menjalar ke dada (yang mengarah pada diagnosis emboli paru atau emboli cairan amnion dan bukan ruptur uterus). Tanda ruptur uterus yang paling paling sering adalah pola denyut jantung janin yang tidak teratur dengan deselerasi denyut jantung bervariasi yang dapat menjadi deselerasi lambat, bradikardi, dan
kematian. Berlawanan dengan ajaran lama, sedikit perempuan yang merasakan hilangnya kontraksi setelah ruptur uterus, dan penggunaan kateter intrauteri tidak terbukti membantu dalam penegakan diagnosis.8
Pada beberapa wanita, penampakan ruptur uterus identik dengan solusio plasenta. Namun, pada sebagian besar wanita, terdapat sedikit rasa nyeri atau nyeri tekan. Selain itu karena sebagian besar perempuan diterapi dengan analgesia epidural dan narkotikauntuk mengatasi rasa tidak nyaman, rasa nyeri dan nyeri tekan mungkin tidak terlalu nyata. Kondisi tersebut biasanya menjadi jelas karena adanya tanda gawat janin dan kadang-kadang karena hipovolemia pada ibu akibat perdarahan tersembunyi.8
Apabila bagian erendah janin telah memasuki pintu panggul atas saat persalinan, hilangnya station dapat dideteksi dengan pemeriksaan panggPul.jika sebagian atau seluruh tubuh janin keluar dari uterus yang ruptur, maka palpasi abdomen atau pemeriksaan dalam dapat bermanfaat untuk menidentivikasi bagian terndah janin, yang telah berpindah dari pintu masuk panggul. Uterus yang berkontraksi kuat kadang-kadang dapat dirasakan disebelah janin.8
8. PENATALAKSANAAN
Histerktomi dapat dilakukan bila terjadi ruptur komplit selama percobaan persalinan. Pada kasus-kasus tertentu, dapat dilakukan penjahitan dengan preservasi uterus. Sheth memaparkan dalam laporannya, prognosis dari 66 wanita yang menjalani penjahitan pada ruptur uterus dan bukan histerektomi. Dalam 25 kasus penjahitan tersebut disertai sterilisasi tuba
mengalami ruptur uterus (25%). Penelitian yang lebih baru mengidentifikasi 37 perempuan yang memiliki riwayat ruptur uterus komplet melahirkan selama periode 25 tahun di Libanon. Histerektomi dilakukan pada 11 perempuan, dan 26 sisanya dijahit. Dua belas dari wanita ini mengalami 24
kehamilan selanjutnya, dengan sepertiganya dipersulit dengan ruptur uterus rekuren.8
9. PROGNOSIS
Dengan terjadinya ruptur dan ekspulsi janin ke dalam rongga peritoneum, maka peluang kelangsungann hidup janin yang utuh tidak baik dan angka mortalitas yang dilaporkan berkisar dari 50-75%. Kondisi janin tergantung pada derajat implantasi plsenta yang tetap intak meskipun hal ini dapat berubah dalam hitungan menit. Saat ruptur, satu-satunya peluang kemungkinan hidup janin adalah pelahiran segera, paling sering denga laparatomi. Kalau tidak, hipksia akibat pemisahan plasenta dan hipovolemi ibu tidak dapat dihindari lagi. Jika ruptur diikuti dengan pemisahan plasenta total segera, maka sangat sedikit janin intak yang dapat diselamatkan. Oleh karena itu, bahkan dalam kondisi yang paling beik, keselamatan janin dapat terganggu.
Sebuah penelitan diSwedia menyatakan bahwa risiko kematian neonatus setelah ruptur uterus adalah 5% (risikonya meningkat 60 kali lipat dibandingkan pada kehamilan yang tidak dipersulit dengan ruptur uterus). Kematian ibu akibat ruptur uterus jarang terjadi.
Sebagai contoh, dari 2,5 juta perempuan yang melahirkan di Kanada antara tahun 1991-2001 terdapat 1898 kasus ruptur uteri dan 4 kasus diantranya (2%) menyebabkan kematian ibu. Namun dibelahan dunia lain, angka kematian ibu akibat ruptur uterus jauh lebih tinggi. Sebagai contoh dalam sebuah laporan dari India, angka kematian ibu yang disebabkan oleh ruptur uterus sebesar 30%.
DAFTAR PUSTAKA
1. Londok THM, Lengkong RA, Suparman E. Karakteristik perdarahan antepartum dan perdarahan postpartum. Jurnal e-Biomedik, Volume 1, Nomor 1; Maret 2013.
2. Chamberlain G, Morgan M. ABC of antenatal care 4th ed. London : BMJ Books ; 2002.
3. Hanretty KP. Obstetrics Illustrated. 6thed. London : Churchill Livingstone ; 2004.
4. Sistem Kesehatan Nasional. Bentuk dan cara penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Departemen kesehatan RI. Jakarta; 2009
5. Fairley-Hamilton D. Lecture notes obstetrics and gynaecology. 2nded. USA : Blackwell Publishing ; 2004.
6. Baker PN. Obstetrics by tern teacher. 18thed. London : Edward Arnold Publisher ; 2006.
7. Scearce J. Third -trimester vaginal bleeding. In : DeCherney A, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N. Editors. Current diagnosis and treatment obstetrics and gynaecology. 10thed. USA: McGraw-Hill Companies ; 2007.
8. Pernoll ML. Benson and pernoll’s handbook of obstetrics and gynaecology. 10thed. USA. McGraw-Hill ; 2001.
9. Sakala PE, Penalver M. USMLE Step 2 CK Obstetrics and gynaecology lecture notes. USA: Kaplan Inc ; 2005.
10. Cunningham GF, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. Williams Obstetrics 23rd ed. USA: McGraw-Hill; 2010.
11. Brown-Paterson S. Obstetric Emergencies. In : Edmonds DK. Dewhurst’s textbook of obstetrics and gynaecology. 7th ed. UK: Blackwell Publishing; 2007.
12. Arquette N. Holcraft CJ, Thrid-trimester bleeding. In : Fortner KB, Szymanski LM, Fox HE, Wallach EE. Editors. Jhons hopkins manual of