• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PENUTUP

4.2 Saran

Dengan menganalisis makna sebuah kata, kita dapat menggali kekayaan bahasa melalui makna dari sebuah kata tersebut karena suatu kata terdapat makna yang berbeda jika ia berada dalam konteks yang berbeda. Peneliti berharap penelitian mengenai makna kata terus dapat dikembangkan oleh mahasiswa/i Program Studi Bahasa Arab Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Terdahulu

Penelitian mengenai makna dalam Al-Qur’an sudah pernah diteliti

sebelumnya dan memiliki kaitan dengan penelitian ini antara lain sebagai berikut: 1. Ishaq Daulay (2001), menjelaskan tidak ditemukan secara pasti alasan para

penerjemah yang keberatan menerjemahkan kata Rabb dan Ilah / dengan kata Tuhan, menurut analisa penulis, ada beberapa faktor yang menyebabkan yaitu: adanya kekhawatiran tidak terpenuhi makna yang terkandung dalam kata Rabb dan Ilah bila diterjemahkan dengan kata “Tuhan”. Kata “Tuhan” bersifat umum yaitu digunakan oleh semua penganut agama di Indonesia. Kata Rabb / kurang cocok diterjemahkan dengan kata “Tuhan” karena mengandung pengertian yang berbeda. Karena kata Ilah dan kata “Tuhan” mengandung pengertian yang identik maka kata Ilah cocok bila diterjemahkan dengan kata “Tuhan”.

2. Halomoan Noor Lubis (1999) menjelaskan terjemahan kata farada, kataba

dan kutiba sebaiknya diterjemahkan dengan mengutamakan makna leksikal guna menghindarkan kemungkinan kesalahpahaman dan kebingungan para pembaca yang awam. Terjemahan dari sudut makna gramatikal dapat dipahami apabila hal itu memberikan pengertian yang lebih jelas dan mudah dipahami akan maksud dan pesan yang dikandung dari sudut ayat.

3. Helwati (2004) menjelaskan kata Ad-dinu. Kata Ad-dinu apabila berdiri sendiri memiliki makna agama akan tetapi apabila kata tersebut dirangkai dengan kata lain seperti yaumu,mukhlisina lahu dan lain-lain maka kata tersebut akan mengalami perubahan makna, bentuk seperti ini disebut komposisi dan dinamakan dengan makna gramatikal.

Sementara penelitian tentang makna kontekstual dalam Al-Qur’an juga pernah diteliti sebelumnya antara lain sebagai berikut:

1. Andi Pratama Lubis (2003) meneliti makna leksikal dan kontekstual kata

ﺔﻨﺘﻓ /fitnatun/ dalam Al-Qur’an. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kata ﺔﻨﺘﻓ /fitnatun/ ditemukan sebanyak 34 ayat dalam 23 surat, dan 24 kata

ﺔﻨﺘﻓ/fitnatun/ yang mengandung makna kontekstual,dari 24 kata tersebut terdapat 9 makna yaitu: cobaan; kekacauan; ujian; ‘azab; syirik; kesesatan; bencana; siksaan; murtad.

2. Zikri Mahyar (2003), meneliti tentang makna kata ﺮﻛﺫ /żikrun/. Ia menerangkan bahwa kata ﺮﻛﺫ /żikrun/ ditemukan 37 kata yang mengandung makna kontekstual ditemukan sebanyak delapan makna yaitu Al-Qur’an; pelajaran; Kitab; kemuliaan;menerangkan; wahyu; lauhul mahfuzh; dan cerita; tersebar dalam 18 surah dan 35 ayat.

Adapun perbedaan yang akan peneliti uraikan dalam kajian ini yaitu peneliti menitikberatkan pada teori kontekstual Abdul Chaer dalam bukunya

Linguistik Umum yang mengatakan bahwa makna kontekstual juga dapat berhubungan dengan situasinya yakni tempat, waktu, dan lingkungan penggunaan bahasa juga membandingkan makna kontekstual antara kata ﺔﻠﻣ /millatun/ dan kata

ﻦﻳﺩ /dīnun/ sehingga terlihat alasan penggunaan kedua kata tersebut dalam Al-qur’an.

2.2 Pengertian Semantik

Semantik berasal dari bahasa Inggris semantics, dari bahasa Yunani sema

(nomina) ‘tanda’ : atau dari verba samaino ‘menanda’, ‘berarti’. Secara umum semantik lazim diartikan sebagai kajian mengenai makna bahasa. Karena selain makna bahasa, dalam kehidupan kita banyak makna-makna yang tidak berkaitan dengan bahasa, melainkan dengan tanda-tanda dan lambang-lambang lain, seperti tanda-tanda lalu lintas, tanda-tanda kejadian alam, lambang-lambang Negara, simbol-simbol budaya, simbol-simbol keagamaan, dan lambang atau simbol lainnya (Chaer, 2003: 267).

Sementara dalam bahasa Arab, semantik disebut dengan ﺔﻟﻻﺪﻟﺍ ﻢﻠﻋ /’ilmu ad-dilālati/. Menurut ‘Umar (1998: 11) mendefinisikan ﺔﻟﻻﺪﻟﺍ ﻢﻠﻋ /’ilmu ad-dilālati/ sebagai berikut:

ﺔﻐﻠﻟﺍ ﻢﻠﻋ ﻦﻣ ﻉﺮﻔﻟﺍ ﻚﻟﺫ ﻭﺃ ﻰﻨﻌﻤﻟﺍ ﺱﺭﺪﻳ ﻱﺬﻟﺍ ﻢﻠﻌﻟﺍ ﻭﺃ ﻰﻨﻌﻤﻟﺍ ﺔﺳﺍﺭﺩ ﻪﻧﺄﺑ ﻢﻬﻀﻌﺑ ﻪﻓﺮﻌﻳ

ﺰﻣﺮﻟﺍ ﻰﻓ ﺎﻫﺮﻓﺍﻮﺗ ﺐﺟﺍﻮﻟﺍ ﻁﻭﺮﺸﻟﺍ ﺱﺭﺪﻳ ﻱﺬﻟﺍ ﻉﺮﻔﻟﺍ ﻚﻟﺫ ﻭﺃ ﻰﻨﻌﻤﻟﺍ ﺔﻳﺮﻈﻧ ﻝﻭﺎﻨﺘﻳ ﻱﺬﻟﺍ

ﻰﻨﻌﻤﻟﺍ ﻞﻤﺣ ﻰﻠﻋ ﺍﺭﺩﺎﻗ ﻥﻮﻜﻳ ﻰﺘﺣ

/ya’rifuhu ba’ḍahum bi `annahu dirāsatu al-ma’nā aw al-‘ilmu allażĪ yadrusu al-ma’nā aw żālika al-far’u min ‘ilmi al-lugati allażĪ yatanāwalu naẓriyyata al-ma’nā aw żālika al-far’u allażĪ yadrusu asy-syurūṭa al-wājiba tuwāfiruhā fĪ ar-ramzi ḥattā yakūna qādiran ‘alā ḥamli al-ma’nā/ “Sebahagian mereka (ahli bahasa) mendefinisikan ia (‘Ilmu Dilalah) adalah kajian tentang makna, atau ilmu yang membahas tentang makna, atau cabang yang mengkaji teori makna, atau cabang yang mengkaji syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mengungkap lambang-lambang bunyi sehingga mempunyai makna.”

Al-Khuli (1982: 251) mengatakan semantik di dalam bahasa Arab adalah:

ﻩﺎﻨﻌﻣﻭ ﻱﻮﻐﻠﻟﺍ ﺰﻣﺮﻟﺍ ﻦﻴﺑ ﺔﻗﻼﻌﻟﺍ ﺱﺭﺪﻳ ﺔﻐﻠﻟﺍ ﻢﻠﻋ ﻦﻣ ﻉﺮﻓ : ﻲﻧﺎﻌﻤﻟﺍ ﻢﻠﻋ .ﺔﻟﻻﺪﻟﺍ ﻢﻠﻋ

ﺕﺎﻤﻠﻛ ﻦﻴﺑ ﺕﺎﻗﻼﻌﻟﺍﻭ ﻱﻮﻐﻠﻟﺍ ﺯﺎﺠﻤﻟﺍﻭ ﻲﻧﺎﻌﻤﻟﺍ ﻉﻮﻨﺗﻭ ﺎﻴﺨﻳﺭﺎﺗ ﺕﺎﻤﻠﻜﻟﺍ ﻲﻧﺎﻌﻣ ﺭﻮﻄﺗ ﺱﺭﺪﻳﻭ

. ﺔﻐﻠﻟﺍ

/’Ilmu ad-dilālati. ‘Ilmu al-ma’āni: far’u min ‘ilmi al-lugati yadrusu al-‘alāqata bayna ar-ramzi al-lugawiyi wa ma’nahu wa yadrusu taṭawwura ma’āniya al -kalimāti tārīkhiyyan wa tanawwu’a al-ma’ānī wa al-majāza al-lugawiyya wa al-‘alāqāti bayna al-kalimāti al-lugati/ “Ilmu semantik. Ilmu tentang makna: cabang dari ilmu bahasa yang mempelajari hubungan antara lambing bahasa dan maknanya serta mempelajari perkembangan makna kata dari waktu ke waktu dan macam-macam makna serta gaya bahasa dan hubungan kata dalam bahasa.”

2.3 Pengertian Makna dan Pembagiannya

Al-Khuli (1982: 166) mengatakan makna di dalam bahasa Arab adalah:

.ﻞﻤﺠﻟﺍ ﻭﺃ ﺕﺍﺭﺎﺒﻌﻟﺍ ﻭﺃ ﺕﺎﻤﻠﻜﻟﺍ ﻦﻣ ﺺﺨﺸﻟﺍ ﻪﻤﻬﻔﻳ ﺎﻣ : ﻲﻨﻌﻣ

/Ma’nā: mā yafhamuhu asy-syakhṣu min al-kalimāti aw al-‘ibarāti aw al-jumali/ “Makna adalah apa yang dapat dipahami seseorang dari suatu kata ungkapan atau kalimat”.

Menurut Djajasudarma (1993: 34) makna adalah hubungan yang ada di antara suatu bahasa.Sedangkan pengertian makna dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah (1) Arti, (2) Maksud pembicara dan penulis (KBBI, 1995: 619). Chaer (2003: 269) menerangkan bahwa untuk dapat memahami makna sebuah ujaran banyak yang perlu diperhatikan seperti psikologi, dan budaya dan dalam

studi faktor-faktor itu tercermin pada apa yang disebut tingkatan makna, yakni makna leksikal, makna gramatikal, dan makna kontekstual.

Adapun dalam penelitian ini, peneliti meneliti makna kontekstual dari kata

ﻦﻳﺩ

/dīnun/ dan

ﺔّﻠﻣ

/millatun/ dalam Al-Qur’an. Oleh karena kedua kata tersebut (

ﻦﻳﺩ

/dīnun/ dan

ﺔّﻠﻣ

/millatun/) merupakan dua kata yang dimaknai sama yaitu agama maka peneliti menganggap penting untuk meneliti sekilas tentang makna leksikal dari kedua kata tersebut.

Memahami makna leksikal setiap butir kata yang digunakan dalam sebuah ujaran merupakan tahap pertama dalam memahami makna ujaran itu.Namun, menurut Chaer (2003: 270) persoalannya tidak sesederhana itu sebab ada sejumlah kasus di dalam studi yang menyangkut makna leksikal itu. Kasus-kasus itu adalah: (1) kasus kesamaan makna atau kesinoniman; (2) kasus kebalikan makna atau keantoniman; (3) kasus ketercakupan makna atau kehiponiman dan kebalikannya kehiperniman; dan (4) kasus kesamaan bentuk dan keberbedaan makna atau kehomoniman.

Kasus-kasus di atas perlu pemahaman yang mendalam karena sering ditemukan dan menjadi kendala sehingga menimbulkan kesalahan dalam menafsirkan makna sebuah ujaran. Dalam penelitian ini, peneliti memilih kasus kesamaan makna atau kesinoniman dari empat kasus di atas untuk menganalisis kata

ﻦﻳﺩ

/dῑnun/ dan

ﺔّﻠﻣ

/millatun/ yang terdapat dalam Al-Qur’an karena seperti yang peneliti ungkapkan sebelumnya bahwa kata

ﻦﻳﺩ

/dῑnun/ dan

ﺔّﻠﻣ

/millatun/ dimaknai sama yaitu ‘agama’.

Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Arab, seringkali ditemui adanya hubungan kemaknaan atau relasinya antara sebuah kata dengan kata lainnya.Salah satu bentuk relasi tersebut yaitu dapat berupa kesamaan makna yang disebut sinonim.Menurut (Chaer, 1989:82) Secara etimologi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti ‘nama’, dan syn yang berarti ‘dengan’. Maka secara harfiah kata sinonimi berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’. Secara Verhar (1978) dalam Chaer (1989: 82) mendefinisikan sebagai ungkapan

(bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain.

Sementara Djajasudarma (1993: 36) sinonim digunakan untuk menyatakan

sameness of meaning’ kesamaan arti. Hal tersebut dilihat dari kenyataan bahwa para penyusun kamus menunjukkan sejumlah perangkat kata yang memiliki makna sama; semua bersifat sinonim, atau satu sama lain sama makna, atau hubungan di antara kata-kata yang mirip (dianggap mirip) maknanya.

Dalam bahasa Arab, sinonim disebut dengan ﻑﺩﺍﺮﺘﻟﺍ /at-tarādufu/. ‘Umar (1998: 145) mendefinisikan ﻑﺩﺍﺮﺘﻟﺍ /at-tarādufu/ sebagai berikut:

ﺪﺣﺍﻭ ﻰﻨﻌﻣ ﻰﻠﻋ ﻆﻔﻟ ﻦﻣ ﺮﺜﻛﺃ ﻝﺪﻳ ﻥﺃ ﻮﻫ ﻑﺩﺍﺮﺘﻟﺍ

/at-tarādufu huwa `an yadulla `akṡara min lafẓin ‘alā ma’nā wāḥidin/ “Sinonim adalah banyak lafaz tapi satu arti”

Contoh kata-kata yang bersinonim dalam bahasa Arab antara lain:

ﻖﻠﺧ

/khalaqa/ dan

ﻊﻨﺻ

/ṣana’a/ memiliki makna ‘membuat, menciptakan’;

ﺮﻈﻧ

/naẓara/,

ﻯﺃﺭ

/ra`ā/ dan

ﺮﺼﺑﺃ

/abṣara/ ‘melihat’;

ﺕﺎﻣ

/māta/,

ﻲّﻓﻮﺗ

/tuwuffiya/, dan

ﺄﻔﻁ

/ṭafa`a/ memiliki makna ‘mati, meninggal, wafat, padam’;

ﻥﺎّﻛﺩ

/dukkānun/,

ﺕﻮﻧﺎﻫ

/hānūtun/ memiliki makna ‘kedai, warung’; dan lain-lain. Pada definisi Verhaar di atas dikatakan “maknanya kurang lebih sama”. Ini berarti dua buah kata yang bersinonim itu, kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja (Chaer, 1989: 82) Menurut Zgusta (1971: 89) dan Ullman (1972: 141) seperti yang terdapat dalam Chaer (1989: 82) kesamaannya tidak bersifat mutlak karena ada prinsip umum semantik yang mengatakan apabila bentuk berbeda maka maknapun akan berbeda, walaupun perbedaannya hanya sedikit.

Jadi makna kata

ﻖﻠﺧ

/khalaqa/ dan

ﻊﻨﺻ

/ṣana’a/ tidak persis sama, andaikata makna kedua kata tersebut persis sama, tentu kita dapat mengganti kata

ﻖﻠﺧ

/khalaqa/ dalam kalimat

ﺽﺭﻷﺍﻭ ﺕﺍﻭﺎﻤﺴﻟﺍ ُﷲ ﻖﻠﺧ

/khalaqa allahu

as-samāwāti wal arḍa/ ‘Allah menciptakan langit dan bumi’ menjadi

ﷲ ﻊﻨﺻ

ﺽﺭﻷﺍﻭ ﺕﺍﻭﺎﻤﺴﻟﺍ

/ṣana’a allahu as-samāwāti wal arḍa/ ‘Allah membuat langit dan bumi’. Ternyata penggantian tidak dapat dilakukan karena membuat efek rusaknya makna keseluruhan sehingga menjadi bukti jelas bahwa kata-kata yang bersinonim tidak memiliki makna yang persis sama.

Menurut Chaer (1989:85) ketidakmungkinan untuk menukar sebuah kata dengan lain yang bersinonim banyak sebabnya. Antara lain, karena :

1. Faktor waktu

2. Faktor tempat atau daerah 3. Faktor sosial

4. Faktor bidang kegiatan 5. Faktor nuansa makna

Perbedaan-perbedaan di atas menjadikan kata-kata yang bersinonim tidak mudah begitu saja dipertukarkan dalam konteks kalimat. Menurut Chaer (1989: 85) mengutip teori Verhaar bahwa yang sama pada kata-kata yang bersinonim adalah informasinya, padahal informasi ini bukan makna karena informasi bersifat ekstralingual sedangkan makna bersifat intralingual.

Contoh:

1) Sekarang dia tinggal di Manado Kini dia tinggal di Manado 2) Istrinya yang sekarang orang Medan

*kini

Kata sekarang dan kini yang terdapat pada dua kalimat di atas adalah dua buah kata yang bersinonim sehingga kata sekarang dapat diganti dengan kata kini

seperti terlihat pada contoh (1).Tetapi dalam kalimat (2) kata sekarang tidak dapat diganti dengan kata kini.

Lebih lanjut menurut Chaer (1989: 114) kalau kita mengikuti teori komponen makna yang mengajarkan bahwa setiap kata atau unsur leksikal terdiri dari satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna kata atau makna unsur leksikal tersebut.Maka yang sama dari kata-kata yang bersinonim tersebut adalah bagian atau unsur tertentu itu saja dari makna itu yang sama.

Contoh kata

ﺕﺎﻣ

/māta/ dan

ﻲّﻓﻮﺗ

/tuwuffiya/. Kata

ﺕﺎﻣ

/māta/ memiliki komponen makna (1) tidak bernyawa (2) dapat dikenakan terhadap apa saja (manusia, binatang, pohon, dsb). Sedangkan

ﻲّﻓﻮﺗ

/tuwuffiya/ memiliki komponen makna (1) tidak bernyawa (2) hanya dikenakan pada manusia. Dengan demikian kata

ﺕﺎﻣ

/māta/ dan

ﻲّﻓﻮﺗ

/tuwuffiya/ hanya bersinonim pada komponen makna (1) tidak bernyawa.

Selanjutnya menurut Chaer (1994: 290) makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam suatu konteks. Sementara menurut Al-Khuli (1982: 57) di dalam bahasa Arab makna kontekstual disebut

ﻰﻨﻌﻣ

ﻲﻗﺎﻴﺳ

/ma’nā siyāqiyyun/.

Selanjutnya Chaer (2003: 285) mengatakan bahwa memahami makna leksikal dan makna gramatikal saja belum cukup untuk memahami makna suatu ujaran, sebab untuk dapat memahami makna suatu ujaran harus pula diketahui konteks dari terjadinya ujaran itu, atau tempat terjadinya ujaran itu.Konteks ujaran ini dapat berupa konteks intrakalimat, antarkalimat, bidang ujaran, atau juga situasi ujaran.

Sudah menjadi asumsi umum bahwa makna sebuah kata tergantung pada kedudukannya di dalam kalimat, baik menurut letak posisinya di dalam kalimat maupun menurut kata-kata lain yang berada di depan maupun di belakangnya (Chaer, 2003:285). Inilah yang dimaksud dengan konteks intrakalimat. Contohnya kata dalam dan lagi pada kalimat-kalimat berikut:

3) Sungai itu dalam sekali 4) Dalam sungai itu 20 meter 5) Adik lagi makan

6) Adik makan lagi

Makna kata dalam pada kalimat (3) dan (4) menjadi tidak sama karena letak posisinya yang tidak sama. Kata dalam pada kalimat (3) bermakna lawan dari kata

dangkal, sementara kata dalam pada kalimat (4) bermakna jarak atau kedalaman. Begitu pula dengan kata lagi pada kalimat (5) dan (6), maknanya menjadi berbeda karena letak posisinya yang tidak sama. Kata lagi pada kalimat (5) bermakna

‘sedang’, sementara kata lagi pada kalimat (6) bermakna ‘kembali atau untuk kali kedua’.

Chaer (2003: 286) menyatakan bahwa banyak ujaran dalam bentuk kalimat yang baru bisa dipahami maknanya berdasarkan hubungannya dengan makna-makna kalimat sebelum atau kalimat-kalimat sesudahnya seperti contoh berikut:

7) Meskipun persiapan telah dilakukan dengan seksama, tetapi operasi itu tidak jadi dilakukan. Menurut keterangan tim medis hal itu karena tiba-tiba si pasien mengalami komplikasi.

8) Meskipun persiapan telah dilakukan dengan seksama, tetapi operasi tidak jadi dilakukan. Hal ini karena rencana operasi itu telah bocor, sehingga tak sebuah becak pun yang keluar.

Kata operasi pada contoh (7) bermakna ‘pembedahan’, sedangkan pada contoh (8) bermakna penertiban.Kedua makna kata operasi itu bisa dipahami adalah karena kalimat yang mengikutinya.

Selanjutnya Chaer (2003: 286-287) memaparkan bahwa yang dimaksud dengan konteks situasi adalah kapan, di mana, dan dalam suasana apa ujaran itu diucapkan. Contoh kalimat tanya yang berbunyi, “Tiga kali empat berapa?”, bila diucapkan oleh seorang guru di kelas tiga SD, tentu member jawaban “dua belas”. Namun, bila diucapkan oleh seseorang ditujukan pada tukang afdruk foto, maka jawabannya mungkin “seribu rupiah” ataupun “seribu dua ratus rupiah”.

Teori-teori yang telah dikemukakan di atas menjadi landasan penulis untuk kemudian meneliti dua kata yang bersinonim dalam bahasa Arab yang terdapat dalam Al-Qur’an yaitu

ﺔّﻠﻣ

/millatun/ dan

ﻦﻳﺩ

/dῑnun/. Selanjutnya kedua kata tersebut akan penulis coba teliti seberapa jauh kesamaan makna di antara keduanya dengan menganalisis makna leksikal ditinjau dari kesinoniman dan mencari kemungkinan kasus keantoniman dari

ﺔّﻠﻣ

/millatun/ dan

ﻦﻳﺩ

/dῑnun/, dan makna kontekstual kedua kata tersebut ditinjau dari sudut konteks intrakalimat, konteks antarkalimat, dan konteks situasi.

2.4 Makna Kata

ﺔّﻠﻣ

/millatun/ dan

ﻦﻳﺩ

/dnun/

Dalam Al-Munawwir (1997:437, 1360) kata

ﺔّﻠﻣ

/millatun/ dimaknai dengan

ﻦﻳﺪﻟﺍ

/ad-dῑnu/ ‘agama’ atau

ﻦﻳﺪﻟﺍ ﻲﻓ ﺔﻌﻳﺮﺸﻟﺍ

/asy-syarῑ’atu fῑ ad-dῑni/ ‘syari’at agama’. Sementara

ﺔﻌﻳﺮﺸﻟﺍ

/asy-syarī’atu/dimaknai dalam Al-Munawwir (1997: 711-712) dengan

ﻥﻮﻧﺎﻘﻟﺍ

/al-qānūnu/ ‘peraturan, undang-undang’ dan

ﺎﻣ

ﻡﺎﻜﺣﻷﺍﻭ ﻦﻨﺴﻟﺍ ﻦﻣ ﷲ ﻪﻋﺮﺷ

/mā syara’ahu allāhu min as-sunani wa al-aḥkāmi/ ‘sesuatu yang Allah atur dari tatanan perilaku dan hukum-hukum’. Jadi,

ﺔّﻠﻣ

/millatun/ sedikitnya memiliki lima makna yaitu ‘agama, peraturan dan undang-undang, pengaturan, tingkah laku, dan hukum’.

Kata

ﻦﻳﺩ

/dῑnun/, sedikitnya memiliki tujuh belas makna yaitu

ﺔّﻠﻣ

/millatun/ ‘agama’;

ﺪﻘﺘﻌﻤﻟﺍ

/al-mu’taqadu/ ‘keyakinan’;

ﺪﻴﺣﻮﺘﻟﺍ

/at-tawḥῑdu/ ‘keesaan’;

ﺓﺩﺎﺒﻌﻟﺍ

/al-‘ibādatu/ ‘ibadah’;

ﻯﻮﻘﺘﻟﺍﻭ ﻉﺭﻮﻟﺍ

/al-wara’u wa at-taqwā/ ‘kesalehan dan ketakwaan’;

ﺔﻋﺎﻄﻟﺍ

/aṭ-ṭā’atu/ ‘ketaatan’;

ﻩﺍﺮﻛﻹﺍ

/al-`ikrāhu/ ‘paksaan’;

ﺮﻬﻘﻟﺍ

ﺔﺒﻠﻐﻟﺍﻭ

/al-qahru wa al-galabatu/ ‘kemenangan’;

ﺏﺎﺴﺤﻟﺍ

/al-ḥisābu/ ‘perhitungan’;

ﺓﺄﻓﺎﻜﻤﻟﺍﻭ ءﺍﺰﺠﻟﺍ

/al-jazā`u wa al-mukāfa`atu/ ‘pembalasan’;

ءﺎﻀﻘﻟﺍ

/al-qaḍā`u/ ‘putusan, keputusan’;

ﻢﻜﺤﻟﺍﻭ ﻥﺎﻄﻠﺴﻟﺍ

/as-sulṭānu wa al-ḥukmu/ ‘kekuasaan dan hukum’;

ﺮﻴﺑﺪﺘﻟﺍ

/at-tadbīru/ ‘pengurusan, pengaturan’;

ﺓﺮﻴﺴﻟﺍ

/as-sīratu/ ‘tingkah laku’;

ﺓﺩﺎﻌﻟﺍ

/al-‘ādatu/ ‘adat, kebiasaan’;

ﻝﺎﺤﻟﺍ

/al-ḥālu/ ‘keadaan’;

ﻥﺄﺸﻟﺍ

/ asy-sya`nu/ ‘perkara, urusan’;

ﻥﻮﻧﺎﻘﻟﺍ

/al-qānūnu/ ‘peraturan, undang-undang’ (Al-Munawwir, 1997: 1360).

Diantara komponen-komponen makna dari kata

ﺔّﻠﻣ

/millatun/ dan

ﻦﻳﺩ

/dῑnun/ di atas, kedua kata tersebut memiliki kesamaan makna yaitu ‘agama, tauhid, keyakinan, ibadah, peraturan dan undang-undang, ketaatan, tingkah laku, dan hukum. Keberbedaan makna antara

ﺔّﻠﻣ

/millatun/ dan

ﻦﻳﺩ

/dῑnun/ perlu kajian lebih mendalam ditinjau dari makna kontekstual.

Sementara itu, kata

ﻦﻳﺩ

/dῑnun/ dan

ﺔّﻠﻣ

/millatun/ ditemukan terdapat dalam satu ayat di dalam Al-Qur’an seperti yang ditemukan dalam surah Al-An’am ayat

161 dan Al-Hajj ayat 78. Selain itu adapula kata

ﻦﻳﺩ

/dῑnun/ pada satu ayat kemudian disambung kata

ﺔّﻠﻣ

/millatun/ pada ayat berikutnya seperti yang terdapat pada surah Al-Baqarah ayat 132 dan 135.

Salah satu contoh kata

ﻦﻳﺩ

/dῑnun/ dalam Qur’an terdapat pada surah Al-Baqarah ayat 132 sebagai berikut:

ْﻢُﻜَﻟ ﻰَﻔَﻄْﺻﺍ َﷲ ﱠﻥِﺇ ﱠﻲِﻨَﺑﺎَﻳ ُﺏْﻮُﻘْﻌَﻳﻭ ِﻪْﻴِﻨَﺑ ُﻢْﻴِﻫﺍَﺮْﺑِﺇ ﺎَﻬِﺑ ﻰﱠﺻَﻭَﻭ

َﻦْﻳﱢﺪﻟﺍ

َﻥْﻮُﻤِﻠْﺴُﻣ ْﻢُﺘْﻧَﺃَﻭ ﱠﻻِﺇ ﱠﻦُﺗْﻮُﻤَﺗ َﻼَﻓ

/wa waṣṣā biḥā `ibrāhĪmu banĪhi wa ya’qūbu yā baniyya `inna allaha `iṣṭafā lakum ad-dĪna falā tamūtunna `illā wa `antum muslimūna/ ‘Dan Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub, “Wahai anak-anakku sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu. Maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim’.

Al-Maragi (1993: 404) mengatakan bahwa ayat ini menerangkan tentang wasiat Nabi Ibrahim a.s dan Nabi Ya’qub a.s kepada anak-anaknya agar memeluk agama Islam dan memelihara agama Islam ini agar jangan sampai meninggal dalam keadaan tidak memeluk Islam.

Pada ayat ini kata

ﻦﻳﺩ

/dīnun/ bermakna agama Islam. Makna ini muncul ditinjau dari konteks antarkalimat berdasarkan hubungannya dengan makna-makna kalimat sesudahnya yaitu

َﻥْﻮُﻤِﻠْﺴُﻣ ْﻢُﺘْﻧَﺃَﻭ ﱠﻻِﺇ ﱠﻦُﺗْﻮُﻤَﺗ َﻼَﻓ /

falā tamūtunna `illā

wa `antum muslimūna/ “maka janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan

muslim”. Kata muslim memperjelas makna dari kata

ﻦﻳﺩ

/dīnun/ menjadi khusus yaitu agama Islam.

Salah satu contoh kata

ﺔّﻠﻣ

/millatun/ dalam Al-Qur’an terdapat pada ayat sebelumnya yaitu surah Al-Baqarah: 130 yaitu sebagai berikut:

ْﻦَﻋ ُﺐَﻏْﺮَﻳ ْﻦَﻣَﻭ

ِﺔﱠﻠِﻣ

َﻦِﻤَﻟ ِﺓَﺮِﺧ ْﻵﺍ ﻰِﻓ ُﻪﱠﻧِﺇَﻭ ﺎَﻴْﻧﱡﺪﻟﺍ ﻰﻓ ُﻩﺎَﻨْﻴَﻔَﻄْﺻﺍ ْﺪَﻘَﻟَﻭ ُﻪَﺴْﻔَﻧ َﻪِﻔَﺳ ْﻦَﻣ َ ّﻻِﺇ َﻢْﻴِﻫﺍَﺮْﺑِﺇ

} َﻦْﻴِﺤِﻟﺎﱠﺼﻟﺍ

۱۳۰

{

/wa man yargabu ‘an millati `ibrāhĪma `illa man safiha nafsahu wa laqad

`iṣṭafaynāhu fĪ ad-dunya wa `innahu fĪ al-`ākhirati liman aṣ-ṣāliḥĪna/ ‘Dan orang yang membenci agama Ibrahim hanyalah orang yang membodohi dirinya sendiri. Dan sungguh kami telah memilihnya (Ibrahim) di dunia ini. Dan sesungguhnya di akhirat dia termasuk orang-orang yang shaleh’

Al-Maragi (1993: 401) mengatakan bahwa pada ayat ini Allah SWT menjelaskan millah yang diserukan Ibrahim yakni mengajak kepada ajaran Tauhid dan Islam (menyerahkan diri) kepada Allah di dalam melaksanakan perbuatan.Tidak sepantasnya seseorang berpaling dari ajaran tersebut terkecuali bagi orang-orang yang sengaja menjerumuskan diri ke jurang kehinaan.

Kata

ﺔّﻠﻣ

/millatun/ pada ayat ini dimaknai sebagai agama yang dinisbahkan kepada Nabi Ibrahim a.s. Makna ini muncul ditinjau dari konteks intrakalimat berdasarkan hubungan dengan kata-kata yang berada di depannya yaitu kata

ﻢْﻴِﻫﺍَﺮْﺑِﺇ

/`ibrāhīm/ ‘Nabi Ibrahim a.s’. Sehingga kata

ﺔّﻠﻣ

/millatun/ tersebut di ayat ini dapat dipahami sebagai agama Ibrahim.

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa Arab merupakan bahasa wahyu dan mendapat kemuliaan karenawahyu Allah yang ada di dalam kitab suci Al-Qur’an diterima manusia dengan menggunakan bahasa Arab, sebagai yang tertera dalam firman Allah SWT (Q.S. 12:2) sebagai berikut:

َﻥ ْﻭُﻠِﻘْﻌَﺗ ْﻡُﻛﱠﻠَﻌَﻟ ﺎًﻳِﺑَﺭَﻋ ﺎًﻧﺁْﺭُﻗ ُﻩﺎَﻧْﻟَﺯْﻧَﺃ ﺂﱠﻧِﺇ

/`innā anzalnāhu qur`ānan ‘arabiyyan la’allakum ta’qilūna/ “Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an dalam bahasa Arab, agar kamu mengerti”

Al-Ghulayayni (2007: 7), memberikan batasan bahasa Arab sebagai berikut:

ْﻡِﻬ ِﺿﺍَﺭْﻏَﺃ ْﻥَﻋ ُﺏَﺭَﻌﻟﺍ ﺎَﻬِﺑ ُﺭﱢﺑَﻌُﻳ ﻰِﺗﱠﻟﺍ ُﺕﺎَﻣِﻠَﻛﻟﺍ َﻲِﻫ ُﺔﱠﻳِﺑَﺭَﻌﻟﺍ ُﺔَﻐﱡﻠﻟﺍ

/al-lugatu al-‘arabiyyah hiya al-kalimātu al-latī yu’abbiru bihā al-‘arabu ‘an

agrāḍihim/ “Bahasa Arab adalah kata-kata yang dipakai orang Arab untuk menyampaikan maksud mereka”.

Gramatika bahasa Arab memiliki banyak cabang ilmu. Al-Ghulayayni (2007: 7), menyatakan bahwa bahasa Arab memiliki 13 cabang ilmu yaitu Nahwu, Sharaf, Rasm, Ma’ani, Bayan, Badi’, ‘Arudh, Qawafiy, Qardhu Syi’r, Insya`, Khithabah, Tarikh Adab, dan Matan Adab. Salah satunya adalah ilmu ad-Dilalah yang mempelajari makna yang dalam istilah linguistik disebut dengan semantik.Semantik adalah suatu kajian dalam ilmu linguistik tentang makna.

Makna mempunyai kaitan erat dengan bahasa, membahas suatu bahasa berarti membahas pula tentang maknanya.Karena maknaadalah bagian dari bahasa.Bahasa adalah suatu sistem bunyi yang jikakata digabungkan menurut aturan tertentu menimbulkan arti yang dapat ditangkap oleh semua orang yang berbicara dalam bahasa itu. Dengan kata lain bahasa memiliki makna atau arti yang dipahami si pemakai bahasa.

Chaer (2007:68-81) di dalam bukunya Kajian Bahasa, membagi makna bahasa yaitu makna leksikal, makna gramatikal dan makna kontekstual.

Makna leksikal secara sederhana dapat dipahami sebagai makna yang secara lahiriah dimiliki oleh kata-kata dalam suatu bahasa.Contoh dalam bahasa Arab, kata ﺏﺮﺿ /ḍaraba/ memiliki makna lahiriah atau leksikal ‘memukul’. Makna gramatikal secara sederhana dapat dipahami sebagai makna yang timbul akibat proses gramatik atau tata bahasa yang menimpa kata-kata dalam suatu bahasa. Contohnya, kata ﺏﺮﺿ /ḍaraba/ dalam kalimat ﻂﻘﻟﺍ ﺪﻳﺯ ﺏﺮﺿ/ḍaraba zaidun 'al-qiṭṭa/ ‘zaid memukul kucing itu’yang secara leksikal bermakna ‘memukul’, namun dalam konteks lain karena berhubungan dengan kata lain dapat memiliki makna gramatikal ﻥﺍﺮﻘﻟﺍ ﻲﻓ ﻼﺜﻣ ﷲ ﺏﺮﺿ/ḍaraba 'allāhu maṡalan filqur'ān/‘mengumpamakan’.

Dan makna kontekstual adalahpertamamakna penggunaan sebuah kata (atau gabungan kata) dalam konteks kalimat tertentu; kedua, makna keseluruhan kalimat (ujaran) dalam konteks situasi tertentu.

Sebagai contoh, dapat diperhatikan makna kata jatuh dalam kalimat-kalimat berikut:

1. Kakakjatuh dari sepeda

2. Dia jatuh dalam ujian tahun lalu

3. Sekarang harga beras lagi mahal, kalau harganya jatuh lagi kita akan rugi.

Pada kalimat (1) di atas, kata jatuh mengandung makna yang sebenarnya yaitu sesuatu yang berada di atas jatuh kebawah’. Sedangkan kata jatuh pada kalimat (2) mengandung makna ‘ seseorang yang gagal dalam mengikuti ujian’, dan yang terakhir pada kalimat (3), kata jatuh mengandung makna ‘harga beras

Dokumen terkait