• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PERDAGANGAN

A. Sanksi Pidana

orang berdasarkan beberapa putusan di Indonesia?

3. Bagaimana langkah-langkah untuk mencegah perdagangan orang?

C. Tujuan Penelitian

Pada dasarnya tujuan penelitian adalah untuk mencari pemahaman tentang masalah-masalah yang telah dirumuskan. Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis sanksi pidana terhadap pelaku tindakan perdagangan orang .

2. Untuk mengetahui penerapan sanksi terhadap pelaku tindakan perdagangan orang berdasarkan beberapa putusan di Indonesia.

3. Untuk mengetahui langkah-langkah untuk mencegah perdagangan orang.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis sebagai berikut: a. Memberi masukan dan sumbangan pemikiran dalam rangka penyusunan

perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang.

b. Memberi sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan hukum khususnya hukum pidana.

2. Manfaat Praktis

Selain manfaat secara teoritis, Penelitian ini diharapkan memberi manfaat untuk kepentingan penegakan hukum, sehingga dapat dijadikan masukan dalam cara berpikir dan cara bertindak hakim dalam mengambil keputusan guna mewujudkan tujuan hukum. Serta menjadi masukan bagi penegakan hukum bagi Hakim disamping dapat mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum, juga harus mewujudkan hukum yang memenuhi rasa keadilan yang mana konsekuensi kemerdekaan kekuasaan kehakiman di tangan Hakim harus dimaknai dan diimplementasikan untuk mewujudkan cita hukum yang berintikan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan serta penelusuran yang telah dilakukan melalui studi kepustakaan khususnya pada lingkungan perpustakaan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Penelitian yang berjudul : “Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Analisis beberapa putusan di Indonesia)”ini belum pernah diteliti oleh orang lain sebelumnya, akan tetapi dalam penelitian yang menyinggung mengenai traficking pernah dibahas oleh Alexander Keristian dalam skripsinya dengan judul “Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Di Poltabes Medan)”, adapun perumusan masalah yang dibahasnya adalah 1. Bagaimanakah Karakteristik dilihat dari Faktor, Modus operandi dan dampak perdagangan orang?, 2. Peraturan- peraturan apakah yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang?, 3. Bagaimanakah Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang ?, pembahasan yang lain juga pernah dilakukanoleh dengan judul “Analisa Hukum Terhadap Putusan Banding Pengadilan Tinggi Medan Tentang Membantu Melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Analisa Putusan Pengadilan Tinggi Nomor : 743/Pid/2008/PT-Mdn.)” yang mana perumusan masalahnya membahas mengenai 1. Bagaimana pengaturan hukum perdagangan orang di Indonesia, 2. Bagaimana upaya penanggulangan perdagangan orang, 3. Analisa kasus putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 743/Pid/2008/PT- Medan. Merujuk dari perumusan masalah, maka penelitian ini dapat dikategorikan sebagai

penelitian baru dan keasliannya dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan ilmiah sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan obyektif dalam menemukan kebenaran.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Soejono Soekanto menyatakan bahwa, kontinuitas perkembangan ilmu hukum itu, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori, Sehingga teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis, artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka teoritis yang relevan yang mampu menerangkan masalah tersebut.22

Menurut M. Solly Lubis, Kerangka teori merupakan landasan teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis

23

Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian tesis ini adalah teori keadilan dan teori pemidanaan sehingga dapat memberikan pedoman pembahasan pada uraian berikutnya.

.

Berbicara tentang keadilan, Aristoteles berpandangan bahwa keadilan dibagi kedalam dua macam yakni : keadilan “distributief” dan keadilan “commutatief”. Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap

22

Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal.6

23

orang porsi menurut pretasinya. Keadilan commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan peranan tukar menukar barang dan jasa24

Hans Kelsen mengemukakan dalam bukunya general theory of law and state, berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya. Keadilan sebagai pertimbangan nilai yang bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa suatu tatanan bukan kebahagian setiap perorangan, melainkan kebahagian sebesar- besarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok, yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa atau pembuat hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhi, seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan. Tetapi kebutuhan-kebutuhan manusia yang manakah yang patut diutamakan. Hal ini apat dijawab dengan menggunakan pengetahuan rasional, ang merupakan sebuah pertimbangan nilai, ditentukan oleh faktor-faktor emosional dn oleh sebab itu bersifat subjektif.

, Dari pembagian macam keadilan ini Aristoteles mendapatkan kontroversi dan perdebatan.

25

Hans Kelsen mengakui juga bahwa keadilan mutlak berasal dari alam, yakni lahir dari hakikat suatu benda atau hakikat manusia, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan. Pemikiran tersebut diesensikan sebagai doktrin yang disebut hukum alam. Doktrin hukum alam beranggapan bahwa ada suatu keteraturan hubungan-hubungan manusia yang berbeda dari hukum positif, yang lebih tinggi dan sepenuhnya sahih dan adil, karena berasal dari alam, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan.26

24

L.J.Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita,1996 ), hal. 11.

25

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, (Bandung, Nusa Media, 2011),hal. 7

26 Ibid.7

Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945 mempunyai konsekuensi untuk menegakkan hukum, yang artinya setiap tindakan yang dilaksanakan oleh siapapun di negara ini serta akibat yang harus ditanggungnya harus didasarkan kepada hukum dan diselesaikan menurut hukum juga. Setiap orang mengharapkan dapat diterapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit.

Ditinjau dari sisi keadilan, putusan pengadilan Negeri Medan sepertinya belum termasuk teori keadilan Adam Smith yang hanya menerima satu konsep atau teori keadilan yaitu keadilan komutatif yakni keadilan sesungguhnya hanya punya satu arti yaitu keadilan komutatif yang menyangkut kesetaraan, keseimbangan, keharmonisan hubungan antara satu orang atau pihak dengan orang atau pihak lain.27

Berbicara tentang pemidanaan, pada umumnya dapat dikelompokkan dalam tiga golongan besar, yaitu teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien), teori relatif atau teori tujuan (doel theorien), dan teori menggabungkan (verenigings theorien).28

Ruslan saleh mengemukakan bahwa dalam teori pemidanaan, penjatuhan pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan.

Secara garis besar teori pidana ini dijatuhkan karena orang telah melakukan kejahatan. Pidana sebagai akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan.

27

http:// teori-keadilan-adam-smith.html diakses pada tanggal 25 maret 2012 pukul 21.00 wib.

28

Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi bertujuan sebagai sarana melindungi kepentingan masyarakat. 29

Ditinjau dari teori pemidanaan menyataan bahwa putusan hakim pada tingkat pengadilan negeri yaitu penjatuhan pidana penjara kepada pelaku perdagangan orang terlepas dari disparitas lama tahanan sudahlah tepat. namun perlu di garis bawahi bahwa pidana penjara yang dijatuhkan bukanlah dengan tujuan semata-mata untuk membalas dan menakutkan, akan tetapi untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu.

2. Kerangka Konsepsi

Dalam penelitian hukum, kerangka konsepsional diperoleh dari peraturan perundang-undangan atau melalui usaha untuk membentuk pengertian-pengertian hukum. Apabila kerangka konsepsional tersebut diambil dari peraturan perundang- undangan tertentu, maka biasanya kerangka konsepsional tersebut sekaligus merumuskan defenisi-defenisi tertentu, yang dapat dijadikan pedoman operasional didalam proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan kontruksi data.30

Bertolak dari kerangka teori sebagaimana tersebut diatas, berikut ini disusun kerangka konsep yang dapat dijadikan sebagai defenisi operasional, Kerangka konsepsional dalam merumuskan atau membentuk pengertian-pengertian hukum, kegunaannya tidak hanya terbatas pada penyusunan kerangka konsepsional saja, akan tetapi pada usaha merumuskan defenisi-defenisi operasional diluar peraturan

29

Ruslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta ; Aksara Baru, 1983), hal. 26.

30

perundang-undangan.31

a. Sanksi pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

Dengan demikian, konsep merupakan unsur pokok dari suatu penelitian. Adpun kerangka konsep pada tesis ini adalah :

32

Secara umum istilah pidana sering kali diartikan sama dengan istilah hukuman. Hukuman adalah suatu pengertian umum sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. Sedang pidana merupakan pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana. Sebagai pengertian khusus, masih juga ada persamaannya dengan pengertian umum, sebagai suatu sanksi atau nestapa yang menderitakan.33

b. Tindak pidana yaitu: “Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut”.34 c. Perdagangan orang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Bab I

tentang Ketentuan Umum Undang Undang nomor 21 tahun 2007 adalah tindakan perekrutan, pengangjutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga

31

Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gremedia Pustaka Utama, 1999), hal. 24

32

Muladi dan Barda Nawawi Arief,Teori-teori dan Kebijakan Pidana, ( Bandung: Alumni, 1992, hal 2

33

Andi Hamzah, Stelsel Pidana dan pemidanaan di indonesia, op cit, hal. 1.

34

memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang terekspolitasi.35 Dalam Pasal 1 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara nomor 6 tahun 2004, tentang Penghapusan Perdagangan ( Traficking) Perempuan dan Anak, menyatakan bahwa Perdagangan manusia adalah tindak pidana atau perbuatan yang memenuhi salah satu perbuatan yang memenuhi salah satu unsur-unsur perekrutan, pengiriman, penyerahterimaan perempuan dan anak dengan menggunakan kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi rentan atau penjeratan hutang untuk tujuan dan atau berakibat mengeksploitasi perempuan dan anak.36

d. Perekrutan adalah tindakan yang meliputi, mengajak, mengumpulkan, membawa dan memisahkan seseorang dari keluarga.37

e. Eksploitasi ialah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi atau secara melawan hukum memindahkan atau

35

Lebih lanjut lihat Pasal 1 ayat (1) Bab I tentang Ketentuan Umum Undang Undang nomor 21 tahun 2007

36

Lebih lanjut lihat Pasal 1 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara nomor 6 tahun 2004

37

mentransplatasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan.38

G. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan ilmu mengenai jenjang-jenjang yang harus dilalui dalam suatu proses penelitian, atau ilmu yang membahas metode ilmiah dalam mencari, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan.39

Metode penelitian yang dipergunakan dalam menjawab permasalahan dalam tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilaksanakan dalam tesis ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian terhadap masalah dengan melihat dari dua sumber peraturan - peraturan yang berlaku. Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan. Hal ini disebabkan karena penelitian lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Penelitian kepustakaan demikian dapat pula dikatakan sebagai lawan dari penelitian empiris.40

38

Kementerian Kordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Penghapusan Perdagangan Orang di Indonesia, ( Jakarta, 2005) , hal.2.

39

Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta : Granit, 2004), hal. 1.

40

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hal.13.

2. Bahan-bahan Hukum yang Digunakan

Bahan hukum dibagi tiga yaitu bahan hukum primer yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, bahan hukum sekunder diperoleh dari literatur atau buku-buku, dan bahan hukum tersier diperoleh dari kamus-kamus dalam hal ini kamus hukum.41 Dalam penelitian hukum normatif data yang dipergunakan adalah data sekunder. Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya, diperlukan sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder.42

a. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer Yaitu bahan hukum yang isinya mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah.43

1. Norma atau kaidah dasar yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

2. Undang-Undang Dasar 1945.

3. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Orang. 4. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

5. Putusan – Putusan Hakim Pengadilan Negeri.

41

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1984), hal. 52

42

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2005), hal. 141.

43

6. Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

b. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.44

1. Kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia.

Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang pada penelitian ini adalah:

2. Majalah-majalah yang ada hubungannya dengan penelitian ini. 3. Koran yang memuat tentang kasus perdagangan orang.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan yakni berupa studi dokumen dan teknik pendukung lainnya yaitu meneliti dokumen yang ada dengan mengumpulkan data dan informasi dari buku, karangan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bahan tertulis lainnya serta putusan pengadilan negeri yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu dengan cara mencari, mempelajari dan mencatat serta menginterpretasikan hal-hal yang berkaitan dengan objek penelitian.45

44

Amiruddin dan Zaenal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum ,( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 31

45

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hal. 225.

4. Analisa Bahan Hukum

Analisa dapat dirumuskan untuk menguraikan hal yang akan diteliti ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil dan sederhana.46

a. Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang perdagangan orang.

Pada penelitian hukum normatif, pengolahan bahan hakikatnya kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam analisis bahan dalam penelitian ini adalah:

b. Membuat sistematik dari Pasal-Pasal tersebut sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu (yang selaras dengan penegakan hukum terhadap perdagangan orang).

c. Bahan yang berupa peraturan perundang-undangan ini dianalisis secara kualitatif, dengan menggunakan logika berfikir dalam menarik kesimpulan secara metode deduktif, yaitu kerangka pemikiran diarahkan kepada aspek-aspek normatif yang terkandung dalam hukum positif. Sehingga hasil dari analisis ini diharapkan dapat menjawab permasalahan yang dikemukakan dalam tulisan ini.

46

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke- 20, Opcit., hal. 105

BAB II

SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PERDAGANGAN ORANG

A. Sanksi Pidana

1. Pengertian Sanksi Pidana

Hukum pidana menentukan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum yang dilakukan. Sanksi itu pada prinsipnya merupakan penambahan penderitaan dengan sengaja. Penambahan penderitaan dengan sengaja ini pula yang menjadi pembeda terpenting antara hukum pidana dengan hukum yang lainnya.47

Istilah “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus, yaitu menunjukkan sanksi dalam hukum pidana. Pidana adalah sebuah konsep dalam bidang hukum pidana yang masih perlu penjelasan lebih lanjut untuk dapat memahami arti dan hakekatnya.48

Menurut Roeslan Saleh “pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu”.

49

Subekti dan Tjitrosoedibio mengemukakan dalam bukunya kamus hukum, “pidana” adalah “hukuman”.

50

Sudarto berpendapat yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

51

47

Van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Material Bagian Umum, (Bandung : Binacipta,1987), hal. 17.

48

Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum Dalam Konteks Penegakan Hukum Di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 23.

49

Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta : Aksara Baru, 1983), hal. 9.

50

Muladi dan Barda Nawawi berpendapat bahwa unsur pengertian pidana, meliputi:52

a. pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;

b. pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);

c. pidana itu dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.

Apabila dilihat dari filosofinya, hukuman mempunyai arti yang sangat beragam. R. Soesilo menggunakan istilah “hukuman” untuk menyebut istilah “pidana” dan ia merumuskan bahwa apa yang dimaksud dengan hukuman adalah suatu perasaan tidak enak (sangsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar Undang-undang hukum pidana.

Pidana merupakan pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana. Sebagai pengertian khusus, masih juga ada persamaannya dengan pengertian umum, sebagai suatu sanksi atau nestapa yang menderitakan.53

Menurut Moeljatno, istilah “hukuman” yang berasal dari kata “Straf” merupakan istilah-istilah yang konvensional. Dalam hal ini beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah yang in konvensional, yaitu “pidana” untuk menggantikan kata “straf”. Moeljatno mengungkapkan jika “straf” diartikan “hukum” maka strafrechts” seharusnya diartikan “hukum

51

Muladi dan Barda Nawawi, Teori dan Kebijakan Pidana. (Bandung: Alumni, 1992),hal. 2.

53

hukuman”. Menurut beliau “dihukum” berarti” diterapi hukum”, baik hukum pidana maupun hukum perdata.54

Satochid Kartanegara berpendapat bahwa “hukuman (pidana) itu bersifat siksaan atau penderitaan, yang oleh undang-undang hukum pidana diberikan kepada seseorang yang melanggar sesuatu norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana, dan siksaan atau penderitaan itu dengan keputusan hakim dijatuhkan terhadap diri orang yang dipersalahkan itu. Sifat yang berupa siksaan atau penderitaan itu harus diberikan kepada hukuman (pidana), karena pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana itu merupakan pelanggaran atau perkosaan kepentingan hukum yang justru akan dilindungi oleh undang- undang hukum pidana”.55

Menurut Herbert L. Packer, sanksi pidana adalah suatu alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang dimiliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar serta untuk menghadapi ancaman-ancaman. Selanjutnya Packer menyatakan bahwa :

1. Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang maupun dimasa yang akan datang, tanpa pidana.

2. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki utk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta utk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya.

3. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara manusiawi, ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.56

54

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, op cit. Hal. 1.

55

Satochid Kartanegara, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, (Bandung : 1954- 1955), hal. 275-276.

56

Herbert L. Packer, The Limits of The Criminal Sanction, (Stanford California University Press, 1967), hal. 344

Dari beberapa pendapat pakar di atas dapat disimpulkan bahwa sanksi adalah menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang karena suatu perbuatan yang dilakukannya.

2. Jenis-jenis Sanksi Pidana

Undang-undang membedakan 2 macam pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan, terhadap satu kejahatan atau pelanggaran hanya boleh dijatuhkan satu pidana pokok yang berarti kumulasi lebih dari satu pidana pokok tidak diperkenankan dalam beberapa hal kumulasi antara pidana pokok dan tambahan.57

Dalam Pasal 10 KUHP dikenal dua jenis pidana, yaitu pidana pokok yang terdiri dari :58

1. Pidana mati; 2. Pidana penjara; 3. Pidana kurungan; 4. Pidana denda.

Pidana tambahan terdiri dari : 1. Pencabutan hak-hak tertentu,

2. Perampasan barang-barang tertentu dan 3. Pengumuman putusan hakim.

Jenis-jenis pidana seperti yang termuat didalam Pasal 10 KUHP telah dirumuskan dengan tidak terlepas dari keadaan masyarakat yang ada pada saat KUHP dibentuk. KUHP mengenal sistem tunggal dimana terhadap suatu

57

R soesilo., KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor : Politea, tt), hal. 30

58

kejahatan atau pelanggaran hanya dijatuhkan satu pidana pokok. Kumulasi juga dapat diterapkan namun umumnya antara pidana pokok dan pidana tambahan.

Secara umum Pidana mati adalah pidana yang paling berat, karena pidana ini dalam pelaksanaannya sangat berat berupa penyerahan terhadap hak hidup bagi manusia yang sesungguhnya hak ini berada di tangan Tuhan, manusia tidak ada wewenang untuk menghilangkan nyawa seseorang meskipun seseorang tersebut telah melanggar ketentuanketentuan yang berlaku atau hukum yang berlaku yang tercantum dalam Undang-undang maupun peraturan hukum lainnya.

Menurut Pasal 11 KUH Pidana, pidana mati dijalankan dengan cara menjerat tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana, namun setelah adanya Undang-undang Nomor 5 tahun 1969 tentang pelaksanaan Pidana Mati yang menetapkan bahwa pidana mati dijalankan dengan menembak

Dokumen terkait