TESIS
SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
(Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia).
OLEH :
NIM. 117005038 / HK PERDANA ELIAKHIM MANALU
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
TESIS
SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
(Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia).
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
NIM. 117005038 / HK PERDANA ELIAKHIM MANALU
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (Studi Beberapa
Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia).
Nama Mahasiswa : PERDANA ELIAKHIM MANALU Nomor Pokok : 117005038
Program Studi : Ilmu Hukum
MENYETUJUI KOMISI PEMBIMBING
Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH Ketua
Dr. Hamdan, SH. M.Hum
Anggota Anggota
Dr. Hasyim Purba, SH, M.Hum
Ketua Program Studi D e k a n
Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum
Telah diuji pada
Tanggal 20 Agustus 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH Anggota : 1. Dr. Hamdan, SH, M.Hum
ABSTRAK
Sanksi Pidana terhadap pelaku tindakan perdagangan orang telah diatur dalam UU No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan perdagangan orang. Batas maksimum dan batas minimum memberi keleluasaan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana bagi pelaku tindakan perdagangan orang. Terjadinya disparitas penjatuhan pidana pada dasarnya dimulai dari sanksi yang terdapat dalam UU No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan perdagangan orang yang mana membuka peluang karena adanya batas minimum dan maksimum pemberian hukuman, sehingga hakim bebas bergerak untuk mendapatkan pidana yang menurutnya tepat. Adapun permasalahan dalam tesis ini adalah Bagaimana sanksi pidana terhadap pelaku tindakan perdagangan orang, Bagaimana penerapan sanksi terhadap pelaku tindakan perdagangan orang berdasarkan beberapa putusan di Indonesia, Bagaimana langkah-langkah untuk mencegah perdagangan orang.
Metode yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian terhadap masalah dengan melihat dari sumber peraturan- peraturan yang berlaku berkaitan dengan judul Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri Di Indonesia).
Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindakan perdagangan orang berdasarkan beberapa putusan di Indonesia didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan, pertama Dakwaan jaksa penuntut umum, kedua
keterangan saksi, ketiga keterangan terdakwa, keempat Barang-barang bukti dan
kelima berdasarkan Pasal-pasal dalam Perundang-Undangan. Adapun Langkah-langkah hukum untuk mencegah perdagangan orang : pertama, Langkah pencegahan yakni sebuah upaya untuk mencegah perdagangan orang melalui peningkatan kesadaran tentang hak-hak, bahaya eksploitasi seksual maupun trik yang digunakan pelaku perdagangan, kedua, Langkah perlindungan, yakni memberikan perlindungan kepada korban dengan cara peningkatan jaringan hukum, langkah tersebut berjalan efektif jika berbagai bentuk jaminan dan mekanisme hukum berlaku. Ketiga, Langkah rehabilitasi/pemulihan yakni menangani korban pasca penyelamatan dari kejahatan trafficking, terutama korban yang mengalami dampak psikologi yang buruk diantaranya trauma psikologi, rasa takut dan cemas berkepanjangan,rasa percaya diri yang rendah, rasa bersalah. Keempat, Langkah reintegratif yaitu upaya penerimaan korban di tengah-tengah keluarganya, masyarakatnya dan lingkungannya.
ABSTRACT
Criminal sanctions against the perpetrators of acts of trafficking in persons has been regulated in the Law. 21 of 2007 on combating trafficking in persons. Maximum and minimum limits provide flexibility to the judge to impose punishment for the perpetrators of human trafficking. Disparity basically starts from criminal sanctions contained in the Law. 21 of 2007 on combating trafficking in persons, which opens opportunities for the minimum and maximum limits of punishment, so judges are free to move to get a criminal who thinks proper. The problem in this thesis is How criminal sanctions against perpetrators of human trafficking, how the application of sanctions against the perpetrators of human trafficking by several decisions in Indonesia, How measures to prevent trafficking in persons.
The method used in this thesis is a normative legal research is a study of the problem by looking at the source of the applicable regulations pertaining to the title of Criminal Sanctions Against Perpetrators of Criminal Acts of Trafficking in Persons (Study of Multiple District Court Decision in Indonesia
Application of criminal sanctions against perpetrators of human trafficking in Indonesia based on a decision based on the factors revealed in the trial, the first indictment prosecutors, the two witnesses, testimony of the defendant third, fourth items of evidence and the fifth by the Articles in legislation. The legal measures to prevent trafficking in persons: first, that precaution is an effort to prevent trafficking through awareness raising about the rights, the dangers of sexual exploitation and tricks used by traffickers, second, protection measures, which provide protection to the victims of the how to increase the legal network, the move effective if the various forms of guarantees and mechanisms applicable law. Third, step rehabilitation / restoration of the handle post-rescue victims of trafficking crime, especially victims who suffered such a bad psychological impact of psychological trauma, prolonged fear and anxiety, low self esteem, guilt. Fourth, the efforts acceptance reintegratif Step victim in the middle of his family, society and the environment.
).
Keywords:
KATA PENGANTAR
Segala puji dan rasa syukur hanyalah milik Tuhan. Hanya dialah tempat kita
memuji, meminta pertolongan dan meminta ampun. Atas rahmat-nya dan
karuniah-nyalah sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan Tesis yang berjudul:
“SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia)”. Suatu hasil karya ilmiyah yang disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Magister Hukum (MH) dalam Program Studi
Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Segala kemampuan yang penulis miliki telah tercurah dengan segala usaha
dalam penulisan Tesis ini, akan tetapi sebagai karya manusia biasa maka menjadi
suatu kewajaran jika Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis
mengharapkan dan akan menerima segala dukungan, kritikan dan saran yang
bersifat konstruktif dengan tangan terbuka hingga Tesis ini dapat mencapai faidah
yang maksimal bagi semua khususnya bagi penulis sendiri maupun bagi pihak yang
membutuhkan atau menggunakannya dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Penulis menyadari bahwa Tesis ini dapat diselesaikan berkat bantuan,
bimbingan dan petunjuk serta pengarahan juga motivator dari berbagai pihak, maka
dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
semuanya. Sebagai manusia biasa yang tak luput dari kekhilafan dan kekurangan,
tesis ini. Pada kesempatan kali ini, izinkan penulis menghaturkan ucapan terima
kasih yang tiada terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya sebagai kata
persembahan kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Dr. Syahril Pasaribu,
DTM&H, M.Sc (CTM)., Sp.A(K) dan Pembantu Rektor, atas kesempatan dan
fasilitas yang diberikan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan di Program
Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung
Sitepu, S.H, M.Hum, yang telah memberi kesempatan dan bantuan kepada
penulis untuk mengikuti dan menimba ilmu pengetahuan dalam Program
Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Ketua dan Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H, MH, dan Bapak Dr.
Mahmul Siregar, S.H, M.Hum, yang senantiasa memberikan dorongan dan
kesempatan kepada penulis untuk mengikuti dan menggali ilmu pengetahuan
pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
4. Seluruh dosen-dosen dan staf-staf civitas Akademis Program Magister Ilmu
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak
menyalurkan ilmunya dan juga meluangkan waktu untuk mahasiswanya. Semoga
5. Ayahanda Drs. Edison Manalu M.pd dan ibunda tercinta Dahlia Siahaan, berkat
do’a dan semangat perjuangan hidup yang ayahanda dan ibunda berikan, maka
Tesis ini juga dapat terselesaikan.
Secara khusus, penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada Bapak
Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku Ketua Komisi Pembimbing, yang telah
memberikan bimbingan dan arahan dalam memperluas wawasan penulis dengan
sangat arif dan bijaksana, sehingga menjadi pengalaman tersendiri yang tentunya
sulit untuk dilupakan.
Demikian pula kepada Bapak Bapak Dr. Hamdan, SH, M.Hum dan Dr.
Hasim Purba, SH, M.Hum, selaku anggota Komisi Pembimbing yang disela-sela
kesibukan, mereka masih bersedia untuk meluangkan waktunya kepada penulis
untuk membimbing, mendorong dan memberikan masukan serta arahan yang sangat
berharga hingga rampungnya penulisan Tesis ini.
Rasa terima kasih juga disampaikan secara tulus kepada ibunda Dr. Chairul
Bariah, SH, M.Hum, dan Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS, yang telah berkenan
melakukan pengujian Tesis ini dengan memberikan masukan dan arahan yang
konstruktif serta memperkaya isi materi Tesis ini.
Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh
rekan-rekan/sahabat-sahabat tercinta di Magister Ilmu Hukum angkatan 2011/2012,
khususnya buat Zaid Alfauza Marpaung, S.H, M. Arifin, S.H, Anjani Sipahutar,
Syafrizal Wahyudi, S.H, Fajar khaifiah Rizki, S.H, MH, M.Iqbal Tarigan, S.H, M.
Ansari Siregar, S.H, Kemala Atika Hayati, S.H, Etha, S.H, Irene, S.H, Dewi Sartika,
S.Hi, Dewi Erfina Sitorus, S.H, Febri, S.Hi, Icha, S.H, Hendri Nauli Rambe, S.Hi,
Marudud Hutajulu, S.H, S.E, M.BA, Maria, S.H, Fenny Ginting, S.H, Lamtiur
Nababan, S.H, Yeni Chairiah Rambe, S.H, Ari Nurwanto, S.H, Dian Yudistira, S.H,
Akhir kata, sekali lagi penulis mengucapkan ribuan terima kasih kepada
seluruh pihak-pihak yang telah penulis sebutkan maupun yang tidak penulis
sebutkan namanya dalam Tesis ini, namun telah berjasa memberikan kontribusinya
atas terselesaikannya Tesis ini.
Medan, September 2013
RIWAYAT HIDUP
Nama : PERDANA ELIAKHIM MANALU
Tempat/Tgl Lahir : Medan,
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Kristen
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl. Menteng 7 gang Sepakat No. 2 Medan
Riwayat Pendidikan : 1. SD Swasta Katolik Budi Luhur , Lulus Tahun 2000.
2. SMP Swasta Tri Sakti 2 Medan, Lulus Tahun 2003.
3. SMA Swasta Methodist 7 Medan, Lulus Tahun 2006.
4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Medan Area 2010.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP... vii
DAFTAR ISI ... viii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Perumusan Masalah... 18
C. Tujuan Penelitian... 18
D. Manfaat Penelitian... 19
1. Manfaat Teoritis... 19
2. Manfaat Praktis... 19
E. Keaslian Penelitian... 20
F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 21
1. Kerangka Teori... 21
2. Kerangka Konsepsi... 24
G. Metode Penelitian... 27
1. Jenis Penelitian... 27
2. Bahan-bahan Hukum yang Digunakan... 28
3. Teknik Pengumpulan bahan hukum... 29
4. Analisa Bahan Hukum... 30
BAB II SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PERDAGANGAN ORANG... 31
1. Pengertian Sanksi Pidana... 31
2. Jenis-jenis Sanksi Pidana... 34
3. Tujuan Pemidanaan... 37
B. Ruang Lingkup dan Ketentuan Pidana Perdagangan
Orang... 39 1. Sekilas Tentang Perdagangan Orang... 39
2. Ketentuan Pidana Perdagangan Orang... 42
BAB III PENERAPAN SANKSI TERHADAP PELAKU TINDAKAN PERDAGANGAN ORANG BERDASARKAN BEBERAPA PUTUSAN DI INDONESIA... 54
A. Putusan Hakim Terhadap Pelaku Perdagangan Orang... 54
B. Penerapan Sanksi Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Perdagangan Orang Dalam Beberapa Putusan
Di Indonesia... 62
1. Pertimbangan Hakim Ditinjau Dari Dakwaan Jaksa
Penuntut Umum... 63
2. Pertimbangan Hakim Ditinjau dari Keterangan Saksi... 70
3. Pertimbangan Hakim Ditinjau dari Keterangan terdakwa. 72
4. Pertimbangan Hakim Ditinjau dari barang bukti... 74
5. Pertimbangan Hakim Ditinjau dari pasal - pasal
Dalam undang – undang perdagangan orang... 79
C.Analisis Putusan Hakim Terhadap Pelaku Tindak
Pidana Perdagangan Orang Dalam Beberapa Putusan
Di Indonesia... 84
1. Putusan Hakim Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Beberapa Putusan
2. Putusan Hakim Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Beberapa Putusan
Di Indonesia ditinjau berdasarkan Teori pemidanaan... 92
BAB IV LANGKAH - LANGKAH UNTUK MENCEGAH PERDAGANGAN ORANG... 98
A. Langkah Yuridis... 98
B. Langkah Non Yuridis... 102
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 107
A. Kesimpulan... 107
B. Saran... 110
DAFTAR TABEL
No Tabel Halaman
1. Tabel 1 Putusan Pengadilan Negeri di sebahagian wilayah Indonesia
Tahun 2008 – 2012... 26
2. Tabel 2 barang bukti Putusan Pengadilan Negeri di sebahagian wilayah
Indonesia Tahun 2008 – 2012 ... 75
ABSTRAK
Sanksi Pidana terhadap pelaku tindakan perdagangan orang telah diatur dalam UU No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan perdagangan orang. Batas maksimum dan batas minimum memberi keleluasaan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana bagi pelaku tindakan perdagangan orang. Terjadinya disparitas penjatuhan pidana pada dasarnya dimulai dari sanksi yang terdapat dalam UU No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan perdagangan orang yang mana membuka peluang karena adanya batas minimum dan maksimum pemberian hukuman, sehingga hakim bebas bergerak untuk mendapatkan pidana yang menurutnya tepat. Adapun permasalahan dalam tesis ini adalah Bagaimana sanksi pidana terhadap pelaku tindakan perdagangan orang, Bagaimana penerapan sanksi terhadap pelaku tindakan perdagangan orang berdasarkan beberapa putusan di Indonesia, Bagaimana langkah-langkah untuk mencegah perdagangan orang.
Metode yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian terhadap masalah dengan melihat dari sumber peraturan- peraturan yang berlaku berkaitan dengan judul Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri Di Indonesia).
Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindakan perdagangan orang berdasarkan beberapa putusan di Indonesia didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan, pertama Dakwaan jaksa penuntut umum, kedua
keterangan saksi, ketiga keterangan terdakwa, keempat Barang-barang bukti dan
kelima berdasarkan Pasal-pasal dalam Perundang-Undangan. Adapun Langkah-langkah hukum untuk mencegah perdagangan orang : pertama, Langkah pencegahan yakni sebuah upaya untuk mencegah perdagangan orang melalui peningkatan kesadaran tentang hak-hak, bahaya eksploitasi seksual maupun trik yang digunakan pelaku perdagangan, kedua, Langkah perlindungan, yakni memberikan perlindungan kepada korban dengan cara peningkatan jaringan hukum, langkah tersebut berjalan efektif jika berbagai bentuk jaminan dan mekanisme hukum berlaku. Ketiga, Langkah rehabilitasi/pemulihan yakni menangani korban pasca penyelamatan dari kejahatan trafficking, terutama korban yang mengalami dampak psikologi yang buruk diantaranya trauma psikologi, rasa takut dan cemas berkepanjangan,rasa percaya diri yang rendah, rasa bersalah. Keempat, Langkah reintegratif yaitu upaya penerimaan korban di tengah-tengah keluarganya, masyarakatnya dan lingkungannya.
ABSTRACT
Criminal sanctions against the perpetrators of acts of trafficking in persons has been regulated in the Law. 21 of 2007 on combating trafficking in persons. Maximum and minimum limits provide flexibility to the judge to impose punishment for the perpetrators of human trafficking. Disparity basically starts from criminal sanctions contained in the Law. 21 of 2007 on combating trafficking in persons, which opens opportunities for the minimum and maximum limits of punishment, so judges are free to move to get a criminal who thinks proper. The problem in this thesis is How criminal sanctions against perpetrators of human trafficking, how the application of sanctions against the perpetrators of human trafficking by several decisions in Indonesia, How measures to prevent trafficking in persons.
The method used in this thesis is a normative legal research is a study of the problem by looking at the source of the applicable regulations pertaining to the title of Criminal Sanctions Against Perpetrators of Criminal Acts of Trafficking in Persons (Study of Multiple District Court Decision in Indonesia
Application of criminal sanctions against perpetrators of human trafficking in Indonesia based on a decision based on the factors revealed in the trial, the first indictment prosecutors, the two witnesses, testimony of the defendant third, fourth items of evidence and the fifth by the Articles in legislation. The legal measures to prevent trafficking in persons: first, that precaution is an effort to prevent trafficking through awareness raising about the rights, the dangers of sexual exploitation and tricks used by traffickers, second, protection measures, which provide protection to the victims of the how to increase the legal network, the move effective if the various forms of guarantees and mechanisms applicable law. Third, step rehabilitation / restoration of the handle post-rescue victims of trafficking crime, especially victims who suffered such a bad psychological impact of psychological trauma, prolonged fear and anxiety, low self esteem, guilt. Fourth, the efforts acceptance reintegratif Step victim in the middle of his family, society and the environment.
).
Keywords:
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Perdagangan perempuan dan anak saat ini mempuanyai jaringan yang sangat
luas di dunia international khususnya negara Indonesia. Praktek perdagangan orang
dan anak yang paling dominan berada di sektor jasa prostitusi, kebanyakan
korbannya adalah anak perempuan. Di Asia Tenggara, dalam beberapa tahun
belakanganan ini sejumlah besar anak-anak dari Myanmar, Kamboja, Cina, Laos,
telah diperdagangkan dan dipaksa bekerja di dunia prostitusi, baik anak laki-laki
maupun anak perempuan dari daerah pedalaman yang miskin.1
Mengenai fenomena meningkatnya kejahatan baik secara kuantitatif maupun
kualitatif, Frank Tannembaum, sebagaimana dikutip oleh J.E Sahetapy menyatakan
bahwa “crime is eternal-as eternal as society” yangartinya di mana ada manusia di sana pasti ada kejahatan.
2
1
Chairul Bariah, Aturan-Aturan Hukum Trafiking ( Perempuan dan Anak),( USU Press, 2005), hal 2.
Tindak Pidana Perdagangan Orang khususnya perempuan
dan anak telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan baik terorganisir maupun
tidak terorganisir, tindak pidana ini juga tidak hanya dilakukan perorangan tetapi
juga melibatkan korporasi dan penyelenggara negara yang menyalahgunakan
wewenang dan kekuasaannya, dan memiliki jangkauan operasi tidak hanya antar
2
wilayah dalam negeri, tetapi juga antar negara dan merupakan kejahatan
transnational crime.3
Undang-undang dasar 1945 Amandemen ke-4 sebagai landasan
konstitusional secara tegas telah mengatur tentang pentingnya perlindungan terhadap
hak asasi manusia, termasuk didalamnya hak-hak perempuan dan anak-anak,
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 B ayat (2), yang menyebutkan: “Setiap
anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.4
Dalam kerangka perlindungan hak asasi manusia, pada hakikatnya
perlindungan terhadap perempuan dan anak merupakan salah satu perwujudan hak
untuk hidup, hak untuk bebas dari perhambaan (servitude) atau perbudakan (slavery). Hak asasi ini bersifat langgeng dan universal, artinya berlaku untuk setiap orang tanpa membeda-bedakan asal - usul, jenis kelamin, agama, serta usia,
sehingga setiap negara berkewajiban untuk menegakkannya tanpa terkecuali. Upaya
perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak, salah satunya melalui
pencegahan dan pemberantasan perdagangan manusia, perlu secara terus menerus
dilakukan demi tetap terpeliharanya sumber daya manusia yang berkualitas.
Perlindungan terhadap perempuan dan anak hendaknya memiliki derajat/tingkat
yang sama dengan perlindungan terhadap orang-orang dewasa maupun pria, karena
3
Dikdik. M. Arief Mansur, Urgensi Perlidungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 31.
4
setiap orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the law).5
Kejahatan perdagangan manusia selama ini sudah terorganisir dengan rapi
bahkan sudah masuk dalam jaringan perdagangan internasional, dengan didukung
oleh sarana dan prasarana yang modern serta sumber dana yang relatif tidak terbatas.
Dalam hal ini Pemerintah Indonesia telah melakukan pengesahan peraturan tentang
perdagangan orang pada tanggal 19 April 2007 yakni Lembaran Negara Nomor 58,
Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ( UU
PTPPO ) nomor 21 Tahun 2007. Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang ini merupakan produk hukum yang cukup komprehensif,
karena tidak hanya mempidanakan perdagangan orang sebagai bentuk pelanggaran
hak asasi manusia, tetapi juga mengatur tentang pemberian bantuan kepada korban
secara menyeluruh, dan peran serta masyarakat dalam upaya-upaya pencegahan
serta penanganan kasus, undang-undang ini juga merupakan pencerminan standar
internasional.6
Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana
perdagangan orang ini juga memberikan sanksi pidana yang cukup berat terhadap
pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai wujud perlindungan terhadap
korban perdagangan manusia. Pasal-pasal tersebut antara lain Pasal 2 yang mengatur
tentang dapat dipidananya perbuatan seorang pelaku perdagangan manusia baik
5
Dikdik. M. Arief Mansur, Ibid., hal. 45
6
secara melawan hukum maupun memperoleh persetujuan dari orang yang
memegang kendali atas orang lain yang bertujuan untuk mengeksploitasi. Pasal 2
tersebut berbunyi :
“Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).7
Pasal 2 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak
pidana sebagai berikut:
a. Adanya perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan,
atau penerimaan seseorang.
b. Adanya ancaman kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau
memberi bayaran atau manfaat.
c. Walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas
orang lain.
d. Untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut.
e. Di Wilayah Negara Republik Indonesia.
7
f. Adanya salah satu unsur saja di point a dan salah satu unsur di point b,
kemudian memenuhi unsur di point d dan e, maka orang yang melakukan
tindakan tersebut (pelaku) dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 2
Undang-Undang ini.
Dalam Pasal 2 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 kata “untuk tujuan”
sebelum frasa “mengeskploitasi orang tersebut” menunjukkan bahwa tindak pidana
perdagangan orang merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana perdagangan
orang cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan,
dan tidak harus menimbulkan akibat.8
Eksploitasi yang dimaksudkan dalam Undang-Undang ini adalah “tindakan
dengan atau tanpa persetujuan korban, tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau
pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan,
pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan
hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau
memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk
mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.”9
Adapun Pasal 3 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, juga memberikan
pengaturan pidana terhadap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara
8
Lebih lanjut lihat Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
9
Lebih lanjut lihat Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Republik Indonesia untuk dieksploitasi baik di wilayah Negara Republik Indonesia
maupun di Negara lain. Orang yang melakukan tindak pidana ini diancam dengan
pidana penjara minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun serta denda minimal
Rp.120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan maksimal Rp.600.000.000,-
(enam ratus juta rupiah). Secara lengkap bunyi Pasal 3 adalah:
“Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”10
Pasal 3 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak
pidana sebagai berikut:
a. Memasukkan orang.
b. Ke wilayah negara Republik Indonesia.
c. Dengan maksud untuk dieksploitasi.
d. Di wilayah negara Republik Indonesia.
e. Atau dieksploitasi di negara lain.
Unsur di point a, b, c dan d, dapat digunakan apabila pelaku perdagangan
manusia menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai tempat tujuan perdagangan
manusia atau tujuan eksploitasi, sedangkan point e digunakan apabila pelaku
menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai tempat transit atau persinggahan
10
sebelum pelaku membawa korban perdagangan manusia ke Negara lain sebagai
tempat tujuan. Sanksi pidana lain yang termaktub dalam UU ini antara lain adalah
pasal 4.
Dalam Pasal 4 Undang-Undang ini memberikan pidana kepada setiap orang
yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia
dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia.
Bunyi Pasal 4 secara lengkap adalah:
“Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).11
Pasal 4 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak
pidana sebagai berikut:
a. membawa warga negara Indonesia.
b. ke luar wilayah negara Republik Indonesia.
c. dengan maksud untuk dieksploitasi.
d. di luar wilayah negara Republik Indonesia.
Unsur di point a, b, c dan d, dapat digunakan apabila pelaku perdagangan
manusia menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai sumber perdagangan
manusia untuk dieksploitasi di luar wilayah Negara Republik Indonesia.
11
Dalam Pasal 5 memberikan larangan kepada setiap orang untuk melakukan
pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan
maksud untuk dieksploitasi. Bunyi Pasal 5 secara lengkap adalah:
“Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).12
Pasal 5 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak
pidana sebagai berikut:
a. melakukan pengangkatan anak.
b. dengan menjanjikan sesuatu.
c. atau memberikan sesuatu.
d. dengan maksud untuk dieksploitasi.
Pasal ini memberikan perlindungan terhadap anak sebagai korban
perdagangan manusia dari usaha-usaha pengangkatan anak untuk mengeksploitasi
anak tersebut.
Dalam Pasal 6 Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 juga memberikan
larangan untuk melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan
cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi. Bunyi Pasal 6 secara
lengkap, yaitu:
12
Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).13
Pasal 6 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak
pidana sebagai berikut:
a. melakukan pengiriman anak.
b. ke dalam atau ke luar negeri.
c. dengan cara apa pun.
d. mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi.
Pasal ini memberikan perlindungan terhadap anak sebagai korban
perdagangan manusia dari usaha-usaha pengiriman anak baik di dalam negeri (antar
daerah) maupun ke luar negeri yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi.
Lebih lanjut Pasal 9 Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 mengatur
tentang sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada setiap orang yang berusaha
menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang,
namun tindak pidana itu tidak terjadi. Pasal 9 secara lengkap berbunyi:
“Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang, dan tindak pidana itu tidak terjadi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah).14
13
Lebih lanjut lihat Pasal 6, Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
14
Pasal 9 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak
pidana sebagai berikut:
a. berusaha.
b. menggerakkan orang lain.
c. supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang.
d. tindak pidana itu tidak terjadi.
Pasal ini memberikan pengaturan mengenai penggerak dari tindak pidana
perdagangan manusia. Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 tidak menjelaskan
yang dimaksud dengan “menggerakkan orang lain” tersebut.
Dalam Pasal 10, 11 dan 12 juga menyebutkan bahwa setiap orang yang
membantu atau melakukan percobaan, merencanakan atau melakukan permufakatan
jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, menggunakan atau
memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan
persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana
perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk
meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana
perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama seperti pelaku tindak pidana
perdagangan manusia. Secara lengkapnya Pasal 10, 11, dan 12 berbunyi:15
15
“Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.” (Pasal 10)
“Setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.” ( Pasal 11)
“Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.”(Pasal 12)
Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang juga memberi pengaturan tentang tindak pidana lain
yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang. Seperti hal nya tindak
pidana memberi keterangan palsu pada dokumen Negara atau memalsukan dokumen
Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 19.
“Setiap orang yang memberikan atau memasukkan keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen lain atau memalsukan dokumen negara atau dokumen lain, untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).16
Pasal 19 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak
pidana sebagai berikut:
16
a. Memberikan atau memasukkan keterangan palsu.
b. Atau memalsukan.
c. Dokumen negara atau dokumen lain.
d. Untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang.
Yang dimaksud dengan “dokumen negara” dalam ketentuan ini meliputi
tetapi tidak terbatas pada paspor, kartu tanda penduduk, ijazah, kartu keluarga, akte
kelahiran, dan surat nikah, sedangkan “dokumen lain” meliputi tetapi tidak terbatas
pada surat perjanjian kerja bersama, surat permintaan tenaga kerja Indonesia,
asuransi, dan dokumen yang terkait.17
Di dalam Pasal 20 Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga memberi pengaturan tentang
tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang yang
berkaitan dengan kesaksian palsu, alat bukti palsu atau barang bukti palsu, atau
mempengaruhi saksi secara melawan hukum.
“Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang pengadilan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).18
17
Lebih lanjut lihat Penjelasan Pasal 19.
18
Pasal 20 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak
pidana sebagai berikut:
a. memberikan kesaksian palsu.
b. menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu.
c. atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum.
d. di sidang pengadilan tindak pidana perdagangan orang.
Yang dimaksud Pasal ini adalah kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti
palsu atau barang bukti palsu atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum di
sidang pengadilan perdagangan manusia. Kata “setiap orang” dalam Pasal 20, dapat
berarti “orang perseorangan” maupun “korporasi”, sehingga dapat disimpulkan
bahwa pihak-pihak yang dapat dikenai pertanggungjawaban pidana atau subyek
tindak pidana Perdagangan Manusia berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang ini
adalah orang perseorangan maupun korporasi.
Lebih lanjut Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Pasal 23 memberi pengaturan tentang
tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang yang
memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya kepada
pelaku, menyediakan tempat tinggal bagi pelaku, menyembunyikan pelaku atau
menyembunyikan informasi keberadaan pelaku. Setiap orang yang membantu
pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang dari proses peradilan pidana
a. memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya
kepada pelaku;
b. menyediakan tempat tinggal bagi pelaku;
c. menyembunyikan pelaku; atau
d. menyembunyikan informasi keberadaan pelaku, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).19
Pasal 23 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak
pidana sebagai berikut:
a. membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang.
b. dari proses peradilan pidana.
c. dengan cara:
1) memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan
lainnya kepada pelaku.
2) menyediakan tempat tinggal bagi pelaku.
3) menyembunyikan pelaku.
4) menyembunyikan informasi keberadaan pelaku.
19
Pasal 23 memberikan ancaman pidana terhadap pelaku yang membantu
pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang dari proses peradilan pidana.
Sanksi hukum tindak pidana perdagangan orang sebagaimana yang terdapat
dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tidak membuat pelaku
enggan untuk melakukan eksploitasi perdagangan orang. Bahkan dalam kurun waktu
belakangan ini, berdasarkan wawancara dengan LSM Pemerhati Hak Asasi Manusia
oleh bapak Lukman Hasibuan, untuk wilayah Medan Sumateara Utara sejauh ini
mereka sudah banyak mendapati laporan kasus terkait dengan perdagangan orang.
Mayoritas perkara perdagangan orang terjadi di pedalaman. Menurut H. Lukman
Hasibuan di tahun 2008 hingga tahun 2012 ada 5 kasus yang berhasil mereka bantu
3 berlokasi di Belawan dan dua diantaranya berada dilokasi Tembung Percut Sei
Tuan.20
Berdasarkan pengamatan terhadap beberapa putusan Pengadilan Negeri di
sebahagian wilayah Indonesia mengenai kejahatan perdagangan orang, vonis hakim
terhadap pelaku perdagangan orang belum maksimal sebagaimana ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang. Sanksi pidana yang dijatuhkan oleh para hakim terhadap pelaku
kejahatan dinilai masih belum memberikan rasa takut dan efek jera terhadap para
pelaku. Otoritas hakim yang begitu besar dalam memutuskan perkara,
mengakibatkan banyak terjadi disparitas putusan dalam perkara yang sejenis. Hal ini
20
ditandai dengan adanya perbedaan secara substansial yang tajam antara putusan
hakim Pengadilan Negeri yang satu dengan putusan hakim Pengadilan Negeri yang
lain, padahal semuanya mengacu pada peraturan Perundang-Undangan yang sama.
Hakim dalam kedudukannya yang bebas diharuskan untuk tidak memihak
(impartial judge). Sebagai hakim yang tidak memihak dalam menjalankan profesi, mengandung makna, hakim harus selalu menjamin pemenuhan perlakuan sesuai
hak- hak asasi manusia khususnya bagi tersangka atau terdakwa. Hal demikian telah
menjadi kewajiban hakim untuk mewujudkan persamaan kedudukan di depan
hukum bagi setiap warga negara (equally before the law).21
Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman disebutkan kebebasan hakim dalam melaksanakan wewenang
judicialnya tidaklah mutlak sifatnya. Karena tugas hakim adalah untuk menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan dan mencari
dasar-dasar serta asas-asas yang menjadi landasannya, melalui perkara-perkara yang
dihadapkan kepadanya sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan.
Tetapi kenyataan, putusan-putusan yang dibuat oleh hakim sering mengundang
kontroversial. Tidak jarang terjadi terhadap pelaku tindak pidana yang satu
dijatuhkan pidana berat sedangkan terhadap pelaku tindak pidana lainnya dijatuhi
hukuman ringan atau bahkan dibebaskan, padahal pasal yang dilanggar adalah sama.
21
Meningkatnya kasus tindak pidana perdagangan orang dari tahun ke tahun
tidak terlepas dari ringannya putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Sehubungan
dengan itu, dalam penelitian ini menggambarkan 10 contoh kasus putusan
perdagangan orang yang diputus oleh Pengadilan Negeri, Untuk lebih jelas kita lihat
tabel berikut :
[image:34.612.114.582.289.596.2]Tabel 1.
Tabel Putusan Pengadilan Negeri di sebahagian wilayah Indonesia Tahun 2008 – 2012
No Nomor Perkara
Pasal Dilanggar Pidana
Penjara Denda
1 1166/Pid. B/2008/PN.Mdn Pasal 2 UU No 21/2007 6 tahun Rp. 120.000.000,-
2 1642/Pid. B/2009/PN.Mdn Pasal 10 UU No 21/2007 4 tahun Rp. 120.000.000,-
3 75/Pid. B/2011/PN.DOM Pasal 6 jo 7 UU No 21/2007 4 tahun Rp. 120.000.000,-
4 217/Pid. B/2009/PN.BTM Pasal 4 UU No 21/2007 3 tahun 4 bulan Rp. 150.000.000,-
5 1554/Pid. B/2012/PN.Mdn Pasal 2 UU No 21/2007 3 tahun Rp. 120.000.000,-
6 331/Pid. B/2009/PN.Mdo Pasal 2 UU No 21/2007 3 tahun Rp. 120.000.000,-
7 89/Pid/2012/PN.Klb Pasal 2 UU No 21/2007 3 tahun Rp. 120.000.000,-
8 277/Pid. B/2012/PN.Bji Pasal 2 UU No 21/2007 3 tahun Rp. 120.000.000,-
9 235/Pid.Sus/2012/PN.BGL Pasal 2 UU No 21/2007 5 Bln 20 Hari -
10 448/Pid. B/2012/PN.Mdn Pasal 2 UU No 21/2007 1 tahun 6 bulan Rp. 1.000.000.000,-
Dari tabel putusan kasus di atas, terlihat adanya perbedaan penjatuhan
putusan oleh hakim dan putusan yang dijatuhkan terkesan ringan bila dibandingkan
dengan ketentuan ancaman pidana maksimal dalam undang-undang perdagangan
orang. seharusnya hakim dalam menjatuhkan putusan harus memperhatikan 3 (tiga)
unsur yang penting yaitu: keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Berdasarkan
uraian yang telah dikemukakan maka menarik untuk diteliti tentang putusan hakim
yang diberi judul “ Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan
Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri Di Indonesia).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana sanksi pidana terhadap pelaku tindakan perdagangan orang?
2. Bagaimana penerapan sanksi terhadap pelaku tindakan perdagangan
orang berdasarkan beberapa putusan di Indonesia?
3. Bagaimana langkah-langkah untuk mencegah perdagangan orang?
C. Tujuan Penelitian
Pada dasarnya tujuan penelitian adalah untuk mencari pemahaman tentang
masalah-masalah yang telah dirumuskan. Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis sanksi pidana terhadap pelaku
2. Untuk mengetahui penerapan sanksi terhadap pelaku tindakan
perdagangan orang berdasarkan beberapa putusan di Indonesia.
3. Untuk mengetahui langkah-langkah untuk mencegah perdagangan orang.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis sebagai berikut:
a. Memberi masukan dan sumbangan pemikiran dalam rangka penyusunan
perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan
orang.
b. Memberi sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan hukum
khususnya hukum pidana.
2. Manfaat Praktis
Selain manfaat secara teoritis, Penelitian ini diharapkan memberi
manfaat untuk kepentingan penegakan hukum, sehingga dapat dijadikan
masukan dalam cara berpikir dan cara bertindak hakim dalam mengambil
keputusan guna mewujudkan tujuan hukum. Serta menjadi masukan bagi
penegakan hukum bagi Hakim disamping dapat mewujudkan ketertiban dan
kepastian hukum, juga harus mewujudkan hukum yang memenuhi rasa
keadilan yang mana konsekuensi kemerdekaan kekuasaan kehakiman di
tangan Hakim harus dimaknai dan diimplementasikan untuk mewujudkan cita
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan serta penelusuran yang telah dilakukan melalui
studi kepustakaan khususnya pada lingkungan perpustakaan Program Magister Ilmu
Hukum Universitas Sumatera Utara, Penelitian yang berjudul : “Sanksi Hukum
Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Analisis beberapa putusan di
Indonesia)”ini belum pernah diteliti oleh orang lain sebelumnya, akan tetapi dalam
penelitian yang menyinggung mengenai traficking pernah dibahas oleh Alexander
Keristian dalam skripsinya dengan judul “Peran Kepolisian Terhadap
Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Di Poltabes Medan)”,
adapun perumusan masalah yang dibahasnya adalah 1. Bagaimanakah Karakteristik
dilihat dari Faktor, Modus operandi dan dampak perdagangan orang?, 2.
Peraturan-peraturan apakah yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang?, 3.
Bagaimanakah Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana
Perdagangan Orang ?, pembahasan yang lain juga pernah dilakukanoleh dengan
judul “Analisa Hukum Terhadap Putusan Banding Pengadilan Tinggi Medan
Tentang Membantu Melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Analisa Putusan
Pengadilan Tinggi Nomor : 743/Pid/2008/PT-Mdn.)” yang mana perumusan
masalahnya membahas mengenai 1. Bagaimana pengaturan hukum perdagangan
orang di Indonesia, 2. Bagaimana upaya penanggulangan perdagangan orang, 3.
Analisa kasus putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 743/Pid/2008/PT- Medan.
penelitian baru dan keasliannya dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan
ilmiah sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan obyektif dalam
menemukan kebenaran.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Soejono Soekanto menyatakan bahwa, kontinuitas perkembangan ilmu
hukum itu, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi
sosial sangat ditentukan oleh teori, Sehingga teori menguraikan jalan pikiran
menurut kerangka yang logis, artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah
dirumuskan di dalam kerangka teoritis yang relevan yang mampu menerangkan
masalah tersebut.22
Menurut M. Solly Lubis, Kerangka teori merupakan landasan teori atau
dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan
yang dianalisis
23
Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian tesis ini adalah
teori keadilan dan teori pemidanaan sehingga dapat memberikan pedoman
pembahasan pada uraian berikutnya. .
Berbicara tentang keadilan, Aristoteles berpandangan bahwa keadilan
dibagi kedalam dua macam yakni : keadilan “distributief” dan keadilan “commutatief”. Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap
22
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal.6
23
orang porsi menurut pretasinya. Keadilan commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan
dengan peranan tukar menukar barang dan jasa24
Hans Kelsen mengemukakan dalam bukunya general theory of law and state, berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya. Keadilan sebagai pertimbangan nilai yang bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa suatu tatanan bukan kebahagian setiap perorangan, melainkan kebahagian sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok, yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa atau pembuat hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhi, seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan. Tetapi kebutuhan-kebutuhan manusia yang manakah yang patut diutamakan. Hal ini apat dijawab dengan menggunakan pengetahuan rasional, ang merupakan sebuah pertimbangan nilai, ditentukan oleh faktor-faktor emosional dn oleh sebab itu bersifat subjektif.
, Dari pembagian macam keadilan
ini Aristoteles mendapatkan kontroversi dan perdebatan.
25
Hans Kelsen mengakui juga bahwa keadilan mutlak berasal dari alam, yakni
lahir dari hakikat suatu benda atau hakikat manusia, dari penalaran manusia atau
kehendak Tuhan. Pemikiran tersebut diesensikan sebagai doktrin yang disebut
hukum alam. Doktrin hukum alam beranggapan bahwa ada suatu keteraturan
hubungan-hubungan manusia yang berbeda dari hukum positif, yang lebih tinggi
dan sepenuhnya sahih dan adil, karena berasal dari alam, dari penalaran manusia
atau kehendak Tuhan.26
24
L.J.Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita,1996 ), hal. 11.
25
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, (Bandung, Nusa Media, 2011),hal. 7
Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana yang diamanatkan dalam
UUD 1945 mempunyai konsekuensi untuk menegakkan hukum, yang artinya setiap
tindakan yang dilaksanakan oleh siapapun di negara ini serta akibat yang harus
ditanggungnya harus didasarkan kepada hukum dan diselesaikan menurut hukum
juga. Setiap orang mengharapkan dapat diterapkannya hukum dalam hal terjadi
peristiwa konkrit.
Ditinjau dari sisi keadilan, putusan pengadilan Negeri Medan sepertinya
belum termasuk teori keadilan Adam Smith yang hanya menerima satu konsep atau
teori keadilan yaitu keadilan komutatif yakni keadilan sesungguhnya hanya punya
satu arti yaitu keadilan komutatif yang menyangkut kesetaraan, keseimbangan,
keharmonisan hubungan antara satu orang atau pihak dengan orang atau pihak
lain.27
Berbicara tentang pemidanaan, pada umumnya dapat dikelompokkan dalam
tiga golongan besar, yaitu teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien), teori relatif atau teori tujuan (doel theorien), dan teori menggabungkan (verenigings theorien).28
Ruslan saleh mengemukakan bahwa dalam teori pemidanaan, penjatuhan
pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan. Secara garis besar teori pidana ini dijatuhkan karena orang telah
melakukan kejahatan. Pidana sebagai akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu
pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan.
27
http:// teori-keadilan-adam-smith.html diakses pada tanggal 25 maret 2012 pukul 21.00 wib.
28
Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi bertujuan sebagai sarana
melindungi kepentingan masyarakat. 29
Ditinjau dari teori pemidanaan menyataan bahwa putusan hakim pada tingkat
pengadilan negeri yaitu penjatuhan pidana penjara kepada pelaku perdagangan
orang terlepas dari disparitas lama tahanan sudahlah tepat. namun perlu di garis
bawahi bahwa pidana penjara yang dijatuhkan bukanlah dengan tujuan semata-mata
untuk membalas dan menakutkan, akan tetapi untuk mencegah agar ketertiban di
dalam masyarakat tidak terganggu.
2. Kerangka Konsepsi
Dalam penelitian hukum, kerangka konsepsional diperoleh dari peraturan
perundang-undangan atau melalui usaha untuk membentuk pengertian-pengertian
hukum. Apabila kerangka konsepsional tersebut diambil dari peraturan
perundang-undangan tertentu, maka biasanya kerangka konsepsional tersebut sekaligus
merumuskan defenisi-defenisi tertentu, yang dapat dijadikan pedoman operasional
didalam proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan kontruksi data.30
Bertolak dari kerangka teori sebagaimana tersebut diatas, berikut ini disusun
kerangka konsep yang dapat dijadikan sebagai defenisi operasional, Kerangka
konsepsional dalam merumuskan atau membentuk pengertian-pengertian hukum,
kegunaannya tidak hanya terbatas pada penyusunan kerangka konsepsional saja,
akan tetapi pada usaha merumuskan defenisi-defenisi operasional diluar peraturan
29
Ruslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta ; Aksara Baru, 1983), hal. 26.
30
perundang-undangan.31
a. Sanksi pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang
melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Dengan demikian, konsep merupakan unsur pokok dari
suatu penelitian. Adpun kerangka konsep pada tesis ini adalah :
32
Secara umum
istilah pidana sering kali diartikan sama dengan istilah hukuman. Hukuman
adalah suatu pengertian umum sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau
nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. Sedang pidana merupakan
pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana. Sebagai pengertian
khusus, masih juga ada persamaannya dengan pengertian umum, sebagai suatu
sanksi atau nestapa yang menderitakan.33
b. Tindak pidana yaitu: “Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan
diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut”.34
c. Perdagangan orang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Bab I
tentang Ketentuan Umum Undang Undang nomor 21 tahun 2007 adalah
tindakan perekrutan, pengangjutan, penampungan, pengiriman, pemindahan
atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga
31
Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gremedia Pustaka Utama, 1999), hal. 24
32
Muladi dan Barda Nawawi Arief,Teori-teori dan Kebijakan Pidana, ( Bandung: Alumni, 1992, hal 2
33
Andi Hamzah, Stelsel Pidana dan pemidanaan di indonesia, op cit, hal. 1.
34
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain
tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk
tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang terekspolitasi.35 Dalam Pasal 1
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara nomor 6 tahun 2004, tentang
Penghapusan Perdagangan ( Traficking) Perempuan dan Anak, menyatakan
bahwa Perdagangan manusia adalah tindak pidana atau perbuatan yang
memenuhi salah satu perbuatan yang memenuhi salah satu unsur-unsur
perekrutan, pengiriman, penyerahterimaan perempuan dan anak dengan
menggunakan kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan
kekuasaan, pemanfaatan posisi rentan atau penjeratan hutang untuk tujuan dan
atau berakibat mengeksploitasi perempuan dan anak.36
d. Perekrutan adalah tindakan yang meliputi, mengajak, mengumpulkan,
membawa dan memisahkan seseorang dari keluarga.37
e. Eksploitasi ialah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi
tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan
atau praktek serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik,
seksual, organ reproduksi atau secara melawan hukum memindahkan atau
35
Lebih lanjut lihat Pasal 1 ayat (1) Bab I tentang Ketentuan Umum Undang Undang nomor 21 tahun 2007
36
Lebih lanjut lihat Pasal 1 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara nomor 6 tahun 2004
37
mentransplatasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau
kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan.38
G. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan ilmu mengenai jenjang-jenjang yang harus
dilalui dalam suatu proses penelitian, atau ilmu yang membahas metode ilmiah
dalam mencari, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan.39
Metode penelitian yang dipergunakan dalam menjawab permasalahan dalam
tesis ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilaksanakan dalam tesis ini adalah penelitian hukum
normatif yaitu penelitian terhadap masalah dengan melihat dari dua sumber
peraturan - peraturan yang berlaku. Penelitian hukum ini juga disebut sebagai
penelitian kepustakaan. Hal ini disebabkan karena penelitian lebih banyak
dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.
Penelitian kepustakaan demikian dapat pula dikatakan sebagai lawan dari
penelitian empiris.40
38
Kementerian Kordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Penghapusan Perdagangan Orang di Indonesia, ( Jakarta, 2005) , hal.2.
39
Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta : Granit, 2004), hal. 1.
40
2. Bahan-bahan Hukum yang Digunakan
Bahan hukum dibagi tiga yaitu bahan hukum primer yang diperoleh dari
peraturan perundang-undangan yang berlaku, bahan hukum sekunder
diperoleh dari literatur atau buku-buku, dan bahan hukum tersier diperoleh
dari kamus-kamus dalam hal ini kamus hukum.41 Dalam penelitian hukum
normatif data yang dipergunakan adalah data sekunder. Untuk memecahkan
isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang
seyogianya, diperlukan sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan
hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder.42
a. Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum Primer Yaitu bahan hukum yang isinya mengikat karena
dikeluarkan oleh pemerintah.43
1. Norma atau kaidah dasar yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945.
Bahan hukum primer yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:
2. Undang-Undang Dasar 1945.
3. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Orang.
4. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
5. Putusan – Putusan Hakim Pengadilan Negeri.
41
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1984), hal. 52
42
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2005), hal. 141.
43
6. Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan
penelitian ini.
b. Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.44
1. Kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia.
Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang pada penelitian ini
adalah:
2. Majalah-majalah yang ada hubungannya dengan penelitian ini.
3. Koran yang memuat tentang kasus perdagangan orang.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
studi kepustakaan yakni berupa studi dokumen dan teknik pendukung lainnya
yaitu meneliti dokumen yang ada dengan mengumpulkan data dan informasi
dari buku, karangan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bahan tertulis
lainnya serta putusan pengadilan negeri yang berkaitan dengan penelitian ini,
yaitu dengan cara mencari, mempelajari dan mencatat serta
menginterpretasikan hal-hal yang berkaitan dengan objek penelitian.45
44
Amiruddin dan Zaenal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum ,( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 31
45
4. Analisa Bahan Hukum
Analisa dapat dirumuskan untuk menguraikan hal yang akan diteliti
ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil dan sederhana.46
a. Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur
tentang perdagangan orang.
Pada penelitian hukum
normatif, pengolahan bahan hakikatnya kegiatan untuk mengadakan
sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti
membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk
memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi. Kegiatan-kegiatan yang
dilakukan dalam analisis bahan dalam penelitian ini adalah:
b. Membuat sistematik dari Pasal-Pasal tersebut sehingga menghasilkan
klasifikasi tertentu (yang selaras dengan penegakan hukum terhadap
perdagangan orang).
c. Bahan yang berupa peraturan perundang-undangan ini dianalisis secara
kualitatif, dengan menggunakan logika berfikir dalam menarik
kesimpulan secara metode deduktif, yaitu kerangka pemikiran diarahkan
kepada aspek-aspek normatif yang terkandung dalam hukum positif.
Sehingga hasil dari analisis ini diharapkan dapat menjawab permasalahan
yang dikemukakan dalam tulisan ini.
46
BAB II
SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PERDAGANGAN ORANG
A. Sanksi Pidana
1. Pengertian Sanksi Pidana
Hukum pidana menentukan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum yang dilakukan. Sanksi itu pada prinsipnya merupakan penambahan penderitaan dengan sengaja. Penambahan penderitaan dengan sengaja ini pula yang menjadi pembeda terpenting antara hukum pidana dengan hukum yang lainnya.47
Istilah “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus, yaitu
menunjukkan sanksi dalam hukum pidana. Pidana adalah sebuah konsep dalam
bidang hukum pidana yang masih perlu penjelasan lebih lanjut untuk dapat
memahami arti dan hakekatnya.48
Menurut Roeslan Saleh “pidana adalah reaksi atas delik, dan ini
berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada
pembuat delik itu”.
49
Subekti dan Tjitrosoedibio mengemukakan dalam bukunya kamus
hukum, “pidana” adalah “hukuman”.
50
Sudarto berpendapat yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan
yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu.
51
47
Van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Material Bagian Umum, (Bandung : Binacipta,1987), hal. 17.
48
Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum Dalam Konteks Penegakan Hukum Di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 23.
49
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta : Aksara Baru, 1983), hal. 9.
50
Muladi dan Barda Nawawi berpendapat bahwa unsur pengertian pidana, meliputi:52
a. pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
b. pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
c. pidana itu dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.
Apabila dilihat dari filosofinya, hukuman mempunyai arti yang sangat
beragam. R. Soesilo menggunakan istilah “hukuman” untuk menyebut istilah
“pidana” dan ia merumuskan bahwa apa yang dimaksud dengan hukuman
adalah suatu perasaan tidak enak (sangsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan
vonis kepada orang yang telah melanggar Undang-undang hukum pidana.
Pidana merupakan pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum
pidana. Sebagai pengertian khusus, masih juga ada persamaannya dengan
pengertian umum, sebagai suatu sanksi atau nestapa yang menderitakan.53
Menurut Moeljatno, istilah “hukuman” yang berasal dari kata “Straf”
merupakan istilah-istilah yang konvensional. Dalam hal ini beliau tidak setuju
dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah yang in konvensional, yaitu
“pidana” untuk menggantikan kata “straf”. Moeljatno mengungkapkan jika
“straf” diartikan “hukum” maka strafrechts” seharusnya diartikan “hukum
51
Muladi dan Barda Nawawi, Teori dan Kebijakan Pidana. (Bandung: Alumni, 1992),hal. 2.
53
hukuman”. Menurut beliau “dihukum” berarti” diterapi hukum”, baik hukum
pidana maupun hukum perdata.54
Satochid Kartanegara berpendapat bahwa “hukuman (pidana) itu bersifat siksaan atau penderitaan, yang oleh undang-undang hukum pidana diberikan kepada seseorang yang melanggar sesuatu norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana, dan siksaan atau penderitaan itu dengan keputusan hakim dijatuhkan terhadap diri orang yang dipersalahkan itu. Sifat yang berupa siksaan atau penderitaan itu harus diberikan kepada hukuman (pidana), karena pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana itu merupakan pelanggaran atau perkosaan kepentingan hukum yang justru akan dilindungi oleh undang-undang hukum pidana”.55
Menurut Herbert L. Packer, sanksi pidana adalah suatu alat atau sarana
terbaik yang tersedia, yang dimiliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau
bahaya besar serta untuk menghadapi ancaman-ancaman. Selanjutnya Packer
menyatakan bahwa :
1. Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang maupun dimasa yang akan datang, tanpa pidana.
2. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki utk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta utk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya.
3. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara manusiawi, ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.56
54
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, op cit. Hal. 1.
55
Satochid Kartanegara, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, (Bandung : 1954-1955), hal. 275-276.
56
Dari beberapa pendapat pakar di atas dapat disimpulkan bahwa sanksi
adalah menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang
karena suatu perbuatan yang dilakukannya.
2. Jenis-jenis Sanksi Pidana
Undang-undang membedakan 2 macam pidana yaitu pidana pokok dan
pidana tambahan, terhadap satu kejahatan atau pelanggaran hanya boleh
dijatuhkan satu pidana pokok yang berarti kumulasi lebih dari satu pidana
pokok tidak diperkenankan dalam beberapa hal kumulasi antara pidana pokok
dan tambahan.57
Dalam Pasal 10 KUHP dikenal dua jenis pidana, yaitu pidana pokok
yang terdiri dari :58
1. Pidana mati; 2. Pidana penjara; 3. Pidana kurungan; 4. Pidana denda.
Pidana tambahan terdiri dari : 1. Pencabutan hak-hak tertentu,
2. Perampasan barang-barang tertentu dan 3. Pengumuman putusan hakim.
Jenis-jenis pidana seperti yang termuat didalam Pasal 10 KUHP telah
dirumuskan dengan tidak terlepas dari keadaan masyarakat yang ada pada saat
KUHP dibentuk. KUHP mengenal sistem tunggal dimana terhadap suatu
57
R soesilo., KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor : Politea, tt), hal. 30
58
kejahatan atau pelanggaran hanya dijatuhkan satu pidana pokok. Kumulasi juga
dapat diterapkan namun umumnya antara pidana pokok dan pidana tambahan.
Secara umum Pidana mati adalah pidana yang paling berat, karena
pidana ini dalam pelaksanaannya sangat berat berupa penyerahan terhadap hak
hidup bagi manusia yang sesungguhnya hak ini berada di tangan Tuhan,
manusia tidak ada wewenang untuk menghilangkan nyawa seseorang meskipun
seseorang tersebut telah melanggar ketentuanketentuan yang berlaku atau
hukum yang berlaku yang tercantum dalam Undang-undang maupun peraturan
hukum lainnya.
Menurut Pasal 11 KUH Pidana, pidana mati dijalankan dengan cara
menjerat tali yang terikat di tiang gantungan