• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sabtu, 31 Maret 20120 komentar

Dalam dokumen Dasar Hukum dan Dalil Shalawat (1) (Halaman 102-111)

Mbah Jenggot

TAWASUL DENGAN NABI DAN ORANG-ORANG SHOLEH

Kami pengikut Ahlussunnah tidak mengi’tiqadkan bahwa dzat seorang makhluk mempunyai pengaruh (ta’tsir), mampu mewujudkan sesuatu, menghilangkan, memberi manfaat dan memberi bahaya baik dzat Rasulallah, nabi-nabi, orang-orang shaleh dan lain-lain. Tetapi, kami meyakini bahwa hanya Allah yang dapat memberi manfaat dan bahaya serta yang lainnya.

Bertawassul dengan Rasulallah (baik dengan kedudukannya atau yang lain) atau orang-orang shalih bukan berarti menyembah kepada Rasulullah atau orang shalih tersebut seperti yang banyak di tuduhkan, sehingga memunculkan salah persepsi dari orang-orang yang anti terhadap ajaran tawassul dengan secara mutlak (dengan beraneka ragam bentuknya tawassul), bahwa orang yang bertawassul telah menjadi musyrik karena mendudukkan selain Allah di sepadankan dengan Allah dalam berdo'a. Akan tetapi tawassul adalah bentuk do'a yang di panjatkan kepada Allah dengan memakai perantara Nabi atau orang shalih, dengan harapan do'anya lebih di kabulkan oleh Allah. Hadits-hadits tentang itu semua sudah banyak di sampaikan oleh ulama, meski menurut sebagian kalangan yang sedikit mengerti mengenai derajat hadits, hadits-hadits dasar yang berkenaan dengan tawassul dengan Nabi atau orang shalih di anggap lemah semua.

Sayyid Mushthafa al-Bakri, seorang ulama madzhab Hanafi dan wali besar dalam tarekat Khalwatiyyah, menganalogikan tawassul dengan orang-orang shalih dan mulia di depan Allah dengan memohon bantuan orang yang mendapat kedudukan tinggi atau dekat dengan seorang raja, kemudian karena ingin tercapai

maksudnya kepada raja, orang yang dekat dengan raja tersebut di jadikan sebagai perantara untuk di sampaikan kepada raja agar maksudnya sukses.

Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki dalam Mafahim Yajibu An Tushahhash menjelaskan bahwasannya mencari perantara (wasilah) bukan sebagai bentuk syirik, karena jika mencari perantara kepada Allah adalah syirik, maka semua manusia adalah termasuk musyrik karena dalam semua urusan, mereka selalu memakai perantara. Lihat saja Rasulallah yang menerima wahyu al-Qur'an lewat perantara Malaikat Jibril, Rasulallah juga adalah perantara bagi para shahabat karena mereka kadang datang kepada beliau untuk mengadukan urusan-urusan mereka yang dianggap berat atau memohon doa dari beliau. Apakah pernah Rasulallah berkata pada mereka bahwa hal tersebut, yaitu memohon doa atau bantuan, adalah musyrik? Hal ini yang tidak banyak di ketehui oleh orang-orang yang anti terhadap tawassul.

As-Subki mengatakan: “Tawassul dengan Nabi ada tiga macam, yaitu: tawassul dengan Nabi dalam arti orang yang berharap hajatnya terkabulkan meminta kepada Allah lewat dengan (wasilah) diri Nabi Muhammad atau kedudukannya atau barakahnya. Dan masing-masing ada dasar haditsnya yang shahih. Tawassul merupakan salah satu amalan yang sunnah dan tidak pernah diharamkan oleh Rasulullah saw, tidak pula oleh ijma para sahabat radhiallahu ‘anhum, tidak pula oleh para tabi’in dan bahkan oleh para Ulama serta Imam-Imam besar Muhadditsin. Bahkan Allah memerintahkannya, Rasul saw mengajarkannya, Sahabat radhiallahu ‘anhum mengamalkannya.

Tak ada pula yang membedakan antara tawassul pada yang hidup dan mati. Karena tawassul adalah berperantara pada kemuliaan seseorang, atau benda (seperti air liur yang tergolong benda) di hadapan Allah swt, bukanlah kemuliaan orang atau benda itu sendiri.

Hadits yang dijadikan pijakan tentang tawassul dengan kedudukan Rasulullah di antaranya adalah hadits dengan sanad bagus riwayat ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir, bahwa Rasulullah menyebutkan dalam doanya:

يِلْبَق ْنِم َنْيِذّلا ِءاَيِبْنَلْاَو َكِيِبَن ِقَحِب

"Dengan haq Nabimu dan para Nabi-Nabi sebelumku"

Sedangkan dalil-dalil tentang tawassul dengan Nabi (baik saat beliau masih hidup atau sudah wafat), orang shalih, waliyullah dan lain-lain adalah: hadits riwayat at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Hakim dan al- Bukhari serta Ahmad bin Hanbal dari ‘Utsman bin Hunaif, mengatakan: “Pada suatu waktu ada laki-laki buta datang kepada RasulUllah dan meminta supaya Rasulullah mendoakannya agar mendapatkan sehat wal afiyat, Rasulallah menjawab: ‘Jika kamu menginginkannya, aku dapat berdoa untukmu atau kamu bersabar dan itu lebih baik bagimu!’ Laki-laki itu menjawab: ‘Berdoalah untukku!’ Kemudian Rasulullah memerintahkan laki-laki tersebut berwudhu dengan baik dan berdoa sebagai berikut:

ّيِف ُهْعِفَشَف ّمُهّللا َيِل ىَضعْقُتِل ِهِذَه يِتَجاَح يِف يِبَر ىَلِإ َكِب ُتْهّجَوَت يِنِإ ِةَم ْحّرلا ِيِبَن ٍدّمَحُم ـَكِيِبَنِب َكْيَلِإ ُهّجَوَتَأَو َكُلَأْسَأ يِنِإ ّمُهّللا

“Wahai Tuhanku, aku meminta kepada Engkau dan aku menghadap kepada Engkau lewat Nabi Engkau Muhammad, Nabi rahmat. Wahai Nabi Muhammad, sesunguhnya aku menghadap kepada Rabb-ku lewat Engkau dalam memenuhi kebutuhanku ini sepaya Engkau dapat memenuhinya untukku. Wahai Tuhanku berilah syafaat kepadaku.”

Hadits ini adalah hadits shahih hasan sebagaimana disampaikan oleh at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh al- Baihaqi. Hadits yang hampir senada dengan hadits di atas juga diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam al- Mu‘jam al-Kabir dan al-Mu‘jam ash-Shaghir.

Dalam hadits riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih disebutkan bahwasannya orang-orang pernah mengalami kepayahan karena ketiadaan air di zaman Khalifah ‘Umar bin Khaththab. Kemudian Bilal bin Harits mendatangi makam Rasulallah dan berkata: “Memintalah engkau hujan untuk umatmu, karena mereka sedang kepayahan!” Kemudian Rasulallah datang dalam mimpi Bilal dan memberi kabar bahwa mereka akan diberi hujan.

Hadits riwayat al-Bukhari dalam Shahih-nya dari Anas bahwa ketika para shahabat kepayahan karena ketiadaan air, Umar bin Khaththab ber-istisqa’ lewat ‘Abbas bin Abdil Muththalib, beliau berdoa:

اَنِقْساَف اَنِيِبَن ِمَعِب َكْيَلِإ ُلّسَوَتَن اّنِإَو اَنيِقْسَتَف اَنِيِبَنِب َكْيَلِإ ُلّسَوَتَن اّنُك اّنِإ ّمُهّللا

“Wahai Tuhanku, sesungguhnya kami bertawassul kepada Engkau lewat dengan Nabi kami dan Engkau memberu hujan kami. Dan kami bertawassul kepada Engkau lewat dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan!”

Hadits riwayat al-Hakim dalam al-Mustadrak, Umar bin Khaththab mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: “Ketika Nabi Adam melakukan kesalahan, dia bermunajat: “Wahai Rabb-ku, aku memohon kepada-Mu dengan lewat haq-Muhammad ketika Engkau mengampuni kesalahanku.” Lalu Allah berfirman: “Wahai Adam, bagaimana engkau tahu tentang Muhammad sementara Aku belum menciptakannya?” Adam menjawab: “Wahai Rabb-ku, karena ketika Engkau menciptakanku dengan tangan-Mu (kekuasaan-Mu) dan meniupkan ruh di jasadku dari ruh-Mu, aku mengangkat kepalaku dan aku melihat di tiang-tiang ‘Arsy tertulis La ilaha illallah, Muhammad Rasulallah, dan aku tahu Engkau tidak akan menyandarkan nama-Mu kecuali kepada makhluk yang paling Engkau kasihi.” Allah kembali berfirman: “Benar wahai engkau Adam, karena sesungguhnya Muhammad adalah makhluk yang paling Aku cintai; dan jika engkau memohon kepada-Ku lewat dengan haq-nya Aku akan mengampunimu. Andai bukan karena Muhammad, Aku tidak akan menciptakanmu. ”

Al-Alusi dalam kitab tafsirnya Ruh al-Ma'ani saat menguraikan ayat 35 dari surat al-Maidah tentang perintah mencari wasilah, menjelaskan di perbolehkannya bertawassul dengan kedudukan Rasulullah. Ulama yang shaleh dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang membolehkan Tawassul (Sebagian diambil dari kitab Syawahid al-Haq karya Syaikh Yusuf an-Nabhani yang khusus menerangkan tentang tawassul atau istighatsah ) :

1. Al Imam Sufyan bin Uyainah (guru dari Al Imam Syafi’i & Imam Ahmad bin Hanbal). 2. Al Imam Abu Hanifah (pendiri Mazhab Hanafi).

3. Al Imam Muhammad bin al Hasan al Syaibani (murid Al Imam Abu Hanifah).

4. Al Imam Alauddin Abu Bakar bin Mas’ud al Kasani (ulama terkemuka madzhab Hanafi). 5. Al Imam Malik bin Anas (pendiri Mazhab Maliki).

6. Al Imam Asy Syafi’i (pendiri Mazhab Syafi’i).

7. Al Imam Ahmad bin Hanbal (pendiri Mazhab Hanbali).

8. Al Imam Abu Ali al Khallal (ulama terkemuka madzhab Hanbali). 9. Al Hafizh Ibn Hajar Al Asqalani.

10. Al Hafizh al Khatib al Baghdadi (penulis kitab Tarikh Baghdad) 11. Al Hafizh Ibnu Khuzaimah.

12. Al Hafizh Abu al Qasim ath Thabarani 13. Al Hafizh Abu Syaikh al Ashbihani.

14. Al Hafizh Abu Bakar bin al Muqri’ al Ashbihani. 15. Al Hafizh Ibn al Jauzi.

16. Al Hafizh adz Dzahabi.

17. Syaikh Yusuf bin Ismail al Nabhani.

18. Al Hafizh Abu Ishaq Ibrahim bin Ishaq al Harbi (ulama terkemuka madzhab Hanbali). 19. Al Hafizh Abu Ali al Husain bin Ali bin Yazid al Naisaburi (guru utama al Imam al Hakim). 20. Al Hafizh Abdul Ghani al Maqdisi (ulama terkemuka madzhab Hanbali).

21. Al Imam Abu al Khair al Aqtha al Tinati (murid al Imam Abu Abdillah bin al Jalla). 22. Al Hafizh Ibnu Asakir.

23. Al Hafizh Al Sakhawi. 24. Al Sya’rani.

25. Al Muhaddits Al Hafidh Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy rahimahullah (Al Imam al Nawawi).

26. Al Hafizh Ibn Al Jazari.

28. Al Hafizh al Baihaqi

29. Zainuddin Ali bin al-Husain (cucu Rasulallah) 30. Asy-Syihab Mahmud

31. Asy-Syihab Ahmad ad-Dimasyqi 32. Al-Juzuli dalam Dala’il al-Khairat

33. Muhammad al-Makki dalam shalawat Fathur Rasul

34. Muhammad asy-Syanwani, Syaikh Universitas Al-Azhar Cairo Mesir yang juga pengarang syarah Mukhtashar Abi Jamrah

35. Muhammad Wafa asy-Syadzili

sedang ulama yg melakukan tawasul dalam keterangan kitab yang laen sbg berikut: 1. Sufyan bin Uyainah (198 H / 813 M)

Sufyan bin Uyainah berkata: ada dua laki2 saleh yg dpt menurunkan hujan dg cara bertawassul dg mereka yaitu Ibnu 'Ajlan dan Yazid bin Yadzibin jabir. Perkataan ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. (kitab al-'illal wa Ma'rifah al-Rijal juz I hal. 163-164 karya Ahmad bin Hanbal)

2 Imam Abu Hanifah (80-150 H/ 699-767 M)

perkataan Abu Hanifah ketika berziarah ke Madinah dan berdiri di hadapan makam Rosulullah saw. yaitu:

"Hai orang yg termulya di antara manusia dan jin dan sebaik-baik makhluk, berilah aku kemurahanmu dan ridloilah aku dg ridlomu. Aku merindukan kemurahan darimu, engkaulah satu2nya harapan Abu Hanifah"

(kitab al-Ziyaroh Nabawiyah hal. 56 karya Sayyid Muhammad al-Maliki) 3. Imam Syafii (150-204 H/ 767-819 M)

"Dari Ali bin Maimun beliau berkata: Aku telah mendengar Imam Syafii berkata: Aku selalu bertabarruk dg Abu Hanifah dan mendatangi makamnya dg berziarah setiap hari. Jika aku mempunyai hajat, maka aku menunaikan sholat 2 rokaat, lalu aku datangi makam beliau dan aku memohon hajat itu kepada Allah di sisi makamnya,sehingga tdk lama kemudian hajatku segera terkabulkan" (kitab Tarikh al-Baghdad juz I hal. 123 dg sanad yg shohih, karya al-Hafidz Abi Bakr Ahmad bin Ali)

4. Abu Ishaq bin Ibrahim bin Ishaq al-Harby (198-285 H/813-898 M)

Ibrahim al-Harby berkata: Makam Ma'ruf al-Karkhy adalah obat penawar yg sangat mujarab (maksudnya datanglah ke makam Ma'ruf al-Karkhy, sebab berdo'a di sisinya banyak manfaatnya dan dikabulkan (Kitab Tarikh al-Islam hal.1494 karya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman)

tawassul yg dilakukan oleh ulama' muta'akhirin 1. Ibnu Huzaimah (223-311 H/ 838-924 M)

"Kami berangkat bersama pemuka ahli hadits, Abu Bakr bin Huzaimah dan rekannya Abu Ali al-Tsaqofy beserta rombongan para guru utk berziarah ke makam Ali Ridlo bin Musa al-Kadzim di Thusi, ia (Abu Bakr bin Mu'ammal) berkata: Aku melihat keta'dliman beliau (Ibnu Huzaimah) thd makam itu,serta sikap tawadlu' terhadapnya dan do'a beliau yg begitu khusyu' di sisi makam itu sampai membuat kami bingung (kitab Tahdzib.... juz 7 hal. 339 karya Imam Ibnu Hajar al-Asqolany)

2. Abu Qosim al-Thobary (260-360 H/874-971 M) Abu al-Syaikh al-Asbihany (274-369 H/ 897-979 M)dan Abu Bakar bin Muqry al-Asbihany (273-381 H/ 896-991 M) Mereka mengisahkan kondisi mereka dlm keadaan lapar selama satu tahun kurang makan,lalu setelah waktu Isya' mereka bertawasul dan beristighosah dg cara mengunjungi makam Rosulullah saw seraya berkata demikian: "Yaa Rosulullah kami semua lapar dan lapar" dan saat salah satu mau pulang,al-Thobary berkata: Duduklah,kita tunggu datangnya rizki atau kematian, kemudian 2 org teman al-Thobary tidur di sisi makam Rosulullah saw,sedang al-Thobary duduk sambil memandang sesuatu, tiba2 datang seorang lelaki 'alawy (yaitu keturunan Nabi saw) bersama dg 2 budaknya yg masing2 membawa keranjang yg penuh dg makanan. Lalu kami duduk dan makan bersama, kemudian lelaki 'alawy berkata: Hai kamu apakah kamu semua mengadu kpd Rosulullah? Aku barusan bermimpi bertemu dg Rosulullah saw dan menyuruh aku membawakan makanan untuk kamu sekalian (kitab al-Wafa bi Ahwal al-Musthafa hal.818 karya Ibnu al- Jauzy)

3. Abu Ali al-Husaini bin Ali bin Yazid al-Asbihany (277-349 H/ 900-961 M) beliau berkomentar sebagai berikut:

"Al-Hakim berkata bahwa aku telah mendengar Abu Ali al-Naisabury berkata: Pada suatu ketika aku dlm kesusahan yg sangat mendalam,lalu aku bermimpi bertemu Rosulullah saw. dan beliau berkata kpdku: "Pergilah ke makam Yahya bin Yahya (142-226 H/ 759-840 M),bacalah istighfar dan berdo'alah kpd Allah nanti kebutuhanmu akan dikabulkan" Kemudian pagi harinya aku melakukan hal tersebut,lalu kebutuhanku segera dikabulkan (kitab Tahdzib...juz 11 hal. 261 karya Imam Ibnu Hajar al-Asqolani) 4. Ibnu Taimiyah berkomentar dlm kitabnya Al-Kawakib Al Durriyah juz 2 hal. 6 yaitu:

"Tidak ada perbedaan antara orang hidup dan orang mati seperti yg dianggap sebagian orang. Jelas shohih hadits riwayat sebagian sahabat bahwa telah diperintahkan kpd orang2 yg punya hajat di masa Kholifah Utsman untuk bertawasul kpd nabi setelah beliau wafat (berdo'a dan bertawasul di sisi makam Rosulullah) kemudian mereka bertawasul kpd Rosulullah dan hajat mereka terkabul, demikian diriwayatkan al-Thabary"

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

DIBAWAH INI ANE TAMBAHKAN CATATAN MENARIK COPAS DR JAWABAN AKHI EKO ISKANDAR DIGRUOP ISLAM DENGAN SUNNAH DAN BID`AH HASANAH

TAWASSUL

Para ulama seperti al Imam al Hafizh Taqiyyuddin al Subki menegaskan bahwa tawassul, istisyfa’, istighatsah, isti’anah, tajawwuh dan tawajjuh, memiliki makna dan hakekat yang sama. Mereka mendefinisikan tawassul –dan istilah istilah lain yang sma – dengan definisi sbb:

“Memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan (ikram) keduanya.“ (Al Hafizh al Abdari, al Syarh al Qawim, hal 378). Sumber: Membongkar Kebohongan buku: “Mantan Kiai NU menggugat”; Tim Lembaga Bahtsul Masail PC NU Jember.

Tawassul merupakan salah satu amalan yang sunnah dan tidak pernah diharamkan oleh Rasulullah saw, tidak pula oleh ijma para sahabat radhiallahu ‘anhum, tidak pula oleh para tabi’in dan bahkan oleh para Ulama serta Imam-Imam besar Muhadditsin. Bahkan Allah memerintahkannya, Rasul saw mengajarkannya, Sahabat radhiallahu ‘anhum mengamalkannya.

Tak ada pula yang membedakan antara tawassul pada yang hidup dan mati. Karena tawassul adalah berperantara pada kemuliaan seseorang, atau benda (seperti air liur yang tergolong benda) di hadapan Allah swt, bukanlah kemuliaan orang atau benda itu sendiri.

Boleh berdoa dengan tanpa perantara, boleh berdoa dengan perantara, boleh berdoa dengan perantara orang shalih, boleh berdoa dengan perantara amal kita yang shalih, boleh berdoa dengan perantara Nabi saw, boleh pada shalihin, boleh pada benda. Misalnya: “Wahai Allah Demi kemiliaan Ka’bah”, atau “Wahai Allah Demi kemuliaan Arafah”, dll. (Sumber: Kenalilah Aqidahmu: Al Habib Munzir al Musawa).

Berdoa dengan bertawassul artinya memohon kepada Allah dengan menyebut sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah. Contohnya: “Ya Allah, berkat kebesaran Nabi-Mu Muhammad saw, mudahkanlah segala urusanku Yang Engkau ridhai.”

Seseorang yang bertawassul berarti mengaku bahwa dirinya penuh kekurangan. Dengan segala kekurangannya tsb, dia sadar bahwa doanya sulit dikabulkan. Oleh karena itu ia pun meminta syafa’at kepada sesuatu atau seseorang yang – menurut prasangka baiknya – dicintai Allah swt. Inilah hakikat tawassul. (sumber: Mana Dalilnya; Al Habib Novel bin Muhammad Alaydrus).

Tawassul adalah sebab (cara, sarana) yang dilegitimasi oleh syara’ sebagai sarana dikabulkannya permohonan seorang hamba. Tawassul dengan para Nabi & Wali diperbolehkan baik di saat mereka masih hidup atau mereka sudah meninggal. Karena mukmin yang bertawassul tetap berkeyakinan bahwa tidak ada yang menciptakan manfaat dan mendatangkan bahaya secara secara hakiki kecuali Allah. Para Nabi dan para Wali tidak lain hanyalah sebab dikabulkannya permohonan hamba karena kemuliaan dan ketinggian derajat mereka. Ketika seorang Nabi atau wali masih hidup, Allah swt yang mengabulkan

permohonan hamba. Demikian pula setelah mereka meninggal, Allah juga yang mengabulkan permohonan seorang hamba yang bertawassul dengan mereka, bukan Nabi atau Wali itu sendiri. (Sumber: Membongkar Kebohongan buku: “Mantan Kiai NU menggugat”; Tim Lembaga Bahtsul Masail PC NU Jember).

Baginda Nabi Muhammad saw melakukan tawassul

Dalam hadits dibawah ini akan disebutkan dengan jelas bahwa Rasulullah saw bertawassul dengan diri beliau sendiri dan dengan semua Nabi sebelum beliau, yang kesemuanya telah meninggal dunia kecuali Nabi Isa as. (Sumber: Mana Dalilnya; Al Habib Novel bin Muhammad Alaydrus).

Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Ath Thabrani dalam Mu’jamul Kabir; Maktabatul Ulum wal Hikam, juz 24. cet II Mushil, 1983, hal. 351. Diceritakan sbb:

Ketika ibunda dari Khalifah Ali bin Abi Thalib ra yang bernama Fathimah binti Asad rha meninggal dunia, Rasulullah saw memberikan pakaiannya untuk dijadikan kain kafan. Kemudian beliau memerintahkan Usamah bin Zaid, Abu Ayyub al Anshari, Umar bin Khaththab, dan seorang pemuda berkulit hitam untuk menggali lubang kubur. Mereka pun melaksanakan perintah Rasul saw. Namun ketika hendak menggali liang lahat, Rasulullah saw memerintahkan mereka untuk berhenti. Kemudian dengan kedua tangannya yang mulia, beliau sendiri yang menggali liang lahat dan membuang tanahnya. Setelah selesai, beliau berbaring di dasar kubur dan kemudian berkata:

“Allah adalah yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan dan Dia Maha Hidup dan tidak akan pernah mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad dan bimbinglah dia untuk mengucapkan hujjahnya serta luaskanlah kuburnya, DENGAN HAK (KEMULIAAN) NABI-MU DAN PARA NABI SEBELUMKU. Karena sesungguhnya Engkau Maha Pengasih dari semua yang berjiwa kasih.”

Setelah itu Rasulullah saw menshalatkan jenazah beliau dan memakamkannya dibantu oleh Abbas dan Abu Bakar Ash Shiddiq. (Hadits Riwayat Thabrani) Menurut Al Hafizh al Ghimari hadits ini merupakan hadits hasan, sedangkan menurut Ibnu Hibban adalah hadits shahih.

Tawassul para Sahabat radhiallahu ‘anhum dengan Baginda Nabi Muhammad saw setelah beliau saw wafat. (Sumber: Mana Dalilnya; Al Habib Novel bin Muhammad Alaydrus).

Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Ath Thabrani dalam Al Mu’jamus Shaghir; Maktabatul Islami Darul Ummar, juz 1. cet I Beirut, 1983, hal. 306. Diceritakan sbb:

Dalam Sunan Tirmidzi disebutkan bahwa Utsman bin Hunaif ra berkata:

Ada seorang lelaki tuna netra datang menemui Nabi saw dan meminta beliau untuk mendoakannya agar dapat melihat kembali. Pada saat itu Rasulullah saw memberikan dua pilihan kepadanya, yaitu didoakan sembuh atau bersabar dengan kebutaannya tersebut. Tetapi lelaki itu berkeras minta didoakan agar dapat melihat kembali.

Rasulullah saw kemudian memerintahkannya untuk berwudhu dengan baik dan membaca doa berikut: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon dan berdoa kepada Mu dengan (bertawassul dengan) Nabi-Mu Muhammad, Nabi yang penuh kasih sayang. (Duhai Rasul) Sesungguhnya aku telah bertawajjuh kepada Tuhanku dengan (bertawassul dengan) –mu agar hajatku ini terkabul. Ya Allah, terimalah syafaat beliau untukku. (HR Tirmidzi dan Abu Dawud).

Imam Tirmidzi menyatakan hadits ini sebagai hadits hasan sahih. Imam Hakim dan Adz Dzahabi juga menyatakan hadits ini sebagai hadits shahih.

Dalam hadits di atas, Rasulullah saw mengajarkan cara kita bertawassul kepada beliau. Tawassul seperti ini tidak hanya berlaku ketika beliau masih hidup, akan tetapi juga dapat dilakukan setelah wafat beliau saw. Buktinya SEJUMLAH SAHABAT MENGGUNAKAN TAWASSUL INI SEPENINGGAL NABI MUHAMMAD SAW. Bahkan mereka mengajarkannya kepada orang lain.

Ketika menyebutkan hadits di atas, Imam Thabrani menceritakan bahwa ada seorang lelaki yang sering kali mengunjungi Khalifah Utsman bin Affan ra untuk menyampaikan kepentingannya. Tetapi khalifah Utsman bin Affan ra tidak sempat memperhatikannya.

Ketika bertemu dengan Ustman bin Hunaif, lelaki itu menceritakan permasalahan yang ia hadapi. Utsman bin Hunaif kemudian memerintahkan lelaki itu untuk berwudhu, mengerjakan shalat dua rakaat di masjid, membaca doa tsb di atas dan kemudian mendatanginya untuk diajak pergi menemui sayyidina Utsman bin Affan.

Setelah melaksankan saran Utsman bin Hunaif, lelaki itu pergi menghadap khalifah Utsman bin Affan ra. Sesampainya di depan pintu, penjaga menyambutnya, membawanya masuk dengan menggandeng tangannya. Sayyidina Utsman bin Affan ra kemudian mendudukkannya di permadani tipis di dekatnya dan kemudian bertanya kepadanya, “Apa Hajatmu ?” Setelah menyebutkan semua hajatnya, sayyidina Utsman ra pun memenuhi permintaanya. Kemudian beliau ra berkata, “Kenapa baru sekarang kau sampaikan hajatmu? Setiap kali kau butuhkan sesuatu, segeralah datang kemari.”

Ketika meninggalkan kediaman Sayyidina Utsman ra, lelaki itu bertemu dengan Utsman bin Hunaif ra. “Semoga Allah membalas kebaikanmu. Sebelum engkau ceritakan perihalku kepadanya, beliau tidak pernah memperhatikan hajatku maupun memandangku.” ujar lelaki itu kepada Utsman bin Hunaif.

Jawaban Utsman bin Hunaif: “Demi Allah, aku tidak mengatakan apapun kepadanya (Sayyidina Utsman bin Affan ra). Hanya saja aku menyaksikan seorang lelaki tuna netra datang menemuin Rasulullah saw mengeluhkan kebutaannya ... (sampai akhir cerita tsb di atas).

ISTIGHATSAH

Al Habib Novel bin Muhammad Alaydrus menjelaskan dalam buku beliau; Mana Dalilnya; sbb:

Allah swt tidak pernah melarang kita untuk meminta tolong kepada makhluk-Nya. Hanya saja, Allah mengingatkan seluruh hamba-Nya, bahwa pada hakikatnya hanya Dia lah yang dapat memberi pertolongan.

Dalam syariat, Istighatsah diartikan sebagai permintaan tolong kepada Nabi, Rasul, atau orang saleh – yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia – untuk mendoakan agar ia dapat memperoleh manfaat atau terhindar dari keburukan dan lain sebagainya. (Intabih Dinuka fi Khathar; Abu Abdillah

Dalam dokumen Dasar Hukum dan Dalil Shalawat (1) (Halaman 102-111)