• Tidak ada hasil yang ditemukan

strategi penegakan pengendalian pencemaran dan sanksi yang diterapkan di Australia, Kanada, Inggris dan Wales.

Abbot mempresentasikan hasil penelitiannya pada buku ini dan menjelaskan dalam 9 (sembilan) Bab. Pada Bab 1 “Environment, Enforcement and Deterrence, Abbot menguji tingkat kepatuhan yang diinginkan dan penegakan hukum, termasuk denda dan sanksi, dengan menggunakan teori yang ada dan menggarisbawahi bahwa pengetahuan tentang instrumen peraturan adalah sangat penting untuk dapat memahami strategi pemerintah yang dirancang dalam rangka membatasi kerusakan lingkungan.

Pada bab ini Abbot menyimpulkan bahwa Model Pencegahan yang dikemukakan Becker dan model Analisis Efektivitas Biaya merupakan salah satu cara untuk menilai penerapan berbagai strategi penegakan aturan dan pengenaan denda yang berbeda terhadap pencemaran lingkungan. Bab 2, “A Theoretical Framework of Enforcement and Compliance,” Abbot menggunakan Model Pencegahan Becker secara lebih komprehensif dan bahkan memperluas dasar-dasar dari model yang memungkinkan seseorang untuk menilai efektivitas biaya dalam mekanisme penegakan hukum yang berbeda sehingga tercapainya kepatuhan terhadap peraturan pengendalian polusi. Menurut Abbot, regulator harus menggunakan berbagai mekanisme penegakan hukum formal dan informal, termasuk peringatan informal, sanksi administrasi dan hukum, serta sanksi perdata, untuk menggiring suatu perilaku yang

diinginkan, khususnya kepatuhan untuk membatasi dan mengurangi pencemaran lingkungan.

Sedangkan pada Bab 3 “Environmental Enforcement Strategies,” menguji hubungan antara gaya yang berbeda dan penerapan doktrin pencegahan. Kerangka pencegahan sebagian besar didasarkan pada asumsi bahwa subjek hukum adalah pelaku ekonomi rasional yang mempunyai tujuan utama untuk memaksimalkan keuntungan. Oleh karena itu, dalam strategi pencegahan perlu ditekankan suatu penegakan hukuman, yang didukung oleh suatu ancaman pencegahan yang nyata dan kredibel. Selain itu, perlu suatu mekanisme yang dapat memastikan para subjek pelanggar hukum merasa dan tidak punya pilihan lain bahwa kepentingan mereka adalah justru untuk mematuhi hukum. Secara khusus pada Bab 4 “The Regulatory Landscape” dan Bab 5 “Environmental Enforcement Strategies in Australia, Canada, and England and Wales,” Abbot memberikan gambaran umum mengenai penerapan peraturan lingkungan hidup di Kanada, Australia dan Inggris serta Wales, dimana perlindungan lingkungan dan masalah pengendalian polusi merupakan salah satu agenda politik terpenting di negara-negara ini. Abbot kembali menguji model Efektifitas Biaya untuk meningkatkan perlindungan lingkungan dan meningkatkan dampak hukuman bagi perilaku yang tidak konformis. Hasil penelitiannya di keempat negara ini adalah bahwa tanggung jawab perlindungan lingkungan hidup berada pada beberapa lapisan/tingkat pemerintahan dan legislasi. Untuk mencapai kepatuhan terhadap berbagai

aturan lingkungan, adalah sangat penting diterapkan penegakan formal, seperti tuntutan pidana dan peringatan administratif, dibandingkan penegakan informal.

Pada bab 6 “Criminalizing Polluting Behavior: Models of Liability and Deterrence,” Abbot menegaskan peranan hukum pidana dalam mencegah masyarakat melakukan perusakan lingkungan dan pelanggaran hukum. Efektifitas penerapan sanksi pidana dan perdata dieksplorasi lebih lanjut oleh Abbot pada Bab 7 “Judicial Sanctions and Deterrence.” Abbot meneliti berapa lama hukuman pidana yang dikenakan oleh pengadilan terhadap pelaku perusakan dan menganalisa sejauh mana penetapan hukuman pidana dapat menghalangi individu dan perusahaan melakukan kejahatan lingkungan. Sedangkan pada Bab 8 “Administrative Sanctions and Deterrence,” Abbot membahas mekanisme peringatan hukum dan sanksi administrasi keuangan yang hemat biaya serta pendekatan yang fleksibel dalam rangka penegakan hukuman. Menurut Abbot, ancaman sanksi administrasi dan pencegahan ini memberikan sinyal yang cukup kuat dalam upaya pengendalian polusi lingkungan. Pada bab 9, penelitian ini semakin memperkuat pendapat Abbot tentang mekanisme penegakan hukum yang efektif dalam mengatasi kerusakan lingkungan. Abbot menyimpulkan bahwa sangat penting bagi para regulator untuk mengetahui bagaimana prosedur penerapan efektifitas biaya dan pemberlakuan sanksi maksimal yang dapat menimbulkan efek jera bagi para pelanggar. Abbot berpendapat

bahwa penggunaan Model Pencegahan yang diperluas dapat menjawab berbagai pertanyaan terkait menegakkan pengendalian pencemaran. Buku ini menunjukkan bagaimana Abbot mempresentasikan argumennya dengan sangat menarik. Abbot meneliti penggunaan analisis ekonomi pada regulasi pengendalian polusi untuk menemukan cara yang lebih baik untuk mendorong dan meningkatkan kepatuhan masyarakat. Penelitian Abbot menekankan pada masalah regulasi untuk mengontrol polusi yang menggabungkan elemen dari literatur hukum dan ekonomi sehingga menjadi suatu sebuah studi yang inovatif. Pada buku ini, Abbot secara detail mempresentasikan perbandingan efektivitas mekanisme penegakan hukum dalam mendorong tingkat kepatuhan dari berbagai perilaku yang berbeda. Selain itu, Abbot memberikan sebuah pengetahuan penting mengenai cara terbaik untuk menegakkan peraturan terkait pengendalian polusi. Untuk studi analisis komparatif terkait peraturan pengendalian polusi, Abbot mengambil contoh dan mengetengahkan berbagai penerapan kebijakan dan peraturan terkait pencemaran lingkungan di Kanada, Australia, dan Inggris dan Wales. Pilihan sample studi komparatif berdasarkan pertimbangan bahwa masalah lingkungan hidup merupakan agenda politik teratas di negara-negara ini. Model Pencegahan yang diperluas oleh Abbot merupakan alat analisis yang berharga dan suatu metodolo-gis yang dapat digunakan untuk mengevaluasi efektivitas biaya penegakan hukum. Buku ini akan dapat membantu, para pembuat kebijakan dalam menetapkan kebijakan dan peraturan terkait dengan lingkungan, baik pada tingkat nasional dan internasional.

Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional bekerjasama dengan Dharma Wanita Persatuan Kementerian Luar Negeri telah menyelenggarakan Seminar berjudul “Perlindungan Warisan Budaya : Siapa Menjiplak Siapa?” pada tanggal 19 Februari 2010 di Jakarta. Seminar tersebut diselenggarakan dengan maksud untuk meluruskan persepsi keliru yang berkembang di masyarakat umum terkait rezim hukum hak kekayaan intelektual non konvensional (Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional – biasa dikenal dengan Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore) dan kerangka perlindungan hak kekayaan intelektual konvensional seperti hak paten dan hak cipta.

Seminar diawali dengan pemberian kata sambutan oleh Wakil Ketua DWP Kementerian Luar Negeri, Sartika Oegroseno dan kemudian dilanjutkan dengan kata sambutan dari perwakilan anggota DWP Kementerian Luar Negeri oleh Ibu Moeliek Triyono Wibowo. Selanjutnya, Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Arif Havas Oegroseno memberikan presentasi yang

memaparkan permasalahan warisan budaya dan hak kekayaan intelektual serta upaya yang telah dilakukan Pemerintah guna terwujudnya perlindungan Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (SDGPTEBT). Pada kesempatan itu, Direktur Perjanjian Ekososbud, Damos Dumoli Agusman menjelaskan lebih lanjut mengenai langkah-langkah yang telah diambil oleh Pemerintah Indonesia, dalam hal ini sehubungan dengan pembentukan database nasional terkait warisan budaya takbenda (intangible cultural heritage) dan best practices negara-negara berkembang dengan database SDGPTEBT masing-masing.

Melalui penyelenggaraan seminar tersebut, maka diharapkan peserta seminar, antara lain DWP Kementerian Luar Negeri, DWP Instansi Pemerintah Pusat, DWP Provinsi DKI Jakarta, Kowani beserta organisasi lainnya, mendapatkan gambaran serta kesamaan pandangan dan pengetahuan mengenai permasalahan warisan budaya dan pada gilirannya dapat mendukung upaya Pemerintah dalam mewujudkan perlindungan SDGPTEBT.

Seminar “Perlindungan Warisan Budaya: Siapa Menjiplak Siapa”

Dokumen terkait