• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia)"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

(Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia).

OLEH :

NIM. 117005038 / HK PERDANA ELIAKHIM MANALU

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

TESIS

SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

(Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia).

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi Ilmu Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

NIM. 117005038 / HK PERDANA ELIAKHIM MANALU

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul Tesis : SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (Studi Beberapa

Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia).

Nama Mahasiswa : PERDANA ELIAKHIM MANALU Nomor Pokok : 117005038

Program Studi : Ilmu Hukum

MENYETUJUI KOMISI PEMBIMBING

Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH Ketua

Dr. Hamdan, SH. M.Hum

Anggota Anggota

Dr. Hasyim Purba, SH, M.Hum

Ketua Program Studi D e k a n

Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 20 Agustus 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH Anggota : 1. Dr. Hamdan, SH, M.Hum

(5)

ABSTRAK

Sanksi Pidana terhadap pelaku tindakan perdagangan orang telah diatur dalam UU No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan perdagangan orang. Batas maksimum dan batas minimum memberi keleluasaan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana bagi pelaku tindakan perdagangan orang. Terjadinya disparitas penjatuhan pidana pada dasarnya dimulai dari sanksi yang terdapat dalam UU No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan perdagangan orang yang mana membuka peluang karena adanya batas minimum dan maksimum pemberian hukuman, sehingga hakim bebas bergerak untuk mendapatkan pidana yang menurutnya tepat. Adapun permasalahan dalam tesis ini adalah Bagaimana sanksi pidana terhadap pelaku tindakan perdagangan orang, Bagaimana penerapan sanksi terhadap pelaku tindakan perdagangan orang berdasarkan beberapa putusan di Indonesia, Bagaimana langkah-langkah untuk mencegah perdagangan orang.

Metode yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian terhadap masalah dengan melihat dari sumber peraturan- peraturan yang berlaku berkaitan dengan judul Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri Di Indonesia).

Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindakan perdagangan orang berdasarkan beberapa putusan di Indonesia didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan, pertama Dakwaan jaksa penuntut umum, kedua

keterangan saksi, ketiga keterangan terdakwa, keempat Barang-barang bukti dan

kelima berdasarkan Pasal-pasal dalam Perundang-Undangan. Adapun Langkah-langkah hukum untuk mencegah perdagangan orang : pertama, Langkah pencegahan yakni sebuah upaya untuk mencegah perdagangan orang melalui peningkatan kesadaran tentang hak-hak, bahaya eksploitasi seksual maupun trik yang digunakan pelaku perdagangan, kedua, Langkah perlindungan, yakni memberikan perlindungan kepada korban dengan cara peningkatan jaringan hukum, langkah tersebut berjalan efektif jika berbagai bentuk jaminan dan mekanisme hukum berlaku. Ketiga, Langkah rehabilitasi/pemulihan yakni menangani korban pasca penyelamatan dari kejahatan trafficking, terutama korban yang mengalami dampak psikologi yang buruk diantaranya trauma psikologi, rasa takut dan cemas berkepanjangan,rasa percaya diri yang rendah, rasa bersalah. Keempat, Langkah reintegratif yaitu upaya penerimaan korban di tengah-tengah keluarganya, masyarakatnya dan lingkungannya.

(6)

ABSTRACT

Criminal sanctions against the perpetrators of acts of trafficking in persons has been regulated in the Law. 21 of 2007 on combating trafficking in persons. Maximum and minimum limits provide flexibility to the judge to impose punishment for the perpetrators of human trafficking. Disparity basically starts from criminal sanctions contained in the Law. 21 of 2007 on combating trafficking in persons, which opens opportunities for the minimum and maximum limits of punishment, so judges are free to move to get a criminal who thinks proper. The problem in this thesis is How criminal sanctions against perpetrators of human trafficking, how the application of sanctions against the perpetrators of human trafficking by several decisions in Indonesia, How measures to prevent trafficking in persons.

The method used in this thesis is a normative legal research is a study of the problem by looking at the source of the applicable regulations pertaining to the title of Criminal Sanctions Against Perpetrators of Criminal Acts of Trafficking in Persons (Study of Multiple District Court Decision in Indonesia

Application of criminal sanctions against perpetrators of human trafficking in Indonesia based on a decision based on the factors revealed in the trial, the first indictment prosecutors, the two witnesses, testimony of the defendant third, fourth items of evidence and the fifth by the Articles in legislation. The legal measures to prevent trafficking in persons: first, that precaution is an effort to prevent trafficking through awareness raising about the rights, the dangers of sexual exploitation and tricks used by traffickers, second, protection measures, which provide protection to the victims of the how to increase the legal network, the move effective if the various forms of guarantees and mechanisms applicable law. Third, step rehabilitation / restoration of the handle post-rescue victims of trafficking crime, especially victims who suffered such a bad psychological impact of psychological trauma, prolonged fear and anxiety, low self esteem, guilt. Fourth, the efforts acceptance reintegratif Step victim in the middle of his family, society and the environment.

).

Keywords:

(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan rasa syukur hanyalah milik Tuhan. Hanya dialah tempat kita

memuji, meminta pertolongan dan meminta ampun. Atas rahmat-nya dan

karuniah-nyalah sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan Tesis yang berjudul:

“SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA

PERDAGANGAN ORANG (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia)”. Suatu hasil karya ilmiyah yang disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Magister Hukum (MH) dalam Program Studi

Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Segala kemampuan yang penulis miliki telah tercurah dengan segala usaha

dalam penulisan Tesis ini, akan tetapi sebagai karya manusia biasa maka menjadi

suatu kewajaran jika Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis

mengharapkan dan akan menerima segala dukungan, kritikan dan saran yang

bersifat konstruktif dengan tangan terbuka hingga Tesis ini dapat mencapai faidah

yang maksimal bagi semua khususnya bagi penulis sendiri maupun bagi pihak yang

membutuhkan atau menggunakannya dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Penulis menyadari bahwa Tesis ini dapat diselesaikan berkat bantuan,

bimbingan dan petunjuk serta pengarahan juga motivator dari berbagai pihak, maka

dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada

semuanya. Sebagai manusia biasa yang tak luput dari kekhilafan dan kekurangan,

(8)

tesis ini. Pada kesempatan kali ini, izinkan penulis menghaturkan ucapan terima

kasih yang tiada terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya sebagai kata

persembahan kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Dr. Syahril Pasaribu,

DTM&H, M.Sc (CTM)., Sp.A(K) dan Pembantu Rektor, atas kesempatan dan

fasilitas yang diberikan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan di Program

Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung

Sitepu, S.H, M.Hum, yang telah memberi kesempatan dan bantuan kepada

penulis untuk mengikuti dan menimba ilmu pengetahuan dalam Program

Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ketua dan Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H, MH, dan Bapak Dr.

Mahmul Siregar, S.H, M.Hum, yang senantiasa memberikan dorongan dan

kesempatan kepada penulis untuk mengikuti dan menggali ilmu pengetahuan

pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara.

4. Seluruh dosen-dosen dan staf-staf civitas Akademis Program Magister Ilmu

Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak

menyalurkan ilmunya dan juga meluangkan waktu untuk mahasiswanya. Semoga

(9)

5. Ayahanda Drs. Edison Manalu M.pd dan ibunda tercinta Dahlia Siahaan, berkat

do’a dan semangat perjuangan hidup yang ayahanda dan ibunda berikan, maka

Tesis ini juga dapat terselesaikan.

Secara khusus, penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada Bapak

Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku Ketua Komisi Pembimbing, yang telah

memberikan bimbingan dan arahan dalam memperluas wawasan penulis dengan

sangat arif dan bijaksana, sehingga menjadi pengalaman tersendiri yang tentunya

sulit untuk dilupakan.

Demikian pula kepada Bapak Bapak Dr. Hamdan, SH, M.Hum dan Dr.

Hasim Purba, SH, M.Hum, selaku anggota Komisi Pembimbing yang disela-sela

kesibukan, mereka masih bersedia untuk meluangkan waktunya kepada penulis

untuk membimbing, mendorong dan memberikan masukan serta arahan yang sangat

berharga hingga rampungnya penulisan Tesis ini.

Rasa terima kasih juga disampaikan secara tulus kepada ibunda Dr. Chairul

Bariah, SH, M.Hum, dan Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS, yang telah berkenan

melakukan pengujian Tesis ini dengan memberikan masukan dan arahan yang

konstruktif serta memperkaya isi materi Tesis ini.

Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh

rekan-rekan/sahabat-sahabat tercinta di Magister Ilmu Hukum angkatan 2011/2012,

khususnya buat Zaid Alfauza Marpaung, S.H, M. Arifin, S.H, Anjani Sipahutar,

(10)

Syafrizal Wahyudi, S.H, Fajar khaifiah Rizki, S.H, MH, M.Iqbal Tarigan, S.H, M.

Ansari Siregar, S.H, Kemala Atika Hayati, S.H, Etha, S.H, Irene, S.H, Dewi Sartika,

S.Hi, Dewi Erfina Sitorus, S.H, Febri, S.Hi, Icha, S.H, Hendri Nauli Rambe, S.Hi,

Marudud Hutajulu, S.H, S.E, M.BA, Maria, S.H, Fenny Ginting, S.H, Lamtiur

Nababan, S.H, Yeni Chairiah Rambe, S.H, Ari Nurwanto, S.H, Dian Yudistira, S.H,

Akhir kata, sekali lagi penulis mengucapkan ribuan terima kasih kepada

seluruh pihak-pihak yang telah penulis sebutkan maupun yang tidak penulis

sebutkan namanya dalam Tesis ini, namun telah berjasa memberikan kontribusinya

atas terselesaikannya Tesis ini.

Medan, September 2013

(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : PERDANA ELIAKHIM MANALU

Tempat/Tgl Lahir : Medan,

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Kristen

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Jl. Menteng 7 gang Sepakat No. 2 Medan

Riwayat Pendidikan : 1. SD Swasta Katolik Budi Luhur , Lulus Tahun 2000.

2. SMP Swasta Tri Sakti 2 Medan, Lulus Tahun 2003.

3. SMA Swasta Methodist 7 Medan, Lulus Tahun 2006.

4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Medan Area 2010.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah... 18

C. Tujuan Penelitian... 18

D. Manfaat Penelitian... 19

1. Manfaat Teoritis... 19

2. Manfaat Praktis... 19

E. Keaslian Penelitian... 20

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 21

1. Kerangka Teori... 21

2. Kerangka Konsepsi... 24

G. Metode Penelitian... 27

1. Jenis Penelitian... 27

2. Bahan-bahan Hukum yang Digunakan... 28

3. Teknik Pengumpulan bahan hukum... 29

4. Analisa Bahan Hukum... 30

BAB II SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PERDAGANGAN ORANG... 31

(13)

1. Pengertian Sanksi Pidana... 31

2. Jenis-jenis Sanksi Pidana... 34

3. Tujuan Pemidanaan... 37

B. Ruang Lingkup dan Ketentuan Pidana Perdagangan

Orang... 39 1. Sekilas Tentang Perdagangan Orang... 39

2. Ketentuan Pidana Perdagangan Orang... 42

BAB III PENERAPAN SANKSI TERHADAP PELAKU TINDAKAN PERDAGANGAN ORANG BERDASARKAN BEBERAPA PUTUSAN DI INDONESIA... 54

A. Putusan Hakim Terhadap Pelaku Perdagangan Orang... 54

B. Penerapan Sanksi Terhadap Pelaku Tindak Pidana

Perdagangan Orang Dalam Beberapa Putusan

Di Indonesia... 62

1. Pertimbangan Hakim Ditinjau Dari Dakwaan Jaksa

Penuntut Umum... 63

2. Pertimbangan Hakim Ditinjau dari Keterangan Saksi... 70

3. Pertimbangan Hakim Ditinjau dari Keterangan terdakwa. 72

4. Pertimbangan Hakim Ditinjau dari barang bukti... 74

5. Pertimbangan Hakim Ditinjau dari pasal - pasal

Dalam undang – undang perdagangan orang... 79

C.Analisis Putusan Hakim Terhadap Pelaku Tindak

Pidana Perdagangan Orang Dalam Beberapa Putusan

Di Indonesia... 84

1. Putusan Hakim Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Beberapa Putusan

(14)

2. Putusan Hakim Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Beberapa Putusan

Di Indonesia ditinjau berdasarkan Teori pemidanaan... 92

BAB IV LANGKAH - LANGKAH UNTUK MENCEGAH PERDAGANGAN ORANG... 98

A. Langkah Yuridis... 98

B. Langkah Non Yuridis... 102

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 107

A. Kesimpulan... 107

B. Saran... 110

(15)

DAFTAR TABEL

No Tabel Halaman

1. Tabel 1 Putusan Pengadilan Negeri di sebahagian wilayah Indonesia

Tahun 2008 – 2012... 26

2. Tabel 2 barang bukti Putusan Pengadilan Negeri di sebahagian wilayah

Indonesia Tahun 2008 – 2012 ... 75

(16)

ABSTRAK

Sanksi Pidana terhadap pelaku tindakan perdagangan orang telah diatur dalam UU No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan perdagangan orang. Batas maksimum dan batas minimum memberi keleluasaan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana bagi pelaku tindakan perdagangan orang. Terjadinya disparitas penjatuhan pidana pada dasarnya dimulai dari sanksi yang terdapat dalam UU No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan perdagangan orang yang mana membuka peluang karena adanya batas minimum dan maksimum pemberian hukuman, sehingga hakim bebas bergerak untuk mendapatkan pidana yang menurutnya tepat. Adapun permasalahan dalam tesis ini adalah Bagaimana sanksi pidana terhadap pelaku tindakan perdagangan orang, Bagaimana penerapan sanksi terhadap pelaku tindakan perdagangan orang berdasarkan beberapa putusan di Indonesia, Bagaimana langkah-langkah untuk mencegah perdagangan orang.

Metode yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian terhadap masalah dengan melihat dari sumber peraturan- peraturan yang berlaku berkaitan dengan judul Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri Di Indonesia).

Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindakan perdagangan orang berdasarkan beberapa putusan di Indonesia didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan, pertama Dakwaan jaksa penuntut umum, kedua

keterangan saksi, ketiga keterangan terdakwa, keempat Barang-barang bukti dan

kelima berdasarkan Pasal-pasal dalam Perundang-Undangan. Adapun Langkah-langkah hukum untuk mencegah perdagangan orang : pertama, Langkah pencegahan yakni sebuah upaya untuk mencegah perdagangan orang melalui peningkatan kesadaran tentang hak-hak, bahaya eksploitasi seksual maupun trik yang digunakan pelaku perdagangan, kedua, Langkah perlindungan, yakni memberikan perlindungan kepada korban dengan cara peningkatan jaringan hukum, langkah tersebut berjalan efektif jika berbagai bentuk jaminan dan mekanisme hukum berlaku. Ketiga, Langkah rehabilitasi/pemulihan yakni menangani korban pasca penyelamatan dari kejahatan trafficking, terutama korban yang mengalami dampak psikologi yang buruk diantaranya trauma psikologi, rasa takut dan cemas berkepanjangan,rasa percaya diri yang rendah, rasa bersalah. Keempat, Langkah reintegratif yaitu upaya penerimaan korban di tengah-tengah keluarganya, masyarakatnya dan lingkungannya.

(17)

ABSTRACT

Criminal sanctions against the perpetrators of acts of trafficking in persons has been regulated in the Law. 21 of 2007 on combating trafficking in persons. Maximum and minimum limits provide flexibility to the judge to impose punishment for the perpetrators of human trafficking. Disparity basically starts from criminal sanctions contained in the Law. 21 of 2007 on combating trafficking in persons, which opens opportunities for the minimum and maximum limits of punishment, so judges are free to move to get a criminal who thinks proper. The problem in this thesis is How criminal sanctions against perpetrators of human trafficking, how the application of sanctions against the perpetrators of human trafficking by several decisions in Indonesia, How measures to prevent trafficking in persons.

The method used in this thesis is a normative legal research is a study of the problem by looking at the source of the applicable regulations pertaining to the title of Criminal Sanctions Against Perpetrators of Criminal Acts of Trafficking in Persons (Study of Multiple District Court Decision in Indonesia

Application of criminal sanctions against perpetrators of human trafficking in Indonesia based on a decision based on the factors revealed in the trial, the first indictment prosecutors, the two witnesses, testimony of the defendant third, fourth items of evidence and the fifth by the Articles in legislation. The legal measures to prevent trafficking in persons: first, that precaution is an effort to prevent trafficking through awareness raising about the rights, the dangers of sexual exploitation and tricks used by traffickers, second, protection measures, which provide protection to the victims of the how to increase the legal network, the move effective if the various forms of guarantees and mechanisms applicable law. Third, step rehabilitation / restoration of the handle post-rescue victims of trafficking crime, especially victims who suffered such a bad psychological impact of psychological trauma, prolonged fear and anxiety, low self esteem, guilt. Fourth, the efforts acceptance reintegratif Step victim in the middle of his family, society and the environment.

).

Keywords:

(18)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perdagangan perempuan dan anak saat ini mempuanyai jaringan yang sangat

luas di dunia international khususnya negara Indonesia. Praktek perdagangan orang

dan anak yang paling dominan berada di sektor jasa prostitusi, kebanyakan

korbannya adalah anak perempuan. Di Asia Tenggara, dalam beberapa tahun

belakanganan ini sejumlah besar anak-anak dari Myanmar, Kamboja, Cina, Laos,

telah diperdagangkan dan dipaksa bekerja di dunia prostitusi, baik anak laki-laki

maupun anak perempuan dari daerah pedalaman yang miskin.1

Mengenai fenomena meningkatnya kejahatan baik secara kuantitatif maupun

kualitatif, Frank Tannembaum, sebagaimana dikutip oleh J.E Sahetapy menyatakan

bahwa “crime is eternal-as eternal as society” yangartinya di mana ada manusia di sana pasti ada kejahatan.

2

1

Chairul Bariah, Aturan-Aturan Hukum Trafiking ( Perempuan dan Anak),( USU Press, 2005), hal 2.

Tindak Pidana Perdagangan Orang khususnya perempuan

dan anak telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan baik terorganisir maupun

tidak terorganisir, tindak pidana ini juga tidak hanya dilakukan perorangan tetapi

juga melibatkan korporasi dan penyelenggara negara yang menyalahgunakan

wewenang dan kekuasaannya, dan memiliki jangkauan operasi tidak hanya antar

2

(19)

wilayah dalam negeri, tetapi juga antar negara dan merupakan kejahatan

transnational crime.3

Undang-undang dasar 1945 Amandemen ke-4 sebagai landasan

konstitusional secara tegas telah mengatur tentang pentingnya perlindungan terhadap

hak asasi manusia, termasuk didalamnya hak-hak perempuan dan anak-anak,

sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 B ayat (2), yang menyebutkan: “Setiap

anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.4

Dalam kerangka perlindungan hak asasi manusia, pada hakikatnya

perlindungan terhadap perempuan dan anak merupakan salah satu perwujudan hak

untuk hidup, hak untuk bebas dari perhambaan (servitude) atau perbudakan (slavery). Hak asasi ini bersifat langgeng dan universal, artinya berlaku untuk setiap orang tanpa membeda-bedakan asal - usul, jenis kelamin, agama, serta usia,

sehingga setiap negara berkewajiban untuk menegakkannya tanpa terkecuali. Upaya

perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak, salah satunya melalui

pencegahan dan pemberantasan perdagangan manusia, perlu secara terus menerus

dilakukan demi tetap terpeliharanya sumber daya manusia yang berkualitas.

Perlindungan terhadap perempuan dan anak hendaknya memiliki derajat/tingkat

yang sama dengan perlindungan terhadap orang-orang dewasa maupun pria, karena

3

Dikdik. M. Arief Mansur, Urgensi Perlidungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 31.

4

(20)

setiap orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the law).5

Kejahatan perdagangan manusia selama ini sudah terorganisir dengan rapi

bahkan sudah masuk dalam jaringan perdagangan internasional, dengan didukung

oleh sarana dan prasarana yang modern serta sumber dana yang relatif tidak terbatas.

Dalam hal ini Pemerintah Indonesia telah melakukan pengesahan peraturan tentang

perdagangan orang pada tanggal 19 April 2007 yakni Lembaran Negara Nomor 58,

Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ( UU

PTPPO ) nomor 21 Tahun 2007. Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Perdagangan Orang ini merupakan produk hukum yang cukup komprehensif,

karena tidak hanya mempidanakan perdagangan orang sebagai bentuk pelanggaran

hak asasi manusia, tetapi juga mengatur tentang pemberian bantuan kepada korban

secara menyeluruh, dan peran serta masyarakat dalam upaya-upaya pencegahan

serta penanganan kasus, undang-undang ini juga merupakan pencerminan standar

internasional.6

Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana

perdagangan orang ini juga memberikan sanksi pidana yang cukup berat terhadap

pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai wujud perlindungan terhadap

korban perdagangan manusia. Pasal-pasal tersebut antara lain Pasal 2 yang mengatur

tentang dapat dipidananya perbuatan seorang pelaku perdagangan manusia baik

5

Dikdik. M. Arief Mansur, Ibid., hal. 45

6

(21)

secara melawan hukum maupun memperoleh persetujuan dari orang yang

memegang kendali atas orang lain yang bertujuan untuk mengeksploitasi. Pasal 2

tersebut berbunyi :

“Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).7

Pasal 2 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak

pidana sebagai berikut:

a. Adanya perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan,

atau penerimaan seseorang.

b. Adanya ancaman kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,

penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau

memberi bayaran atau manfaat.

c. Walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas

orang lain.

d. Untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut.

e. Di Wilayah Negara Republik Indonesia.

7

(22)

f. Adanya salah satu unsur saja di point a dan salah satu unsur di point b,

kemudian memenuhi unsur di point d dan e, maka orang yang melakukan

tindakan tersebut (pelaku) dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 2

Undang-Undang ini.

Dalam Pasal 2 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 kata “untuk tujuan”

sebelum frasa “mengeskploitasi orang tersebut” menunjukkan bahwa tindak pidana

perdagangan orang merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana perdagangan

orang cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan,

dan tidak harus menimbulkan akibat.8

Eksploitasi yang dimaksudkan dalam Undang-Undang ini adalah “tindakan

dengan atau tanpa persetujuan korban, tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau

pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan,

pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan

hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau

memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk

mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.”9

Adapun Pasal 3 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, juga memberikan

pengaturan pidana terhadap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara

8

Lebih lanjut lihat Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

9

Lebih lanjut lihat Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

(23)

Republik Indonesia untuk dieksploitasi baik di wilayah Negara Republik Indonesia

maupun di Negara lain. Orang yang melakukan tindak pidana ini diancam dengan

pidana penjara minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun serta denda minimal

Rp.120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan maksimal Rp.600.000.000,-

(enam ratus juta rupiah). Secara lengkap bunyi Pasal 3 adalah:

“Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”10

Pasal 3 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak

pidana sebagai berikut:

a. Memasukkan orang.

b. Ke wilayah negara Republik Indonesia.

c. Dengan maksud untuk dieksploitasi.

d. Di wilayah negara Republik Indonesia.

e. Atau dieksploitasi di negara lain.

Unsur di point a, b, c dan d, dapat digunakan apabila pelaku perdagangan

manusia menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai tempat tujuan perdagangan

manusia atau tujuan eksploitasi, sedangkan point e digunakan apabila pelaku

menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai tempat transit atau persinggahan

10

(24)

sebelum pelaku membawa korban perdagangan manusia ke Negara lain sebagai

tempat tujuan. Sanksi pidana lain yang termaktub dalam UU ini antara lain adalah

pasal 4.

Dalam Pasal 4 Undang-Undang ini memberikan pidana kepada setiap orang

yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia

dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia.

Bunyi Pasal 4 secara lengkap adalah:

“Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).11

Pasal 4 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak

pidana sebagai berikut:

a. membawa warga negara Indonesia.

b. ke luar wilayah negara Republik Indonesia.

c. dengan maksud untuk dieksploitasi.

d. di luar wilayah negara Republik Indonesia.

Unsur di point a, b, c dan d, dapat digunakan apabila pelaku perdagangan

manusia menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai sumber perdagangan

manusia untuk dieksploitasi di luar wilayah Negara Republik Indonesia.

11

(25)

Dalam Pasal 5 memberikan larangan kepada setiap orang untuk melakukan

pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan

maksud untuk dieksploitasi. Bunyi Pasal 5 secara lengkap adalah:

“Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).12

Pasal 5 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak

pidana sebagai berikut:

a. melakukan pengangkatan anak.

b. dengan menjanjikan sesuatu.

c. atau memberikan sesuatu.

d. dengan maksud untuk dieksploitasi.

Pasal ini memberikan perlindungan terhadap anak sebagai korban

perdagangan manusia dari usaha-usaha pengangkatan anak untuk mengeksploitasi

anak tersebut.

Dalam Pasal 6 Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 juga memberikan

larangan untuk melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan

cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi. Bunyi Pasal 6 secara

lengkap, yaitu:

12

(26)

Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).13

Pasal 6 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak

pidana sebagai berikut:

a. melakukan pengiriman anak.

b. ke dalam atau ke luar negeri.

c. dengan cara apa pun.

d. mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi.

Pasal ini memberikan perlindungan terhadap anak sebagai korban

perdagangan manusia dari usaha-usaha pengiriman anak baik di dalam negeri (antar

daerah) maupun ke luar negeri yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi.

Lebih lanjut Pasal 9 Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 mengatur

tentang sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada setiap orang yang berusaha

menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang,

namun tindak pidana itu tidak terjadi. Pasal 9 secara lengkap berbunyi:

“Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang, dan tindak pidana itu tidak terjadi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah).14

13

Lebih lanjut lihat Pasal 6, Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

14

(27)

Pasal 9 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak

pidana sebagai berikut:

a. berusaha.

b. menggerakkan orang lain.

c. supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang.

d. tindak pidana itu tidak terjadi.

Pasal ini memberikan pengaturan mengenai penggerak dari tindak pidana

perdagangan manusia. Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 tidak menjelaskan

yang dimaksud dengan “menggerakkan orang lain” tersebut.

Dalam Pasal 10, 11 dan 12 juga menyebutkan bahwa setiap orang yang

membantu atau melakukan percobaan, merencanakan atau melakukan permufakatan

jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, menggunakan atau

memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan

persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana

perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk

meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana

perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama seperti pelaku tindak pidana

perdagangan manusia. Secara lengkapnya Pasal 10, 11, dan 12 berbunyi:15

15

(28)

“Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.” (Pasal 10)

“Setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.” ( Pasal 11)

“Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.”(Pasal 12)

Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Perdagangan Orang juga memberi pengaturan tentang tindak pidana lain

yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang. Seperti hal nya tindak

pidana memberi keterangan palsu pada dokumen Negara atau memalsukan dokumen

Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 19.

“Setiap orang yang memberikan atau memasukkan keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen lain atau memalsukan dokumen negara atau dokumen lain, untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).16

Pasal 19 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak

pidana sebagai berikut:

16

(29)

a. Memberikan atau memasukkan keterangan palsu.

b. Atau memalsukan.

c. Dokumen negara atau dokumen lain.

d. Untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang.

Yang dimaksud dengan “dokumen negara” dalam ketentuan ini meliputi

tetapi tidak terbatas pada paspor, kartu tanda penduduk, ijazah, kartu keluarga, akte

kelahiran, dan surat nikah, sedangkan “dokumen lain” meliputi tetapi tidak terbatas

pada surat perjanjian kerja bersama, surat permintaan tenaga kerja Indonesia,

asuransi, dan dokumen yang terkait.17

Di dalam Pasal 20 Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga memberi pengaturan tentang

tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang yang

berkaitan dengan kesaksian palsu, alat bukti palsu atau barang bukti palsu, atau

mempengaruhi saksi secara melawan hukum.

“Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang pengadilan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).18

17

Lebih lanjut lihat Penjelasan Pasal 19.

18

(30)

Pasal 20 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak

pidana sebagai berikut:

a. memberikan kesaksian palsu.

b. menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu.

c. atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum.

d. di sidang pengadilan tindak pidana perdagangan orang.

Yang dimaksud Pasal ini adalah kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti

palsu atau barang bukti palsu atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum di

sidang pengadilan perdagangan manusia. Kata “setiap orang” dalam Pasal 20, dapat

berarti “orang perseorangan” maupun “korporasi”, sehingga dapat disimpulkan

bahwa pihak-pihak yang dapat dikenai pertanggungjawaban pidana atau subyek

tindak pidana Perdagangan Manusia berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang ini

adalah orang perseorangan maupun korporasi.

Lebih lanjut Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Pasal 23 memberi pengaturan tentang

tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang yang

memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya kepada

pelaku, menyediakan tempat tinggal bagi pelaku, menyembunyikan pelaku atau

menyembunyikan informasi keberadaan pelaku. Setiap orang yang membantu

pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang dari proses peradilan pidana

(31)

a. memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya

kepada pelaku;

b. menyediakan tempat tinggal bagi pelaku;

c. menyembunyikan pelaku; atau

d. menyembunyikan informasi keberadaan pelaku, dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan

pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan

paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).19

Pasal 23 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak

pidana sebagai berikut:

a. membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang.

b. dari proses peradilan pidana.

c. dengan cara:

1) memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan

lainnya kepada pelaku.

2) menyediakan tempat tinggal bagi pelaku.

3) menyembunyikan pelaku.

4) menyembunyikan informasi keberadaan pelaku.

19

(32)

Pasal 23 memberikan ancaman pidana terhadap pelaku yang membantu

pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang dari proses peradilan pidana.

Sanksi hukum tindak pidana perdagangan orang sebagaimana yang terdapat

dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tidak membuat pelaku

enggan untuk melakukan eksploitasi perdagangan orang. Bahkan dalam kurun waktu

belakangan ini, berdasarkan wawancara dengan LSM Pemerhati Hak Asasi Manusia

oleh bapak Lukman Hasibuan, untuk wilayah Medan Sumateara Utara sejauh ini

mereka sudah banyak mendapati laporan kasus terkait dengan perdagangan orang.

Mayoritas perkara perdagangan orang terjadi di pedalaman. Menurut H. Lukman

Hasibuan di tahun 2008 hingga tahun 2012 ada 5 kasus yang berhasil mereka bantu

3 berlokasi di Belawan dan dua diantaranya berada dilokasi Tembung Percut Sei

Tuan.20

Berdasarkan pengamatan terhadap beberapa putusan Pengadilan Negeri di

sebahagian wilayah Indonesia mengenai kejahatan perdagangan orang, vonis hakim

terhadap pelaku perdagangan orang belum maksimal sebagaimana ketentuan dalam

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan Orang. Sanksi pidana yang dijatuhkan oleh para hakim terhadap pelaku

kejahatan dinilai masih belum memberikan rasa takut dan efek jera terhadap para

pelaku. Otoritas hakim yang begitu besar dalam memutuskan perkara,

mengakibatkan banyak terjadi disparitas putusan dalam perkara yang sejenis. Hal ini

20

(33)

ditandai dengan adanya perbedaan secara substansial yang tajam antara putusan

hakim Pengadilan Negeri yang satu dengan putusan hakim Pengadilan Negeri yang

lain, padahal semuanya mengacu pada peraturan Perundang-Undangan yang sama.

Hakim dalam kedudukannya yang bebas diharuskan untuk tidak memihak

(impartial judge). Sebagai hakim yang tidak memihak dalam menjalankan profesi, mengandung makna, hakim harus selalu menjamin pemenuhan perlakuan sesuai

hak- hak asasi manusia khususnya bagi tersangka atau terdakwa. Hal demikian telah

menjadi kewajiban hakim untuk mewujudkan persamaan kedudukan di depan

hukum bagi setiap warga negara (equally before the law).21

Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman disebutkan kebebasan hakim dalam melaksanakan wewenang

judicialnya tidaklah mutlak sifatnya. Karena tugas hakim adalah untuk menegakkan

hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan dan mencari

dasar-dasar serta asas-asas yang menjadi landasannya, melalui perkara-perkara yang

dihadapkan kepadanya sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan.

Tetapi kenyataan, putusan-putusan yang dibuat oleh hakim sering mengundang

kontroversial. Tidak jarang terjadi terhadap pelaku tindak pidana yang satu

dijatuhkan pidana berat sedangkan terhadap pelaku tindak pidana lainnya dijatuhi

hukuman ringan atau bahkan dibebaskan, padahal pasal yang dilanggar adalah sama.

21

(34)

Meningkatnya kasus tindak pidana perdagangan orang dari tahun ke tahun

tidak terlepas dari ringannya putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Sehubungan

dengan itu, dalam penelitian ini menggambarkan 10 contoh kasus putusan

perdagangan orang yang diputus oleh Pengadilan Negeri, Untuk lebih jelas kita lihat

tabel berikut :

[image:34.612.114.582.289.596.2]

Tabel 1.

Tabel Putusan Pengadilan Negeri di sebahagian wilayah Indonesia Tahun 2008 – 2012

No Nomor Perkara

Pasal Dilanggar Pidana

Penjara Denda

1 1166/Pid. B/2008/PN.Mdn Pasal 2 UU No 21/2007 6 tahun Rp. 120.000.000,-

2 1642/Pid. B/2009/PN.Mdn Pasal 10 UU No 21/2007 4 tahun Rp. 120.000.000,-

3 75/Pid. B/2011/PN.DOM Pasal 6 jo 7 UU No 21/2007 4 tahun Rp. 120.000.000,-

4 217/Pid. B/2009/PN.BTM Pasal 4 UU No 21/2007 3 tahun 4 bulan Rp. 150.000.000,-

5 1554/Pid. B/2012/PN.Mdn Pasal 2 UU No 21/2007 3 tahun Rp. 120.000.000,-

6 331/Pid. B/2009/PN.Mdo Pasal 2 UU No 21/2007 3 tahun Rp. 120.000.000,-

7 89/Pid/2012/PN.Klb Pasal 2 UU No 21/2007 3 tahun Rp. 120.000.000,-

8 277/Pid. B/2012/PN.Bji Pasal 2 UU No 21/2007 3 tahun Rp. 120.000.000,-

9 235/Pid.Sus/2012/PN.BGL Pasal 2 UU No 21/2007 5 Bln 20 Hari -

10 448/Pid. B/2012/PN.Mdn Pasal 2 UU No 21/2007 1 tahun 6 bulan Rp. 1.000.000.000,-

(35)

Dari tabel putusan kasus di atas, terlihat adanya perbedaan penjatuhan

putusan oleh hakim dan putusan yang dijatuhkan terkesan ringan bila dibandingkan

dengan ketentuan ancaman pidana maksimal dalam undang-undang perdagangan

orang. seharusnya hakim dalam menjatuhkan putusan harus memperhatikan 3 (tiga)

unsur yang penting yaitu: keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Berdasarkan

uraian yang telah dikemukakan maka menarik untuk diteliti tentang putusan hakim

yang diberi judul “ Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan

Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri Di Indonesia).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana sanksi pidana terhadap pelaku tindakan perdagangan orang?

2. Bagaimana penerapan sanksi terhadap pelaku tindakan perdagangan

orang berdasarkan beberapa putusan di Indonesia?

3. Bagaimana langkah-langkah untuk mencegah perdagangan orang?

C. Tujuan Penelitian

Pada dasarnya tujuan penelitian adalah untuk mencari pemahaman tentang

masalah-masalah yang telah dirumuskan. Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis sanksi pidana terhadap pelaku

(36)

2. Untuk mengetahui penerapan sanksi terhadap pelaku tindakan

perdagangan orang berdasarkan beberapa putusan di Indonesia.

3. Untuk mengetahui langkah-langkah untuk mencegah perdagangan orang.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis sebagai berikut:

a. Memberi masukan dan sumbangan pemikiran dalam rangka penyusunan

perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan

orang.

b. Memberi sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan hukum

khususnya hukum pidana.

2. Manfaat Praktis

Selain manfaat secara teoritis, Penelitian ini diharapkan memberi

manfaat untuk kepentingan penegakan hukum, sehingga dapat dijadikan

masukan dalam cara berpikir dan cara bertindak hakim dalam mengambil

keputusan guna mewujudkan tujuan hukum. Serta menjadi masukan bagi

penegakan hukum bagi Hakim disamping dapat mewujudkan ketertiban dan

kepastian hukum, juga harus mewujudkan hukum yang memenuhi rasa

keadilan yang mana konsekuensi kemerdekaan kekuasaan kehakiman di

tangan Hakim harus dimaknai dan diimplementasikan untuk mewujudkan cita

(37)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan serta penelusuran yang telah dilakukan melalui

studi kepustakaan khususnya pada lingkungan perpustakaan Program Magister Ilmu

Hukum Universitas Sumatera Utara, Penelitian yang berjudul : “Sanksi Hukum

Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Analisis beberapa putusan di

Indonesia)”ini belum pernah diteliti oleh orang lain sebelumnya, akan tetapi dalam

penelitian yang menyinggung mengenai traficking pernah dibahas oleh Alexander

Keristian dalam skripsinya dengan judul “Peran Kepolisian Terhadap

Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Di Poltabes Medan)”,

adapun perumusan masalah yang dibahasnya adalah 1. Bagaimanakah Karakteristik

dilihat dari Faktor, Modus operandi dan dampak perdagangan orang?, 2.

Peraturan-peraturan apakah yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang?, 3.

Bagaimanakah Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana

Perdagangan Orang ?, pembahasan yang lain juga pernah dilakukanoleh dengan

judul “Analisa Hukum Terhadap Putusan Banding Pengadilan Tinggi Medan

Tentang Membantu Melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Analisa Putusan

Pengadilan Tinggi Nomor : 743/Pid/2008/PT-Mdn.)” yang mana perumusan

masalahnya membahas mengenai 1. Bagaimana pengaturan hukum perdagangan

orang di Indonesia, 2. Bagaimana upaya penanggulangan perdagangan orang, 3.

Analisa kasus putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 743/Pid/2008/PT- Medan.

(38)

penelitian baru dan keasliannya dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan

ilmiah sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan obyektif dalam

menemukan kebenaran.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Soejono Soekanto menyatakan bahwa, kontinuitas perkembangan ilmu

hukum itu, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi

sosial sangat ditentukan oleh teori, Sehingga teori menguraikan jalan pikiran

menurut kerangka yang logis, artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah

dirumuskan di dalam kerangka teoritis yang relevan yang mampu menerangkan

masalah tersebut.22

Menurut M. Solly Lubis, Kerangka teori merupakan landasan teori atau

dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan

yang dianalisis

23

Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian tesis ini adalah

teori keadilan dan teori pemidanaan sehingga dapat memberikan pedoman

pembahasan pada uraian berikutnya. .

Berbicara tentang keadilan, Aristoteles berpandangan bahwa keadilan

dibagi kedalam dua macam yakni : keadilan “distributief” dan keadilan “commutatief”. Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap

22

Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal.6

23

(39)

orang porsi menurut pretasinya. Keadilan commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan

dengan peranan tukar menukar barang dan jasa24

Hans Kelsen mengemukakan dalam bukunya general theory of law and state, berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya. Keadilan sebagai pertimbangan nilai yang bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa suatu tatanan bukan kebahagian setiap perorangan, melainkan kebahagian sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok, yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa atau pembuat hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhi, seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan. Tetapi kebutuhan-kebutuhan manusia yang manakah yang patut diutamakan. Hal ini apat dijawab dengan menggunakan pengetahuan rasional, ang merupakan sebuah pertimbangan nilai, ditentukan oleh faktor-faktor emosional dn oleh sebab itu bersifat subjektif.

, Dari pembagian macam keadilan

ini Aristoteles mendapatkan kontroversi dan perdebatan.

25

Hans Kelsen mengakui juga bahwa keadilan mutlak berasal dari alam, yakni

lahir dari hakikat suatu benda atau hakikat manusia, dari penalaran manusia atau

kehendak Tuhan. Pemikiran tersebut diesensikan sebagai doktrin yang disebut

hukum alam. Doktrin hukum alam beranggapan bahwa ada suatu keteraturan

hubungan-hubungan manusia yang berbeda dari hukum positif, yang lebih tinggi

dan sepenuhnya sahih dan adil, karena berasal dari alam, dari penalaran manusia

atau kehendak Tuhan.26

24

L.J.Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita,1996 ), hal. 11.

25

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, (Bandung, Nusa Media, 2011),hal. 7

(40)

Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana yang diamanatkan dalam

UUD 1945 mempunyai konsekuensi untuk menegakkan hukum, yang artinya setiap

tindakan yang dilaksanakan oleh siapapun di negara ini serta akibat yang harus

ditanggungnya harus didasarkan kepada hukum dan diselesaikan menurut hukum

juga. Setiap orang mengharapkan dapat diterapkannya hukum dalam hal terjadi

peristiwa konkrit.

Ditinjau dari sisi keadilan, putusan pengadilan Negeri Medan sepertinya

belum termasuk teori keadilan Adam Smith yang hanya menerima satu konsep atau

teori keadilan yaitu keadilan komutatif yakni keadilan sesungguhnya hanya punya

satu arti yaitu keadilan komutatif yang menyangkut kesetaraan, keseimbangan,

keharmonisan hubungan antara satu orang atau pihak dengan orang atau pihak

lain.27

Berbicara tentang pemidanaan, pada umumnya dapat dikelompokkan dalam

tiga golongan besar, yaitu teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien), teori relatif atau teori tujuan (doel theorien), dan teori menggabungkan (verenigings theorien).28

Ruslan saleh mengemukakan bahwa dalam teori pemidanaan, penjatuhan

pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan. Secara garis besar teori pidana ini dijatuhkan karena orang telah

melakukan kejahatan. Pidana sebagai akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu

pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan.

27

http:// teori-keadilan-adam-smith.html diakses pada tanggal 25 maret 2012 pukul 21.00 wib.

28

(41)

Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi bertujuan sebagai sarana

melindungi kepentingan masyarakat. 29

Ditinjau dari teori pemidanaan menyataan bahwa putusan hakim pada tingkat

pengadilan negeri yaitu penjatuhan pidana penjara kepada pelaku perdagangan

orang terlepas dari disparitas lama tahanan sudahlah tepat. namun perlu di garis

bawahi bahwa pidana penjara yang dijatuhkan bukanlah dengan tujuan semata-mata

untuk membalas dan menakutkan, akan tetapi untuk mencegah agar ketertiban di

dalam masyarakat tidak terganggu.

2. Kerangka Konsepsi

Dalam penelitian hukum, kerangka konsepsional diperoleh dari peraturan

perundang-undangan atau melalui usaha untuk membentuk pengertian-pengertian

hukum. Apabila kerangka konsepsional tersebut diambil dari peraturan

perundang-undangan tertentu, maka biasanya kerangka konsepsional tersebut sekaligus

merumuskan defenisi-defenisi tertentu, yang dapat dijadikan pedoman operasional

didalam proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan kontruksi data.30

Bertolak dari kerangka teori sebagaimana tersebut diatas, berikut ini disusun

kerangka konsep yang dapat dijadikan sebagai defenisi operasional, Kerangka

konsepsional dalam merumuskan atau membentuk pengertian-pengertian hukum,

kegunaannya tidak hanya terbatas pada penyusunan kerangka konsepsional saja,

akan tetapi pada usaha merumuskan defenisi-defenisi operasional diluar peraturan

29

Ruslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta ; Aksara Baru, 1983), hal. 26.

30

(42)

perundang-undangan.31

a. Sanksi pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang

melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

Dengan demikian, konsep merupakan unsur pokok dari

suatu penelitian. Adpun kerangka konsep pada tesis ini adalah :

32

Secara umum

istilah pidana sering kali diartikan sama dengan istilah hukuman. Hukuman

adalah suatu pengertian umum sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau

nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. Sedang pidana merupakan

pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana. Sebagai pengertian

khusus, masih juga ada persamaannya dengan pengertian umum, sebagai suatu

sanksi atau nestapa yang menderitakan.33

b. Tindak pidana yaitu: “Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan

diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut”.34

c. Perdagangan orang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Bab I

tentang Ketentuan Umum Undang Undang nomor 21 tahun 2007 adalah

tindakan perekrutan, pengangjutan, penampungan, pengiriman, pemindahan

atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,

penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau

posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga

31

Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gremedia Pustaka Utama, 1999), hal. 24

32

Muladi dan Barda Nawawi Arief,Teori-teori dan Kebijakan Pidana, ( Bandung: Alumni, 1992, hal 2

33

Andi Hamzah, Stelsel Pidana dan pemidanaan di indonesia, op cit, hal. 1.

34

(43)

memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain

tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk

tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang terekspolitasi.35 Dalam Pasal 1

Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara nomor 6 tahun 2004, tentang

Penghapusan Perdagangan ( Traficking) Perempuan dan Anak, menyatakan

bahwa Perdagangan manusia adalah tindak pidana atau perbuatan yang

memenuhi salah satu perbuatan yang memenuhi salah satu unsur-unsur

perekrutan, pengiriman, penyerahterimaan perempuan dan anak dengan

menggunakan kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan

kekuasaan, pemanfaatan posisi rentan atau penjeratan hutang untuk tujuan dan

atau berakibat mengeksploitasi perempuan dan anak.36

d. Perekrutan adalah tindakan yang meliputi, mengajak, mengumpulkan,

membawa dan memisahkan seseorang dari keluarga.37

e. Eksploitasi ialah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi

tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan

atau praktek serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik,

seksual, organ reproduksi atau secara melawan hukum memindahkan atau

35

Lebih lanjut lihat Pasal 1 ayat (1) Bab I tentang Ketentuan Umum Undang Undang nomor 21 tahun 2007

36

Lebih lanjut lihat Pasal 1 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara nomor 6 tahun 2004

37

(44)

mentransplatasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau

kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan.38

G. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan ilmu mengenai jenjang-jenjang yang harus

dilalui dalam suatu proses penelitian, atau ilmu yang membahas metode ilmiah

dalam mencari, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan.39

Metode penelitian yang dipergunakan dalam menjawab permasalahan dalam

tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilaksanakan dalam tesis ini adalah penelitian hukum

normatif yaitu penelitian terhadap masalah dengan melihat dari dua sumber

peraturan - peraturan yang berlaku. Penelitian hukum ini juga disebut sebagai

penelitian kepustakaan. Hal ini disebabkan karena penelitian lebih banyak

dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.

Penelitian kepustakaan demikian dapat pula dikatakan sebagai lawan dari

penelitian empiris.40

38

Kementerian Kordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Penghapusan Perdagangan Orang di Indonesia, ( Jakarta, 2005) , hal.2.

39

Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta : Granit, 2004), hal. 1.

40

(45)

2. Bahan-bahan Hukum yang Digunakan

Bahan hukum dibagi tiga yaitu bahan hukum primer yang diperoleh dari

peraturan perundang-undangan yang berlaku, bahan hukum sekunder

diperoleh dari literatur atau buku-buku, dan bahan hukum tersier diperoleh

dari kamus-kamus dalam hal ini kamus hukum.41 Dalam penelitian hukum

normatif data yang dipergunakan adalah data sekunder. Untuk memecahkan

isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang

seyogianya, diperlukan sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan

hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder.42

a. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer Yaitu bahan hukum yang isinya mengikat karena

dikeluarkan oleh pemerintah.43

1. Norma atau kaidah dasar yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar

1945.

Bahan hukum primer yang digunakan

dalam penelitian ini adalah:

2. Undang-Undang Dasar 1945.

3. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Orang.

4. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

5. Putusan – Putusan Hakim Pengadilan Negeri.

41

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1984), hal. 52

42

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2005), hal. 141.

43

(46)

6. Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan

penelitian ini.

b. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.44

1. Kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia.

Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang pada penelitian ini

adalah:

2. Majalah-majalah yang ada hubungannya dengan penelitian ini.

3. Koran yang memuat tentang kasus perdagangan orang.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah

studi kepustakaan yakni berupa studi dokumen dan teknik pendukung lainnya

yaitu meneliti dokumen yang ada dengan mengumpulkan data dan informasi

dari buku, karangan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bahan tertulis

lainnya serta putusan pengadilan negeri yang berkaitan dengan penelitian ini,

yaitu dengan cara mencari, mempelajari dan mencatat serta

menginterpretasikan hal-hal yang berkaitan dengan objek penelitian.45

44

Amiruddin dan Zaenal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum ,( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 31

45

(47)

4. Analisa Bahan Hukum

Analisa dapat dirumuskan untuk menguraikan hal yang akan diteliti

ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil dan sederhana.46

a. Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur

tentang perdagangan orang.

Pada penelitian hukum

normatif, pengolahan bahan hakikatnya kegiatan untuk mengadakan

sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti

membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk

memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi. Kegiatan-kegiatan yang

dilakukan dalam analisis bahan dalam penelitian ini adalah:

b. Membuat sistematik dari Pasal-Pasal tersebut sehingga menghasilkan

klasifikasi tertentu (yang selaras dengan penegakan hukum terhadap

perdagangan orang).

c. Bahan yang berupa peraturan perundang-undangan ini dianalisis secara

kualitatif, dengan menggunakan logika berfikir dalam menarik

kesimpulan secara metode deduktif, yaitu kerangka pemikiran diarahkan

kepada aspek-aspek normatif yang terkandung dalam hukum positif.

Sehingga hasil dari analisis ini diharapkan dapat menjawab permasalahan

yang dikemukakan dalam tulisan ini.

46

(48)

BAB II

SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PERDAGANGAN ORANG

A. Sanksi Pidana

1. Pengertian Sanksi Pidana

Hukum pidana menentukan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum yang dilakukan. Sanksi itu pada prinsipnya merupakan penambahan penderitaan dengan sengaja. Penambahan penderitaan dengan sengaja ini pula yang menjadi pembeda terpenting antara hukum pidana dengan hukum yang lainnya.47

Istilah “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus, yaitu

menunjukkan sanksi dalam hukum pidana. Pidana adalah sebuah konsep dalam

bidang hukum pidana yang masih perlu penjelasan lebih lanjut untuk dapat

memahami arti dan hakekatnya.48

Menurut Roeslan Saleh “pidana adalah reaksi atas delik, dan ini

berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada

pembuat delik itu”.

49

Subekti dan Tjitrosoedibio mengemukakan dalam bukunya kamus

hukum, “pidana” adalah “hukuman”.

50

Sudarto berpendapat yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan

yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang

memenuhi syarat-syarat tertentu.

51

47

Van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Material Bagian Umum, (Bandung : Binacipta,1987), hal. 17.

48

Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum Dalam Konteks Penegakan Hukum Di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 23.

49

Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta : Aksara Baru, 1983), hal. 9.

50

(49)

Muladi dan Barda Nawawi berpendapat bahwa unsur pengertian pidana, meliputi:52

a. pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;

b. pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);

c. pidana itu dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.

Apabila dilihat dari filosofinya, hukuman mempunyai arti yang sangat

beragam. R. Soesilo menggunakan istilah “hukuman” untuk menyebut istilah

“pidana” dan ia merumuskan bahwa apa yang dimaksud dengan hukuman

adalah suatu perasaan tidak enak (sangsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan

vonis kepada orang yang telah melanggar Undang-undang hukum pidana.

Pidana merupakan pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum

pidana. Sebagai pengertian khusus, masih juga ada persamaannya dengan

pengertian umum, sebagai suatu sanksi atau nestapa yang menderitakan.53

Menurut Moeljatno, istilah “hukuman” yang berasal dari kata “Straf”

merupakan istilah-istilah yang konvensional. Dalam hal ini beliau tidak setuju

dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah yang in konvensional, yaitu

“pidana” untuk menggantikan kata “straf”. Moeljatno mengungkapkan jika

“straf” diartikan “hukum” maka strafrechts” seharusnya diartikan “hukum

51

Muladi dan Barda Nawawi, Teori dan Kebijakan Pidana. (Bandung: Alumni, 1992),hal. 2.

53

(50)

hukuman”. Menurut beliau “dihukum” berarti” diterapi hukum”, baik hukum

pidana maupun hukum perdata.54

Satochid Kartanegara berpendapat bahwa “hukuman (pidana) itu bersifat siksaan atau penderitaan, yang oleh undang-undang hukum pidana diberikan kepada seseorang yang melanggar sesuatu norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana, dan siksaan atau penderitaan itu dengan keputusan hakim dijatuhkan terhadap diri orang yang dipersalahkan itu. Sifat yang berupa siksaan atau penderitaan itu harus diberikan kepada hukuman (pidana), karena pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana itu merupakan pelanggaran atau perkosaan kepentingan hukum yang justru akan dilindungi oleh undang-undang hukum pidana”.55

Menurut Herbert L. Packer, sanksi pidana adalah suatu alat atau sarana

terbaik yang tersedia, yang dimiliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau

bahaya besar serta untuk menghadapi ancaman-ancaman. Selanjutnya Packer

menyatakan bahwa :

1. Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang maupun dimasa yang akan datang, tanpa pidana.

2. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki utk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta utk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya.

3. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara manusiawi, ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.56

54

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, op cit. Hal. 1.

55

Satochid Kartanegara, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, (Bandung : 1954-1955), hal. 275-276.

56

(51)

Dari beberapa pendapat pakar di atas dapat disimpulkan bahwa sanksi

adalah menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang

karena suatu perbuatan yang dilakukannya.

2. Jenis-jenis Sanksi Pidana

Undang-undang membedakan 2 macam pidana yaitu pidana pokok dan

pidana tambahan, terhadap satu kejahatan atau pelanggaran hanya boleh

dijatuhkan satu pidana pokok yang berarti kumulasi lebih dari satu pidana

pokok tidak diperkenankan dalam beberapa hal kumulasi antara pidana pokok

dan tambahan.57

Dalam Pasal 10 KUHP dikenal dua jenis pidana, yaitu pidana pokok

yang terdiri dari :58

1. Pidana mati; 2. Pidana penjara; 3. Pidana kurungan; 4. Pidana denda.

Pidana tambahan terdiri dari : 1. Pencabutan hak-hak tertentu,

2. Perampasan barang-barang tertentu dan 3. Pengumuman putusan hakim.

Jenis-jenis pidana seperti yang termuat didalam Pasal 10 KUHP telah

dirumuskan dengan tidak terlepas dari keadaan masyarakat yang ada pada saat

KUHP dibentuk. KUHP mengenal sistem tunggal dimana terhadap suatu

57

R soesilo., KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor : Politea, tt), hal. 30

58

(52)

kejahatan atau pelanggaran hanya dijatuhkan satu pidana pokok. Kumulasi juga

dapat diterapkan namun umumnya antara pidana pokok dan pidana tambahan.

Secara umum Pidana mati adalah pidana yang paling berat, karena

pidana ini dalam pelaksanaannya sangat berat berupa penyerahan terhadap hak

hidup bagi manusia yang sesungguhnya hak ini berada di tangan Tuhan,

manusia tidak ada wewenang untuk menghilangkan nyawa seseorang meskipun

seseorang tersebut telah melanggar ketentuanketentuan yang berlaku atau

hukum yang berlaku yang tercantum dalam Undang-undang maupun peraturan

hukum lainnya.

Menurut Pasal 11 KUH Pidana, pidana mati dijalankan dengan cara

menjerat tali yang terikat di tiang gantungan

Gambar

Tabel Putusan Pengadilan Negeri di sebahagian wilayah Indonesia Tahun 2008 – 2012
Tabel  2. Data barang bukti Putusan Pengadilan Negeri di sebahagian
Tabel 3 Disparitas Putusan Pengadilan Negeri

Referensi

Dokumen terkait

Penulisan skripsi ini mengunakan metode pendekatan normatif. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : jenis penelitian normatif, sifat penelitian preskriptif, pendekatan

Jenis penelitian yang dipergunakan adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum dengan abstraksi melalui proses deduksi dari norma hukum positif yang berupa

a. Sumber primer adalah sumber data yang memiliki otoritas, artinya bersifat mengikat, meliputi peraturan perundang-undangan, Putusan hakim. 12 Dalam penelitian ini sumber

Jenis penelitian ini merupakan penelitian normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka. 19 Dalam penelitian ini dilakukan untuk

Pengaturan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang dalam Undang-Undang No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Peraturan

Pengaturan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang dalam Undang-Undang No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Peraturan

Unsur menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang,