• Tidak ada hasil yang ditemukan

ARTIKEL. Editor. Rizal Wirakara Rheinhard Sinaga Syahda Guruh L. S. Rama Kurniawan. Gratifikasi: Selayang Pandang Rheinhard Sinaga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ARTIKEL. Editor. Rizal Wirakara Rheinhard Sinaga Syahda Guruh L. S. Rama Kurniawan. Gratifikasi: Selayang Pandang Rheinhard Sinaga"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

ARTIKEL

 Pencemaran Laut oleh Ladang Minyak Montara: A Responsibility And Liability Oktorian Saleh Hakim

  

 Quo Vadis Arah Kebijakan Perikanan Indonesia? Tantangan dalam Perspektif

Hukum dan Kepentingan Nasional (Bagian I) Hari Yulianto

 Kajian Rezim Hukum Antariksa Modern dari Perspektif Space Faring States dan Non Space Faring States

Ferry Junigwan Murdiansyah  Anti Dumping di Indonesia Hari Tjahjono

 Gratifikasi: Selayang Pandang Rheinhard Sinaga

  

 International Treaties and Third Parties Muniroh Rahim

BEDAH BUKU

 Enforcing Pollution Control Regulation: Strengthening Sanctions And Improving

Deterrence (Carolyn Abbot)

Irma Dewi Rismayati PRESS RELEASE

 Seminar “Perlindungan Warisan Budaya: Siapa Menjiplak Siapa” Jakarta, 19 Februari 2010

DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DEPARTEMEN LUAR NEGERI - REPUBLIK INDONESIA

Jln. Taman Pejambon No.6 - Jakarta

Telp. : (021) 384 6633 - 344 1508 Ext. 4212; Fax. : (021) 385 8044; Email : opiniojuris@deplu.go.id

Arif Havas Oegroseno Pemimpin Redaksi Mulya Wirana Redaktur Eksekutif Iswayudha Editor Hari Tjahjono Diar Nurbintoro Octavino Alimuddin Moh. Zahir Syah Soedajat Redaktur Pelaksana Adam Mulawarman Irma Dewi Rismayati Rizal Wirakara Rheinhard Sinaga Syahda Guruh L. S. Rama Kurniawan Desain Grafis Abdul Hayyi Distribusi Uki Subki Tasunah Endang SB Lestari

(2)
(3)

i ii 1 5 16 30 33 35 45 48 49 DAFTAR ISI PENGANTAR REDAKSI ARTIKEL

 Pencemaran Laut oleh Ladang Minyak Montara: A Responsibility And

Liability

Oktorian Saleh Hakim 



 Quo Vadis Arah Kebijakan Perikanan Indonesia? Tantangan dalam

Perspektif Hukum dan Kepentingan Nasional (Bagian I) Hari Yulianto

 Kajian Rezim Hukum Antariksa Modern dari Perspektif Space Faring

States dan Non Space Faring States

Ferry Junigwan Murdiansyah  Anti Dumping di Indonesia Hari Tjahjono

 Gratifikasi: Selayang Pandang Rheinhard Sinaga

 

 International Treaties and Third Parties Muniroh Rahim

BEDAH BUKU

 Enforcing Pollution Control Regulation: Strengthening Sanctions And

Improving Deterrence (Carolyn Abbot)

Irma Dewi Rismayati PRESS RELEASE

 Seminar “Perlindungan Warisan Budaya: Siapa Menjiplak Siapa” Jakarta, 19 Februari 2010

(4)

Jurnal

Hukum

dan

Perjanjian

Internasional, “Opinio Juris” diterbitkan

dalam rangka diseminasi informasi,

wacana dan perspektif hukum dan

perjanjian internasional yang berkaitan

dengan pelaksanaan hubungan luar

negeri.

Diharapkan

artikel

yang

disajikan

dapat

meningkatkan

pemahaman dan wawasan pembacanya

khususnya berkenaan dengan isu-isu

hukum dan perjanjian internasional.

Selain itu, jurnal ini sebagai sarana bagi

pegawai Kementerian Luar Negeri untuk

mengasah kemampuan menuangkan ide

dan gagasan serta mengemukakan

pendapat hukum yang kritis dan

informatif berkaitan dengan politik luar

negeri dan hubungan antar negara.

Jurnal Edisi ini menyajikan beragam

tulisan berkaitan dengan permasalahan

kewilayahan, baik kebijakan pengelolaan

kelautan, maupun perspektif negara

tentang pengelolaan wilayah udara;

penanganan hukum dalam pencemaran

lingkungan hidup. Selain itu, dua

permasalahan hukum menarik lainnya

adalah anti dumping di Indonesia dan

gratifikasi. Bedah Buku mengulas buku

karangan Carolyn Abbot, “Enforcing

Pollution

Control

Regulation:

Strengthening Santions and Improving

Deterrence” yang menggunakan model

ekonomi dalam menelaah masalah

penegakan hukum, pemberian sanksi

dan deterrence terkait pencemaran

lingkungan.

Kami berharap “Opinio Juris” ini dapat

menjadi wahana diseminasi berbagai

isu hukum dan perjanjian internasional,

dan sekaligus menjadi rujukan dalam

mengembangkan

wacana

tentang

peningkatan pemahaman berbagai hal yang

berkaitan dengan hukum dan perjanjian

internasional.

Kecuali dinyatakan sebaliknya, pandangan-pandangan dalam artikel yang termuat dalam Opinio Juris merupakan pendapat pribadi dan akademik.

(5)

Berita pencemaran Laut Timor beredar dan menjadi sorotan di beberapa media massa. Hal ini mulai terekspos setelah pada 21 Agustus 2009, PTT Exploration and Production (PTTEP) Australia menyatakan adanya gejala masalah pada aktivitas di Sumur Montara yang selama ini dikelola bersama oleh PTTEP Asutralasia (Thailand dan Australia).1 Dapat dipastikan bahwa sumbatan beton dan karet di ujung sumur dengan kedalaman 3,6 km itu ternyata retak. Semburan minyak dan gas Montara tidak terelakkan lagi mencemari laut sekitarnya. Kawasan yang dicemari minyak mentah tersebut dengan cepat meluas. Pada Desember 2009 silam, perairan yang terkena baru mencapai 6.000 kilometer persegi, namun dalam waktu sebulan area yang tercemari menjadi 12.000 kilometer persegi. Hal yang cukup mengkhawatirkan bahwa pencemaran laut tersebut mulai merambah wilayah Indonesia. Keterangan itu didukung oleh hasil Data Balai Riset dan Observasi Kelautan (BROK), Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) 2. Perkiraan BROK adalah polutan akan bergerak mengikuti arus laut yang dominan

PENCEMARAN LAUT OLEH LADANG MINYAK MONTARA:

A RESPONSIBILITY AND LIABILITY

Oleh : Oktorian Saleh Hakim

1. Gatra, 17 Februari 2010 Edisi No 14 Tahun XVI 11 Feb – 17 Feb 2010, hlm 39 2. Ibid

3. Ibid 4. Ibid.

ke arah barat-barat laut sepanjang Agustus-September, yang berlanjut ke arah timur sejak awal Oktober. Jika perkiraan ini benar dapat terjadi tiga kemungkinan : 1. Tumpahan minyak akan makin mendekati Pulau Rote, selanjutnya masuk ke wilayah Laut Sawu, 2. Tumpahan minyak mengalami deposisi ke lapisan air laut dalam, 3. Polutan yang ada juga dapat menyebar dengan pola yang berbeda3. Hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa Laut Timor sudah sangat tercemar, oleh karenanya dapat dipastikan bahwa Pemerintah Indonesia tidak hanya akan mengambil tindakan mitigasi tetapi juga berencana mengajukan tuntutan ganti rugi kepada PTTEP Australasia4. Asas “tanggung jawab negara” dan “pencemar membayar”.

Sebagai konsekuensi dari ratifikasi atas United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982, Pemerintah Indonesia berkewajiban untuk menyesuaikan seluruh instrumen hukum nasional yang berkaitan dengan kelautan. Atas dasar itu pula, negara kita sudah membentuk Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan

(6)

dan Perlindungan Lingkungan Hidup (UU 32/2009)

Hal menarik dari UU 32/2009 tersebut yaitu terkandung asas-asas hukum lingkungan. Diantaranya yaitu asas “tanggung jawab negara” dan “pencemar membayar”. Asas tanggung jawab negara mengandung pengertian bahwa :

a) Negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan. b) Negara menjamin hak warga negara atas

lingkungan hidup yang baik dan sehat. c) Negara mencegah dilakukannya kegiatan

pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Sedangkan asas pencemar membayar yaitu bahwa setiap penanggung jawab yang usaha dan/ kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan. Menilik kedua asas yang terkandung dalam UU 32/2009 apabila dikaitkan dengan kasus pencemaran Laut Timor oleh PTTEP Australia sudah seharusnya pemerintah mengambil tindakan segera untuk menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Instrumen hukum dalam kasus pencemaran lingkungan lintas batas negara.

Pencemaran laut lintas batas negara telah menjadi perhatian dari Internasional Maritime

Organization (IMO), dimana di dalam salah satu Konvensi-nya diatur secara jelas mengenai tanggung jawab “pencemar” beserta kompensasi lengkap dengan batasan jumlah ganti rugi yang bisa dituntut. Konsep tanggung jawab tersebut juga tercantum dalam UNCLOS, dimana Indonesia, Thailand, dan Australia merupakan negara-negara penandatanganan konvensi hukum laut tersebut. Pemerintah Indonesia dapat menggunakan konsep tanggung jawab pada UNCLOS sebagai dasar acuan atau rujukan untuk mitigasi dan klaim ganti rugi. UNCLOS Pasal 139 ayat 1 menyatakan :

“States Parties shall have the responsibility to ensure that activities in the Area, wheter carried out by States Parties, or state enterprises or natural or juridical persons which possess the nationality of the States Parties or are effectively controlled by them or by their nationals, shall be carried out in conformity with this Part ...”

Kemudian Pasal 192 menyatakan : “States have the obligation to protect and preserve the marine Environment” Lalu Pasal 235 ayat 3 menyatakan :

“with the objective of assuring prompt and adequate compensation in respect of all damage caused by pollution of the marine environment, States shall cooperate in the implementation of existing international law and the further

(7)

development of international law relating to responsibility and liability for the assessment of and compensation for damaged and the settlement of related disputes, as well as, where appropriate, development criteria and procedures for payment of adequate compensation such as, compulsory insurance or compensation funds. Minyak sebagai sumber pencemaran menurut ketentuan International Convention on Liability for Oil Pollution Damage 1969 beserta Protocol 1992 (CLC 1969) yaitu :

“Oil means any persisten hydrocarbon mineral oil such as crude oil, fuel oil, heavy diesel oil and lubricating oil, whether carried on board a ship as cargo or in the bunkers of such a ship”. “Persisten” dalam pengertian CLC 1969 dan tercantum pada UU 32/2009 mengkategorikan minyak persisten dalam kategori B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) yang mengandung arti bahwa komposisi kimiawinya dalam waktu lambat terdegradasi secara alami ketika tumpah ke dalam lingkungan laut dan cenderung menyebar dan memerlukan pembersihan.5

Untuk peristiwa Montara, pada saat terjadinya kebocoran hingga minyak tumpah dan mencemari laut, maka pemilik dan/pengelola fasilitas memiliki tanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh tumpahnya minyak persisten tersebut. Dalam

hal ini yaitu PTTE Australasia sebagai operator dari anjungan minyak lepas pantai Montara (West Atlas Oil Rig).

Responsibility dan Liability

Mengacu ketentuan UNCLOS 1982 Pasal 139, 192, dan 235 maka Australia memiliki tanggung jawab (Responsibility) untuk melakukan pencegahan pencemaran dan tindakan mitigasi limbah minyak. Dalam pengertian Pasal 192 UNCLOS, Indonesia juga memikul kewajiban mitigasi tersebut, mengingat semua negara pihak dalam UNCLOS berkewajiban menjaga lingkungan laut dari pencemaran. Selain itu, kewajiban negara tersebut sesuai dengan asas tanggung jawab negara menurut UU 32/ 2009. Akan tetapi dalam melaksanakan mitigasi, Indonesia berhak meminta bantuan dan tanggung jawab Australia, mengingat asal terjadinya pencemaran adalah di wilayah Australia, dan penyebarannya telah memasuki zona ekonomi ekslklusif Indonesia (ZEE). Indonesia memiliki hak atas bantuan teknis dan dana mitigasi dari pemerintah Australia. Sedangkan gugatan ganti rugi (Liability for Oil Pollution Damage) dapat diajukan Pemri kepada PTTE Australasia, yang memang secara nyata terbukti bertanggung jawab atas tumpahan minyak ke laut dan menyebabkan pencemaran yang berdampak negatif pada ekosistem laut di wilayah laut Indonesia serta merugikan masyarakat yang menggantungkan perekonomiannya pada

5. Eny Budi Sri Haryani, Makalah “Pencemaran Minyak di Laut dan Tuntutan Ganti Kerugian”, Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005.

(8)

ekosistem laut. Gugatan ganti rugi yang disertai dengan kelengkapan data pendukung akan menguatkan klaim Indonesia atas potensi kerugian yang dapat meningkatkan kemiskinan masyarakat di sekitar lokasi pencemaran dan kerusakan hayati laut. Rencana pertemuan Presiden Indonesia dengan Perdana Menteri Australia bulan Mei mendatang menunjukkan kedewasaan dan konsistensi Indonesia menghadapi persoalan regional serta mencari solusi atas masalah internasional dengan tetap mengedepankan prinsip “settlement of dispute in peaceful manner” serta selalu mengutamakan “cooperation and consultation”.

Hal ini sejalan dengan norma UNCLOS bahwa mitigasi pencemaran lintas batas negara harus dilakukan melalui kerjasama antar negara.

Komitmen dan dukungan dari Pemerintah Australia dan Thailand dapat membantu kelancaran proses tuntutan ganti rugi, mengingat PTTE Australasia merupakan perusahaan joint venture antara PTTE (Thailand) dan Australasia (Australia). Hasil tuntutan ganti rugi tersebut akan sangat berarti bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur untuk menggantikan sumber mata pencaharian yang hilang karena polusi minyak dan untuk memulihkan hayati laut yang rusak.

(9)

QUO VADIS ARAH KEBIJAKAN PERIKANAN INDONESIA?

TANTANGAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN

KEPENTINGAN NASIONAL (Bagian I)

1

Oleh : HARI YULIANTO

Arti Strategis Sumber Daya Perikanan

Sumber daya ikan memiliki arti penting, baik sebagai sumber protein dan gizi pada makanan di banyak negara maupun kontribusinya yang semakin meningkat bagi keamanan pangan dunia.2 Sektor perikanan kiranya telah menjadi sumber protein utama bagi satu miliar umat manusia dan merupakan 5-10% persediaan pangan dunia.3

Dalam Deklarasi World Summit on Food Security November 2009, diprediksikan keharusan negara-negara untuk meningkatan output pertanian (termasuk ikan) sebesar 70% sampai dengan tahun 2050 guna menjamin pangan masyarakat dunia yang diperkirakan akan melebihi 9 miliar jiwa pada saat itu.4

Sumber daya ikan juga memberikan keuntungan ekonomi dan sosial yang sangat besar. FAO memperkirakan nilai perdagangan ekspor produk

perikanan pada 2009 sebesar 93,4 miliar Dollar AS5 sedangkan kegiatan penangkapan ikan dan aquaculture telah berperanan penting sebagai mata pencaharian langsung bagi sekitar 43,5 juta orang dan 4 juta orang secara tidak langsung (2006). Dari jumlah tersebut, diperkirakan 86 % dari nelayan-nelayan tersebut berada di kawasan Asia, terutama Cina yang menempati jumlah terbanyak terdiri atas 8,1 juta nelayan dan 4,5 juta petani ikan.6

Tantangan Pengelolaan Perikanan Dunia

Terkait kegiatan penangkapan ikan, FAO memperkirakan bahwa pada tahun 2006 terdapat kapal-kapal penangkap ikan bermesin sebanyak 2,1 juta, dimana 70%-nya terkonsentrasi di Asia dan sisa70%-nya tersebar di Afrika, Eropa, Timur Dekat, Amerika Latin dan Karibia. 90% dari jumlah tersebut didominasi oleh kapal-kapal yang berukuran kurang dari 12 meter, khususnya

1. Materi tulisan dalam artikel ini merupakan Bagian Pertama dari keseluruhan Artikel “QUO VADIS ARAH KEBIJAKAN

PERIKANAN INDONESIA? TANTANGAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN KEPENTINGAN NASIONAL”,

kelanjutan tulisan ini akan dimuat dalam edisi mendatang. 2. http://www.fao.org/fishery/topic/424/en

3. A Marine Environment and Tanker Safety Action Plan, G 8 Summit, Evian June 2003 4. Declaration of the World Summit on Food Security, Rome, 16-18 November 2009 5. FAO Food Outlook Global Market Analysis.

http://www.fao.org/docrep/012/ak341e/ak341e01.htm#40 6. The State of World Fisheries and Aquaculture 2008

(10)

di wilayah Asia, Afrika dan Timur Jauh, sedangkan kapal-kapal di kawasan Pasifik, Oceania, Eropa dan Amerika Utara umumnya terdiri dari kapal-kapal yang berukuran lebih besar.7

Kegiatan pengangkapan ikan yang telah dimulai secara global pada abad ke-20 didukung juga oleh penggunaan kapal bermotor, murahnya harga bahan bakar, penggunaan mesin pendingin, peningkatan pasar komoditas global, dan subsidi pemerintah bagi peningkatan armada kapal. Praktek-praktek penangkapan ikan secara negatif seperti penangkapan ikan secara berlebihan (overfishing) yang bersifat destruktif, serta pencemaran terhadap ekosistem laut, pada akhirnya telah mengubah lautan dunia dan memengaruhi sumber daya perikanan laut.8

Dalam kurun waktu 40 tahun, sejak 1950 – 1990, diperkirakan hasil tangkapan (total landings) perikanan laut meningkat lima kali lipat (Mace, 1997). Namun demikian, upaya penangkapan ikan tidak mampu mengimbangi permintaan yang semakin meningkat sementara banyak dari perikanan laut telah melampaui batas penangkapan (overfished). FAO memperkirakan dalam periode 1990 – 1997, konsumsi ikan meningkat sebesar 31% sementara pemenuhan dari tangkapan ikan hanya bertambah sebesar 9%. Hal ini pada gilirannya telah meningkatkan 7. Ibid.

8. The Future of Marine Fish Resources, December 2009 J. Emmett Duffy

9. James H. Tidwell & Geoff L. Allan, Ecological and economic impacts and contributions of fish farming and capture fisheries. http://www.nature.com/embor/journal/v2/n11/full/embor285.html

10. Global fisheries face the ecosystem challenge. ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/011/aj982e/aj982e09.pdf

11. Conservation Science Institute. 2009. Destructive Fishing Practices. http://www.conservationinstitute.org/ocean_change/ Fisheries/destructivefishingpractices.htm.

tekanan pada usaha-usaha penangkapan ikan komersial. Diperkirakan bahwa hampir setengah dari seluruh perikanan laut telah tereksploitasi (FAO, 1999) dan 70% diantaranya membutuhkan pengelolaan segera.9

Ekosistem ikan juga mengalami krisis yang diakibatkan oleh polusi air dan degradasi habitat, dimana kapal-kapal melakukan pencemaran di laut dengan membuang sampah dan limbah serta terjadinya tumpahan minyak oleh kapal. Beberapa kasus penangkapan ikan dengan menggunakan alat-alat tangkap yang bersifat destruktif juga membawa akibat merugikan pada lingkungan laut. Penggunaan tropical shrimp trawling, misalnya, tidak hanya mampu menangkap ikan namun juga dapat mengakibatkan ikut terbawanya penyu laut sebagai bycatch.10 Para nelayan juga banyak menggunakan bottom trawling, yaitu penggunaan jaring besar yang ditebarkan hingga ke dasar laut sehingga menjaring tidak hanya ikan namun juga hewan laut dan organisme lainnya seperti terumbu karang dan mengancam keanekaragaman hayati (biodiversity) serta lingkungan laut.11 Selain masalah-masalah tersebut diatas, pengelolaan perikanan juga terkait dengan aspek politik dan keamanan negara, baik secara bilateral, regional, maupun internasional. Isu

(11)

keberlanjutan (sustainability) sumber daya kelautan kiranya telah menjadi tema geopolitik baru yang menjadi perhatian saat ini. Hal ini sejalan dengan meningkatnya Gross World Product dunia sebesar 60 triliun Dollar AS, yang tidak hanya membawa keuntungan berupa peningkatan harapan hidup (life expectancy) dan kesehatan publik secara keseluruhan, namun juga memiliki dampak negatif berupa berkurangnya/hilangnya biodiversity dunia dan sumber daya perikanan laut. Kecuali jika kita mengadaptasikan global politik dengan tantangan keberlanjutan, maka kita akan menisbikan harapan kesejahteraaan dan perdamaian di masa depan.12

Secara lebih luas, potensi konflik akan terjadi dalam hal persaingan atas sumber daya akibat perubahan iklim dan menipisnya sumber daya air baik secara kuantitas (digunakan untuk kebutuhan hidup) maupun secara kualitas (terkait kontaminasi sumber daya air, misalnya 80% perairan Cina tidak lagi aman bagi kehidupan ikan). Potensi ”wars over water” ini sejalan dengan meningkatnya angka pertumbuhan penduduk, khususnya yang penghidupannya tergantung pada air, seperti di Asia Tenggara, India, dan Cina.13 Dalam konteks regional, pengelolaan perikanan dan lingkungan laut juga terkait dengan karakteristik geopolitik kawasan. Perdebatan

dan kepentingan atas Laut Cina Selatan, misalnya masih menjadi topik hangat hingga saat ini. Meskipun resiko terjadinya konflik telah menurun, namun demikian penetapan batas maritim dan klaim kedaulatan di kawasan ini masih menjadi isu yang belum terselesaikan. Disetujuinya Philippines Baseline Bill oleh Kongres Filipina dan Presiden Arroyo pada 2009, misalnya, telah mendapat protes dari Cina, karena akan menutup Huangyan Island (Scarborough Shoal) dan memasukkan beberapa pulau Nansha (Spratly Islands) sebagai bagian wilayah Filipina. Cina dan Vietnam selanjutnya menyebut tindakan Filipina ini dapat mengancam perdamaian dan stabilitas di kawasan.14

Masih adanya tumpang tindih klaim batas maritim dari beberapa negara di kawasan Laut Cina Selatan, pada gilirannya telah mempenga-ruhi upaya pengelolaan laut, keselamatan dan keamanan pelayaran, perlindungan dan konservasi lingkungan laut, serta eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan.15 Dalam ketiadaan batas maritim yang disetujui, upaya pengelolaan bersama (a cooperative management regime), dan dengan menghindarkan diri dari klaim yurisdiksi sepihak serta kepemilikan tunggal atas sumber daya kelautan, nampaknya menjadi solusi terbaik pada saat ini.16

12. Jeffrey Sachs, the New Geopolitics, Preventing wars and other strife will increasingly depend on facing the ecological consequences of our economic activities.

13. International Institute of Straregic Studies (IISS), 7th Global Strategic Review: "The New Geopolitics", written by: Brig. Gen. (rtd.) Dieter Farwick, Dr. Benedikt Franke, Philipp Hauenstein and Benedikt Wahler, 24-Sep-09

14. Sam Bateman, Commentary on Energy and Geopolitics in the South China Sea by Michael Richardson 15. Ibid.

(12)

Sehubungan dengan faktor keamanan pengelo-laan perikanan, isu yang juga mengemuka dalam agenda kebijakan perikanan internasional adalah kegiatan illegal, unregulated and unreported fishing (IUU Fishing). Kegiatan IUU Fishing selain berdampak langsung pada biodiversity dan berkurangnya jumlah tangkapan ikan yang sah, juga berdampak tidak langsung terhadap keberlangsungan ekonomi dan sosial masyarakat nelayan yang hidupnya bergantung pada perikanan serta merugikan industri perikanan yang menjalankan aturan yang ditetapkan oleh otoritas pengelolaan.17 Meningkatnya kegiatan IUU Fishing yang mengancam sumber daya perikanan dunia tersebut selanjutnya makin didorong oleh aktivitas kapal-kapal penangkap ikan yang menggunakan ”flags of convenience.18 19 Dalam International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate lllegal, Unreported and Unregulated Fishing 2001 disebutkan bahwa Illegal fishing merupakan kegiatan yang “conducted by national or foreign vessels in

waters under the jurisdiction of a State, without the permission of that State, or in contravention of its laws and regulations; conducted by vessels flying the flag of States that are parties to a relevant regional fisheries management organization but operate in contravention of the conservation and manage-ment measures adopted by that organization and by which the States are bound, or relevant provisions of the applicable international law; or in violation of national laws or international obligations, including those undertaken by cooperating States to a relevant regional fisheries management organization.”20 Adapun Unreported fishing merupakan kegiatan penangkapan ikan yang “which have not been reported, or have been misreported, to the relevant national authority, in contra-vention of national laws and regulations; or undertaken in the area of competence of a relevant regional fisheries management organization which have not been reported or have been misreported, in contravention of the reporting procedures of that organization”21

17. Carl-Christian Schmidt, Addressing Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing

18. The Rome Declaration on the Implementation of the Code of Conduct for Responsible Fisheries, adopted by the FAO Ministerial Meeting on Fisheries, Rome, 10-11 March 1999

19. Sebuah kapal dikatakan menggunakan “flag of convenience” jika ia terdaftar di suatu negara asing “dengan tujuan mengurangi biaya operasi atau menghindari peraturan pemerintah” The American Heritage Dictionary of the English Language, Fourth Edition. Houghton Mifflin Company. 2004. http://dictionary.reference.com/browse/flag%20of%20convenience.

United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 menyatakan dalam Pasal 94 bahwa Negara Bendera memiliki yurisdiksi terkait masalah administrasi, teknis dan sosial kapal serta masalah kondisi perburuhan dan seaworthiness. Selanjutnya berdasarkan instrumen-instrumen internasional pasca UNCED, Negara bendera bertanggungjawab atas ketaatan kapal terhadap ketentuan manajemen dan konservasi perikanan internasional, termasuk di laut lepas. -

Namun demikian beberapa negara menggunakan “open registers” hanya demi menarik keuntungan, yaitu dengan tidak mengambil langkah positif untuk memenuhi tanggungjawab ketaatan Negara Benderanya terkait kapal perikanannya. Banyak dari negara-negara ini tidak menjadi anggota atau bekerjasama dengan Regional Fisheries Management Organization (RFMO) yang telah mengadopsi ketentuan manajemen dan konservasi internasional. Hal ini telah menjadi faktor pendorong bagi kapal-kapal perikanan untuk membeli ”flag of convenience” dari negara open registry yang tidak melakukan tanggung jawab ketaatan negara Bendera atas kapal-kapal perikanannya.

FAO Corporate Document Repository, Title : Fishing vessels operating under open registers and the exercise of flag state…. http://www.fao.org/docrep/005/Y3824E/y3824e04.htm

(13)

Sementara Unregulated fishing merupakan kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan “in the area of application of a relevant regional fisheries management organization that are conducted by vessels without nationality, or by those flying the flag of a State not party to that organization, or by a fishing entity, in a manner that is not consistent with or contravenes the conservation and management measures of that organization; or in areas or for fish stocks in relation to which there are no applicable conservation or management measures and where such fishing activities are conducted in a manner inconsistent with State responsibilities for the conservation of living marine resources under international law”. Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut, kegiatan penangkapan ikan unregulated tertentu dapat berlangsung “in a manner which is not in violation of applicable international law, and may not require the application of measures envisaged under the International Plan of Action”22

Guna menggambarkan besarnya akibat IUU Fishing, FAO memperkirakan bahwa pada beberapa sektor perikanan yang penting, IUU Fishing dapat mencapai 30% dari keseluruhan tangkapan perikanan. Dalam satu kesempatan, FAO pernah mengindikasikan bahwa tangkapan ikan dari IUU Fishing dapat mencapai tiga kali lebih banyak dari level tangkapan yang diperbolehkan.23

20. http://www.imcsnet.org/imcs/docs/international_poa.pdf 21. Ibid

22. Ibid.

23. David J. Doulman, "A General Overview of some Aspects of Illegal, Unreported and Unregulated Fishing" (FAO Fisheries Report No. 666, FIPL/R666), FAO, Rome 2001.

http://www.oecd.org/document/5/0,3343,en_2649_33901_21007109_1_1_1_37401,00.html 24. Edward H Allison, Ingrid Kelling, Fishy crimes: the societal costs of poorly governed marine fisheries.

Selanjutnya pada awal 2009, Bank Dunia dan FAO juga menerbitkan laporan yang berjudul “The Sunken Billions“ untuk menggambarkan inefisiensi sektor perikanan. Laporan tersebut menghitung selisih antara keuntungan ekonomi potensial dan aktual perikanan global sebesar 50 miliar Dollar AS per tahun, sehubungan dengan hilangnya keuntungan akibat IUU Fishing. Diperkirakan pula bahwa total kerugian ekonomi global sektor perikanan dalam 30 puluh tahun terakhir adalah sebesar 3 triliun Dollar AS, tidak termasuk kerugian “human security risks”.24

Perkembangan Instrumen Hukum dan Institusi Internasional Pengelolaan Perikanan

Instrumen-instrumen hukum internasional terkait dengan pengelolaan perikanan tersebut di atas, kiranya perlu terlebih dahulu merujuk pada awal perkembangan hukum laut modern. Hugo Grotius (1583-1645) telah meletakkan prinsip Mare Liberum (freedom of the seas) yang menyatakan bahwa setiap negara bebas menggunakan laut, termasuk sebagai jalur perdagangan. Prinsip tersebut memperoleh perlawanan dari John Selden (1584-1654), yang berpendapat bahwa laut dapat menjadi dominion dan property dari suatu negara seperti halnya darat, atau yang dikenal dengan prinsip Mare Clausum. Dalam perkembangannya kemudian, konsep kebebasan di laut ini lebih mendapat

(14)

tempat sebagai hukum kebiasaan inter-nasional di bidang hukum laut.25

Paska Perang Dunia II, terdapat kesadaran untuk melakukan pemutakhiran dan kodifikasi hukum kebiasaan internasional. Guna maksud tersebut maka diadakan Konferensi Hukum Laut I pada 1958 yang kemudian menghasilkan empat Konvensi yang dikenal dengan “Konvensi Jenewa 1958”. Konvensi tersebut meliputi the Convention on the Territorial Sea and the Contiguous Zone; the Convention on the High Seas; the Convention on the Continental Shelf; dan the Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas.26

Dalam perkembangannya, Konvensi Jenewa 1958 mendapat pertentangan keras dari negara-negara pantai. Pada 1970an terdapat ketidakpuasan negara-negara berkembang atas rezim perikanan yang ada, sehubungan dengan fakta bahwa kapal-kapal dari distant developed states, yang dilengkapi dengan teknologi terbaru, melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut lepas yang jauh dari pantainya. Pada saat yang sama, beberapa negara maju menyuarakan hal yang sama, terkait dengan keinginan mereka untuk memperoleh akses yang lebih besar atas sumber daya perikanan dan ketidakpercayaan atas kemampuan komisi perikanan internasional untuk mengatur penangkapan ikan ditengah

tekanan atas sediaan ikan akibat semakin intensifnya metode penangkapan ikan.27 Dalam Konferensi III Hukum Laut, the Sea Bed Committee mengungkapkan tiga pendekatan terkait dengan perikanan. Pertama, negara-negara berkembang menginginkan yurisdiksi yang luas bagi negara pantai atas perikanan (suatu ide yang kemudian berkembang dalam proposal mengenai Zona Ekonomi Eksklusif-ZEE). Kedua, Amerika Serikat dan Kanada, mengusulkan pendekatan manajemen perikanan berdasarkan karakteristik migrasi spesies yang berbeda, dimana spesies ikan yang bermigrasi jauh akan diatur oleh organisasi perikanan internasional. Ketiga, Jepang dan Uni Soviet memilih status quo, yaitu menginginkan sedikit perubahan dari rezim yang ada, dan berpendapat bahwa negara-negara pantai/berkembang seharusnya menikmati hak-hak preferensial dalam perairan yang dekat dengan pantainya.28 Ketentuan-ketentuan dalam UNCLOS 1982 mengenai perikanan memang pada akhirnya merefleksikan pendekatan yang pertama dari negara-negara berkembang, namun demikian elemen-elemen pendekatan spesies dapat pula ditemukan.29 ”Kompromi kepentingan” tersebut misalnya terdapat dalam Pasal 64 UNCLOS 1982 sebagai berikut:

25. William Tetley, International Maritime and Admiralty Law, International Shipping Publication, Les Editions Yvon Blais Inc, 2002, hal 630-631.

26. Ibid.

27. RR Churchill and A.V Lowe, the Law of the Sea, Juris Publishing Manchester University Press 1999, hal 288. 28. Ibid.

(15)

The coastal State and other States whose nation-als fish in the region for the highly migratory species listed in Annex 1 shall cooperate directly or through appropriate international organiza-tions with a view to ensuring conservation and promoting the objective of optimum utilization of such species throughout the region, both within and beyond the exclusive economic zone. In re-gions for which no appropriate international organization exists, the coastal State and other States whose nationals harvest these species in the region shall cooperate to establish such an organization and participate in its work.30 Prinsip kebebasan menangkap ikan di laut lepas memang diakui sebagai salah satu prinsip yang dijamin dalam kebiasaan hukum internasional, the Geneva Convention on the High Seas, dan Bagian VII UNCLOS 1982. Prinsip ini misalnya dapat dirujuk dalam putusan arbitrasi Behring Sea Fur Seals (1893) yang menolak klaim Inggris atas kapasitasnya untuk menahan kapal Amerika Serikat yang melakukan penangkapan fur seal di laut lepas, berdasarkan peraturan perlindungan dan konservasi.31

Namun demikian, tarik menarik antara kebebasan menangkap ikan dan kebutuhan penerapan aturan konservasi di laut lepas, sebagaimana diilustrasikan dalam kasus laut Behring tersebut, kiranya telah menjadi kunci dalam memahami dua perkembangan hukum

penting yang terjadi hingga saat ini. Pertama, adanya perubahan aturan mengenai perikanan di laut lepas oleh regional treaties untuk menjamin konservasi, pembangunan sediaan ikan (fish stocks), dan distribusi hasil laut yang lebih adil. Kedua, perluasan yurisdiksi perikanan nasional oleh negara pantai sampai dengan 200 mil dari garis batas laut teritorial, atau yang dikenal dengan zona ekonomi eksklusif.32

Bagi negara-negara berkembang yang berpantai, perluasan laut wilayah sejauh 200 mil laut merupakan reaksi atas prinsip kebebasan di laut dari kapal-kapal penangkap ikan negara-negara maritim besar yang mengarungi semua lautan dan samudera dan melakukan kegiatan-kegiatannya di laut-laut dekat perairan nasional negara-negara pantai. Selanjutnya, dikarenakan negara-negara pantai tersebut merasa lebih berhak dari negara-negara lain telah memutuskan untuk mencadangkan kekayaan-kekayaan laut yang berdekatan dengan perairannya untuk kesejahteraan rakyat mereka.33

Dengan demikian, konsepsi ZEE merupakan manifestasi dari usaha-usaha negara-negara pantai untuk melakukan pengawasan dan penguasaan terhadap segala macam sumber kekayaan yang terdapat di zona laut yang terletak di luar dan berbatasan dengan laut wilayahnya.34

30. Article 64 United Nations Convention on the Law of the Sea 1982

31. Oppenheim’s International law, Ninth Edition 1996, Edited by Sir Robert Jennings QC and Sir Arthur Watts KCMG QC, Volume 1, Longman, hal 757.

32. Ibid.

33. Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global. Edisi ke-2 , Penerbit PT Alumni, 2005 hal 359

(16)

Pengaturan lebih lanjut upaya konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan di laut lepas diatur dalam Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas 1993. Pengaturan ini bertujuan menjamin negara-negara bendera kapal untuk melakukan pengawasan atas kapal-kapalnya yang melaku-kan penangkapan imelaku-kan di laut lepas dengan mengharuskan kapal-kapal tersebut memiliki izin (authorized) untuk menangkap ikan dan mematuhi ketentuan konservasi dan pengelolaan yang diadopsi oleh organisasi perikanan regional.35

Selanjutnya, isu konservasi jangka panjang dan pemanfaatan secara berkelanjutan atas sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh, sebagai pelaksanaan yang efektif atas ketentuan-ketentuan yang terkait dengan UNCLOS 1982, diatur dalam Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocsk and Highly Migratory Fish Stocks (UN Fish Stock Agreement) 1995.36

Jenis ikan yang beruaya terbatas (Pasal 63 UNCLOS) merupakan jenis ikan yang beruaya antara ZEE suatu negara dan ZEE negara lain, sehingga pengelolaannya melintasi batas yurisdiksi beberapa negara. Sementara jenis ikan yang beruaya jauh

(Pasal 64 UNCLOS) merupakan jenis ikan yang beruaya dari ZEE ke laut lepas dan sebaliknya yang jangkauannya dapat melintasi perairan beberapa samudera. Oleh karenanya terdapat kemungkinan terjadinya konflik kepentingan antara negara pantai dengan negara penangkap ikan jarak jauh, khususnya dalam pemanfaatan dan konservasi ikan baik di ZEE maupun di laut lepas yang berbatasan dengan ZEE. Dengan demikian, kerjasama internasional dianggap sebagai solusi paling baik untuk mencegah dan mengatasi potensi konflik tersebut.37

Hingga saat ini, terdapat 13 Regional Fisheries Management Organizations (RFMO) diseluruh dunia. Pada kawasan Samudera Atlantik terdapat North-West Atlantic Fisheries Organization (NAFO), North-East Atlantic Fisheries Conven-tion (NEAFC), North Atlantic Salmon Con-servation Organization (NASCO), Interna-tional Commission for the Conservation of Atlantic Tuna (ICCAT), Fishery Committee for the Eastern Central Atlantic (CECAF), Western Central Atlantic Fishery Commis-sion (WECAFC), dan South-East Atlantic Fisheries Organization (SEAFO).

Pada kawasan Mediterania terdapat General Fisheries Council for the Mediterranean (GFCM), Samudera Hindia memiliki Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) dan Com-mission for the Conservation of Southern Blufin Tuna (CCSBT), serta Antartic mem-punyai Commission for the Conservation

35. Pasal III 36. Pasal II

37. Naskah Urgensi dan Konsekuensi Pengesahan Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocsk and Highly Migratory Fish Stocks.

(17)

of Antartic Marine Living Resources (CCAMLR). Sementara itu, di Samudera Pasifik dapat pula dijumpai Commission for the Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean (WCPFC) dan Inter-American Tropical Tuna Commission (IATTC).

Masalah-masalah pengelolaan perikanan yang timbul di laut bebas, misalnya: overutilized, unregulated fishing, over-capitalization, excessive fleet size, vessel reflagging to escape controls, insufficiently selective gear, dan unreliable databases. Langkah-langkah yang ditempuh RFMO misalnya memutuskan jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan besarnya alokasi para pihak, kewajiban para pihak untuk memberikan informasi ilmiah dan data tangkapan (CCSBT),38 memperhatikan kondisi dan kecenderungan sediaan, men-dorong kegiatan penelitian dan pengembangan sediaan dan perikanan, mengadopsi langkah-langkah konservasi dan pengelolaan ber-dasarkan bukti ilmiah, memberikan salinan peraturan nasional yang berlaku terkait konservasi dan pengelolaan sediaan (IOTC),39 memelihara daftar kapal ikan yang sah melakukan kegiatan penangkapan, menilai dampak penangkapan ikan pada sediaan dan non-target spesies, serta mencegah terjadinya over fishing dan excess fishing (WCPFC).40

Terkait dengan ancaman IUU Fishing, instru-men hukum internasional terkait diantaranya adalah International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing 2001dan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing 2009.Salah satu aturan terpenting dalam instrumen tersebut adalah kewajiban negara pihak untuk menolak pelabuhannya digunakan untuk melayani kegiatan pendaratan, transshipping, pengepakan dan pemrosesan, refueling, dan resupplying, terhadap kapal yang diduga terlibat dalam kegiatan IUU Fishing.41 Selanjutnya, negara pihak juga harus mematuhi ketentuan minimal inspeksi atas kapal-kapal yang diduga melakukan kegiatan IUU Fishing.42

Quo Vadis Kebijakan Perikanan Indonesia: Tantangan Hukum dan Kepentingan Nasional

Peranan sektor perikanan bagi bangsa Indonesia juga sangat besar. Indonesia adalah negara kepulauan, dengan 2/3 (dua pertiga) wilayahnya berupa laut. Lebih dari 60% masyarakat Indonesia hidup di wilayah pesisir dengan mata pencaharian dari laut. Mereka bukan saja para nelayan atau para pembudidaya ikan, tetapi juga yang berhubungan tidak langsung dengan laut seperti pedagang atau jasa-jasa lainnya. Pada wilayah pesisir dan pantai tersebut terdapat lebih dari 100 juta penduduk Indonesia bermukim.43

38. Pasal 5 dan Pasal 8 ayat 3 Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna. 39. Pasal 5 dan Pasal 11 Agreement for the Establishment of the Indian Ocean Tuna Commission.

40. Pasal 5 dan Pasal 24 Convention on the Conservation and Management of High Migratory Fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean

41. Pasal 11 Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing 2009

42. Ibid Pasal 12 dan Pasal 13

(18)

44. Naskah Penjelasan Pengesahan Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna.

45. Aji Sularso, the Impacts of Illegal, Unreported Fishing, TIAMLEW II, Nusa Dua-Bali, 23 – 26 March 2010. 46. SADC Marine Fisheries Ministerial Conference to Stop Illegal Fishing, Windhoek, Namibia, 2-4 July 2008. 47. Ibid.

48. UU No. 45 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Bagian Menimbang butir b. Wilayah nusantara juga merupakan daerah

yang cocok bagi kegiatan pemijahan ikan, salah satunya berada pada wilayah perairan ZEE Indonesia yaitu pada perairan selatan Jawa dan Bali (8º LS - 50ºLS), dimana ikan tuna sirip biru melakukan pemijahan pada bulan September – April.44 Secara geografis, wilayah Indonesia merupakan wilayah kepulauan terbesar dan teragam di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau dan memiliki garis pantai sepanjang 95.181 km. Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, yang mengapit wilayah Indonesia, juga membawa pengaruh bagi biodiversity laut terluas di dunia dan terumbu karang yang menopang berlimpahnya sediaan ikan yang beragam.45

Dalam perspektif politis dan keamanan, wilayah Indonesia yang luas dan berada di jalur transportasi dunia membawa dampak bagi banyaknya kapal-kapal asing yang lalu lalang (atau bahkan melakukan pencurian sumber daya ikan) dan berpotensi melakukan pencemaran lingkungan. Perkiraan besarnya kerugian yang dialami Indonesia akibat kegiatan IUU Fishing adalah sebesar 2 (dua) miliar Dollar AS46 belum termasuk rusaknya sumber daya perikanan dan ekosistem biota laut.

Kegiatan IUU Fishing ini pada gilirannya telah memengaruhi nelayan-nelayan lokal, skala kecil dan menengah, yang tidak mampu bersaing dengan operator IUU Fishing karena penggunaan teknologi yang

lebih canggih. Dengan demikian, nelayan tidak mengalami peningkatan taraf hidup dan bahkan makin bertambah miskin.47 Industri perikanan nasional juga belum terlihat ”gregetnya” meskipun Pemerintah telah mencanangkan tahun 2015 sebagai tahun kemajuan industri perikanan nasional.

Dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dinyatakan bahwa pemanfaatan sumber daya ikan belum dapat meningkatkan taraf hidup yang berkelanjutan dan berkeadilan melalui pengelolaan perikanan, pengawasan dan sistem penegakan hukum yang optimal.48

Sejumlah inisiatif telah diambil, diantaranya dengan mengadopsi sejumlah ketentuan internasional yang diharapkan dapat memperbaiki situasi pengelolaan dan pelestarian perikanan nasional. Saat ini, Indonesia telah menjadi pihak pada dua RFMO yang ada, yaitu Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) dan Commission for the Conservation of Southern Blufin Tuna (CCSBT), serta menjadi cooperating non-members pada Commission for the Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean (WCPFC). Dalam perkembangannya kemudian, Indonesia juga berperan aktif mengusulkan agar IUU Fishing juga masuk sebagai kejahatan lintas

(19)

batas dalam kerangka United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, mengingat sifatnya sebagai kejahatan serius bersanding dengan money laundering, smuggling of migrants dan terorisme.

Namun demikian, Pemerintah dan segenap stakeholders perikanan perlu tetap kritis terhadap perkembangan pengaturan inter-nasional pasca penandatanganan UNCLOS 1982, sehubungan dengan pengelolaan dan

pemanfaatan sumber daya kelautan khususnya perikanan. Produk hukum serta institusi yang dihasilkan pada hakekatnya merupakan produk politik kepentingan banyak pihak, oleh karena itu titik tolak yang seharusnya digunakan adalah titik tolak yang bertumpu pada dan menguntungkan bagi kedaulatan hukum yang bermuara pada kepentingan nasional Indonesia. Masalahnya adalah titik tolak itu harus diterjemahkan pada kebijakan apa yang harus diambil Indonesia. Quo Vadis?

(20)

Negara adalah leviathan.1 Interaksi antarnegara di dalam konsepsi leviathan diibaratkan sebagai suatu interaksi ‘pergumulan’ kekuasaan tiada akhir yang pada akhirnya menciptakan suatu konflik kepentingan yang tidak menentu yang dikenal dengan “security dilemma”. Tonggak sejarah kompetisi antariksa antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dimulai ketika pada 4 Oktober 1957, Uni Soviet meluncurkan Sputnik I, satelit pertama buatan manusia. Perkembangan kepentingan hegemoni antariksa yang besar dari kedua negara tersebut dan situasi perang dingin yang tidak menentu menciptakan kondisi security dilemma yang pada akhirnya mendesak Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk membentuk The United Nations Office for Outer Space Affairs (UNOOSA) pada 13 Desember 1958 melalui Resolusi 1348 (XIII) dan United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space (UNCOPUOS) pada 1959 melalui Resolusi 1472 (XIV). Perbedaan keduanya adalah bahwa UNOOSA berfungsi sebagai kantor sekretariat bagi masalah eksplorasi dan eksploitasi antariksa, sedangkan UNCOPUOS berfungsi sebagai komite yang menangani masalah antariksa.

KAJIAN REZIM HUKUM ANTARIKSA MODERN DARI PERSPEKTIF

SPACE FARING STATES DAN NON SPACE FARING STATES

Oleh:

Ferry Junigwan Murdiansyah

1. Negara sebagai leviathan, menurut Thomas Hobbes adalah negara sebagai bentuk realisasi dari sesosok makhluk yang sangat mengerikan dengan kekuatan yang sangat besar dan memiliki kemampuan bertahan hidup untuk mempertahankan kepentingannya.

Pembahasan lebih lanjut dalam artikel ini akan berfokus pada UNCOPUOS saja. Suatu terobosan pun diperkenalkan pada tahun 1970an melalui lima instrumen hukum internasional di bidang antariksa, yaitu: The Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space including the Moon and Other Celestial Bodies 1967 (Space Treaty), Agreement on the Rescue of Astrounauts, the Return of Astronouts and the Return of Object Launched into Outer Space 1968 (Astronouts Agreement), Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects 1972 (Liability Convention), Convention on Registration of Objects Launched into Outer Space 1976 (Registration Convention), dan Agreement Governing the Activities of States on the Moon and Other Celestial Bodies 1984 (Moon Agreement).

Space Treaty menjadi landasan hukum yang mengatur prinsip–prinsip dasar dalam upaya ekplorasi dan eksploitasi antariksa untuk maksud dan tujuan damai, sedangkan empat perjanjian lainnya merupakan penjabaran

(21)

dari mandat yang terdapat di dalam Space Treaty. Pada awal pembentukannya, lima instrumen hukum antariksa ini, yang dise-but sebagai rezim hukum antariksa klasik,2 dianggap “sekedar cukup saja” untuk men-jembatani kekosongan hukum di dalam kompetisi antariksa antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Namun dengan pesatnya perkembangan teknologi antariksa, diperlukan suatu pengaturan/instrumen hukum antariksa yang komprehensif, detail, dan melindungi kepentingan space faring states dan non space faring states, serta memperhatikan aspek lingkungan haruslah dianggap sebagai suatu persyaratan dasar terbentuknya suatu rezim hukum antariksa modern. Penekanan pada aspek lingkungan menjadi penting dalam rezim hukum antariksa modern, mengingat secara alami negara sebagai leviathan akan menggunakan segala kekuatan dan kekuasaannya untuk eksploitasi suatu bidang tertentu pada titik maksimal. Pada prinsipnya, negara leviathan lainpun akan melakukan hal yang sama, sehingga tanpa disadari chain of action and reaction akan terjadi yang berdampak pada kerusakan lingkungan.

Artikel inipun dibuat sebagai renungan sederhana atas dua pemasalahan yang ber-kohesi erat di balik jubah diskusi hukum antariksa modern antarnegara dewasa ini, yaitu: (i) rezim hukum antariksa klasik dari perspektif space faring states dan celah hukumnya, dan (ii) rezim hukum antariksa klasik dari perspektif Indonesia dan celah hukumnya.

Rezim Hukum Antariksa Klasik dari Perspektif Space Faring States dan Celah Hukumnya

Space faring states yang selangkah lebih unggul dalam penguasaan antariksa memiliki common syndrome yaitu ‘kecanduan antariksa’ atau adanya ketergantungan dengan teknologi antariksa dan memiliki motivasi penguasaan antariksa secara dominan dan berlebihan. Berdasarkan berbagai kajian hukum antariksa di antara space faring states, terdapat 3 (tiga) inti masalah yang menjadi perhatian, yaitu: denuklirisasi dan pelarangan senjata antariksa, wisata antariksa, dan mitigasi sampah antariksa (space debris).

A. DENUKLIRISASI DAN PELARANGAN SENJATA ANTARIKSA

I. Denuklirisasi dan Pelarangan Senjata Antariksa sebagai Suatu Masalah Internasional

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Amerika Serikat secara diam - diam terus mengembangkan teknologi antariksanya dan secara bertahap melakukan perakitan senjata antariksa yang mampu menyerang aset antariksa negara lain baik di darat dan di antariksa, dan juga melakukan pengembangan teknologi senjata anti misil balistik demi keamanan nasionalnya. Berbagai pengembangan teknologi tersebut diprakarsai oleh Pemerintahan Bush yang berkeinginan untuk memperkuat profil militer antariksanya dengan United 2. Dipandang sebagai ‘rezim hukum antariksa klasik’karena ke-5 instrumen hukum antariksa ini, termasuk resolusi, protokol, guidelines maupun aturan hukum antariksa lainnya, pada proses terbentuknya/kelahiran tanpa memperhatikan kaidah dan ke-pentingan negara lain serta lingkungan secara bersama – sama)

(22)

States Space of Command Vision for 2020 dan United States Air Force 2025 Study. Hal tersebut dilaksanakan dengan memberikan rekomendasi untuk menguasai antariksa dalam berbagai aspek, yang meliputi perang melawan terorisme global pada akhir 2001. Pada 23 Mei 2009, Laura Grego, seorang peneliti dari Union of Concerned Scientist, membuat testimoni di hadapan Subcommittee on National Security and Foreign Affairs of the Committee on Oversight and Government Reform mengenai program antariksa Amerika Serikat yang bertujuan pada penguasaan dan hegemoni antariksa termasuk di dalamnya penciptaan senjata antariksa untuk melindungi aset antariksa mereka. Pihak dari pemerintah Amerika Serikat pada saat itu membantah testimoni tersebut, namun terdapat dua bukti konkrit yang mendukung testimoni dari Laura Grego, yaitu:

a. Amerika Serikat pada Desember 2001 menarik diri dari Anti Ballistic Missiles Treaty (ABM) yang ditandatangani oleh Amerika Serikat dan Rusia (Uni Soviet pada saat itu) pada 26 Mei 1972, sehingga dapat dikatakan bahwa Amerika Serikat sekarang lebih mempunyai “fleksibilitas” dalam memproduksi senjata balistik di kemudian hari.

b. 2001 Rumsfeld Commission Report memberikan rekomendasi bahwa dalam rangka mencegah terjadinya “Space Pearl

Harbor” maka kepentingan nasional

Amerika Serikat adalah untuk menciptakan senjata antariksa yang berfungsi defensif dan ofensif.

Upaya pengembangan senjata antariksa oleh Amerika Serikat ini tercium oleh negara lain yang langsung memperkenalkan instrumen hukum baru yang mengatur pelarangan senjata antariksa (Treaty on the Prevention of the Placement of Weapons in Outer Space and of the Threats or Use of Force Against Outer Space Objects atau yang biasa disebut Treaty PPWT). Respon lain terhadap masalah ini salah satunya adalah Rusia pada 2004 melakukan deklarasi bahwa negaranya tidak akan menjadi negara pertama yang akan menempatkan senjata di antariksa. Hal ini merupakan upaya politis pertama yang patut diteladani oleh negara-negara sebagai langkah awal pencegahan nuklirisasi dan penempatan senjata di antariksa.

II. Celah Hukum Rezim Antariksa Klasik Terdapat 2 (dua) pasal dalam Space Treaty yang sekiranya bersinggungan dengan isu ini, yaitu Pasal 4 dan Pasal 9 Space Treaty. a. Pasal 4 Space Treaty

“States Parties to the Treaty undertake not to place in orbit around the earth any objects carrying nuclear weapons or any other kind of weapons of mass

destruction, install such weapons in

outer space in any other manner…The use of military personnel for scientific research or for any other peaceful purposes shall not be prohibited…”

Kalimat dalam Pasal 4 di atas yang mendapat perhatian Penulis, yaitu:

(23)

a) Place in orbit around the earth: hanya mengatur senjata yang diletak-kan di orbit bumi tanpa penjelasan lebih lanjut. Bagaimana dengan senjata pemusnah massal yang berada di bumi dan mempunyai kemampuan jangkau tembak antariksa? Bagaimana dengan guided missile yang dikendalikan oleh sistem kendali (bukan senjata) yang secara permanen berada di antariksa? Hal – hal semacam ini belum tercakup di dalam definisi ini. b) Nuclear weapons dan weapons of

mass distruction:

- misil balistik seperti yang dikembang-kan oleh Iran dan didemonstrasidikembang-kan oleh Cina pada tahun 2007 yang ditembakkan keluar angkasa dan mampu menghancurkan satelit Cina tidak termasuk di dalam definisi ini.

• senjata yang mampu men-gacaukan frekwensi gelom-bang radio satelit dan menye-babkan jamming pada satelit seperti yang dilakukan Irak pada awal 2000-an juga tidak termasuk dalam definisi ini. •

c) Scientific research: apa yang dimaksud dengan aktivitas personil militer untuk penelitian ilmiah disini? Kalimat ini sangatlah multitafsir.

b. Pasal 9 Space Treaty

“…State Parties to the Treaty shall pursue studies of them so as to avoid their harmful

contamination and also adverse

changes in the environment of the Earth

resulting from the introduction of extra-terrestrial matter, and when necessary, shall adopt appropriate measures for this purpose…”

Kalimat dalam Pasal 4 di atas yang mendapat perhatian Penulis, yaitu: a) Harmful contamination and adverse

changes in the environment of the earth:

● apa sebenarnya definisi dari kon-taminasi berbahaya dan perubahan fatal dari lingkungan bumi? Apakah arti penggunaan bahan kimia, limbah antariksa, atau limbah beracun di antariksa juga diatur dalam pasal ini?

● Perubahan fatal terhadap titik jenuh Geo Stationary Orbit akibat penempatan satelit yang berlebihan tidak diatur dalam pasal ini. ● Kerusakan lingkungan antariksa

akibat pengawasan dan manajemen sampah antariksa yang baik juga tidak diatur di dalam pasal ini. b) Approriate measures: kalimat ini

ambigu dan multitafsir. Penulis ber-pendapat bahwa kalimat ini tidak menjelaskan bentuk tanggung jawab dari negara pemilik wahana antariksa dan seharusnya lebih diatur secara detil.

Dari kajian singkat dua pasal tersebut di atas, nyata bahwa Space Treaty dalam

(24)

isu ini memiliki celah hukum sebagai berikut:

a) Space Treaty hanya mengatur prinsip dan norma dasar dari kegiatan ek-splorasi dan eksploitasi antariksa. b) Space Treaty mengesampingkan

kemungkinan digunakannya senjata dari bumi ke antariksa.

c) Space Treaty belum mengisi kekosongan hukum yang ada dengan keluarnya Amerika Serikat dari Anti Ballistic Missile Treaty pada 2001. Hal mana, menjadi penting bagi kita semua untuk mempelajari draft Treaty PPWT berkenaan dengan penciptaan instrumen hukum baru dalam pelarangan senjata antariksa yang akan bersifat komplementer terhadap Space Treaty ataupun rezim antariksa klasik secara keseluruhan.

III. Conference on Disarmament

Conference on Disarmament (CD) merupakan suatu forum multilateral yang didirikan pada tahun 1979 oleh komunitas inter-nasional untuk merundingkan berbagai upaya pengawasan persenjataan dan kesepakatan perlucutan senjata. CD bukanlah suatu badan resmi PBB. Keterkaitannya dengan PBB, adalah melalui penempatan seorang wakil Sekjen PBB yang juga bertugas sebagai Sekjen Konperensi ini. Saat ini, beranggotakan 65 negara, yang meliputi lima (5) negara pemilik senjata nuklir. Indonesia juga menjadi anggota CB.

Salah satu catatan penting dalam aktivitas CD adalah pembahasan isu Prevention of An Arm Race in Outer Space (PAROS) pada tahun 2000 yang dipelopori oleh Cina dan Rusia, yang menganggap bahwa upaya penggunaan senjata nuklir dan space weapon memerlukan suatu diskursus tersendiri di dalam CD. Dalam hal ini, penulis memandang perlunya suatu political will dari negara - negara untuk menjadikan CD sebagai institusi resmi PBB dengan wewenang untuk melakukan pengawasan, pelarangan, pemberian sanksi bagi penggunaan senjata berbahaya, wewenang dalam isu denuklirisasi dan pelarangan senjata antariksa, serta menentukan dan mengatur mekanisme kontrol terhadap keadaan lingkungan yang dimungkinkan mengalami dampak akibat aktivitas tersebut. Pada masa yang akan datang, diharapkan CD yang lebih ter-institusi dapat melakukan official synergy dengan UNCOPUOS demi terciptanya sistem hubungan kerja watchdog dan think thank yang ideal dalam upaya eksplorasi dan eksplorasi antariksa untuk maksud dan tujuan damai.

B. WISATA ANTARIKSA

I. Industri Baru dalam Komersialisasi Antariksa

Pada 28 April 2001, milyarder asal California, Amerika Serikat, Dennis Tito, membuat sejarah dengan menjadi turis antariksa pertama di dunia dengan menggunakan wahana antariksa Rusia, Soyuz yang melakukan wisata antariksa selama sebelas (11) hari menginap di International Space Station (ISS) dan kembali ke bumi dengan selamat.

(25)

Ekspedisi fenomenal Tito ini membuktikan bahwa kini antariksa merupakan tujuan wisata baru yang dapat dikembangkan di kemudian hari.

Wisata antariksa pada awalnya merupakan proyek pemerintah yang mulai ditawarkan pada masyarakat sipil pada tahun 2001 dengan biaya yang relatif mahal, sebagai perbandingan harga yang ditawarkan badan antariksa Rusia pada tahun tersebut adalah US$ 45 juta. Kini wacana tersebut mendapat tantangan dari operator swasta yang menawarkan harga yang jauh lebih menarik yaitu berkisar pada US$ 200.000 (harga yang di tawarkan Virgin Galactic). Oleh karenanya, bisnis wisata antariksa kini mendapat pesaing kelas ekonomi yang lebih terjangkau.

Melihat perkembangan yang ada, beberapa perusahaan pun berlomba - lomba untuk terlibat aktif di dalam peluang bisnis baru ini, seperti Virgin Galactic yang melakukan tandem usaha dengan European Auronautic Defence and Space Company untuk eksplorasi kemungkinan bisnis lebih jauh. Hal ini merupakan suatu hal yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya ketika rezim antariksa klasik lahir.

Wisata antariksa adalah fenomena baru yang layak mendapat perhatian lebih dalam dan serius. Peluang bisnis wisata antariksa bukanlah sesuatu yang risk-free melainkan penuh resiko bagi crew dan turis di pesawat antariksa itu sendiri, crew di space port tempat peluncuran wahana antariksa, maupun terhadap publik lainnya. Lebih jauh lagi, kemungkinan polusi, kemungkinan collision, masalah sertifikasi kelayakan penerbangan

antariksa, dan masalah cuaca di orbit antariksa adalah masalah – masalah yang memerlukan perhatian lebih dalam. Sehingga timbul suatu pertanyaan, apabila wisata antariksa di kemudian hari menjadi sesuatu yang lazim untuk dilakukan maka: (i) instrumen hukum apa yang akan mengaturnya, dan (ii) apakah akan ada organisasi internasional yang akan mengawasinya?

II. Celah Hukum Rezim Antariksa Klasik Di dalam rezim hukum antariksa klasik, pembahasan mengenai isu ini sama sekali belum tersentuh. Sehingga implikasinya adalah, akan sangat beresiko apabila wisata antariksa hanya dilakukan berdasarkan multi kontrak antara: (i) investor – negara, (ii) negara – operator wisata antariksa, (iii). operator wisata antariksa – turis antariksa , (iv) operator antariksa – perusahaan asuransi, dan sebagainya. Sehingga, diperlukan suatu rezim hukum antariksa modern yang juga membahas dan mengatur masalah ini. III. International Civil Aviation Organization

(ICAO) untuk Wisata Antariksa? ICAO dibentuk pada Oktober 1947 dan diberi mandat untuk menjadi organisasi inter-nasional yang berwenang mengenai segala sesuatu yang berurusan dengan penerbangan udara sipil, seperti: pengaturan frekwensi radio, pengaturan sistem komunikasi pilot dengan stasiun udara, penetapan prosedur dan mekanisme untuk kontrol penerbangan, dan sebagainya.

Seiring dengan fenomena wisata antariksa ini, berkembang juga wacana untuk menjadikan

(26)

ICAO sebagai organisasi yang juga akan melakukan kontrol dan berwenang terhadap penerbangan antariksa. Alasan perlunya perluasan mandat dan kewenangan ICAO sehubungan dengan wisata antariksa adalah bahwa baik penerbangan udara maupun penerbangan antariksa memiliki rutinitas, aktivitas dan mekanisme kontrol yang sama. Dimana kesemuanya itu menggunakan teknologi komunikasi dan remote sensing satelit. Oleh karenanya, sistem, prosedur, dan mekanisme penerbangan udara yang diatur dalam ICAO sekarang bisa diperluas mencakup penerbangan antariksa dengan sistem, prosedur, dan mekanisme yang kurang lebih sama.

Berkaitan dengan wacana ini, penulis setuju dan memandang perlunya suatu organisasi inter-nasional baru yang akan mengatur hal tersebut, namun, apakah organisasi baru tersebut merupakan organisasi internasional yang terpisah dari ICAO atau hanya merupakan “perluasan” tugas dan mandat ICAO dilakukan penelitian lebih lanjut. C. MITIGASI SAMPAH ANTARIKSA Sampah antariksa merupakan common problems bagi space faring states dan non space faring states dan merupakan suatu ancaman terhadap keamanan antariksa. Benturan sampah antariksa sekecil apapun, akan dapat menyebabkan kerusakan atau bahkan hancurnya suatu aset antariksa, seperti sampah antariksa dengan diameter sebesar 1 cm apabila bersinggungan dengan satelit pada kecepatan 80 mil per jam dapat

menyebabkan kerusakan fatal pada satelit tersebut.

Pada 2007, sub-komite ilmiah dan teknis dari UNCOPUOS telah mengadopsi UN Guideline on Space Debris Mitigation (Debris Guideline) yang mengatur prosedur – prosedur yang dipandang dapat mengurangi jumlah sampah antariksa. Pada 31 Maret 2009, sub-komite hukum UNCOPUOS telah mengadakan sesi dengan salah satu pemba-hasannya adalah tentang Debris Guideline. Namun, sesi subkomite hukum UNCOPUOS tersebut belum menghasilkan komitmen baru dalam mitigasi sampah antariksa. Penulis berpendapat bahwa sesi pada level subkomite hukum UNCOPUOS yang membahas mengenai mitigasi sampah antariksa dan Debris Guideline harus terus ditingkatkan, hingga terciptanya suatu komitmen negara–negara untuk mem-bentuk intrumen hukum antariksa baru yang mengatur mengenai space debris.

REZIM HUKUM ANTARIKSA KLASIK DARI PERSPEKTIF INDONESIA DAN CELAH HUKUMNYA

Indonesia memandang hukum antariksa sebagai suatu kajian konseptual. Namun, penulis berpendapat bahwa terdapat tiga kajian konseptual yang belum diatur di dalam rezim hukum antariksa klasik. Tiga hal tersebut antara lain definisi dan delimitasi antariksa; hak berdaulat dan kedaulatan pada Geo Stationary Orbit dan pemisahan tanggung jawab dari definisi Launching State.

(27)

I. Definisi dan Delimitasi Antariksa Masalah definisi dan delimitasi antariksa sudah menjadi pembahasan sub komite hu-kum UNCOPUOS sejak 1966, berdasarkan proposal dari Perancis. Dalam proposal tersebut ditekankan pentingnya mengatur definisi dan batas terendah yang jelas dari antariksa, sehingga perbedaan antara ruang antariksa dengan ruang udara dapat terukur. Namun demikian, Amerika Serikat memandang masalah ini sebagai suatu hal yang tidak perlu menjadi bahan perbincangan. Hal inilah yang menjadi kendala mengapa tarik ulur kepentingan di dalam isu ini sangatlah panjang dan tidak menentu. Sejak disepakatinya Space Treaty hingga tahun artikel ini ditulis, masalah ini belum terselesaikan. Dengan demikian, definisi dan delimitasi antariksa merupakan suatu isu klasik yang telah larut selama hampir separuh abad lamanya.

Dalam isu definisi dan delimitasi antariksa, Indonesia menggunakan pendekatan spasial (kewilayahan) dengan beberapa referensi teori spasial sebagai berikut:

a) Batas kedaulatan negara berada pada lapisan atmosfir dimana komposisi gasnya membentuk lapisan - lapisan (layers), yaitu pada ketinggian 80 km di atas permukaan air laut.

b) Batas kemampuan terbang pesawat udara yaitu 60 – 80 km di atas permukaan air laut. c) Perigee terendah dari orbit satelit yaitu

ketinggian antara 80 – 120 km di atas permukaan air laut.

d) Garis von Karman yang mengajukan batas terendah antariksa berada pada ketinggian 100 km di atas permukaan air laut.

e) Teori penguasaan efektif yang menekankan kemampuan negara untuk melakukan pengawasan di dalam zona t er seb ut, ya i t u 100 km d i a t as permukaan air laut.

Berdasarkan kajian dan penelitian para ahli sebagaimana tertuang dalam laporan Kongres Kedirgantaraan Nasional Kedua, pendekatan teori spasial dalam menentukan definisi dan delimitasi antariksa bagi kepentingan nasional Indonesia adalah pada ketinggian 100 km di atas permukaan air laut. Sehingga, ruang dengan ketinggian di bawah 100 km permukaan air laut disebut dengan ruang udara dan tunduk kepada Chicago Convention 1944, sedangkan ruang di atas 100 km permukaan air laut disebut ruang antariksa dan tunduk kepada rezim hukum antariksa.

Penulis berpendapat bahwa upaya definisi dan delimitasi antariksa haruslah terus diperjuangkan dalam pembahasan sub-komite hukum UNCOPUOS. Bila tercapainya kesepakatan dalam pembahasan mengenai isu ini, maka kepastian hukum di dalam ruang antariksa dapat tercipta. Oleh karenanya, akan membawa kepastian hukum lainnya bagi seluruh negara terutama non-space faring states, seperti Indonesia dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi di ruang antariksa-nya.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisis regresi yang dilakukan diperoleh nilai Adjusted R Square sebesar 0,554 atau 55,4% yang artinya bahwa pengaruh variabel independen yaitu Effective Tax

Istilah Take and Give sering diartikan saling memberi dan saling menerima. Prinsip ini juga menjadi intisari dari model pembelajaran Take and Give. Take and Give

Pen%akit pada usia lan$ut sering ter$adi pada ban%ak organ se#ingga peberian obat sering ter$adi poli'arasi" Poli'arasi berarti peakaian ban%ak obat sekaligus

Pada pengendalian input dilakukan audit yang berfokus kepada proses input data pada sistem informasi akuntansi siklus pengeluaran, dari proses audit tersebut ada hal positif

100% pada perlakuan pemaparan umpan secara paksa dengan lama pemaparan enarn minggu, demikian pula pada pemaparan umpan tanpa paksa selama enam minggu mendapatkan

1.5 : Mencocokkan ungkapan dengan gambar tentang “perpustakaan”. 1.6 : Menulis mufradat baru tentang “perpustakaan” dengan benar. 1.7 : Melengkapi ungkapan tentang

Tahanan tanah (soil resistance) sepanjang tiang yang tertanam dan pada ujung tiang direpresentasikan dengan komponen statik dan dinamik.

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah faktor modal, faktor lama usaha, faktor jam kerja, faktor lokasi usaha, faktor tingkat pendidikan dan faktor produk