• Tidak ada hasil yang ditemukan

E. Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penyusunan, penulis membagi pembahasannya menjadi lima bab, selanjutnya dari tiap bab dirinci menjadi sub-bab, dengan susunan sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan. Dalam bab ini berisikan berupa latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II :Sanksi Pidana dalam Perspektif Hukum Islam. Pokok bahasan dalam bab ini tentang beberapa pengertian sanksi pidana, macam-macam sanksi pidana, sistem sanksi pidana, prinsip dan tujuan sanksi pidana.

BAB III : Sanksi Pidana dalam Perspektif Hukum Positif. Uraian bab ini tentang beberapa pengertian sanksi pidana, macam-macam sanksi pidana, sistem sanksi pidana.

BAB IV : Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Penistaan Agama Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif. Dalam bab ini menguraikan bagaimana sanksi pidana yang diberikan terhadap pelaku penistaan agama menurut hukum Islam dan hukum positif, serta analisis yuriprudensi perkara yang bermuatan penistaan agama.

BAB V : Penutup. Bab ini berupa kesimpulan, saran, dan berupa daftar pustaka.

BAB II

SANKSI PIDANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A. Pengertian Sanksi (uqûbah)

Menurut Ahmad Fathi Bahasni sanksi (uqûbah) berarti balasan berbentuk ancaman yang ditetapkan syar’i (Allah) untuk mencegah terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarangnya dan perbuatan-perbuatan meninggalkan yang ia perintahkan.7

Sedangkan Abdul Qadir Audah mendefinisikan sanksi atau hukuman adalah balasan yang telah ditentukan untuk kepentingan orang banyak atas perbuatan melanggar perintah Allah SWT.8

Di dalam kitabnya “Fatawa”, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa disyariatkan hukuman merupakan rahmat dari Allah SWT untuk manusia yang timbul sebagai rasa kasih sayangnya terhadap makhluk. Oleh karenanya adalah wajar Allah menjatuhkan hukuman terhadap perbuatan dosa dengan maksud berbuat baik kepada manusia. Maka ancaman, siksaan yang dijatuhkan dimaksudkan untuk mendidik pelakunya demi merealisasikan kemaslahatan umum.

7

A. Fathi Bahasni, al- Uqubah fi al-fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-syuruq, 1983), cet. Ke-V, h. 13

8

Abdul Qadir Audah, al-Tasyri’ al-Jinai al-Islami, (Beirut: Muassah al-Risalah, 1992), cet. Ke-II, Juz 1, h. 812

B. Macam-Macam Sanksi (Uqûbah)

Hukuman dapat dibagi menjadi beberapa golongan menurut segi tinjauannya:

1. Berdasarkan Pertalian Satu Hukuman dengan lainnya a. Hukuman Pokok (al-‘Uqûbah al-Asliyyah)

Hukuman pokok yaitu hukuman pokok yang telah ditetapkan pada satu tindak pidana, seperti hukuman qisas bagi tindak pidana pembunuhan, hukuman rajam bagi tindak pidana zina, dan hukuman potong tangan bagi tindak pidana pencurian.9

b. Hukuman Pengganti (al-‘Uqûbah al-Badaliyah)

Hukuman pengganti yaitu hukuman yang menggantikan hukuman pokok apabila hukuman pokok tidak dapat dilaksanakan karena adanya alasan yang syar’i, seperti hukuman diyat sebagai pengganti hukuman qisas dan hukuman ta’zîr sebagai pengganti hukuman hudûd dan qisas.

Pada dasarnya hukuman pengganti adalah hukuman pokok sebelum berubah menjadi hukuman pengganti. Hukuman ini dianggap sebagai hukuman pengganti hukuman yang lebih berat yang tidak bisa dilaksanakan. Diyat adalah hukuman pokok pada tindak pidana pembunuhan semi sengaja, tetapi ia dianggap sebagai hukuman pengganti pada tindak pidana qisas. Ta’zîr juga adalah hukuman pokok untuk tindak pidana ta’zîr, tetapi menjadi hukuman pengganti pada tindak pidana

9

Ahsin Sakho Muhammad, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT. Karisma Ilmu, 2007), cet. Ke-I, jilid III, h. 39

hudûd dan qisas apabila hukuman keduanya tidak dapat dilaksanakan karena adanya alasan yang syar’i.

c. Hukuman Tambahan (al’Uqûbah al-Tabâ’iyyah)

Hukuman tambahan yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan tersendiri. Contohnya, larangan menerima warisan bagi pembunuh. Larangan menerima waris ini adalah konsekuensi atas penjatuhan hukuman mati terhadap pembunuh. Contoh lainnya, dicabutnya hak sebagai saksi terhadap pelaku qazaf. Hukuman ini tidak harus dikeluarkan melalui putusan hukuman, tetapi cukup dengan adanya putusan penjatuhan hukuman qazaf.

d. Hukuman Pelengkap (Taklîmiyyah)

Hukuman pelengkap yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan adanya putusan tersendiri dari hakim.10

Hukuman pelengkap sejalan dengan hukuman tambahan karena keduanya merupakan konsekuensi/akibat dari hukuman pokok. Perbedaan keduanya: hukuman tambahan tidak mensyaratkan adanya putusan tersendiri dari hakim, sedangkan hukuman pelengkap mensyaratkan adanya putusan tersebut. Contoh hukuman pelengkap adalah mengalungkan tangan pencuri yang telah dipotong ke lehernya. Hukuman pengalungan ini baru boleh dilakukan setelah dikeluarkannya putusan hukuman tersebut.

4

2. Berdasarkan Kekuasaan Hakim dalam Menentukan Bentuk dan Jumlah Hukuman

Dalam hal ini ada dua macam hukuman, yaitu sebagai berikut: a. Hukuman yang hanya memiliki satu batas

Artinya tidak memiliki batas tertinggi atau batas terendah. Hukuman ini tidak dapat dikurangi atau ditambah meskipun pada dasarnya bisa ditambah atau dikurangi. Contohnya, pencelaan, teguran, nasihat, atau cambukan yang ditetapkan sebagai hukuman hudûd (seperti hukuman dera sebagai hukuman hudûd sebanyak delapan puluh kali atau seratus kali). b. Hukuman yang memiliki dua batas (Batas Tertinggi atau Terendah)

Dalam hal ini hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman yang sesuai antara kedua batas tersebut. Contohnya hukuman kurungan, cambuk atau dera dalam hukuman ta’zîr.

3. Berdasarkan Kewajiban Menjatuhkan Suatu Hukuman

Dalam hal ini ada dua macam hukuman, yaitu sebagai berikut: a. Hukuman yang telah ditentukan bentuk dan jumlahnya

Hukuman yang telah ditentukan bentuk dan jumlahnya yaitu hukuman yang telah ditetapkan jenisnya dan telah dibatasi oleh syar’i (Allah dan Rasul-Nya). Hakim wajib melaksanakannya tanpa boleh mengurangi, menambah, atau menggantinya dengan hukuman lain. Hukuman ini disebut juga dengan “uqûbah lazimah” (hukuman

keharusan) karena penguasa tidak boleh menggugurkan hukuman ini dan memaafkan pelaku tindak pidana dari hukuman ini.

b. Hukuman yang tidak ditentukan bentuk dan jumlahnya

Hukuman yang tidak ditentukan bentuk dan jumlahnya yaitu hukuman yang diserahkan kepada hakim untuk memilihnya dari sekumpulan hukuman yang ada dianggap sesuai dengan keadaan tindak pidana serta pelaku. Hukuman ini disebut dengan uqûbah mukhayyarah (hukuman pilihan) karena hakim berhak memilih diantara sekumpulan hukuman tersebut.

4. Berdasarkan Tempat dilakukannya Hukuman

Hukuman ini terbagi manjadi tiga, yaitu sebagai berikut: a. Hukuman badan (Uqûbah Badaniyah)

Yaitu hukuman yang dijatuhkan atas badan sipelaku, seperti hukuman mati, dera, dan penjara.

b. Hukuman jiwa (Uqûbah Nafsiyyah)

Yaitu hukuman yang dijatuhkan atas jiwa sipelaku. Contohnya hukuman nasihat, celaan, dan ancaman.

c. Hukuman harta (Uqûbah Mâliyyah)

Yaitu hukuman yang ditimpakan pada harta pelaku, seperti hukuman diyat, denda dan biaya administrasi.11

11

5. Berdasarkan Macamnya Tindak Pidana yang Diancamkan Hukuman

Adapun rincian hukuman-hukuman tersebut adalah sebagai terbut: a. Hukuman yang telah ditetapkan terhadap tindak pidana hudûd

Hukuman hudûd terbagi menjadi tujuh macam, sesuai dengan bilangan tindak pidana hudûd, yaitu:

1)Zina; 2)Qazaf;

3)Meminum minuman keras; 4)Mencuri;

5)Melakukan hirabah (gangguan keamanan); 6)Murtad;

7)Memberontak.

Hukuman yang ditetapkan terhadap segala tindak pidana tersebut disebut had (hudûd). Hudûd adalah hukuman yang telah ditetapkan sebagai hak Allah SWT atau hukuman yang telah ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat. Dikatakan sebagai hak Allah karena hukuman ini tidak dapat digugurkan, baik oleh individu maupun masyarakat. Para fuqoha menjadikan suatu hukuman sebagai hak Allah SWT ketika kemaslahatan masyarakat menuntut demikian, yakni menghilangkan kerusakan dari manusia dan mewujudkan pemeliharaan dan ketentraman untuk mereka.12

6

1) Hukuman Zina

Dalam hukum Islam hukuman atas tindak pidana zina ada tiga: a) Jilid (cambuk atau dera);

b)Taghrîb (diasingkan); c) Rajam.

Hukuman dera dan pengasingan ditetapkan bagi pelaku zina gairu muhsan (belum pernah menikah), sedangkan rajam ditetapkan bagi pelaku zina muhsan (pelaku yang sudah melakukan hubungan seksual melalui pernikahan yang sah). Apabila keduanya gairu muhsan, hukumannya adalah dera dan dibuang, tetapi jika keduanya muhsan hukumannya adalah rajam. Apabila salah satunya muhsan sedangkan yang lain gairu muhsan, pelaku pertama dijatuhi hukuman rajam, sedangkan yang gairu muhsan dijatuhi hukuman cambuk.

2) Hukuman Qazaf (menuduh orang baik-baik malakukan zina tanpa bukti yang jelas/fitnah)

Dalam hukum Islam tindak pidana qazaf dikenai dua hukuman: a) Hukuman pokok berupan hukuman dera;

b) Hukuman tambahan berupa tidak diterima persaksian. Dasar hukum qazaf adalah firman Allah SWT

!g R%G

Q/I1> 0

($ hieB T.

'2 ^

e^B

K /  j 0

U 71C j;7

G Uk4l

e^ + ; m B

!" n$ o ^

n

pq

K / .<B

12rsb

t $Uk l

7 W

8

uv$B j wW

2 +

Q/4<[x$ O.

)

Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”. (QS. An-Nur (24) :4)

3) Hukuman Meminum Minuman Keras a) Hukuman Dera13

Hukum Islam menjatuhkan hukuman delapan puluh kali jera bagi pelaku tindak pidana meminum minuman keras . Ini merupakan hukuman yang memiliki satu batas karena hakim tidak dapat mengurangi, menambahi, atau menggantinya dengan hukuman yang lain.

4) Hukuman Pencurian

a) Hukuman Potong Tangan (dan kaki)

Hukum Islam mengancamkan hukuman potong tangan (dan kaki) bagi pelaku tindak pidana pencurian. Apabila seseorang mencuri untuk kali pertama, yang dipotong adalah tangan kanannya, jika untuk kali kedua, yang dipotong adalah kaki kirinya. Tangan yang dipotong mulai dari persendian telapak tangan, sedangkan kaki yang dipotong mulai dari persendian mata kakinya.14

5) Hukuman Gangguan Keamanan (Hirâbah)

13

Ahsin Sakho Muhammad, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 43 14

a) Hukuman Mati

Hukuman ini wajib dijatuhkan kepada pengganggu keamanan yang melakukan pembunuhan. Hukuman ini adalah hukuman hudud, bukan qisas, sehingga tidak bisa dimaafkan oleh wali korban.

b) Hukuman Mati disalib

Hukuman ini wajib dijatuhkan terhadap pengganggu keamanan yang melakukan pembunuhan dan perampasan harta. Jadi hukuman ini dijatuhkan atas pembunuhan dan pencurian harta sekaligus.15

c) Pemotongan Anggota Badan

Hukuman ini harus dijatuhkan kepada pelaku hirâbah (gangguan keamanan) jika ia mengambil harta, tetapi tidak melakukan pembunuhan. Yang dimaksud dengan pemotongan adalah memotong tangan kanan dan kaki kirinya sekaligus secara silang.

d) Hukuman Pengasingan

Hukuman ini ditetapkan bagi pelaku hirâbah apabila ia hanya menakut nakuti orang, tetapi tidak mengambil harta dan tidak membunuh.

e) Hukuman Tindak Pidana Murtad 1. Hukuman Mati

Hukum Islam menjatuhkan hukuman mati bagi pelaku murtad karena perbuatan itu ditujukan terhadap agama Islam sebagai sistem sosial masyarakat. Sikap menggampangkan dan ketidaktegasan dalam menghukum

15

tindak pidana murtad mengakibatkan terguncangnya sistem masyarakat tersebut. Karena itu, tindak pidana ini dijatuhi hukuman terberat untuk menumpas para pelakunya untuk melindungi masyarakat dan sistem sosial mereka dari satu sisi sebagai peringatan dan pencegahan umum dari sisi lainnya.16

2. Perampasan Harta

Hukuman tambahan bagi pelaku tindak pidana murtad adalah perampasan harta pelakunya. Para fuqoha berbeda pendapat tantang cara perampasan ini;. Menurut mazhab Maliki, Syafi’i, dan pendapat yang kuat dari mazhab Hanbali, seluruh harta benda orang murtad dirampas. Sedangkan menurut mazhab Abu Hanifah dan didukung oleh pendapat yang tidak kuat dalam mazhab hanbali, hanya harta yang didapat dari pelaku murtad, sedangkan harta yang didapat dari sebelum ia murtad diberikan kepada ahli warisnya yang beragamaIslam.

f) Hukuman Pemberontakan

Tindak pidana pemberontakan ditujukan kepada sistem hukum dan pelaksanaannya. Dalam hal ini hukum Islam bersikap keras karena apabila bersikap memudahkan, akan timbul fitnah, kekacauan, dan ketidak stabilan dan pada akhirnya akan menyebabkan kemunduran dan kehancuran masyarakat umum. Tidak diragukan lagi bahwa hukuman mati adalah hukuman yang paling

10

mampu mencegah manusia dari melakukan tindak pidana ini yang biasanya didorong oleh keserakahan serta mencintai kemuliaan dan kekuasaan.

C. Sistem Sanksi Pidana dalam Hukum Islam

Dalam hukum Islam perbuatan yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau masyarakat, baik anggota badan maupun jiwa, harta benda, perasaan, keamanan, dapat dikatakan sebagai perbuatan jarimah.

Dalam hukum Islam tujuan pokok dari penjatuhan hukuman ialah pencegahan (ar-rad’u waz-zajru), pengajaran serta pendidikan (al-islah wat-tahzîb).17 Adapun yang dimaksud pencegahan ialah mencegah diri sipelaku untuk tidak mengukangi perbuatannya dan mencegah diri orang lain dari perbuatan yang demikian. Dalam hukum Islam, penjatuhan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik yang dikuasai rasa saling menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajibannya.

Ditinjau dari perbuatannya, tindak pidana (jarîmah) dibedakan menjadi:

1. Jarimah Hudûd

Jarimah Hudûd yaitu, hukum yang diancam dengan had dan lebih ditentukan oleh syara, dan menjadi hak Allah. Hukuman tersebut telah ditentukan oleh syara dan tidak ada batas minimal dan maksimal, maka hukuman ini tidak bisa dilepaskan oleh

11

A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), cet. Ke-1, h. 279

perseorangan (orang yang menjadi korban atau keluarganya) atau masyarakat yang diwakili oleh Negara.

Hukuman had merupakan hak Allah yang tidak dapat dimaafkan dan dihapuskan oleh manusia. Macam-macam tindak pidana hudûd adalah:

a. Tindak Pidana Riddah (murtad) ; b. Tindak Pidana Hirâbah;

c. Tindak Pidana Bughât; d. Tindak Pidana perzinahan; e. Tindak Pidana Qazaf ; f. Tindak Pidana pencurian;

g. Tindak Pidana konsumsi khamar (Syurb al-khamar).

Adapun macam-macam hukuman dari tindak pidana (jarîmah) hudûd yaitu: a. Hukuman mati, hukuman ini dijatuhkan kepada pelaku jarimah hirâbah

yang melakukan pembunuhan.

b. Hukuman cambuk, hukuman ini dijatuhkan kepada pelaku zina yang belum kawin dengan sebanyak seratus kali cambuk dan sebanyak delapan pulih kali cambuk kepada yang melakukan tuduhan palsu zina terhadap orang lain.18

c. Hukuman rajam, yaitu hukuman mati dengan cara lempar batu. Hukuman ini dijatuhkan kepada pelaku zina muhsan (sudah kawin) baik laki-laki maupun perempuan.

18

2. Jarimah Qisâs dan Diyat

Qisas bisa diartikan sebagai pembalasan setimpal dengan perbuatannya. Qisas merupakan hukuman yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, dimana perbuatan diberi balasan sesuai dengan perbuatannya. Untuk terwujudnya keamanan dan ketertiban, hukuman qisâs dapat lebih menjamin. Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin membedakan tindak pidana qisas dan diyat berupa:

a. Pembunuhan dengan jalan sengaja. Ada tiga macam hukuman ialah hukuman pokok, hukuman pengganti, dan hukuman tambahan.

1) Hukuman pokok dari pembunuhan dengan sengaja ialah berupa: Qisas, membayar diyat dan ta’zîr;

2) Hukuman pengganti ialah berupa: Membayar diyat, berpuasa dua bulan berturut-turut dan diberi ta’zîr;

3) Hukuman tambahan ialah berupa: Terlarangnya hak waris mewarisi dan terlarangnya menerima wasiat.

b. Pembunuhan serupa disengaja (semi sengaja) hukumannya ialah: 1) Hukuman pokok ialah berupa: Membayar diyat;

2) Hukuman pengganti ialah berupa: Diberi ta’zîr dan berpuasa dua bulan berturut-turut;

3) Hukuman tambahan ialah berupa: Terlarangnya waris mewarisi dan menerima wasiat dari yang terbunuh.

1) Hukuman pokok ialah berupa: membayar diyat;

2) Hukuman pengganti ialah berupa: ta’zîr dan berpuasa dua bulan berturut-turut;

3) Hukuman tambahan ialah berupa: terlarangnya waris mewarisi dan menerima wasiat dari yang terbunuh.

3. Jarimah Ta’zir

Jarimah ta’zîr ialah pidana diluar had dan qisas/diyat dan hukuman itu dilaksanakan oleh penguasa dalam negara.

Adapun hukuman ta’zîr ialah:

a. Hukuman Mati: pada dasarnya hukuman ta’zîr adalah untuk memberi pelajaran dan tidak sampai membinasakan, oleh karena itu hukuman mati sebagai hukuman ta’zîr, merupakan suatu pengecualian dan hukuman tersebut tidak boleh diperluas atau diserahkan seluruhnya kepada hakim, dan menentukan jarimah yang dijatuhi hukuman;19

b. Hukuman Cambuk (jilid), merupakan hukuman pokok dalam syariat Islam, dimana untuk jarimah hudud sudah tentu jumlahnya, misalkan 100 kali untuk zina dan 80 kali untuk qazaf, sedang untuk jarimah ta’zîr tidak tertentu jumlahnya. Dan dalam ta’zîr hukuman cambuk lebih diutamakan; c. Hukuman Tahanan (penjara)

19

Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqh Mazhab Syafi’i, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), cet. Ke-2, h. 325

Ada dua macam hukuman tahanan dalam syariat Islam, yaitu hukuman tahanan terbatas dan hukuman tahanan tidak terbatas. Hukuman tahanan terbatas yaitu: Batas hukuman terendah ini adalah satu hari, sedang batas setinggi-tingginya tidak menjadi kesepakatan. Dan hukuman tahanan tidak terbatas yaitu: sudah ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan dapat berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya;20 d. Hukuman Pengasingan

Mengenai masa pengasingan dalam jarimah ta’zîr, maka menurut mazhab Syafi’i dan Ahmad tidak lebih dari satu tahun agar tidak melebihi masa pengasingan yang telah ditetapkan sebagai hukuman had, yaitu satu tahun juga. Menurut imam Abu Hanifah masa pengasingan bisa lebih dari satu tahun, sebab pengasingan disini adalah hukuman ta’zîr dan bukan hukuman had;

e. Hukuman Denda atau ganti rugi

Hukuman denda ditetapkan juga oleh Syariat Islam misalkan mengenai mencuri buah yang masih tergantung dipohonnya yang didenda dengan dua kali lipat dua kali harga buah tersebut.

20

D. Prinsip dan Tujuan Sanksi 1. Prinsip Dasar Sanksi

Perlu diperhatikan bahwa prinsip dasar sebuah sanksi dalam pandangan syariat terdiri dari dua prinsi dasar atau kaidah umum yaitu:21

a. Bertujuan memerangi segala bentuk tindak kejahatan, tanpa memperdulikan kondisi dan status pelaku.

Maksud dari memerangi segala bentuk kejahatan, bertujuan untuk menjaga kemaslahatan orang banyak dari segala tindak kejahatan.

b. Memperlihatkan kondisi dan status pelaku dengan tidak melupakan tujuan sanksi untuk memerangi segala bentuk kejahatan.

Maksudnya dengan memperlihatkan kondisi dan status pelaku, bertujuan sebagai pembenahan dan perbaikan baginya. Tidak dapat disangkal lagi bahwa dua kaidah dasar ini terdapat perbedaan yang mendasar, satu sisi menjaga kemaslahatan orang banyak dari pelaku kejahatan berarti tidak memperdulikan keadaan dan status pelaku, disisi lain memperhatikan kondisi dan status pelaku berarti akan meninggalkan penjagaan terhadap kemaslahatan orang banyak.

2. Tujuan Sanksi

Sanksi (Uqûbah) di dalam Islam telah terbukti mampu mencegah kejahatan, menjamin keamanan, keadilan dan ketenteraman bagi masyarakat. Sanksi-sanksi yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak kriminal berfungsi sebagai “jawâzir”

21

Abdul Qadir ‘Audah, al-Tasyri’ al-Jinâi al-Islâmi, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1992), cet. Ke-II, juz 1, h. 813

(pencegah), karena memiliki efek jera yang menghalangi orang lain untuk melakukan kejahatan yang sama.22 Selain sebagai pencegah sanksi juga bertujuan sebagai penebus dosa seorang muslim dari azab Allah SWT dihari kiamat.

Tujuan berlakunya sanksi terhadap siapa saja yang melanggar perintah Allah SWT adalah untuk memperbaiki perilaku hamba, menjaganya dari kerusakan , menyelamatkannya dari kebodohan, menunjukinya dari kesesatan, mencegahnya dari kemaksiatan dan menjadikannya taat dan patuh.23

Allah SWT menurunkan syariat-Nya dan mengutus para rasul-Nya adalah untuk memberikan pendidikan kepada sekalian manusia dan mengarahkannya kepada jalan yang benar. Ia menetapkan sanksi bagi siapa saja yang melanggar segala perintahnya untuk kemaslahatan mereka sendiri sekalipun mereka membencinya. Mencegahnya dari perbuatan yang sesat meskipun mereka menyukainya.

Oleh karena itu, penetapan sanksi adalah untuk memperbaiki perilaku setiap individu, menjaga dan mengatur kepentingan orang banyak. Allah SWT dalam menurunkan syariat-Nya berupa sekumpulan hukum-hukum, lalu memerintahkan kepada kita untuk melaksanakannya, tidak merasa dirugikan walaupun seluruh manusia di muka bumi ini melanggar segala perintahnya, begitu juga ia tidak

22

http//imankpr.multiply.com/journal/item/13/Hukuman Mati2, diakses pada tanggal 02-05-2009

23

Abdul Qadir ‘Audah, al-Tassyri’ al-Jinai al-Islami, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1992), Cet. Ke-II, juz 1, h. 812

diuntungkan walaupun seluruh manusia di muka bumi ini mematuhi segala perintahnya.

Sanksi pidana Islam yang diberlakukan tentu saja jika memenuhi ketentuan syari’at akan berfungsi sebagai penebus dosa. Dengan begitu pelakunya tidak akan disiksa di akhirat karena dosa kejahatan tersebut. Bagi orang yang mengimani kehidupan akhirat berikut pahala dan siksanya, sifat ini memberikan dorongan besar baginya untuk mengakui kejahatan yang ia perbuat sekaligus menjalani hukuman dsengan penuh kerelaan bahkan dengan kegembiraan.24

24

http//imankpr.multiply.com/journal/item/13/Hukuman Mati 2 , diakses pada tanggal 02-05-2009

BAB III

SANKSI PIDANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

A. Pengertian Sanksi Pidana

Dalam membahas perihal hukum pidana, diantara persoalan penting yang mustahil dilewatkan begitu saja ialah perihal sanksi pidana atau hukuman dihubungkan dengan berat ringannya kejahatan maupun berkenaan dengan tujuan sanksi pidana dikaitkan dengan perlindungan terhadap masyarakat khususnya pihak korban.

Sanksi pidana terdiri dari dua kata sanksi dan pidana. Kata sanksi berarti tindakan (hukum) yang memaksa orang untuk menepati janji atau menaati hukum.25 Sedangkan kata pidana berasal dari bahasa Sanskerta dalam bahasa Belanda disebut “straf” dan dalam bahasa inggris disebut “penalty” artinya hukuman.26

Dalam kamus lain sanksi pidana bisa diartikan juga sebagai salah satu alat pemaksa guna ditaatinya suatu kaidah, undang-undang, norma-norma hukum.

25

Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), h. 692

26

Penegakan hukum pidana menghendaki sanksi hukum yaitu sanksi terdiri atas cerita khusus yang dipaksakan kepada si bersalah.27

B. Macam-Macam Sanksi Pidana (hukuman)

Menurut hukum positif sebagaimana yang tercantum dalam pasal 10 kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), hukuman itu terdiri dari dua macam yaitu:

1. Hukuman Pokok

Yaitu hukuman yang dapat dijatuhkan bersama-sama pidana tambahan, dan dapat juga dijatuhkan sendiri.28

Macam-macam hukuman pokok ialah:

a. Hukuman Mati

Hukuman mati masih tetap dipertahankan dalam KUHP di Indonesia. Walaupun sejak tahun 1870 hukuman mati ini telah dihapuskan dari KUHP Nederland. Adapun tindak pidana yang diancam hukuman mati yang penulis kutip dari Media Hukum dan HAM ada 14 peraturan Indonesia yang membenarkan berlakunya hukuman mati, yaitu:29

1) Pasal 104 KUHP: Makar membunuh Presiden dan Wakil Presiden.

27

Soesilo Prajogo, Kamus Hukum Internasional Indonesia, (Jakarta: WIPRES, 2007), cet. Ke-I,

Dokumen terkait