• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sanksi Terhadap Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Menurut

BAB III SANKSI PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA MENURUT

C. Sanksi Terhadap Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Menurut

Pada negara Indonesia hukuman terhadap pelaku kejahatan sudah diatur dalam undang-undang yang berlaku dan sudah disahkan oleh pemerintah, jadi dalam setiap perbuatan melanggar hukum pasti ada balasan hukum yang setimpal dan dapat memberikan efek jera bagi pelakunya.

Dalam hukum positif di Indonesia, ancaman hukuman terhadap pelaku tindak pidana terdapat dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP menetapkan jenis-jenis tindak pidana atau hukuman yang termasuk di dalam Pasal 10 KUHP, yang terbagi dalam dua bagian yaitu hukuman pokok dan hukum tambahan.11

Pada pecandu narkotika, hakekatnya mereka lebih tepat dikategorikan sebagai korban pergaulan secara bebas, Pskiater (ahli kejiwaan) menganggap bahwa tidak tepat apabila pecandu narkotika diberikan sanksi pidana yang berupa penjatuhan pidana penjara, karena apabila memang itu yang diterapkan, maka yang terjadi adalah pecandu narkotika dapat mengalami depresi berat yang

10

Prof. Moeljatno. Kitab undang-undang hukum pidana, Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika (Pradnya Paramita, 2004)

11

Laden Marpaung, Asas Teori-Praktik Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), cet ke 2, hlm. 107-110

berpotensi tinggi mengganggu mental karena tidak mendapatkan bantuan dalam bentuk perawatan oleh pihak ahli dalam bidang psikologis (Rehabiilitasi).12

Berikut akan dijelaskan menganai perumusan sanksi pidana dan jenis pidana penjara dan jenis pidana denda terhadap perbuatan-perbuatan tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, yaitu :

1. Perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan penggolongan narkotika (golongan I, II dan III) meliputi 4 (empat) kategori, yakni

a. berupa memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika dan prekusor narkotika.

b. memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan narkotika dan prekusor narkotika

c. menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual-beli, menukar atau menyerahkan narkotika dan prekusor narkotika

d. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika dan prekusor narkotika.

Sanksi yang dikenakan minimal 2 tahun dan paling maksimal 20 tahun penjara, pengenaan pidana denda diberlakukan kepada semua golongan narkotika, dengan denda minimal Rp 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) dan paling maksimal Rp 8.000.000.000 (delapan miliar rupiah), untuk jenis-jenis pelanggaran terhadap narkotika dengan unsur-unsur pemberatan maka penerapan denda maksimum dari

12

tiap pasal yang dilanggar ditambah dengan 1/3 (satu pertiga) Penerapan pidana penjara dan pidana denda menutrut undang-undang ini bersifat kumulatif, yakni pidana penjara dan pidana denda.

2. Ancaman sanksi pidana bagi orang yang tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika (Pasal 131) sanksi yang dikenakan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan pidana dendan paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), yang tidak melaporkan terjadinya perbuatan melawan hukum, yang meliputi :

a. memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan narkotika. b. memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan.

c. menawarkan untuk dijual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan.

d. mengunakan, memberikan untuk digunakan orang lain.

3. Ancaman sanksi pidana bagi menyuruh, memberi, membujuk, memaksa dengan kekerasan, tipu muslihat, membujuk anak diatur dalam ketentuan Pasal 133 ayat (1) dan (2)

4. Ancaman sanksi pidana bagi pecandu narkotika yang tidak melaporkan diri atau keluarganya kepada instalasi rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (Pasal 134 ayat 1) sanksi yang dikenakan dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah).

Demikian pula keluarga dari pecandu narkotika dengan sengaja tidak melaporkan pecandu narkotika (Pasal 134 ayat 2) sanksi yang dikenakan

dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).

5. Ancaman sanksi pidana bagi hasil-hasil tindak pidana narkotika dan/atau Prekusor Narkotika, yang terdapat dugaan kejahatan money loundering sanksi yang dijatuhkan pidana penjara 5-15 Tahun atau 3-10 tahun, dan pidana denda antara Rp. 1000.000.000,- (satu miliar rupiah) sampai Rp. 10.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) atau Rp. 500.000,- (lima ratus juta rupiah atau Rp. 5.000.000.000 (lima miliar rupiah), yang terdapat dalam pasal 137 ayat (1) dan (2). Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, telah disusun secara limitatif tentang perbuatan tindak pidana yang ada kaitannya dengan perbuatan pencucian uang, antara lain : tindak pidana korupsi, tindak pidaa narkotika, tindak pidana psikotropika, dan sebagainya.

6. Ancaman sanksi pidana bagi orang yang menghalangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara terhadap tindak pidana narkotika (Pasal 138) sanksi yangdikenakan penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

Pada umumnya para saksi dan korban takut memberikan kesaksian karena adanya ancaman atau intimidasi tertentu, sehingga perbuatan ini dapat dikatagorikan sebagai perbuatan yang mengahalangi dan menghasut, sert mempersulit jalannya penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di depan persidangan

7. Ancaman sanksi pidana bagi nahkoda atau kapten penerbang, mengangkut narkotika dan pengangkutan udara (Pasal 139)sanksi yang dikenakan ancaman pidana paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyakRp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).

Ketentuan Undang-Undang ini bertujuan untuk kepentingan pengawasan dan pengendalian serta kepentingan pelaporan pengangkutan narkotika antara negara pengimpor/pengekspor narkotika kepada negara tujuan. Disamping itu, ketentuan ini untuk mencegah terajadinya kebocoran dalam pengangkutan narkotika yang mudah disalahgunakan oleh para pihak pengangkut narkotika dan prekusor narkotika.

8. Ancaman sanksi pidana bagi PPNS, Penyidik Polri, Penyidik, BNN yang tidak melaksanakan ketentuan tentang barang bukti (Pasal 140 ayat 1), di mana bagi PPNS untuk melaksanakan ketentuan Pasal 88 dan Pasal 89, yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun. Kewajiban PNS menurut Pasal 88 dan Pasal 89 yang melakukan penyitaan terhadap narkotika dan prekusor Narkotika wajib membuat berita acara penyitaan dan menyerahkan barang sitaan tersebut beserta berita acaranya kepada Penyidik BNN atau Penyidik Polri, dengan tembusan Kepala Kejaksaan Negeri setempat, Ketua Pengadilan Negeri setempat, Menteri dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan pada Pasal 140 ayat (2) Penyidik Polri atau Penyidik BNN yang melakukan penyitaan dan prekusor narkotika wajib melakukan penyegelan dan

membuat berita acara penyitaan, dan wajib memberitahukan penyitaan yang dilakukannya kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat dalam waktu paling lama 3x24 jam sejak dilakukan penyitaan dan tebusannya disampaikan kepada Kepala Kejaksaan negeri setempat, Ketua Pengadilan Negeri setempat, Menteri dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, dan penyidik Polri atau Penyidik BNN bertanggung jawab atas penyimpanan dan pengamanan barang sitaan yang berada dibawah penguasaanya.

9. Ancaman sanksi pidana bagi petugas laboratorium yang memalsukan hasil Pengujian (Pasal 142), dimana petugas tidak melaporkan hasil pengujian kepada penyidik dan penuntut umum, merupakan perbuatan melawan hukum dan dikenakan ancaman sanksi pidana berupa pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak lima ratus ribu rupiah. Penyidikan terhadap penyalahgunaan narkotika atau prekusor narkotika, maka peranan laboratorium amat menentukan bagi kebenaran terjadinya tindak pidana narkotika, sehingga dapat menentukan unsur kesalahan sebagai dasar untuk menentukan pertanggung jawaban pidannya. Dalam kasus tertentu sering terjadinya pemalsuan hasil tes laboratorium, untuk mengehindarkan diri pelaku tindak pidana terhadap hasil tes laboratorium telah mengkonsumsi narkotika, atau menukarkan hasil tes laboratorium tersebut menjadi milik orang lain.

10. Ancaman sanksi pidana bagi saksi yang memberikan keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika

di muka pengadilan (pasal 143) diancam dengan penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).

11. Ancaman sanksi pidana bagi setiap orang yang melakukan pengulangan tindak pidana (Pasal 144), dimana dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun melakukan pengulangan tidak pidana maka ancaman pidana maksimum dari masing-masing pasal ditambah dengan 1/3 (sepertiga). Ketentuan ini mempunyai tujuan untuk membuat jera pelaku tindak pidana, agar tidak mengulangi perbuatan pidana lagi.

12. Ketentuan pidana bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Negara Republik Indonesia (pasal 145). Warga negara Indonesia yang berbuat salah satu dari kejahatan-kejahatan sebagaimana disebut dalam sub I Pasal ini (termasuk tindak pidana narkotika) meskipun diluar Indonesia, dapat dikenakan Undang-Undang Pidana Indonesia.

13. Putusan pidana denda yang tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana (Pasal 148) ketentuan ini paling lama 2 (dua) tahun.

Penerapan sanksi pidana tersebut, adalah bertujuan untuk memberikan efektivitas dari peran serta masyarakat. Peran serta ini mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya dimana masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab untuk membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika.

Perhatian dan pengawasan dari pihak penegak hukum juga sangat mempengaruhi penyalahgunan narkotika, akan tertapi bila pengawasan dari pihak penegak hukum diperketat maka kemungkinan terjadinya penyalahgunaan bisa di minimalisasi penggunanya.

43

TERHADAP PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

A. Pengertian Hukum Islam Dan Sanksi Terhadap Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Menurut Hukum Islam

1. Pengertian Hukum Islam

Kata hukum dalam Al-Qur’an diartikan dengan kata syari‟ah, fiqh, hukum Allah dan yang seakar kata dengannya. Dalam literatur barat

hukum Islam merupakan terjemahan dari “Islamic Law”.

Penjelasan tentang hukum Islam dalam literatur barat ditemukan definisi hukum Islam yaitu: keseluruhan kitab Allah yang mengatur kehidupan setiap muslim dalam segala aspeknya.1 Dari definisi ini arti hukum Islam lebih dekat dengan pengertian syariah.

Hasbi Asy-Syiddiqy memberikan definisi hukum Islam dengan koleksi daya upaya fuqaha dalam menerapkan syari‟at Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat.2 Pengertian hukum Islam dalam definisi ini mendekati kepada makna fiqh.

Kejelasan tentang arti hukum Islam, perlu diketahui lebih dahulu

arti dari kata “hukum”. Sebenarnya tidak ada arti yang sempurna tentang

hukum. Untuk mendekatkan kepada pengertian yang mudah dipahami,

1

Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (Oxford: University Press, 1964), hlm. 1.

2

Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 32.

meskipun masih mengandung kelemahan, definisi yang diambil oleh Muhammad Muslehuddin dari Oxford English Dictionary perlu

diungkapkan. Menurutnya, hukum adalah “the body of rules, wether

proceeding from formal enactment or from custom, which a particular state or community recognizes as binding on its members or subjects”.3

(sekumpulan aturan, baik yang berasal dari aturan formal maupun adat, yang diakui oleh masyarakat dan bangsa tertentu sebagai mengikat bagi anggotanya).

Bila hukum dihubungkan dengan Islam, maka hukum Islam

berarti: “seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan hadis Nabi

tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku

dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam”.4

Dari definisi yang dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa hukum Islam mencakup hukum syari‟ah dan fiqh, karena arti syari‟ah dan fiqh terkandung di dalamnya.

Dalam hukum Islam terdapat bagian pembahasan hukum pidana. Tindak pidana atau tindak kejatan disebut jarimah. Jarimah adalah larangan-laranga syark yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta‟zir5

3

AS. Honrby, Oxford Advanced Learner‟s Dictionary of Current English, (Britain: Oxford University Press, 1986), hlm. 478.

4 Amir Syarifuddin, “Pengertian dan Sumber Hukum Islam”, dalam Falsafah Hukum Islam”, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 14.

5

Ahmad Hanafi,MA, “Asas-asas Hukum Pidana Islam”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hlm. 1.

Jarimah terbagi menjadi beberapa bagian diantaranya adalah jarimah qishas, jarimah hudud, dan jarimah ta‟zir.

Jarimah qishas secara terminologi yang dikemukakan oleh Al-Jurjani, adalah mengenakan sebuah tindakan (sanksi hukum) kepada pelaku persis seperti tindakan yang dilakukan oleh pelaku kepada korbannya.6 Dalam pengertian lain, bahwa jarimah qoshas adalah sanksi kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan harus setimpal dengan perbuatan yang dilakukan, contohnya adalah nyawa dibalas dengan nyawa, harta dibalas dengan harta.

Jarimah hudud secara etimologis merupakan bentuk jamak dari kata had yang berarti larangan atau pencegahan, adapun secara terminologis, Al-Jurjani mengartikan sebagai sanksi yang telah ditentukan dan yang wajib dilaksanakan secar hak karena Allah.7 Dalam jarimah hudud ini sanksi yang dijatuhkan tidak boleh ditambah atau dikurang takaran hukumannya, hal ini dikarenakan sudah ada ketentuan hukum yang mengatur dari Allah S.W.T.

Jarimah ta‟zir menurut bahasa adalah memberi pelajaran, hukuman yang belum ditetapkan oleh syar‟i, melainkan diserahkan kepada hakim dan penguasa, baik penentuannya maupun pelaksanaanya.8

Menurut M. Nurul Irfan bahwa ta‟zir adalah sanksi yang diberlakukan kepada pelaku jarimah yang melakukan pelanggaran, baik

6

Ali bin Muhammad Al-Jurjani, Kitab Al-Ta‟rifat, (Jakarta; Dar Al-Hikmah), hlm. 176.

7

Ibid, hlm. 88.

8

Abdurrahman I. Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, (Jakarta: Melton Putra, 1992), hlm. 19.

berkaitan dengan hak Allah maupun hak manusia, dan tidak termasuk kedalam kategori hukuman hudud atau kafarat karena sanksinya tidak ditentukan langsung oleh Al-Qur’an dan hadis, yang pelaksanaannya menjadi kompetensi hakim dan penguasa setempat dengan tetap memperhatikan nash secara teliti karena menyangkut kemaslahatan manusia.9

Syarat jarimah ta‟zir harus sesuai dengan kepentingan-kepentingan masyarakat dan tidak boleh berlawanan dengan nash-nash (ketentuan syark’) dan prinsip-prinsip umum, dengan maksud agar mereka dapat mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya serta dapat menghadapi persoalan yang sifatnya mendadak.10

Ciri khas dalam jarimah ta‟zir adalah sebagai berikut:

a. Hukuman tidak tertentu dan tidak terbatas. artinya hukuman tersebut belum ditentukan oleh syark’, tidak ada batas minimal dan ada batas maksimal yang ditentukan dalam Al-Qur’an dan hadis.

b. Penentuan hukuman tersebut adalah hak hakim dan penguasa.11

Apabila terdapat suatu masalah yang belum ditentukan status hukumnya dalam Al-Qur’an dan hadis, maka para fuqoha melakukan ijtihad dengan cara qiyas.

Qiyas adalah mempersamakan status hukuman yang belum ada ketentuannya dengan hukuman yang sudah ada ketenyuannya dalam

9 M Nurul Irfan, Fiqh Jinayat,(Jakarta, Amzah, 2013), hlm .139-140.

10

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm. 9.

11

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,

Qur’an dan hadis, karena kedua peristiwa terdapat segi persamaanya.12 Persamaan yang terkategori dalam qiyas antara lain adalah cara perbuatan yang dilakukan, dan efek yang terjadi setelah melakukan perbuatan tersebut.

Berikut ini uraian metode penyelesaian ketentuan hukum narkotika dengan pendekatan qiyas13 :

a. Al Ash dalam hal ini adalah khamr, karena sesuatu yang ada hukumnya dalam Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah SWT. dalam Surat Al Maidah ayat 90 sebagai berikut :

ِلَمَع ْنِم ٌسْجِر ُم ََْزَْْاَو ُباَصْنَْْاَو ُرِسْيَمْلاَو ُرْمَْْا اََِإ اوَُماَء َنيِذلا اَه يَأاَي

ْمُكلَعَل ُوُبَِتْجاَف ِناَطْيشلا

َنوُحِلْفُ ت

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”

b. Al Far‟u (cabang) dalam hal ini adalah narkotika, karena tidak ada hukumnya dalam nash Al-Qur’an maupun hadis, tetapi ada maksud menyamakan status hukumnya kepada nash yakni khamr. Khamr dalam hal yang diserupakan atau disebut al musyabbah.

c. Hukum ashl dalam kontek ini adalah khamr, hukumnya haram, sebagaimana tertuang dalam Q.s Al-Maidah : 90, dengan itu menjadi patokan ketetapan hukum bagi al-far‟u atau cabang dalam hal ini narkotika.

12

Ahmad Hanafi, MA, Asas-asas hukum pidana islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hlm. 33.

13

Abdul Wahab Khalaf, kaidah-kaidah Hukum Islam, (Jakarta, Rajawali, 1989), Cet.Ket.I, hlm. 90.

d. Al Illat atau dampak, dampak dari khaar adalah dapat memabukkan, menghilangkan akal pikiran dan melupakan Allah SWT. Sedangkan narkotika adalah al-far‟u karena tidak terdapat nash mengenai hukumnya dan narkotika telah menyamai khamr dalam kedudukannya adalah memabukkan.14

Dengan demikian, maka hukum penyalahgunaan narkotika dalam hukum Islam adalah haram.

Oleh karena itu penyalahgunaan narkotika dalam hukum Islam digolongkan kepada jarimah ta‟zir, hal ini sesuai dengan prinsip menetapkan jarimah ta‟zir, yaitu prinsip utama yang menjadi acuan penguasa dan hakim adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari ke-mudharatan (bahaya).

Fathhurrahman Djamil menjelaskan bahwa tujuan Allah SWT mensyari‟at-kan hukum-hukumnya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari mafsadat, baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui taklif, yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum yang utama, Al-Qur’an dan hadist, dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat.15

Dalam hukum Islam, untuk mewujudkan kemaslahatan tersebut berlaku ketentuan-ketentuan atau had atau batasan yang harus dipatuhi,

14

Noer Iskandar Al Barsany, Ilmu ushul fiqh, ( Jakarta, Rajawali, 1989), Cet. Ke I, hlm.67-68.

15

Fathhurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 125.

yang tujuannya untuk pencegahan terhadap tindakan yang merugikan baik bagi pelaku maupun bagi pihak lain.

Ada tiga tujuan pokok diterapkannya hukum Islam. Ketiga pokok tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, tujuan primer (al-dharury), yakni tujuan hukum yang harus ada demi ketentraman kehidupan manusia. Apabila tujuan ini tidak tercapai akan menimbulkan ketidak ajegan kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akherat. Kebutuhan hidup yang primer ini hanya bisa dicapai bila terpeliharanya lima tujuan hukum Islam yang disebut al-dharuriyyat, al-khamsatau, alkulliyyat, al-khams (disebut pula maqasid al-syari‟ah), yaitu lima tujuan utama hukum Islam yang telah disepakati bukan hanya oleh ulama Islam melainkan juga oleh keseluruhan agamawan.16

Kelima tujuan utama itu adalah memelihara agama (hifdz ad din), memelihara jiwa (hifdz an nafs), memelihara akal (hifdz al aql), memelihara keturunan (hifdz an nasl) dan memelihara harta (hifdz al mal),17 Segala usaha dan upaya untuk melaksanakan lima pokok tujuan hukum Islam tersebut merupakan amal sholeh yang wajib dilakukan oleh umat Islam.

Kedua, tujuan sekunder (al-haajiy), yakni terpeliharanya tujuan kehidupan manusia yang terdiri atas berbagai kebutuhan sekunder. Jika tidak terpenuhi akan menimbulkan kesukaran bagi manusia, namun tidak sampai menimbulkan kerusakan.

16

Ibid, hlm, 125.

17

Abdurraḥman Yūsuf al-Qarḍāwi, Naariyyah maqāid as-Syarī'ah 'inda Ibni Taimiyah wa Jumhūr al-Uūliyyin, (Mesir, Jāmi'ah al-Qāhirah, 2000), hlm. 171.

Ketiga, tujuan tertier (al-tahsiniyyat), yakni tujuan hukum yang ditujukan untuk menyempurnakan hidup manusia dengan cara melaksanakan apa yang baik dan yang paling layak menurut kebiasan dan menghindari hal-hal yang tercela menurut akal sehat.18

Tujuan pokok penjatuhan hukuman dalam syari‟at Islam adalah pencegahan (al ra‟du wa zajru), pengajaran dan pendidikan (al ishlah wat tahdzib).

Sebaliknya, segala perbuatan dan tindakan yang bisa mengancam

keselamatan atau kerusakan dari salah satu dari pokok tujuan hukum Islam

tersebut adalah merupakan perbuatan yang dilarang dalam ajaran Islam.

Berdasarkan lima pokok tujuan hukum Islam tersebut, maka tindakan

kejahatan dapat dikelompokan kepada lima katagori, yaitu kejahatan

terhadap agama, kejahatan terhadap jiwa atau diri, kejahatan terhadap akal,

kejahatan terhadap kehormatan dan keturunan dan kejahatan terhadap

harta benda. Kejahatan-kejahatan besar terhadap lima pokok hukum Islam

ini diatur dalam bab Jinayat.19

2. Sanksi Hukum Pidana bagi Penyalahgunaan Narkotika Menurut Hukum Islam

Narkotika di dalam Al-Qur’an maupun hadis secara langsung tidak disebutkan penjabarannya, dalam Al-Qur’an hanya disebutkan istilah khamr. Seperti disebutkan dalam Surat Al Maidah ayat 90 sebagi berikut :

18 Fathhurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, hlm. 125.

19

Satria Efendi M. Zein, Kejahatan Terhadap Harta Dalam Perspektif hukum Islam. hlm. 107.

اََِإ اوَُماَء َنيِذلا اَه يَأاَي

ُرْمَْْا

ْزَْْاَو ُباَصْنَْْاَو ُرِسْيَمْلاَو

ِلَمَع ْنِم ٌسْجِر ُم ََ

َنوُحِلْفُ ت ْمُكلَعَل ُوُبَِتْجاَف ِناَطْيشلا

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”

Menurut Imam Syafi’i bahwa sanksi hukuman bagi peminum

khamr adalah 40 (empat puluh) kali dera. Pendapat tersebut, berbeda dengan pendapat ulama madzhab lainnya. Imam Syafi’i beralasan bahwa tidak ada dalil yang berasal dari Rasulallah SAW yang menyatakan bahwa beliau pernah mencambuk para peminum khamr lebih dari empat puluh kali dera, sebagaimana hadis berikut :

ع ه يضر ٍّيِلَع ْنَع :ٍمِلْسُمِلَو

-يِلَوْلَا ِةصِق ِِ

َةَبَقَع ِنْب ِد

ِِ لَا َدَلَج ُ

اَذََو ,ٌة ُس ٌلُكَو ,َنِناَََ ُرَمُعَو ,َنِعَبْرَأ ٍرْكَب وُبَأَو ,َنِعَبْرَأ ملسو يلع ه ىلص

َ بَحَأ

ْمََْْا ْأيَقَ تَ ي ُآَر ُنَأ ِْيَلَع َدِهَش اًُجَر نَأ ُ : ِثيِدََْْا اَذَ َِِو . ََِإ

,َر

َ اَهَ بِرَش ََح اَْأيَقَ تَ ي ََْ ُنِإ :ُناَمْثُع َلاَقَ ف

Menurut Riwayat Muslim dari Ali Radliyallaahu 'anhu, tentang kisah Walid Ibnu Uqbah: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mencambuknya empat puluh kali, Abu Bakar (mencambuk peminum) empat puluh kali, dan Umar mencambuk delapan puluh kali. Semuanya Sunnah dan ini (yang delapan puluh kali) lebih saya (Ali) sukai. Dalam suatu hadits disebutkan: Ada seseorang menyaksikan bahwa ia melihatnya (Walid Ibnu Uqbah) muntah arak. Utsman berkata: Ia tidak akan muntah-muntah arak sebelum meminumnya.20

20

Al Hafizd Ibnu Hajar Al Asqolany, Bulughul Marom Min Adilatil Ahkam, ( Terjemah Bulughul Maram), penerjemah Hamim Thohari Ibnu M Dailami, (Jakarta, al Birr Press, 2009 ), hlm, 450.

Menurut Imam Syafi’i bahwa sisa 40 (empat puluh) kali dera lagi bukan merupakan hudud, melainkan hukum ta‟zir.21

Sejalan dengan pendapat Imam Syafi’i juga didapati dalam riwayat lain dari Ahmad bin Hanbal bahwa bahwa hukuman hudud atas tindak pidana minum khamr ini adalah 40 (empat puluh) kali dera. Akan tetapi tidak ada halangan bagi penguasa untuk menjatuhkan sanksi bagi pelaku sebanyak 80 (delapan puluh) kali dera jika ia memiliki kebijakan seperti itu. Jadi sanksi hukuman hudud bagi peminum khamr (minuman keras) sebanyak 40 (empat puluh) kali dera dan selebihnya merupakan ta‟zir.

Menurut Imam Abu Hanifah, bahwa sanksi hukuman karena khamar adalah sama. Perbedaan pendapat di kalangan fuqoha dalam menentukan kadar hukum disebabkan tidak adanya ketentuan dalam Al-Qur’an tentang hukum tersebut. Selain itu, riwayat yang ada tidak menyebutkan dengan pasti adanya ijma para sahabat tentang hukuman atas tindak pidana khamar.22

Adapun larangan untuk meminum khamar bersumber dari

Al-Qur’an, menurut pendapat yang kuat, penentuan sanksi 80 (delapan

puluha) kali dera baru ditetapkan pada masa khalifan Umar bin Khatab Ra. Ketika ia bermusyawarah dengan para shahabat mengenai hukuman bagi peminum khamr. Ali bin Abi Thalib menyarankan agar hukumannya berupa dera sebanyak 80 (delapan puluh) kali, dengan alasan apabila

21 Abdul Qodir Audah, At Tasyri al Jinaij Al islamy Moqorronan bin Qonunil

Dokumen terkait