• Tidak ada hasil yang ditemukan

S N O Komisi C DPRD K3 menjadi hak dasar bagi pekerja tanpa memandang

perusahaan tempat dia bekerja skala besar ataupun

kecil 

Disnakertransduk K3 merupakan tanggung jawab dan kepentingan bersama baik pihak pengusaha, tenaga kerja maupun

pemerintah 

Dinsosnakertrans K3 memerlukan “payung hukum” di tingkat daerah sebagai dasar bagi Satuan Kerja Pemerintahan Daerah (SKPD) untuk dapat melaksanakan kegiatan pembinaan dan penegakan hukum bagi perlindungan K3, khususnya pada industri mebel skala mikro, kecil dan menengah di Jepara

Dinas Kesehatan K3 merupakan hal yang penting karena “efek domino” dari lemahnya kesadaran perlindungan K3 langsung berdampak selain para pekerja, juga pada penduduk di sekitar industri mebel pada umumnya mereka terjangkit penyakit khususnya infeksi saluran pernafasan akut dan paru-paru.

Pemilik/pengurus

usaha K3 penting bagi perusahaan karena jika kesehatan pekerja terganggu maka akan mempengaruhi proses produksi mebel. Namun pada pelaksanaannya para pemilik/pengurus usaha menganggap bahwa dari sisi bisnis K3 masih belum diprioritaskan karena peluang kejadian kecelakaan fatal sangat kecil, margin profit kecil, dan pengaruh K3 terhadap produksi mebel kecil.

Pekerja K3 penting karena sehat dan selamat adalah modal dasar pekerja untuk terus bekerja. Adapun kecelakaan maupun penyakit merupakan takdir yang tidak bisa dihindari.

Aktor yang setuju dan/atau tindakannya relevan dengan kebijakan K3 dikategorikan sebagai pendukung (S), sedangkan aktor yang tidak setuju dan/atau tindakannya tidak relevan dengan kebijakan K3 dikategorikan sebagai oposisi (O). Jika aktor tidak mempunyai pendapat atau tindakannya tidak dapat terlihat maka dikategorikan netral (N). Berikut perspektif dan posisi aktor terhadap kebijakan K3 di Kabupaten Jepara.

Perspektif Komisi C DPRD Kabupaten Jepara yang diwakili oleh Bapak Masun Duri mempunyai pandangan bahwa industri mebel di Jepara memang telah diakui berkontribusi nyata bagi perekonomian daerah. Hal ini tentunya tidak terlepas dari para pekerja. Namun upaya peningkatan kesadaran, penegasan tanggung jawab, mekanisme perlindungan K3 di tingkat usaha mebel skala mikro dan kecil masih belum mendapatkan prioritas. Padahal posisi para pekerja mebel di Jepara adalah menjadi tulang punggung sektor industri tersebut.

Disnakertransduk mempunyai perspektif tentang K3 sebagai budaya yang harus terus ditanamkan kepada para pengusaha dan pekerja di tingkat industri mebel, khususnya bagi industri-industri yang sudah memiliki komitmen dan

kemampuan sumberdaya. Sedangkan Dinsosnakertrans mempunyai perspektif tentang K3 bahwa K3 penting untuk semua pekerja, namun implementasi K3 saat ini dengan keterbatasan dana hanya diterapkan pada industri formal skala menengah ke atas. Dinas Kesehatan mempunyai perspektif bahwa pekerja di industri-industri skala mikro dan kecil tetap perlu mendapatkan perlindungan K3 karena faktanya bahwa mereka memang mempunyai risiko tinggi yang akan mengancam keselamatan dan kesehatannya, terutama penyakit akibat terkena debu mebel.

Perspektif pemilik/pengurus usaha khususnya yang berskala mikro dan kecil terkait dengan K3 secara prinsip bahwa pekerja yang selamat dan sehat tentunya akan menentukan keberlanjutan usaha yang dijalankan. “K3 penting karena dengan K3 para pekerja akan sehat, dengan kesehatan pekerja perusahaan akan tetap eksis, memudahkan proses produksi, dan memperoleh keuntungan finansial demikian karena penegakan hukum“.

Perspektif pekerja terhadap K3 memang mendukung, namun dalam faktanya hal itu tidak terlihat dari perilaku mereka sendiri. Umumnya pekerja tidak menggunakan alat pelindung diri dengan alasan merepotkan dan terlalu mengada- ada. Sehingga masih ada kecelakaan yang terjadi karena unsafe conditions.

Kepentingan Aktor

Sebagai lembaga legislasi, DPRD Komisi C mempunyai kepentingan terhadap K3 khususnya terhadap prinsip keadilan terhadap penegakan sebuah peraturan yang bermuara kepada kesejahteraan masyarakat. K3 secara prinsip merupakan hak dasar bagi pekerja tanpa memandang perusahaan tempat dia bekerja skala besar ataupun skala kecil.

Kepentingan Disnakertransduk sesuai dengan tugas pokok dan fungsi lembaga untuk pengawasan pelaksanaan kebijakan K3 dan pembinaan berupa pelatihan bagi pihak industri demi tercapainya kesejateraan masyarakat. Dinsosnakertrans sebagai lembaga pemerintahaan kabupaten mempunyai tupoksi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Peran pengawasan terhadap implementasi K3 menjadi pintu baginya dalam memberikan layanan publik untuk berperan serta dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.

Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara mempunyai kepentingan sesuai dengan tupoksi terkait dengan pemeriksaan kesehatan masyarakat umumnya dan khususnya para pekerja. Pekerja yang celaka maupun sakit difasilitasi berupa upaya penyelamatan dan penyembuhan penyakit.

Pemilik/pengurus usaha mempunyai kepentingan terhadap usahanya agar dapat terus berjalan memberikan nilai keuntungan usaha yang sebesar-besarnya. Adanya pengaturan keselamatan kerja di perusahaannya akan dapat mengurangi terjadinya kecelakaan. Apabila tingkat kecelakaan meningkat atau para pekerja sering tidak bekerja sebagaimana mestinya karena sakit maka, itu akan menambah biaya pengeluaran dan secara otomatis akan mengurangi keuntungan.

Bagi pekerja adanya jaminan perlindungan keselamatan kerja akan menimbulkan suasana kerja yang tenteram sehingga pekerja/buruh akan dapat memusatkan perhatiannya pada pekerjaannya semaksimal mungkin tanpa

38

khawatir sewaktu-waktu akan tertimpa kecelakaan kerja. Sehingga kepentingan pekerja tehadap kebijakan K3 terkait dengan keberlangsungannya untuk tetap bekerja yang dapat diraih dalam kondisi selamat dan sehat guna memperoleh pendapatan.

Tabel 8 Kepentingan aktor terhadap kebijakan K3

Aktor Kepentingan

DPRD Komisi C Sebagai wakil rakyat, harus dapat menjaminkan hak pekerja atas keselamatan dan kesehatan dalam bekerja.

Disnakertransduk Menjalankan tupoksi terkait dengan ketenagakerjaan Dinsosnakertrans Menjalankan tupoksinya untuk mewujudkan K3 di daerah

Dinas Kesehatan Menjalankan tupoksinya terkait dengan pemeriksaan kesehatan, pencatatan data kesakitan termasuk di seluruh wilayah desa (termasuk desa-desa yang berada di lingkungan kerja mebel)

Pemilik Usaha Keuntungan dari usaha yang sebesar-besarnya, perhatian terhadap K3 dilakukan sesuai dengan permintaan dari pekerja sendiri yang secara umum masih kurang menyadari K3 merupakan hal pokok yang harus dijaga

Pekerja Keselamatan dan kesehatan merupakan hak dasar bagi mereka ketika bekerja untuk dapat meneruskan penghidupan dirinya dan keluarganya.

Kekuasaan dan Kepemimpinan

Kekuasaan atau power adalah penguasaan sumberdaya (sumberdaya

manusia atau anggaran) atau kemampuan untuk memobilisasi sumberdaya sehingga mempengaruhi aktor lain. Kepemimpinan atau leadership adalah

keinginan untuk memulai atau menginisiasi atau memimpin aksi terkait K3 pada industri mebel skala mikro dan kecil (Tabel 9).

Tabel 9 Kekuasaan dan kepemimpinan aktor K3 pada industri mebel Jepara skala mikro dan kecil

Kepemimpinan Tinggi Kepemimpinan Rendah

Kekuasaan Tinggi Komisi C DPRD Pemilik/pengurus usaha

Kekuasaan Rendah - Dinsosnakertrans, Dinas

Kesehatan, Pekerja

Dinsosnakertrans memiliki kekuasaan yang rendah karena keterbatasan dalam sumberdaya manusia dan anggaran untuk melaksanakan tugasnya khususnya dalam melakukan pembinaan. Selama ini upaya peningkatan kesadaran, penegasan tanggung jawab, mekanisme perlindungan K3 di tingkat industri mebel skala mikro dan kecil masih belum mendapatkan prioritas. Padahal posisi para pekerja pada industri mebel Jepara skala mikro dan kecil adalah menjadi tulang punggung perekonomian Jepara. Kegiatan penyuluhan terkait mekanisme perlindungan K3 di industri mebel skala mikro dan kecil oleh Dinsosnakertrans dan Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara pernah dilakukan tetapi

jarang sekali, karena pendanaan dari APBD hanya prioritas untuk perusahaan- perusahaan formal, yang sudah terdaftar dalam buku register di kedua dinas tersebut. Kepemimpinan Dinsosnakertrans untuk implementasi K3 pada industri skala kecil rendah dimana belum ada upaya apapun terkait dengan perlindungan K3 bagi industri skala mikro dan kecil.

Komisi C DPRD Kabupaten Jepara mempunyai kekuasaan tinggi dalam penetuan alokasi anggaran untuk implementasi K3 dan mempunyai kepemimpinan yang tinggi karena dapat mempengaruhi satuan kerja pemerintahan daerah (SKPD) terkait untuk memasukkan program K3 dalam kegiatan tahunan. Inisiatif dari Komisi C DPRD Kabupaten Jepara untuk mendukung program K3 ini baru muncul dalam proses FGD yang dilaksanakan dalam pengumpulan data dari penelitian ini. Dalam diskusi tersebut pihaknya menyadari bahwa kontribusi perekonomian Jepara yang berasal dari industri tidak terlepas dari para pekerja di industri skala mikro dan kecil dimana mereka juga sebenarnya berhak mendapatkan perlindungan K3.

Dinas Kesehatan mempunyai kepemimpinan rendah terhadap K3 karena dalam tupoksinya hanya sebatas untuk pemeriksaan kesehatan pekerja dan pencatatan data kesakitan sesuai dengan data yang masuk dari penduduk yang datang ke puskesmas untuk berobat. Demikian juga kekuasaan Dinas Kesehatan juga relatif rendah karena keterbatasan anggaran dan sumberdaya manusia dalam pelaksanaan program penyuluhan kesehatan khususnya untuk para pekerja industri mebel.

Pekerja memiliki kepemimpinan rendah dan kekuasaan rendah. Kepemimpinan terhadap K3 rendah karena pekerja memiliki keterbatasan dalam penguasaan informasi adanya kebijakan K3 yang melindungi kesehatan dan keselamatan pekerja. Kekuasaannya rendah karena para pekerja berada pada posisi tawar yang lemah sebagaimana bentuk kontrak kerja yang tidak formal.

Relasi Tripartit (Pengusaha, Pemerintah dan Pekerja)

Mengimplementasikan K3 di industri-industri mebel skala mikro dan kecil merupakan keniscayaan bagi para pekerja. Pada hakikatnya, menurut peraturan perundang-undangan, perlindungan atas K3 merupakan kebutuhan asasi, dan secara tegas dinyatakan sebagai hak pekerja karena pemenuhan kebutuhan itu menjadi tanggung jawab pengusaha/pemilik usaha dan juga tanggung jawab pemerintah untuk mengaturnya.

Dalam konteks relasi tripartit, para pemilik/pengurus usaha, pemerintah Kabupaten Jepara dan pekerja adalah aktor-aktor penting yang bakal memberikan warna khusus pada penerapan K3 di industri-industri mebel skala mikro dan kecil. Peran ketiga aktor tersebut sungguh sangat penting bagi penerapan manajemen K3 saat ini dan mendatang.

Pemilik/pengurus usaha dapat diperankan sebagai aktor yang dapat mempromosikan implementasi K3 melalui produk mebel yang mereka hasilkan dengan membangun komitmen dan kapasitas para pemilik/pengurus usaha melalui asosiasinya. Hal ini sebagai upaya mengurangi distorsi informasi diantara kepentingan K3 dan kepentingan bisnis mebel. Lebih lanjut upaya ini diharapkan

40

dapat mengubah persepsi para pemilik/pengurus usaha bahwa K3 menjadi prioritas dari sisi bisnis karena faktanya peluang kejadian kecelakaan di lingkungan kerja mebel itu ada.

Kondisi yang ada saat ini menunjukkan bahwa para pemilik/pengurus usaha mebel skala mikro dan kecil pada umumnya mempunyai pola perilaku defensif terhadap pola perilaku para pekerjanya yang selalu beranggapan bahwa kecelakaan dan sakit yang mereka alami di tempat kerja adalah hal biasa; kecelakaan dan sakit adalah takdir (ketetapan Tuhan); dan pola perilaku defensif seperti itu umumnya adalah politik para pemilik usaha agar mereka tidak terbebani oleh biaya-biaya lain dari biaya produksi mebelnya. Dalam keadaan para pekerja tidak menuntut perlindungan haknya untuk mendapatkan perlindungan K3 di tempat kerja, maka para pemilik/pengurus usaha cenderung mengikuti keadaan tersebut. Tindakan maksimal dari pemilik/pengurus usaha kepada para pekerja adalah hanya memberikan bantuan secara kemanusiaan untuk pembelian obat-obatan ataupun biaya pengobatan ke klinik/puskesmas jika terjadi kecelakaan yang menimpa pekerjanya di lokasi kerja.

Berkaitan dengan para pekerjanya, pemilik/pengurus usaha harus mulai berperan kuat melakukan bimbingan dalam proses meningkatkan kesadaran untuk penguatan naluri para pekerja terhadap kebutuhan K3. Naluri para pekerja dikuatkan sehingga tumbuh rasa kepercayaan diri dan kesadarannya atas pentingnya K3 di lingkungan kerjanya. Dari naluri mereka itulah diharapkan muncul kemauan yang kuat untuk mengikuti tindakan yang dipersyaratkan dalam manajemen K3.

Pemerintah Kabupaten Jepara harus mulai untuk mengembangkan aktivitas pelaporan dan pemeriksaan kecelakaan kerja pada industri-industri mebel skala mikro dan kecil sebagai upaya awal untuk meningkatkan kesadaran para pihak terkait pencegahan resiko kecelakan. Pemerintah daerah juga dapat mulai membangun media sosialisasi–pelatihan dan pendampingan secara efektif dalam rangka meningkatkan peran/partisipasi para pekerja dan pemilik/pengurus usaha tentang pelaksanaan sistem manajemen K3. Dari pemerintah daerah, para pemilik/pengurus usaha, pekerja dan masyarakat luas memperoleh transfer pengetahuan pentingnya K3. Peran penting lainnya dari pemerintah daerah adalah mulai membangun kordinasi yang baik (good–coordination) kepada siapa saja

aktor yang terlibat untuk mempromosikan praktek-praktek terbaik perlindungan K3 untuk industri-industri mebel skala mikro dan kecil.

Dari sisi para pekerja, kompetensi para pekerja di industri mebel skala mikro dan kecil di Jepara menunjukkan tingkat pengetahuan, pengertian, pengalaman dan keterampilan baik fisik maupun psikis tentang K3 sangat rendah. Kondisi tersebut menyebabkan industri mebel skala mikro dan kecil di Jepara masih menghadapi kesulitan dalam menerapkan K3. Persepsi para pekerja di industri mebel Jepara, menganggap bahwa “kecelakaan itu nasib”, dan bagi mereka “penyakit itu resiko yang harus diterima, lebih sengsara lagi jika tidak bekerja”.

Sekitar 40–50 persen dari 700 ribu jiwa usia produktif di Jepara sangat membutuhkan penghasilan dari pekerjaannya sebagai buruh ataupun pengrajin di tempat-tempat kerja seperti di TPK, sawmill, brak, bengkel finishing, ataupun di

skala mikro dan kecil (yang jumlahnya mendominasi di Kabupaten Jepara) dengan berbagai karakter pemilik usahanya sedemikian rupa sehingga hampir setiap pekerja hanya bekerja berdasarkan kekeluargaan dan pertemanan, tanpa kontrak kerja yang jelas, dan sebagian besar dari mereka berstatus tenaga kerja harian.

Terkait dengan hal tersebut, para pekerja sebenarnya sadar atas kemungkinan risiko kecelakaan dan penyakit di tempat kerjanya hanya saja kesadaran seperti ini masih perlu dukungan dari pemilik usaha agar melakukan pengawasan agar K3 dapat diterapkan. Dengan demikian peran penting dari para pekerja adalah kesediaan mereka untuk berpatisipasi dalam penerapan K3 untuk kepentingan hidupnya sendiri.

Kesenjangan (Gap) antara Kebijakan K3 dan Implementasinya pada Industri Mebel Jepara

Hasil telaah terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi K3 dengan model kebijakan Sabatier dan Mazmanian (Tabel 10) menunjukkan adanya kesenjangan (gap) dalam implementasi K3 di industri mebel Jepara pada

skala mikro dan kecil.

Secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan K3 antara lain mudah tidaknya masalah dikendalikan, yang dilihat dari tingkat kesulitan teknis bahwa program perlindungan K3 belum tertangani karena keterbatasan tenaga ahli sebagai pengawas; erubahan perilaku dari para pekerja ataupun pemilik/pengurus usaha tergantung dari perubahan persepsi mereka tentang kecelakaan dan penyakit di tempat kerja.

Tabel 10 Deskripsi implementasi kebijakan K3 pada industri mebel skala mikro dan kecil berdasarkan model Sabatier dan Mazmanian

Variabel Deskripsi Implementasi

Mudah tidaknya masalah dikendalikan

a. Kesukaran teknis Kesulitan dalam melaksanakan monitoring dengan jumlah industri skala mikro dan kecil mencapai 12.000-an sementara tenaga SDM pengawas K3 3 orang. Kesadaran para pekerja terhadap K3 masih rendah seringkali mereka mengabaikan penggunaan APD.

b. Keragaman perilaku yang

diukur Perilaku yang diukur relatif seragam yakni perilaku pekerja dan pemilik/pengurus usaha dalam penegakan perlindungan K3. c. Prosentase totalitas

penduduk yg tercakup dalam kelompok sasaran

Perilaku yang akan diubah meliputi para pekerja dan pemilik/pengurus usaha industri perkayuan yang jumlahnya sangat besar sehingga memerlukan dukungan politik terhadap program terkait K3

d. Tingkat dan ruang lingkup perubahan perilaku yang dikehendaki

Perubahan perilaku penegakan K3 terkait dengan perubahan sikap pekerja dan pemilik/pengurus usaha yang memerlukan pemenuhan terhadap pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan.

42

Tabel 10 Lanjutan

Variabel Deskripsi Implementasi

Kemampuan kebijakan menstrukturkan proses implementasi a. Kecermatan dan

kejelasan penjenjangan tujuan-tujuan resmi yang akan dicapai

Tujuan K3 sudah dijelaskan dalam peraturan yang dengan sistem manajemen K3 yang sarat dengan penyediaan dokumen, kebutuhan tenaga ahli, SDM bersertifikat dan anggaran. Sistem

manajemen seperti ini belum sesuai dengan

kapasitas/kapabilitas industri skala mikro dan kecil. b. Keterandalan teori

kausalitas yang dipergunakan

Kebijakan K3 merupakan kewajiban bagi perusahaan dengan TK minimal 100 orang atau berpotensi bahaya tinggi. Pemerintah menfasilitasi terkait implementasi K3 namun faktanya masih terbatas kemampuan pemerintah, selain itu tidak ada konsekuensi apabila kewajiban tidak dilaksanakan. c. Ketepatan alokasi

sumber-sumber dana Dana terbatas hanya untuk monitoring industri skala menengah ke atas d. Koordinasi Tidak ada persoalan koordinasi pusat dan daerah dalam

implementasi kebijakan K3 e. Aturan dari badan

pelaksana Tidak ada kebijakan yang dikeluarkan oleh pelaksana K3 di daerah terkait kebijakan K3. f. Kesepakatan para

pejabat K3 bagian dari kesejahteraan tenaga kerja, namun K3 tidak termasuk ke dalam program prioritas. g. Akses formal pihak-phak

luar Ada peluang pihak lain berpartisipasi terkait K3 yakni PHPL dan SVLK Variabel di luar kebijakan

a. Kondisi sosek dan

teknologi Para pekerja dan pengurus/pemilik usaha yang terbatas kondisi ekonominya menghadapi kesulitan dalam penyediaan anggaran untuk implementasi K3, termasuk pengetahuan para pekerja dan pengurus/pemilik usaha yang masih sangat lemah

b. Dukungan publik Belum ada dukungan dari publik terhadap K3 c. Sikap dan sumber-

sumber yg dimiliki kelompok sasaran

Kelompok sasaran meliputi para pekerja, pengurus/pemilik usaha, pemda terkait K3 dan DPRD. Semua aktor mempunyai perspektif yang positif atau perspektif netral. Namun perpsektif yang positif terhadap perlindungan K3 belum dapat ditampilkan dalam program-programya

d. Dukungan badan/lembaga berwenang

Lembaga berwenang (Dinas Ketenagakerjaan) belum memprioritaskan K3. Jumlah SDM pengawas K3 terbatas, begitu pula dengan anggaran terbatas

e. Kesepakatan dan kemampuan kepemimpinan para pejabat pelaksana

Lembaga berwenang terkait K3 menetapkan K3 sebagai bagian dari kesejahteraan tenagakerja. Lembaga ini memiliki kepemimpinan dalam pengawasan K3 namun SDM dan anggaran terbatas sehingga pelaksanaan pengawasan hanya dilakukan pada industri skala menengah ke atas.

Kebijakan K3 belum dapat menstrukturkan proses implementasi, hal ini dilihat dari isi kebijakan yang membatasi kriteria perusahaan yang wajib melaksakan kebijakan K3 minimal 100 orang pekerja dan untuk kriteria potensi bahaya tinggi tidak dijelaskan lebih rinci dalam peraturan di bawahnya. Selain itu belum ada alokasi dana secara khusus untuk melaksanakan peran pengawasan

implementasi K3 di industri mikro dan kecil secara menyeluruh. Belum ada komitmen karena program K3 pada industri mebel tersebut belum mendapat prioritas kepentingan dan belum adanya kelompok luar yang berpartisipasi untuk mendorong kesadaran pekerja tentang K3.

Faktor-faktor diluar kebijakan, meliputi kondisi sosial ekonomi masyarakat yang pada umumnya memiliki keterbatasan dalam modal, belum ada dukungan publik seperti dari LSM, lembaga pendidikan dan asosiasi-asosiasi pengusaha yang mendukung perlindungan K3; dan dukungan pihak terkait. Komitmen pemilik usaha terhadap kebijakan K3 belum sepenuhnya dimasukkan ke dalam sistem manajemen usaha (terutama skala mikro dan kecil) hal ini dapat dibuktikan dengan tidak adanya dokumen perencanaan manajemen K3.

Implementasi kebijakan K3 pada industri mebel Jepara skala mikro dan kecil menunjukkan kesenjangan sebagai berikut:

(1) Kompetensi terkait K3 dari para pengusaha/pemilik usaha, pekerja, dan pemerintah relatif rendah.

(2) Anggaran dan sumberdaya manusia untuk pelaksanaan pengawasan K3 di industri mebel skala mikro dan kecil sangat terbatas, sebagai contoh ketersediaan tenaga pengawas ahli K3 Kabupaten Jepara jumlahnya hanya 3 orang.

(3) Pemilik/pengurus usaha belum memiliki inisiatif untuk mengintegrasikan K3 ke dalam manajemen perusahaan. Sikap mereka cenderung hanya mengikuti perilaku pekerja yang belum mempunyai kesadaran terhadap K3.

(4) K3 belum merupakan kebutuhan pemilik/pengurus usaha pada industri mebel Kabupaten Jepara. Pada umumnya mereka belum menyadari bahwa modal untuk pelaksanaan K3 sebagai investasi, akan tetapi dipahami sebagai sesuatu yang meningkatkan biaya produksi (cost center).

(5) K3 belum menjadi kebutuhan para pekerja yang terlihat dari perilaku mereka saat bekerja tanpa memperhatikan keselamatan maupun kesehatan mereka yang berada pada kondisi tempat kerja yang tidak aman. Perilaku seperti ini didasari dengan pandangannya terhadap kecelakaan dan penyakit sebagai sebuah takdir.

(6) Lemahnya posisi tawar pekerja/pengrajin di tempat kerja karena pada umumnya mereka bekerja atas dasar perjanjian kerja tak tertulis (informal).

(7) Fasilitas K3 di tingkat industri mebel khususnya skala mikro dan kecil sangat minim bahkan tidak ada sama sekali. Bagi khususnya pemilik usaha kecil yang relatif memperoleh keuntungan kecil tentunya akan sulit untuk menyediakan fasilitas dan alat pertolongan pertama pada kecelakaan, dan APD.

(8) Khususnya di industri mebel skala mikro dan kecil, kebijakan tentang K3 belum dapat menstrukturkan implementasi kebijakan di lapangan. Kriteria perusahaan yang wajib melaksanakan K3 seperti dalam PP No 50 tahun 2012 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja tertera perusahaan yang minimal mempekerjakan 100 orang atau tempat kerja yang berpotensi bahaya tinggi. Kebijakan ini ditafsirkan

44

pelaksana kebijakan di daerah secara lugas, sehingga pengawasan implementasi K3 tidak untuk industri mikro dan kecil. Hal ini juga terkait dengan keterbatasan sumberdaya manusia dan anggaran pengawasan.

(9) Lemahnya penegakan hukum/law enforcement terhadap pelanggaran-

pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja terhadap ketetapan manajemen perusahaan, atau yang dilakukan pengusaha/pemberi kerja terhadap ketetapan perundang-undangan. Sampai saat ini tidak ada sanksi apabila terjadi pelanggaran terhadap pelaksanaan K3.

(10) Dukungan politik di daerah pada industri-industri mebel Jepara hanya sebatas aspek ekonomi mebel. Pemda menganggap K3 itu penting, namun hampir pada seluruh industri mebel berskala mikro dan kecil, sisi kemanusiaan (humanity) belum mendapatkan perhatian khusus.

Selain itu intensitas fasilitasi perlindungan K3 di industri mebel skala mikro dan kecil sangat kurang.

Strategi Implementasi K3 untuk Industri Mebel Jepara

Realitas implementasi kebijakan K3 yang belum diterapkan pada industri- industri mebel skala mikro dan kecil, memerlukan suatu strategi pembangunan yang tepat sesuai dengan situasi masalah di tingkat pelaksana. Berdasarkan telaah terhadap realitas perlindungan K3 pada industri berskala mikro dan kecil, realitas kondisi para aktor-aktor dalam kebijakan K3, dan kesenjangan implementasi K3 di tingkat pelaksana, keseluruhan situasi masalah itu kemudian diletakkan pada masing-masing kelompok SWOT pada Tabel 11.

Berdasarkan analisis SWOT tersebut dilakukan telaah terhadap strategi yang paling prioritas. Dalam konteks industri-industri mebel skala mikro dan kecil di Jepara, prioritas pertama ditelaah dengan pertanyaan “strategi K3 apa yang seharusnya diarahkan secepatnya?” Prioritas kedua ditelaah dengan pertanyaan

Dokumen terkait