• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II SANKSI PIDANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

C. Sistem Sanksi Pidana

BAB IV SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENISTAAN AGAMA MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

A. Pengertian Penistaan Agama ... 48 B. Dasar Hukum Larangan Penistaan Agama ... 50 C. Unsur-Unsur Penistaan Agama... 56 D. Sanksi Pidana yang diberikan Terhadap Pelaku Penistaan Agama

Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif ... 57 E. Analisis Yurisprudensi Beberapa Perkara yang Bermuatan

Penistaan Agama... 63 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 86 B. Saran... 88 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan yang menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya.1

Perjalanan manusia untuk melaksanakan amanah tidaklah mulus. Berbagai rintangan, ujian, dan godaan menghadang ditengah jalan. Perjuangan manusia semakin berat karena harus berhadapan dengan musuh yang tidak terlihat. Musuh-musuh ini seringkali menipu daya manusia dengan perkataan-perkataan yang indah.

Firman allah dalam Al-Qur’an:

!" #$ %

' ()

*+, -.

* /0

12 345 7

89: ;<

= 7

>?@

A1/B<.

C DE F

8

1/B

G %

H7 C

I

:/ B

K

12 +1C B

I

L M N.O 0

Artinya: Dan demikianlah kami jadikan tip-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan jenis jin, sebahagian mereka membisikan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. (QS. Al-An’am (6) :112)

1

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), cet. 8. h.36

Agama Islam adalah agama yang membawa rahmat seluruh alam. Untuk mewujudkannya harus ada norma yang menjadi aturan, dalam agama islam norma tersebut dikenal dengan istilah syariah, yaitu suatu tatanan aturan kehidupan yang mengatur hubungan antara manusia dan sesamanya juga hubungan antara manusia dan tuhannya. Istilah syariah ini sebenarnya dalam kajian hukum Islam lebih menggambarkan kumpulan norma-norma hukum yang merupakan dari proses tasyrî’. Dalam istilah para ulama fiqh tasyrî’ bermakna menetapkan norma-norma hukum untuk menata kehidupan manusia baik hubungan manusia dengan tuhannya maupun dengan sesamanya.2

Syari’at yang dimaksud di sini adalan syariah yang mencakup ketentuan-ketentuan Allah dan rasulnya dan norma-norma hukum hasi kajian ulama mujtahid untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia. Inilah yang terkenal dengan Maqâsîd al-Syariah (tujuan perundang-undangan) dalam hukum Islam.

Dari uraian di atas terlihat bahwa hukum Islam sangat menjaga dan memelihara urusan-arusan yang berkaitan dengan keyakinan (agama), hal itu terlihat dimana urusan tentang pemeliharaan agama di tempatkan pada urusan-urusan yang dharuri (adanya adalah mutlak), untuk itu setaip tindakan berkaitan dengan hal ini sangat diperhatikan misalnya hukum murtad (penyelewengan akidah).

Untuk menghadapi fenomena berkembangnya aliran-aliran kepercayaan baru dalam masyarakat, kita tidak harus menanggapinya secara emosional dan reaktif

2

Muhammad Faruq Nabhan, al-Madkhal li al-Tasyri’I al-Islami, (Beirut: Dar al-Qolam, 1981), h. 11

dengan prasangka-prasangka yang tidak berdasar (tanpa melihat akar permasalahan) yang ada. Kita seharusnya lebih arif dan bijaksana dalam menyelesaikan masalah. Kekerasan, teror, acaman serta pengucilan, bukanlah jalan keluar yang baik. Menghancurkan, bahkan membunuh mereka yang dianggap sesat tanpa memperbaiki kondisi kesemrawutan bangsa kita dari segala aspek, hanya akan melahirkan kesesatan baru yang mungkin jauh lebih berbahaya.

Kemunculan nabi-nabi palsu kini banyak menyeret umat yang lemah iman. Mereka yang lapar dan haus akan nilai-nilai religius lebih menyukai jalan pintas ke surga. Ironisnya, kepada para nabi palsu itu mereka gantungkan sejuta harapan akan ke surga dan kedamaian. Padahal surga yang ditawarkan oleh nabi palsu itu adalah surga yang palsu pula3.

Bagi orang-orang yang beriman soal kenabian adalah ajaran yang sudah final. Muhammad adalah nabi yang terakhir dan tidak ada nabi lagi setelah beliau. Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur’an:

PI

QR

F STU V

G 7 W

: W

, XI

12 R ,ZC

,[ $B

A/ \'C

]G

?^B ?

?,`Za;bP

QR

cG

;7

d e ]

fTa; 

Artinya : “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tatapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan Allah maha mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Ahzab (33) : 40)

3

Sedangkan dalam hukum positif sebagai perwujudan aturan hukum untuk mencapai kehudupan masyarakat yang damai dan sejahtera meliputi perlindungan hukum terhadap hak-hak dasar warga negara, misalnya bidang agama. Hal itu sesuai dengan sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1 yang berbunyi “Negara Berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sebagai dasar negara yang mengakui keberadaan berbagai macam kepercayaan (agama), jaminan kebebasan beragama ditujukan agar masyarakat Indonesia dapat memilih menentukan keberagamaan mereka masing-masing tanpa intimidasi dari pihak manapun. Disebutkan pula bahwa setiap umat beragama bebas untuk menjalankan tata cara beribadah menurut agama yang dianutnya. Hal ini senada dengan Azas kebebasan berkeyakinan yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat (2) : “Negara manjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

Pasal 28E ayat (1) menyebutkan, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”. Ayat (2) pasal 28E menegaskan,”Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”, Artinya seseorang dijamin kebebasannya untuk melakukan ibadah sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaannya.

Tetapi perdebatan tentang penistaan atau penodaan agama senantiasa aktual, baik dalam hukum Islam maupun positif, khususnya yang diatur dalam KUHP. Sebut saja dalam komunitas umat Islam muncul aliran Salamullah yang di pimpin oleh Lia Aminuddin (Lia Eden) Alias Syamsuruati, al-Qiyadah al-Islamiyah yang didirikan oleh Ahmad Moshaddeq, aliran-aliran tersebut dianggap menyelewengkan nilai-nilai dasar akidah Islam yang benar, hal ini juga dilegitimasi dengan keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang sesatnya aliran tersebut.4

Bukan hanya itu, peraturan tentang penodaan terhadap agama di Indonesia diatur melalui instrumen Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan atau Penodaan Agama. Ketentuan yang lebih dikenal dengan UU PNPS No. 1 Tahun 1965 ini sangat singkat isinya, karena hanya berisi 5 Pasal.5

Pasal 1 ketentuan ini menyatakan bahwa “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan agama yang menyerupai kegiatan-kegiatan

4

MUI berdiri pada 26 juli 1975 berasaskan Islam, berkedudukan di Ibu kota Negara, bersifat keagamaan, kemasyarakatan, dan independent. Organisasi ini berfungsi sebagai wadah musyawarah, forum silaturahmu para ulama, zuama dan para cendikiawan muslimyang mengayomi umat dan mengembangkan kehidupan yang Islami, demokratis, akomodatif, dan insfiratif. Selain itu merupakan wadah yang mewakili umat Islam dalam hubungan dan konsultasi antar umat beragam sekaligus pemberi fatwa terhadap umat Islam baik diminta atau tidak diminta. Lihat pedoman organisasi Majelis Ulama Indonesia tahun 2001, h. 17-19

5

http://planetaswan.blogspot.com/2008/05/beragama-dan-kebebasan-tak berbatas.htmlabel:

keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.

Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 1 ini tidak bisa langsung dilakukan upaya hukum dalam bentuk upaya penuntutan secara hukum. UU ini mengatur bahwa setiap orang yang melanggar pasal 1 tersebut, maka ia akan diberikan perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) dari Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri.

Apabila setelah dikeluarkannya SKB tersebut, pelanggaran tersebut masih berulang dilakukan, maka jika pelanggaran itu dilakukan oleh organisasi atau aliran kepercayaan, maka Presiden dapat membubarkan organisasi tersebut dengan pertimbangan dari Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri apabila orang/organisasi tersebut masih melakukan penodaan agama, maka orang atau anggota, dan atau pengurus organisasi tersebut dapat dipidana selama-lamanya 5 tahun.

Undang-undang ini juga memperkenalkan bentuk tindak pidana baru yaitu tindak pidana penodaan agama ke dalam KUHP dalam Pasal 156 a. Namun, penggunaan Pasal 156 a KUHP tetaplah tidak bisa dilakukan secara langsung, namun harus dilakukan melalui beragam tindakan administratif pendahuluan.

Pasal 156 a KUHP

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan :

a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia

b. dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.6

Dari latar belakang masalah di atas penulis tertarik ingin menuangkannya dalam bentuk skripsi yang diberi judul “Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Penistaan Agama Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif (Analisis Yurisprudensi Perkara yang Bermuatan Penistaan Agama)”.

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah maka dapat diidentifikasikan ada beberapa yang dipermasalahkan dalam skripsi ini di antaranya :

1. Bagaimana sanksi pidana terhadap pelaku penistaan agama menurut hukum Islam ?

2. Bagaimana sanksi pidana terhadap pelaku terhadap penistaan agama menurut hukum positif ?

3. Apakah yurisprudensi perkara yang bermuatan penistaan agama yang ada di Indonesia sudah relevan dengan hukum Islam ?

6

Moeljatno, Kitab undang-undang hukum pidana, (Bandung: PT Bumi Aksara, 2001), cet. 21, h. 59

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan menguji kebenaran suatu objek penelitian. Mengembangkan berarti mengkaji lebih dalam yang sudah berlaku. Sedangkan menguji kebenaran dilakukan jika terdapat terhadap apa yang sudah ada sebelumnya.

Dari penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penulis sendiri dalam memperluas wawasan keilmuan khususnya bidang ilmu hukum. Di samping itu, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dalam memecahkan permasalahan di bidang hukum serta mengetahui mengenai pandangan hukum Islam dan hukum positif (KUHP) tentang penistaan agama yang berkembang di masyarakat Indonesia, karena itu merupakan cermin nilai-nilai aqidah yang diyakini oleh masyarakat. Secara khusus penelitian ini bertujuan :

1. Dapat mengetahui bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku penistaan agama menurut hukum Islam.

2. Untuk mengetahui sanksi pidana terhadap pelaku penistaan agama menurut hukum positif.

3. Untuk memahami atau mengetahui kesesuaian yurisprudensi perkara yang bermuatan penistaan agama dengan hukum Islam.

Manfaat penelitian di sini bertujuan :

1. Menyumbangkan pemikiran sebagai hasil kegiatan penelitian berdasarkan prosedur, ilmiah, serta melatih kepekaan penulis terhadap masalah yang penulis paparkan.

2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat untuk lebih mengetahui tentang penistaan agama sehingga terhindar dari praktek penistaan agama.

3. Untuk menjelaskan tentang penistaan agama dalam ruang lingkup hukum Islam dan undang-undang serta akibat dan penerapan hukumnya dalam kehidupan masyarakat.

D. Metode Penelitian

Metode yang digunakan pada skripsi ini adalah Penelitian kepustakaan (library reseach), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji, buku-buku, artikel, jurnal dan lain-lain yang ada relevansinya dengan tema skripsi ini.

Metode yang berikutnya yaitu penelitian analisis isi, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisa kasus yang ada relevansinya dengan tema yang ada pada skripsi ini, dalam hal ini penulis menganalisa putusan yang kasusnya berada di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2007”.

1. Teknik Analisa Data

Penelitian menggunakan penelitian yang dihimpun dari berbagai sumber pustaka yang berkaitan dengan obyek penelitian ini dengan berusaha mencari gambaran dengan cara mengumpulkan data dan kemudian dijelaskan dengan analisa serta dikaji berdasarkan teori dari berbagai sumber dan konsep dari para ahli sesuai dengan permasalahan utama sehingga menjadi suatu pembahasan yang sistematis untuk memperoleh hasil atau kesimpulan materi yang dapat diterima kebenarannya.

Sumber data penelitian ini terbagi pada dua sumber, yaitu: sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer dari Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber hukum Islam dan dengan penjabaran pendapat dari para Ulama. Kemudian pijakan hukum positifnya dari materi perundang-undangan yang terkait. Yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 156 a. Sedangkan sumber sekunder, diambil dari karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan sanksi pidana terhadap pelaku penistaan agama.

D. Review Studi Terdahulu

Dari data katalog yang penulis cari, ada satu skripsi yang pembahasannya hampir sama dengan yang penulis bahas, skripsi tersebut berjudul Penodaan Agama ditinjau dari Hukum Islam dan KUHP (Studi Kasus Aliran Jamaah Salamullah) yang ditulis oleh Nurhasan, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2008. Dalam skripsi ini dia membahas penodaan agama menurut hukum Islam dan KUHP, tinjauan umum tentang agama menurut hukum Islam dan hukum positif,

penodaan agama menurut hukum Islam dan hukum positif, kemudian menganalisa kasus aliran jamaah Salamullah.

Yang membedakannya dengan skripsi yang akan penulis bahas adalah bahwa skripsi yang akan penulis bahas akan memaparkan bagaimana sanksi pidana terhadap pelaku penistaan agama dan juga akan membahas penistaan agama menurut hukum Islam dan hukum positif, serta akan menganalisis yurisprudensi perkara yang bermuatan penistaan agama, dalam hal ini penulis mengambil kasus aliran al-Qiyadah al-Islamiyah dan aliran jamaah Salamullah.

E. Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penyusunan, penulis membagi pembahasannya menjadi lima bab, selanjutnya dari tiap bab dirinci menjadi sub-bab, dengan susunan sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan. Dalam bab ini berisikan berupa latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II :Sanksi Pidana dalam Perspektif Hukum Islam. Pokok bahasan dalam bab ini tentang beberapa pengertian sanksi pidana, macam-macam sanksi pidana, sistem sanksi pidana, prinsip dan tujuan sanksi pidana.

BAB III : Sanksi Pidana dalam Perspektif Hukum Positif. Uraian bab ini tentang beberapa pengertian sanksi pidana, macam-macam sanksi pidana, sistem sanksi pidana.

BAB IV : Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Penistaan Agama Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif. Dalam bab ini menguraikan bagaimana sanksi pidana yang diberikan terhadap pelaku penistaan agama menurut hukum Islam dan hukum positif, serta analisis yuriprudensi perkara yang bermuatan penistaan agama.

BAB V : Penutup. Bab ini berupa kesimpulan, saran, dan berupa daftar pustaka.

BAB II

SANKSI PIDANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A. Pengertian Sanksi (uqûbah)

Menurut Ahmad Fathi Bahasni sanksi (uqûbah) berarti balasan berbentuk ancaman yang ditetapkan syar’i (Allah) untuk mencegah terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarangnya dan perbuatan-perbuatan meninggalkan yang ia perintahkan.7

Sedangkan Abdul Qadir Audah mendefinisikan sanksi atau hukuman adalah balasan yang telah ditentukan untuk kepentingan orang banyak atas perbuatan melanggar perintah Allah SWT.8

Di dalam kitabnya “Fatawa”, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa disyariatkan hukuman merupakan rahmat dari Allah SWT untuk manusia yang timbul sebagai rasa kasih sayangnya terhadap makhluk. Oleh karenanya adalah wajar Allah menjatuhkan hukuman terhadap perbuatan dosa dengan maksud berbuat baik kepada manusia. Maka ancaman, siksaan yang dijatuhkan dimaksudkan untuk mendidik pelakunya demi merealisasikan kemaslahatan umum.

7

A. Fathi Bahasni, al- Uqubah fi al-fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-syuruq, 1983), cet. Ke-V, h. 13

8

Abdul Qadir Audah, al-Tasyri’ al-Jinai al-Islami, (Beirut: Muassah al-Risalah, 1992), cet. Ke-II, Juz 1, h. 812

B. Macam-Macam Sanksi (Uqûbah)

Hukuman dapat dibagi menjadi beberapa golongan menurut segi tinjauannya:

1. Berdasarkan Pertalian Satu Hukuman dengan lainnya a. Hukuman Pokok (al-‘Uqûbah al-Asliyyah)

Hukuman pokok yaitu hukuman pokok yang telah ditetapkan pada satu tindak pidana, seperti hukuman qisas bagi tindak pidana pembunuhan, hukuman rajam bagi tindak pidana zina, dan hukuman potong tangan bagi tindak pidana pencurian.9

b. Hukuman Pengganti (al-‘Uqûbah al-Badaliyah)

Hukuman pengganti yaitu hukuman yang menggantikan hukuman pokok apabila hukuman pokok tidak dapat dilaksanakan karena adanya alasan yang syar’i, seperti hukuman diyat sebagai pengganti hukuman qisas dan hukuman ta’zîr sebagai pengganti hukuman hudûd dan qisas.

Pada dasarnya hukuman pengganti adalah hukuman pokok sebelum berubah menjadi hukuman pengganti. Hukuman ini dianggap sebagai hukuman pengganti hukuman yang lebih berat yang tidak bisa dilaksanakan. Diyat adalah hukuman pokok pada tindak pidana pembunuhan semi sengaja, tetapi ia dianggap sebagai hukuman pengganti pada tindak pidana qisas. Ta’zîr juga adalah hukuman pokok untuk tindak pidana ta’zîr, tetapi menjadi hukuman pengganti pada tindak pidana

9

Ahsin Sakho Muhammad, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT. Karisma Ilmu, 2007), cet. Ke-I, jilid III, h. 39

hudûd dan qisas apabila hukuman keduanya tidak dapat dilaksanakan karena adanya alasan yang syar’i.

c. Hukuman Tambahan (al’Uqûbah al-Tabâ’iyyah)

Hukuman tambahan yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan tersendiri. Contohnya, larangan menerima warisan bagi pembunuh. Larangan menerima waris ini adalah konsekuensi atas penjatuhan hukuman mati terhadap pembunuh. Contoh lainnya, dicabutnya hak sebagai saksi terhadap pelaku qazaf. Hukuman ini tidak harus dikeluarkan melalui putusan hukuman, tetapi cukup dengan adanya putusan penjatuhan hukuman qazaf.

d. Hukuman Pelengkap (Taklîmiyyah)

Hukuman pelengkap yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan adanya putusan tersendiri dari hakim.10

Hukuman pelengkap sejalan dengan hukuman tambahan karena keduanya merupakan konsekuensi/akibat dari hukuman pokok. Perbedaan keduanya: hukuman tambahan tidak mensyaratkan adanya putusan tersendiri dari hakim, sedangkan hukuman pelengkap mensyaratkan adanya putusan tersebut. Contoh hukuman pelengkap adalah mengalungkan tangan pencuri yang telah dipotong ke lehernya. Hukuman pengalungan ini baru boleh dilakukan setelah dikeluarkannya putusan hukuman tersebut.

4

2. Berdasarkan Kekuasaan Hakim dalam Menentukan Bentuk dan Jumlah Hukuman

Dalam hal ini ada dua macam hukuman, yaitu sebagai berikut: a. Hukuman yang hanya memiliki satu batas

Artinya tidak memiliki batas tertinggi atau batas terendah. Hukuman ini tidak dapat dikurangi atau ditambah meskipun pada dasarnya bisa ditambah atau dikurangi. Contohnya, pencelaan, teguran, nasihat, atau cambukan yang ditetapkan sebagai hukuman hudûd (seperti hukuman dera sebagai hukuman hudûd sebanyak delapan puluh kali atau seratus kali). b. Hukuman yang memiliki dua batas (Batas Tertinggi atau Terendah)

Dalam hal ini hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman yang sesuai antara kedua batas tersebut. Contohnya hukuman kurungan, cambuk atau dera dalam hukuman ta’zîr.

3. Berdasarkan Kewajiban Menjatuhkan Suatu Hukuman

Dalam hal ini ada dua macam hukuman, yaitu sebagai berikut: a. Hukuman yang telah ditentukan bentuk dan jumlahnya

Hukuman yang telah ditentukan bentuk dan jumlahnya yaitu hukuman yang telah ditetapkan jenisnya dan telah dibatasi oleh syar’i (Allah dan Rasul-Nya). Hakim wajib melaksanakannya tanpa boleh mengurangi, menambah, atau menggantinya dengan hukuman lain. Hukuman ini disebut juga dengan “uqûbah lazimah” (hukuman

keharusan) karena penguasa tidak boleh menggugurkan hukuman ini dan memaafkan pelaku tindak pidana dari hukuman ini.

b. Hukuman yang tidak ditentukan bentuk dan jumlahnya

Hukuman yang tidak ditentukan bentuk dan jumlahnya yaitu hukuman yang diserahkan kepada hakim untuk memilihnya dari sekumpulan hukuman yang ada dianggap sesuai dengan keadaan tindak pidana serta pelaku. Hukuman ini disebut dengan uqûbah mukhayyarah (hukuman pilihan) karena hakim berhak memilih diantara sekumpulan hukuman tersebut.

4. Berdasarkan Tempat dilakukannya Hukuman

Hukuman ini terbagi manjadi tiga, yaitu sebagai berikut: a. Hukuman badan (Uqûbah Badaniyah)

Yaitu hukuman yang dijatuhkan atas badan sipelaku, seperti hukuman mati, dera, dan penjara.

b. Hukuman jiwa (Uqûbah Nafsiyyah)

Yaitu hukuman yang dijatuhkan atas jiwa sipelaku. Contohnya hukuman nasihat, celaan, dan ancaman.

c. Hukuman harta (Uqûbah Mâliyyah)

Yaitu hukuman yang ditimpakan pada harta pelaku, seperti hukuman diyat, denda dan biaya administrasi.11

11

5. Berdasarkan Macamnya Tindak Pidana yang Diancamkan Hukuman

Adapun rincian hukuman-hukuman tersebut adalah sebagai terbut: a. Hukuman yang telah ditetapkan terhadap tindak pidana hudûd

Hukuman hudûd terbagi menjadi tujuh macam, sesuai dengan bilangan tindak pidana hudûd, yaitu:

1)Zina; 2)Qazaf;

3)Meminum minuman keras; 4)Mencuri;

5)Melakukan hirabah (gangguan keamanan); 6)Murtad;

7)Memberontak.

Hukuman yang ditetapkan terhadap segala tindak pidana tersebut disebut had (hudûd). Hudûd adalah hukuman yang telah ditetapkan sebagai hak Allah SWT atau hukuman yang telah ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat. Dikatakan sebagai hak Allah karena hukuman ini tidak dapat digugurkan, baik oleh individu maupun masyarakat. Para fuqoha menjadikan suatu hukuman sebagai hak Allah SWT ketika kemaslahatan masyarakat menuntut demikian, yakni menghilangkan kerusakan dari manusia dan mewujudkan pemeliharaan dan ketentraman untuk mereka.12

6

1) Hukuman Zina

Dalam hukum Islam hukuman atas tindak pidana zina ada tiga: a) Jilid (cambuk atau dera);

b)Taghrîb (diasingkan); c) Rajam.

Hukuman dera dan pengasingan ditetapkan bagi pelaku zina gairu muhsan (belum pernah menikah), sedangkan rajam ditetapkan bagi pelaku zina muhsan (pelaku yang sudah melakukan hubungan seksual melalui pernikahan yang sah). Apabila keduanya gairu muhsan, hukumannya adalah dera dan dibuang, tetapi jika keduanya muhsan hukumannya adalah rajam. Apabila salah satunya muhsan sedangkan yang lain gairu muhsan, pelaku pertama dijatuhi hukuman rajam, sedangkan yang gairu muhsan dijatuhi hukuman cambuk.

2) Hukuman Qazaf (menuduh orang baik-baik malakukan zina tanpa bukti yang jelas/fitnah)

Dokumen terkait