• Tidak ada hasil yang ditemukan

Salah Kaprah terhadap Sistem Tenurial Lokal

AGRARIA DI INDONESIA

II. Salah Kaprah terhadap Sistem Tenurial Lokal

Istilah sistem tenurial lokal yang digunakan di sini mengacu pada konsep tentang seperangkat relasi sosial dalam sebuah komunitas terkait dengan penguasaan terhadap tanah dan sumber daya alam. Secara sederhana, relasi itu terwujud dalam bentuk hak atau hubungan hukum antar orang/kelompok dengan obyek tanah/sumber daya. Karenanya dikenali pula dengan konsep ‘a bundle of rights’

(Ridell, 1987; Panesar, 2001). Meskipun demikian, apa yang dinamakan hak itu sesungguhnya adalah manifestasi dari relasi sosial dan kekuasaan di dalam komunitas yang bersangkutan. Oleh sebab itu, ‘a bundle of powers’ adalah sesuatu yang secara faktual akan sangat menentukan corak dan pelaksanaan hu- bungan hukum tersebut (Ribot dan Peluso, 2003). Inilah yang perlu menjadi pijakan dalam memahami sistem tenurial.

Sistem tenurial lokal merupakan pranata dan praktik penguasaan tanah dan sumber daya yang dijalankan oleh sekelompok orang yang membentuk komunitas baik dikenal dengan nama masyarakat adat ataupun tidak. Pada kelom- pok yang secara kategoris dipandang sebagai masyarakat adat, sistem tenurial ini muncul dalam berbagai sebutan seperti halnya ‘ulayat’ di Sumatera Barat, ‘petuanan’ di Maluku, ‘marga’ di Lampung, ‘simpukng’ pada masyarakat Benuaq di Kalimantan Timur, dan lain sebagainya. Semen- tara itu, pada kelompok masyarakat lain yang umumnya merupakan komunitas migran, pada beberapa kasus, juga mempunyai sistem tenurial yang khas. Sekelompok masya- rakat migran Jawa-Sunda di Lampung, misalnya, juga mem- punyai dan mengembangkan pranata penguasaan tanah dan sumber dayanya sendiri yang sebagian besar dibawa dari pranata di daerah asal namun mengadopsi pula beberapa elemen dari sistem tenurial di daerah baru. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat migran itu tidak selamanya merupakan masyarakat yang nir-pengaturan dalam hal penguasaan tanah dan sumber daya.

Beragamnya nama dari sistem tenurial lokal itu sesung- guhnya tidak mengingkari adanya kesamaan ciri-ciri dari sistem tersebut. Dapat disebutkan diantaranya adalah:

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Penguasaan terhadap tanah sebagai cara mengarti- kulasikan identitas kultural. Pada banyak komunitas, keterkaitan antara tanah dan identitas kultural ini sangat kuat sebagaimana muncul melalui pernyataan dan mito- logi lokal yang menggambarkan bagaimana tanah dipersepsikan sebagai ‘ibu’ yang menjadi cikal bakal serta melahirkan kehidupan pada komunitas tersebut. Suku Simuri di Papua, misalnya, menyebut tanah dengan istilah ‘wane’ (Wiwaron, et.al., 2005) dan Suku Kajang di Sula- wesi menyebutkannya dengan istilah ‘angrongta’ (Arsyad, 2005). Tanah dengan demikian mempunyai nilai yang lebih dari sekedar sumber daya ekonomi. Tanah adalah arena bagi berbagai kepentingan yang sangat kompleks. Secara ekonomi, tanah penting sebagai sumber kehidupan namun, tanah adalah pula wilayah kedaulatan bagi berla- kunya pengaturan lokal. Lebih dari itu, tanah adalah pula sebuah alamat bagi keberadaan komunitas secara kultural. Laksono (2002: 382) misalnya mengatakan bahwa tanpa tanah maka sebuah kebudayaan tidak mempunyai alamat untuk menelusuri sejarahnya dan membayangkan sesuatu bagi masa depannya. Implikasi dari semua ini adalah keya- kinan bahwa tanah tidak dapat dialihkan penguasaannya kepada pihak luar secara permanen. Saya menggaris- bawahi kata permanen di sini untuk menunjukkan bahwa peralihan hak secara temporal seperti halnya penyewaan masih dimungkinkan terjadi. Dalam praktiknya hal ini dilakukan oleh banyak komunitas masyarakat adat seperti penyewaan tanah ulayat nagari kepada perusa- haan-perusahaan Belanda di masa kolonial (lihat Narihisa, 2002: 189-2002). Sayangnya, hukum, kebi-

jakan dan program pembangunan nasional sering tidak mampu menangkap esensi ini. Tanah pada komunitas lokal (terutama masyarakat adat) lebih sering dilihat dalam dimensi ekonominya semata.

Penguasaan terhadap tanah dipegang oleh komu- nitas (communal rights) dengan tetap mengakui ada- nya penguasaan keluarga dan individual pada bagian-bagian tertentu. Penjelasan lebih lanjut tentang sifat penguasaan komunal ini dapat dilihat pada bagian III dari tulisan ini. Hal yang ingin disampaikan di sini adalah bahwa banyak kesalahpahaman terhadap karakter penguasaan ini. Sifat komunal dipahami sebagai pene- gasian terhadap segala penguasaan individual. Padahal, dalam praktinya hak-hak individual dan keluarga tetap diakui. Sistem tenurial lokal membentuk sistem kepe- milikan berlapis (multi-layered property rights), di mana kepemilikan lokal berada pada lapis terluar dan umumnya berfungsi dalam relasi dengan pihak luar. Sementara itu, di dalamnya terdapat sejumlah kepemilikan individual dan keluarga yang saling berinteraksi dalam payung kepemilikan komunal yang ada.

Batasan antara ranah publik dan privat dalam sistem kepemilikan tidak setegas pada sistem kepe- milikan dalam sistem hukum Barat, namun tidak berarti pula terdapat tumpang tindih antara kepe- milikan publik dan privat tersebut. Eksklusifitas merupakan ciri utama dari hak privat dalam sistem hukum Barat. Pada sistem tenurial lokal hal itu seakan-akan tidak tampak. Sebuah contoh yang jelas misalnya orang bebas menggunakan tanah seseorang sebagai jalan tembus

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

menuju ke suatu lokasi. Demikian pula setelah habis pa- nen, warga komunitas bebas mengambil sisa-sisa buah yang tidak dipetik pemiliknya. Hal ini sering dipahami sebagai kondisi tumpang-tindih antara kepemilikan publik dan privat dalam sistem tenurial lokal. Namun, sebenarnya tidaklah demikian. Konsepsi lokal tentang kepemilikan memasukkan kepentingan publik, pada derajat tertentu, inheren dalam kepemilikan individual. Ini merupakan pengejawantahan dari fungsi sosial tanah yang juga diatur oleh UUPA. Selain itu, pada beberapa komunitas, pemisahan ranah publik dan privat itu tidak ditentukan oleh batas tanah tetapi oleh waktu. Pranata dan praktik leles kopi pada masyarakat Jawa-Sunda di Lam- pung, misalnya, menunjukkan bahwa sisa-sisa buah kopi yang tidak dipanen lagi oleh pemiliknya dianggap sebagai barang publik. Setiap orang bebas mengambil. Namun terhadap kopi yang belum dipanen oleh sang pemilik, tetapkah menjadi milik privat dari si pemilik tersebut. • Ada batas yang jelas (biasanya berupa tanda-tanda

alam) terhadap wilayah komunal dimana tanah dan sumber daya alam berada, batas mana memperoleh pengakuan dari komunitas lain. Dengan demikian, klaim penguasaan tanah yang diajukan oleh komunitas- komunitas lokal itu bukanlah klaim yang tidak jelas sebagaimana sering diasumsikan selama ini. Anggota komunitas dan kelompok-kelompok lain di luar komu- nitas tersebut biasanya saling mengetahui batas wilayah masing-masing.

Ada pranata yang mengatur tentang penguasaan, pemanfaatan dan konservasi tanah dan sumber daya

alam, serta lembaga yang menjalankan dan mene- gakkan aturan termasuk menyelesaikan konflik. Ciri ini meneguhkan premis bahwa sistem tenurial lokal adalah konfigurasi relasi sosial-politik yang kompleks dalam sebuah komunitas. Dengan demikian persoalannya bukan sekedar relasi manusia dengan tanah. Tanah hanyalah sekedar arena dimana aturan-aturan lokal tumbuh dan dikembangkan. Pengakuan terhadap sistem tenurial lokal karenanya tidak bisa dilihat sebagai pemberian hak atas tanah semata melainkan bagaimana pengakuan itu sekaligus memberikan ruang bagi tumbuh dan berjalannya aturan-aturan lokal tersebut.

Pranata penguasaan tanah dan sumber daya alam umumnya didasarkan pada nilai-nilai yang diwarisi dari generasi ke generasi. Karena kondisi ini maka tidaklah mudah mengubah sistem tenurial lokal tanpa perubahan pada nilai-nilainya. Introduksi pranata baru sering tidak mampu membuat perubahan bahkan men- ciptakan benturan dengan pranata lama karena belum teringegrasi ke dalam alam pikiran warga komunitas. Pro- yek-proyek pensertifikatan tanah individual misalnya merupakan contoh yang sangat jelas menggambarkan bagaimana pranata baru dalam penguasaan tanah dapat menimbulkan konflik dalam komunitas lokal.

III. Pembaruan Agraria dan Sistem Tenurial Lokal: