• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HUBUNGAN HUKUM ANTARA PELAKU USAHA TIKI

3. Sanksi yang Timbul sebagai Akibat Terjadinya Wanprestasi…. 42

Selain wanprestasi, kerugian dapat pula terjadi di luar hubungan perjanjian, yaitu jika terjadi perbuatan melanggar hukum, yang dapat berupa adanya cacat pada barang atau jasa yang mengakibatkan kerugian bagi konsumen, baik itu karena rusaknya atau musnahnya barang itu sendiri, maupun kerusakan atau musnahnya barang akibat cacat pada barang itu. Selain disebabkan karena wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum, kerugian yang dialami konsumen selama ini juga banyak disebabkan karena konsumen kurang kritis terhadap barang-barang yang ditawarkan, sehingga kerugian yang dialami konsumen tidak hanya kerugian finansial, akan tetapi juga dapat merugikan kesehatan atau keselamatan hidup konsumen sendiri.59

57 Ibid. hlm 263.

58 Ibid.

59 Zulham, Op. Cit. hlm. 67.

Apabila debitur melakukan wanprestasi maka ada beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada debitur, yaitu:

1. Membayar kerugian yang diderita kreditur;

2. Pembatalan perjanjian;

3. Peralihan risiko;

4. Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan di muka hakim.60 B. Kajian Undang-Undang Perlindungan Konsumen

1. Perlindungan Konsumen Pengguna Jasa Pengiriman Barang

Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagai suatu hukum perlindungan konsumen merupakan bagian khusus dari hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) konsumen antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan masyarakat.”61

Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri.62

Undang-Undang Perlindungan Konsumen menginginkan terciptanya keseimbangan antara konsumen dan pelaku usaha. Pengaturan pencantuman klausula baku bukanlah merupakan keberpihakan terhadap kepentingan konsumen dan merugikan kepentingan pelaku usaha. Namun sesuai asas keseimbangan dalam

60 Nindyo Pramono, 2003, Hukum Komersil, Pusat Penerbitan UT, Jakarta, hlm. 2

61 Az. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta, hlm. 5.

62 Janus Sidabolok, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 6.

hukum perlindungan konsumen, menginginkan kepentingan semua pihak harus dilindungi, termasuk kepentingan pemerintah dalam pembangunan nasional, harus mendapat porsi yang seimbang.63

Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 18 ayat (1) melarang pelaku usaha mencantumkan klausula baku pada setiap perjanjian dan dokumen apabila:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat

63 Zulham, Op. Cit., hlm. 80

sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

2. Jaminan Hukum bagi Konsumen Pengguna Jasa Pengiriman Barang

Pada dasarnya semua hal menyangkut mengenai kerugian konsumen yang disebabkan oleh pihak perusahaan pengiriman barang sebagai pengangkut berkewajiban untuk memberi pertanggung jawaban atas kesalahan yang di timbulkannya tetapi dalam hal ini ada batasan- batasan tertentu yang membatasi bahwa pihak pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian tersebut, seperti yang telah disebutkan di atas. Secara teoritis pertanggung jawaban yang berdasarkan jenis hubungn atau peristiwa hukum yang dapat dibedakan menjadi

a. pertanggung jawaban atas dasar kesalahan yang dapat lahir karena terjadinya wanprestasi, timbulnya perbuatan melawan hukun, tindakan yang kurang hati-hati

b. pertanggung jawaban atas dasar resiko, yaitu tanggung jawab yang harus dipikul sebagai risiko yang harus di ambil oleh seseorang pengusaha atas kegiatan usahanya.

Kedua hal ini menimbulkan akibat dan konsekuensi hukum yang jadi berbeda di dalam pemenuhan tanggung jawab berikut dengan hal-hal yang berkaitan dengan prosedur penuntutannya.64

Hak-hak konsumen sebagai pengguna jasa pengiriman barang yang terdapat di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut:

1. hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang atau jasa yang digunakan;

5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

7. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi atau penggantian, apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

64 Hosea Irlando Mamuaya, dkk. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Pengguna Jasa Ekspedisi Pengiriman Barang PT JNE di Semarang, Jurnal Hukum, No. 4, Vol. 4. 2015. hlm.

5.

8. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.65

Adanya hak-hak pengguna jasa tersebut di atas, membebankan kewajiban-kewajiban PT TIKI sebagai penyelenggara jasa pengiriman barang yang terdapat di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagai berikut:

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;66

3. Sanksi yang Timbul sebagai Akibat Terjadinya Wanprestasi

Wanprestasi salah satu pihak dalam perjanjian merupakan kelalaian untuk memenuhi syarat yang tercantum dalam perjanjian. Hal ini biasanya lebih banyak dialami oleh pihak yang lemah/memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pihak lainnya, karena persyaratan tersebut berat sebelah/lebih memberatkan kepada pihak yang lemah. Hal ini disebabkan karena persyaratan-persyaratan tersebut telah dituangkan ke dalam suatu perjanjian baku. Perjanjian yang demikian sudah lazim dipergunakan dan memegang peranan penting dalam hukum bisnis yang pada umumnya dilandasi oleh nilai-nilai yang berorientasi pada efisiensi.67

65 Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

66 Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

67 Ahmadi Miru, 2011, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 2.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen mendefinisikan, klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.68

4. Kewajiban Pelaku Usaha

Pasal 6 Undang – Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa hak pelaku usaha:

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

2. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

5. Hak – hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang–undangan lainnya.69

Pasal 7 Undang – Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa kewajiban pelaku usaha:

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

68 Zulham, Op. Cit., hlm. 67

69 Pasal 6 Undang – Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

b. memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jeminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;

f. memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.70

Jika konsumen merasakan kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, ia berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas, dengan jumlah ganti kerugian yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas dasar kesepakatan kedua belah pihak71.

Selain itu, dalam Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen juga menjelaskan bahwa pelaku usaha berkewajiban untuk memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai

70 Pasal 7 Undang – Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

71 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., hlm. 12.

dengan perjanjian.”72 Kemudian dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen juga menyebutkan pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan dan kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.73

5. Kewajiban sebagai Tanggung Jawab Yuridis Kewajiban Pelaku Usaha menurut Pasal 7 adalah:

1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2. memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;

3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

4. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

5. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;

6. memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.

72 Pasal 7 huruf g Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

73 Pasal 19 Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW. Bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.74

Pasal 19 Undang – Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa tanggung jawab pelaku usaha mencakup:

a. Pelaku Usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat konsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

b. Ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan perundang – undangan yang berlaku

c. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi

d. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

e. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Prinsip tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting di dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus pelanggaran hak konsumen,

74 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Rajawali Pers) 2011

diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.75

Secara umum, prinsip-prinsip tangung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:

a. Kesalahan (liability based on fault);

b. Praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability);

c. Praduga selalu tidak bertanggung jawab (presemption of nonliability);

d. Tanggung jawab mutlak (stict liability);

e. Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability).

6. Kewajiban yang Bersanksi dan yang Tidak Bersanksi Kewajiban konsumen, adalah:

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan;

2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut;76

Masalah pemenuhan kewajiban konsumen dapat terlihat jika peringatan yang disampaikan pelaku usaha tidak jelas atau tidak mengundang perhatian konsumen untuk membacanya.

75 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Grasindo, 2000) hlm. 59

76 Pasal 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Menyangkut kewajiban konsumen beritikad baik hanya tertuju pada transaksi permbelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan karena bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen.

Kewajiban konsumen membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati dengan pelaku usaha, adalah hal yang sudah biasa dan sudah semestinya demikian.

Kewajiban lain mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa

perlindungan konsumen secara patut. Kewajiban ini dianggap sebagai hal baru, sebab sebelum diundangkannya UUPK hampir tidak dirasakan adanya kewajiban secara khusus seperti ini dalam perkara perdata, sementara dalam kasus pidana tersangka/terdakwa lebih banyak dikendalikan oleh aparat kepolisian dan/atau kejaksaan.

Pasal 7 Undang – Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa kewajiban pelaku usaha adalah:

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;

f. memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.

Adapun sanksi yang dapat mengikat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen:

1) Sanksi administratif

Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26 yaitu:

(a) Pelaku usaha yang tidak melaksanakan pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(b) Pelaku usaha yang tidak melaksanakan pemberian ganti rugi dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

(c) Pelaku usaha periklanan yang tidak bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.

(d) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun

yang tidak menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.

(e) Pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut:

• tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan;

• tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.

(f) Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa tidak memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.

2) Sanksi pidana

Berdasarkan pasal 62 ayat (1) sanksi Pidana berupa pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) terhadap Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 yaitu:

(a) Pelaku usaha yang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa dimana:

• tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

• tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

• tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

• tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

• tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

• tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

• tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

• tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;

• tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang

memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;

• tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

(b) Pelaku usaha yang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

(c) Pelaku usaha yang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

(d) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) yang tetap memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta tidak menariknya dari peredaran.

(e) Pelaku usaha yang menawarkan, mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:

• barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;

• barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;

• barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;

• barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;

• barang dan/atau jasa tersebut tersedia;

• barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;

• barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;

• barang tersebut berasal dari daerah tertentu;

• secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;

• menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;

• menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

(f) Barang dan/atau jasa di atas tetap diperdagangkan oleh pelaku usaha.

(g) Pelaku usaha yang tetap melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.

(h) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:

• harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;

• kegunaan suatu barang dan/atau jasa;

• kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;

• tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;

• bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

(i) Pelaku usaha yang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.

(j) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melakukan

dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.

(k) Pelaku usaha periklanan memproduksi iklan yang:

• mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;

• mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;

• memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;

• mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;

(l) Pelaku usaha periklanan yang tetap melanjutkan peredaran iklan di atas.

(m) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian di mana:

• menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

• menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

• menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

• menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan

Dokumen terkait