• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Makna Kontekstual Kata دين /Dῑnun/ Dan ملةّ /Millatun/ Dalam Al-Qur’an Al-Karim

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Makna Kontekstual Kata دين /Dῑnun/ Dan ملةّ /Millatun/ Dalam Al-Qur’an Al-Karim"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahan. 2004. Departemen Agama RI.

Al-Qur’an Digital

Al-Ghulayayni, Musthafa.2007. Jami’ Ad-durus Al-‘Arabiyyah.Beirut:Dar

Al-Fikri.

Al-Jarim,’Ali Dan Musthafa Amin. 2007. Al-balaghatu Al-wadhihah. Jakarta: Raudhah Pers.

Al-Khuli, Muhammad Ali. 1982. A Dictionary of Theoretical Linguistics(English-Arabic). Libanon : Librairie Du Liban.

Al-Maragi, Ahmad Mustafa. 1993. Tafsiru Al-Maragi, Jilid II, III, IV,V

Chaer, Abdul. 1994. Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Reneka Cipta.

---. 2003. Psikolinguistik Kajian Teoristik. Jakarta: Rineka Cipta.

---. 2007. Kajian Bahasa : Struktur Internal, Pemakaian dan Pembelajaran: Jakarta : Rineka Cipta.

Djajasudarma, Fatimah. 1993. Semantik 1, Pengantar Ke Arah Ilmu Makna. Bandung: PT Refika Aditama.

Faidullah.Tanpa tahun. Fathurrahman Indonesia: Maktabah Dahlan.

(2)

Helwati. 2004. Analisis Makna Kata Ad-dinu Dalam Al-Qur’an.

Munawir, Ahmad Warson. 2007. Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta:Pustaka Progresif.

Sumarsono. 2007. Pengantar Semantik. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Sya’rawi, Syekh Muhammad Mutawalli. 1991. Tafsir Sya’rawi.

Jakarta Timur:Duta Azhar.

Umar, Ahmad Mukhtar. 1998.‘Ilmu Ad-dilalah. Kairo:’Alimu-alkutub

(3)

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Jumlah Kata

ﻦﻳﺩ

/dnun/ dan

ﺔّﻠﻣ

/millatun/ dalam Al-Qur’an

Berdasarkan pengumpulan data yang dilakukan melalui dan buku

Fathurrahman karya Faidullah yang diterbitkan oleh Maktabah Dahlan maka ditemukan kata

ﻦﻳﺩ

/dῑnun/ sebanyak 81 ayat yang tersebar dalam 39surah dan kata

ﺔّﻠﻣ

/millatun/ sebanyak 15 ayat yang tersebar dalam 11surah di dalam Al-Qur’an, diuraikan dalam tabel sebagai berikut:

3.1. 1 Tabel Data Kata

ﻦﻳﺩ

/dnun/ dalam Al-Qur’an

No Surah Ayat Jumlah

1. Al-Fatihah 4 1 2. Al-Baqarah 132, 193, 217, 256 4 3. Al-‘Imran 19, 24, 73, 83, 85 5 4. An-Nisa` 46, 146, 125,171 4 5. Al-Ma`idah 3, 54, 57, 77 4 6. Al-An’am 70, 137, 159, 161 4 7. Al-A’raf 29,51 2 8. Al-Anfal 39, 49, 72 3 9. At-Taubah 11, 12, 29, 33, 36, 122 6 10. Yunus 22, 104, 105 3 11. Yusuf 40, 76 2 12. An-Nahl 52 1 13. Al-Hajj 78 1 14. Asy-Syu’ara 82 1 15. An-Nur 2, 25, 55 3 16. Al-Ankabut 65 1 17. Ar-Ruum 30, 32 2 18. Luqman 32 1 19. Al-Ahzab 5 1

(4)

20. Ash-Shaffat 20 1 21. Ash-Shad 78 1 22. Az-Zumar 2, 3, 11, 14 4 23 Al-Gafir 14, 26, 65 3 24. Asy-Syura` 13, 21 2 25. Al-Fath 28 1 26. Al-Hujurat 16 1 27. Adz-Dzariyat 6, 12 2 28. Al-Waqi’ah 86, 56 2 29. Al-Mudatstsir 46 1 30. Al-Mumtahanah 8, 9 2 31. Al-Mutaffifin 11 1 32. Ash-Shaff 9 1 33 Al-Ma’araj 26 1 34. Al-Infithar 9, 15, 17, 18 4 35. At-Tiin 7 1 36. Al-Bayyinah 5 1 37. Al-Ma’un 1 1 38. Al-Kafirun 6 1 39. An-Nashr 2 1 Total 81

3.1.2 Tabel Data Kata

ﺔّﻠﻣ

/millatun/ dalam Al-Qur’an

No Surah Ayat Jumlah

1. Al-Baqarah (2) 120, 130, 135 3 2. Al-‘Imran (3) 95 1 3. An-Nahl (16) 123 1 4. An-Nisaa` (4) 125 1 5. Al-An’am (6) 161 1 6. Al-A’raf (7) 88, 89 2 7. Yusuf (12) 37, 38 2

(5)

3.2. Makna Kontekstual Kata

ﻦﻳﺩ

/dnun/ dalam Al-Qur’an

Makna kontekstual kata ﻦﻳﺩ /dῑnun/ dalam Al-Qur’an ditemukan sebanyak lima makna yaitu:

1. Agama

2. Ibadah, ketaatan

3. Balasan, pembalasam

4. Undang-undang, hukum

5. Ketetapan agama

Untuk lebih jelas dapat di lihat dari uraian berikut:

3.2.1 Kata ﻦﻳﺩ yang bermakna Agama

1. Surah Al-Baqarah ayat 217 :

















8. Al-Kahfi (18) 20 1 9. Al-Hajj (22) 78 1 10. Ibrahim (14) 13 1 11. Shadd (38) 7 1 Total 15

(6)

















/wayas'alūnaka ‘ani asy-syahri al-harāmi qitālin fīhi qul qitālun fīhi kabīrun waṣaddun ‘an sabīlillāhi wakufrunbihī wa al-masjidi al-harāmi waikhrāju ahlihī minhu akbaru ‘inda Allah wa alfitnatu akbaru mina alqatli walā yażālūna yuqātilūnakum hattā yaruddūkum ‘an dīnikum in astaṭāū wamanyartadid

minkum ‘an dīnihī fayamut wahuwa kāfirun faulāika habiṭat amāluhum fī ad -dunyā wa al-akhirati wa ulāika aṣhābu annāri hum fīhā khālidūna/ “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah, “Berperang dalam bulan itu adalah (dosa) besar.Tetapi menghalangi (orang) dari jalan Allah, ingkar kepada-Nya, (menghalangi orang masuk) Masjidilharam, dan mengusir penduduk sekitarnya, lebih besar (dosanya) dalam pandangan Allah.Sedangkan fitnah lebih kejam dari pada pembunuhan. Mereka tidak akan berhenti memerangi kamu sampai kamu murtad (keluar) dari

agamamu, jika mereka sanggup. Barang siapa murtad di antara kamu dari

agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”

Menurut Al-Maragi (1993: 255) mengatakan bahwa pada ayat ini Allah swt menjelaskan tentang fitnah-fitnah yang dilancarkan kaum kafir untuk mengembalikan umat Islam kepada kekufuran.Kemudian Allah swt mengingatkan umat Islam untuk menjaga keimanan mereka agar tidak sampai murtad (keluar dari agama Islam) karena balasannya adalah sia-sia amalnya di dunia azab neraka yang kekal di akhirat.

(7)

beriman’ dan kata ganti yang menunjukkan kepemilikan untuk orang ketiga tunggal yaitu

/hu/ “Dia (laki-laki)” yang disandarkan (ditujukan) kepada Allahu

‘Allah swt’. Oleh karena itu dapat dipahami makna

ﻦﻳﺩ

/dīnun/ pada ayat ini adalah agama Islam.

2. Surah Al- Imran ayat 24 :









/żālika bi'annahum qālū lan tamassanā annāru illā 'ayyāmān ma‘dūdātin

wagarrahum fī dīnihim mā kānū yaftarūna/ “hal itu adalah karena mereka berkata,“api neraka tidak akan menyentuh kami kecuali beberapa hari saja.”Mereka terpedaya dalam agama mereka oleh apa yang mereka ada-adakan.”

Al-Maragi (1993: 221) menerangkan bahwa asbābun nuzūl (sebab-sebab turun) dari ayat ini adalah seperti yang terkandung dalam sebuah hadits

diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah pernah menghadiri majelis Yahudi yang mempelajari Taurat untuk golongan mereka, Lalu Nu’aim ibnu Amar dan Al-Harits ibnu Zaid bertanya “wahai Muhammad, engkau beragama apa?” Rasulullah menjawab “agama dan millah

Ibrahim.”Mereka menjawab “Ibrahim adalah orang Yahudi.” Lalu Rasulullah bersabda “Jika memang demikian, marilah kita lihat kitab Taurat yang kini ada di antara kita.” Kemudian turunlah surah Al-‘Imran ayat 23-25.

(8)

ﻢﻫ

/hum/ ‘mereka (laki-laki)’ yang kembali kepada kalimat

ﻦﻣ ﺎﺒﺒﺼﻧ ﻮﺗﻭﺃ

ﺏﺎﺘﻜﻟﺍ

/`ūtū naṣīban min al-kitābi/ ‘orang-orang yang telah diberi bagian dari

Alkitab (Taurat)’ yang terdapat pada ayat sebelumnya.

1. Surah Al-Maidah ayat 3 :







































/ḥurrimat alaykumu almaytatu wa ad-damu walaḥmu al-khinzīri wamā 'uhilla ligayri 'allāhibihī wa 'al-munkhaniqatu wa 'al-mauqūżatu wa al-mawtaradiyyatu wa an-naṭīḥatu wamā 'akala 'as-subu‘u 'illā mā żakkaytum wamā żubiha ‘alā 'an-nuṣubi wa 'an tastaqsimū bi 'al-'azlāmi żālikum fiskun 'al-yauma ya'isa 'al-lażīna

(9)

dīnakum wa'aṡmamtu ‘alaykum ni‘matī waraḍītu lakumu 'al-islāma dīnān famani'aḍ-ṭurra fī makhmaṣatin gayra mutajānifin li'iṡmin fa'inna allāha gafūrun

rahīmun/ “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala.Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan dengan azlam (anak panah), (karena) itu suatu perbuatan fasik.Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku.Pada hari ini telah Aku sempurnakan

agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.Tetapi barangsiapa terpaksa karena lapar bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Menurut Al-Maragi (1993: 96) secara ijmal, arti ayat ini adalah: Pada hari ini, putuslah sudah harapan orang-orang musyrik untuk membatalkan agamamu dangan mengembalikan kamu darinya, setelah mereka saksikan, ternyata Allah lebih mengutamakan kalian. Setelah nyata janji Allah benar-benar Dia penuhi dan memenangkan Islam atas seluruh agama-agama yang lain.

Pada ayat ini terdapat tiga kata

ﻦﻳﺩ

/dīnun/ antara lain:

(1)

ﻢﻜﻨﻳﺩ

ﻦﻣ ﺍﻭﺮﻔﻛ ﻦﻳﺬﻟﺍ ﺲﺌﻳ ﻡﻮﻴﻟﺍ

/alyawma ya`isa allażīna kafarū min dīnikum/ “Pada hari ini, orang-orang kafir telah putus asa (mengalahkan) agamamu

(2)

ﻢﻜﻨﻳﺩ

ﻢﻜﻟ ﺖﻠﻤﻛﺃ ﻡﻮﻴﻟﺍ

/alyawma akmaltu lakum dīnakum/ “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu”

(3)

ﺎﻨﻳﺩ

ﻡﻼﺳﻹﺍ ﻢﻜﻟ ﺖﻴﺿﺭ

/raḍītu lakum al-`islāma dīnan/ “Telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu
(10)

hukum yang berkaitan dengan halal dan haram.Oleh karena itu makna kontekstual kata

ﻦﻳﺩ

/dīnun/ yang kedua yang kedua adalah syariat.Kata

ﻦﻳﺩ

/dīnun/ yang ketiga dimaknai utuh yaitu ‘agama’ sebagai penjelas kata

ﻡﻼﺳﻹﺍ

/al-`islāmu/ ‘Islam’ yang terletak sebelumnya.

2. Surah Al-An’am ayat 70 :























/ważari 'allażīna 'ittakhażū dīnahum la‘ibān walahwān wa garrathumu 'al-hayātu 'ad-dunyā wa żakkirbihī 'an tubsala nafsun bimā kasabat laysa lahā min dūni

allāhi waliyyun walā syafī‘un wa'in ta‘dil kulla ‘adlin lā yu'khaż minhā 'ulā'ika 'allażīna 'ubsilū bimā kasabū lahum syarābun minḥāmīmin wa ‘ażābun 'alīmun

bimā kānū yakfurūna/ “tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agamanya

sebagai permainan dan senda gurau, dan mereka telah tertipu oleh kehidupan dunia. Peringatkanlah (mereka) dengan Al-Qur’an agar setiap orang tidak terjerumus (ke dalam neraka), kerena perbuatannya sendiri.Tidak ada baginya pelindung dan pemberi syafaat (pertolongan) selain Allah. Dan jika dia hendak menebus dengan segala macam tebusan apapun, niscaya tidak akan diterima. Mereka itulah orang-orang yang dijerumuskan (kedalam neraka), disebabkan

(11)

perbuatan mereka sendiri. Mereka mendapat minuman dari air yang mendidih dan azab yang pedih disebabkan kekafiran mereka dahulu.”









/waqātilūhum hattā lā takūna fitnatun wayakūna 'ad-dīnu kulluhu lillāhi

fa'inintahau fa'inna 'allāha bimā ya‘malūna baṣīrun/ “dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah, dan agama hanya bagi Allah semata.Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah hMaha Melihat apa yang mereka kerjakan.”

3. Surah At-Taubah ayat 11 :











/fa'in tābū wa'aqāmū 'aṣ-ṣalāta wa'ātū 'az-zakāta fa'ikhwānukum fī 'ad-dīni wanufaṣṣillu 'al-'āyāti liqaumin ya‘malūna/ “dan jika mereka bertobat, melaksanakan salat, dan menunaikan zakat, maka (berarti mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.”

4. Surah Yunus ayat 104 :















(12)

/qul yā'ayyuhā an-nāsu 'inkuntu fī syakkin min dīnī falā 'a‘ budu 'allażīna

ta‘budūna min dūni allāhi walākin 'a‘ budu 'allāha 'allżī yatawaffākum wa'umirtu 'an'akūna mina 'al-mu'minīna/ “katakanlah (Muhammad), “wahai manusia! Jika kamu masih dalam keragu-raguan tentang agamaku, maka (ketahuilah) aku tidak menyembah yang kamu sembah selain Allah, tetapi aku menyembah Allah akan mematikan kamu dan aku telah diperintah agar termasuk orang yang beriman.”

5. Surah An-Nur ayat 55 :























/wa‘ada 'allāhu 'allażīna 'āmanū minkum wa‘amilū 'aṣ-ṣāliḥāti

layasytakhlifannahum fī 'al-'arḍi kamā 'istakhlafa 'allażīna min qablihim

walayumakkinanna lahum dīnahumu 'allażī 'irtḍā lahum walayubaddi lannahum min ba‘di khaufihim 'amnān ya‘budū nanī lā yusyrikūna bī syay'ān wa man kafara ba‘da żālika fa'ulā'ika humu 'al-fāsikūna/ “Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agamayang telah Dia ridai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketekutan menjadi aman sentosa.Mereka (tetap) menyembah-Ku dengan sesuatu pun.Tetepi barangsiapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”

6. Surah Al-Ahzab ayat 5 :

(13)

















/'ad‘ūhum li'abā'ihim huwa 'aqsaṭu ‘inda 'allāhi fa'in lam ta‘lamū 'ābā'ahum

fa'ikhwānukum fī 'ad-dīni wa mawālīkum walaysa ‘alaykum junāḥun fīmā 'akhṭa'tumbihi walakin mā ta‘ammadat qulūbukum wa kāna 'allāhu gafūrān raḥīmān/ “panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu

seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu jika kamu khilaf tentang itu, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

7. Surah Asy-Syura’ ayat 13 :





















/syara‘a lakum mina 'ad-dīni mā waṣṣābihi nūhā wallażī 'auḥaynā 'ilayka wamā waṣṣaynābihi 'ibrāhīma wa mūsā wa ‘īsā 'an 'aqīmū 'ad-dīna walā tatafaraqū fīhi

kubara ‘alā 'al-musyrikīna mā tad‘ūhum 'ilayhi 'allāhu yajtabī 'ilayhi man yasyā'u

(14)

yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka.Allah memilih orang yang Dia kehendaki kepada agama tauhid dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya).”

8. Surah Al-Fath ayat 28











/huwa 'allażī 'arsala rasūlahu bilhudā wa dīni 'al-haqqi liyuẓhirahu ‘alā 'ad-dīni

kullihi wa kafā billāhi syahīdān/ “Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunuk dan agama yang benar, agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.”

B. Kata yang bermakna Ibadah/Ketaatan

1. Surah Al-Baqarah ayat 193 :









/waqātilūhum ḥattā lā takūna fitnatun wayakūna ad-dīnu lillāhi fainnintahau

falā ‘udwāna illā ‘alā aẓẓālimīna/ “Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah, dan ketaatan itu hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti, maka tidak ada (lagi) permusuhan, kecuali terhadap orang-orang zalim. “

Al-Maragi (1993: 168) menjelaskan bahwa pada permulaan Islam kaum Muslimin tidak dapat berbuat banyak untuk urusan agam mereka.Pada waktu itu kekuasaan ada di tangan kaum musyrikin dan Mekkah dijadikan pust kemusykrikan. Namun Allah tidak menghendaki ituterus berlangsung oleh karena itu ia menetapkan dan memperkuat barisan kaum muslimin sehingga mampu

(15)

membuka kota Mekkah dan menghancurkan semua berhala.Sehingga segala bentuk ketaatan dan peribadatan hanya ditujukan kepada Allah semata.

Kata

ﻥﻳﺩ

/dīnun/ pada ayat ini bermakna ketaatan.Makna ini muncul ditinjau dari konteks intrakalimat berdasarkan hubungan antar kata dalam kalimat.Kata

ﻥﻳﺩ

/dīnun/ terletak setelah kata

ﻥﻮﻜﻳ

/yakūnu/ ‘jadi, menjadi/adalah’ dan kata

/lillāhi/ ‘bagi/ untuk Allah’.Makna ayat ini juga berhubungan dengan konteks ayat yang menceritakan keadaan umat Islam pada suatu waktu di Mekkah yang mengalami kesulitan dalam menjalankan ibadah dan ketaatan kepada Allah karena fitnah-fitnah yang dilancarkan kaum kafir berupa penganiayaan dan penyiksaan.Oleh karena itu makna kontekstual Kata

ﻥﻳﺩ

/dīnun/ pada ayat ini bermakna ketaatan.

2. Surah Yunus ayat 22 :























/huwallażī yusayyirukum fī 'al-birri wa 'al-baḥri hattā 'iżā kuntum fī al-fulki

wajarayna bihim birīhin ṭayyibatin wafarihū bihā jā'athā rīḥun ‘āṣfun

wajā'ahumu 'al-mauju min kulli makānin waẓannū 'annahum 'uḥīṭabihim da‘a‘ū 'allāha mukhliṣīnalahu 'ad-dīna la'in 'anjaynā minhāżihī lanak ūnannā mina

'asy-syākirīna/ “Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (dan berlayar) di lautan. Sehingga ketika kamu berada dalam kapal, dan meluncurlah (kapal) itu membawa mereka (orang-orang yang ada di dalamnya) dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya; tiba-tiba datanglah badai dan

(16)

gelombang menimpanya dari segenap penjuru, dan mereka mengira telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa dengan tulus mengikhlaskan ketaatan

kepada Allah semata. (seraya berkata), “sekiranya Engkau menyelamatkan kami dari (bahaya) ini, pasti kami termasuk orang-orang yang bersyukur.”

Menurut Al-Maragi (1993: 166, 170) mengatakan bahwa pada ayat ini Allah menjelaskan perihal tabiat kaum musyrik yang meskipun telah ditampakkan tanda-tanda selain Al-Qur’an mereka pun takkan puas dengan tanda-tanda tersebut.Maka, tatkala tanda-tanda siksa telah turun kepada mereka dan segala usaha tak bisa dilakukan, maka berdoalah mereka dengan memurnikan ketaatan semata kepada Allah, supaya Dia berkenan menghilangkan dari semua bencana yang sedang menimpa mereka.Namun setelah dikabulkan, mereka kembali berpaling.

Kata

ﻥﻳﺩ

/dīnun/ pada ayat ini bermakna ketaatan.Makna ini muncul ditinjau dari konteks intrakalimat berdasarkan hubungan antar kata dalam kalimat.Kata

ﻥﻳﺩ

/dīnun/ terletak setelah kata

ﺍﻮﻋﺩ

/da‘a‘ū/ ‘mereka menyeru, berdoa’ dan kata

ﻦﻴﺼﻠﺨﻣ

/mukhliṣīna/ ‘secara (dalam hal) ikhlas, murni’.Konteks ayat juga mengandung makna keadaan kaum musyrik ketika dihadapkan kepada bahaya yang mengancam, oleh karena itu ditinjau dari segi situasi lingkungan pengguna bahasa maka bisa dipahami makna kata

ﻥﻳﺩ

/dīnun/ pada ayat ini bermakna ketaatan.

3. Surah Al-Ankabut ayat 65 :









/fa'iżā rakibū fī 'al-fulki da‘awu 'allāha mukhliṣīna lahu 'ad-dīna falamā najjāhum 'ilā 'al-birri ' iżā hum yusyrikūna/ “maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya, tetapi ketika Allah menyelamatkan mereka samapi ke darat, malah mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).”

(17)

Al-Maragi (1993: 36) mengemukakan bahwa di dalam ayat ini Allah mengisahkan keadaan orang-orang musyrik apabila mereka diuji dengan hal-hal yang penuh kegentingan dan bahaya, lalu mereka hanya menyeru kepada Allah semata, supaya Dia menyelematkan mereka dari keadaan bahaya. Selanjutnya Allah menjelaskan sikap mereka sesudah terlepas dari bahaya, yaitu dengan cepat dan segera, mereka kembali kepada kebiasaan mereka semula.Yaitu menyeru kepada tuhan-tuhan sesembahan mereka.

Kata

ﻥﻳﺩ

/dīnun/ pada ayat ini bermakna ketaatan.Makna ini muncul ditinjau dari konteks intrakalimat berdasarkan hubungan antar kata dalam kalimat.Kata

ﻥﻳﺩ

/dīnun/ terletak setelah kata

ﺍﻮﻋﺩ

/da‘a‘ū/ ‘mereka menyeru, berdoa’ dan kata

ﻦﻴﺼﻠﺨﻣ

/mukhliṣīna/ ‘secara (dalam hal) ikhlas, murni’.Konteks ayat juga mengandung makna keadaan kaum musyrik ketika dihadapkan kepada bahaya yang mengancam, oleh karena itu ditinjau dari segi situasi lingkungan pengguna bahasa maka bisa dipahami makna kata

ﻥﻳﺩ

/dīnun/ pada ayat ini bermakna ketaatan.

4. Surah Al-Luqman ayat 32 :













/wa'iżā gasyiyahum maujun kā 'al-ẓulali da‘awullāha mukhliṣīna lahu 'ad-dīna

falammā najjāhum 'ilā 'al-birri faminhum muqtaṣidun wamā yajḥadu bi'āyātinā

'illa kullu khattārin kafūrin/ “dan apabila mereka digulung ombak yang besar

(18)

seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan tulus ikhlas taat kepada-Nya. Tetapi ketika Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus.Adapun yang mengingkari ayat-ayat Kami hanyalah pengkhianat yang tidak berterima kasih.”

Al-Maragi (1993: 185) mengatakan bahwa pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa orang-orang musyrik selalu melupakan Allah di waktu mereka mendapat kesenangan dan mereka baru ingat kepada Allahh di waktu ditimpa kesengsaraan.

Kata

ﻥﻳﺩ

/dīnun/ pada ayat ini bermakna ketaatan.Makna ini muncul ditinjau dari konteks intrakalimat berdasarkan hubungan antar kata dalam kalimat.Kata

ﻥﻳﺩ

/dīnun/ terletak setelah kata

ﺍﻮﻋﺩ

/da‘a‘ū/ ‘mereka menyeru, berdoa’ dan kata

ﻦﻴﺼﻠﺨﻣ

/mukhliṣīna/ ‘secara (dalam hal) ikhlas, murni’.Konteks ayat juga mengandung makna keadaan kaum musyrik ketika dihadapkan kepada bahaya yang mengancam, oleh karena itu ditinjau dari segi situasi lingkungan pengguna bahasa maka bisa dipahami makna kata

ﻥﻳﺩ

/dīnun/ pada ayat ini bermakna ketaatan.

5. Surah Az-Zumar ayat 2 :







/'innā 'anzalnā 'ilayka 'al-kitā bilḥaqqi fa‘budillāha mukhliṣān lahu 'ad-dīna/

“sesungguhnya Kami menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan

ketaatan kepadaNya”

Menurut Al-Maragi (1993: 244 Jilid) Allah telah menurunkan Al-Qur’an kepada Rasulullah SAW dengan menyuruh melaksanakan kebenaran dan keadilan yang wajib ditempuh dan dilaksanakan. Kemudian Allah menyuruh Rasul-Nya supaya menyembah Allah dengan memurnikan ibadah semata-mata untuknya bersih dari unsur-unsur syirik dan riya sesuai dengan apa yang telah diturunkan dalam lembaran-lembaran kitabNya lewat lidah para NabiNya, yakni dengan

(19)

mengkhususkan peribadatan untukNya semata-mata, dan bahwa tiada sekutu dan tandingan bagiNya.

Kata

ﻥﻳﺩ

/dīnun/ pada ayat ini bermakna ketaatan.Makna ini muncul ditinjau dari konteks intrakalimat berdasarkan hubungan antar kata dalam kalimat.Kata

ﻥﻳﺩ

/dīnun/ terletak setelah kata

ﺪﺒﻋﺍ

/`u’bud/ ‘sembahlah’ dan kata

ﺺﻠﺨﻣ

/mukhliṣan/ ‘secara (dalam hal) ikhlas, murni’. Konteks ayat juga mengandung makna perintah Allah kepada Nabi Muhammad untuk menyembah Allah dengan ikhlas memurnikan ketaatan hanya kepadaNya perwujudan telah diturunkannya Al-Qur’an kepada Rasulullah sebagai petunjuk yang benar, oleh karena itu ditinjau dari segi situasi lingkungan pengguna bahasa maka bisa dipahami makna kata

ﻥﻳﺩ

/dīnun/ pada ayat ini bermakna ketaatan.

6. Surah Az-Zumar ayat 3 :

















/'alā lillāhi 'ad-dīnu 'al-khāliṣu wallażī 'at-takhażū min dūnihi 'auliyā'a mā

na‘buduhum 'illā liyuqarribūnā 'illa liyuqarribūnā 'ilā 'allāhi zulf ā 'inna 'allha

yaḥkumu baynahum fī mā hum fīhi yakhtalifūna 'inna 'allāha lā yahdī man huwa

kāżibun kaffārun/ “ingatlah! Hanya milik Allah ketaatanyang murni (dari syirik) Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia (berkata), “Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” Sungguh, Allah kan member putusan di antara mereka tentang apa yang mereka pereselisihkan. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada pendusta dan orang yang sangat ingkar.”

Menurut Al-Maragi (1993: 245 Jilid) Allah mempertegas perintah untuk memurnikan ketaatan kepadaNya seperti yang tercantum pada ayat kedua di atas

(20)

dengan mengingatkan bahwa hanya kepunyaan Allah-lah peribadatan dan ketaatan semata-mata, tak ada persekutuan bagi seorangpun bersama Allah dalam peribadatan dan ketaatan itu. Karena, apapun selain Allah adalah milikNya.Kewajiban sesuatu yang dimiliki adalah taat kepada pemiliknya.

Kata

ﻥﻳﺩ

/dīnun/ pada ayat ini bermakna ketaatan.Makna ini muncul ditinjau dari konteks intrakalimat berdasarkan hubungan antar kata dalam kalimat. Kata

ﻥﻳﺩ

/dīnun/ terletak setelah frase

/lillāhi/ ‘kepada (milik) Allah’ dan kata

ﺺﻟﺎﺨﻟﺍ

/al-khāliṣ/ ‘secara (dalam hal) ikhlas, murni’. Konteks ayat juga mengandung makna bahwa Allah mempertegas bahwa ketaatan kepadaNya harus bebas dari unsur syirik, oleh karena itu ditinjau dari segi situasi lingkungan pengguna bahasa maka bisa dipahami makna kata

ﻥﻳﺩ

/dīnun/ pada ayat ini bermakna ketaatan.

C. Kata yang bermakna Balasan/Pembalasan

1. Surah Al-Fatihah ayat 4 :



/Māliki yaumi ad dīni/ “yang menguasai hari pembalasan”.

Al-Maragi (1993:42) mengatakan bahwa pada ayat ini Allah menerangkan tentang hari pembalasan dimana pada hari itu segala amal baik dan buruk akan di perhitungkan.

Makna kata

ﻥﻳﺩ

/dīnun/ pada ayat ini adalah hari pembalasan.Makna muncul ditinjau dari segi konteks intrakalimat berdasarkan hubungan antar kata dalam kalimat.

2. Surah An-Nur ayat 25 :

(21)









/yauma'iżin yuwaffīhimu 'allāhu dīnahumu 'al-ḥaqqa waya‘lamūna 'anna 'allāha huwa 'al-ḥaqqu 'al-mubīnu/ “pada hari itu Allah menyempurnakan balasan yang sebenarnya bagi mereka, dan mereka tahu bahwa Allah Maha benar, Maha Menjelaskan.”

Al-Maragi (1993: 161) mengatakan bahwa Allah menceritakan peristiwa tuduhan perselingkuhan terhadap Aisyah r.a dan menerangkan tentang balasan dengan sempurna kepada mereka atas segala perbuatannya dan mengetahui adzab yang diancamkan kepada mereka dengan kehidupan dunia dahulu adalah benar dan hilanglah dari mereka segala keraguan sewaktu di dunia pernah mereka rasakan.

Makna kata

ﻥﻳﺩ

/dīnun/ pada ayat ini adalah pembalasan.Dimaknai demikian ditinjau dari segi konteks situasi waktu bahwa ayat ini diturunkan kepada orang-orang yang telah menuduh Aisyah r.a dengan tuduhan perzinahan.Karena situasi lingkungan pengguna bahasa maka makna kontekstual kata

ﻥﻳﺩ

/dīnun/ pada ayat ini adalah pembalasan.

3.Surah Al-Infithar ayat 9 :





/kallā bal tukażżibūna bīddīni/ “sekali-kali jangan begitu! bahkan kamu mendustakan hari pembalasan.

Al-Maragi (1993: 122) mengatakan bahwa pada ayat ini Allah menerangkan tentang orang-orang yang mengingkari hari pembalasan dan hari perhitungan.Yaitu hari ketika semua makhluk dibangkitkan dan diperhitungkan amal perbuatannya. Setiap orang akan memperoleh balasan amal perbuatannya baik yang ia lakukan dengan bersungguh-sungguh ataupun dengan bermalas-malasan.

(22)

Makna kata

ﻥﻳﺩ

/dīnun/ pada ayat ini adalah pembalasan. Makna muncul ditinjau dari segi konteks antarkalimat yang terletak pada ayat-ayat selanjutnya yang mengandung makna bahwa setiap insan manusia telah Allah berikan malaikat pengawas yang mencatat setiap amal perbuatan yang akan dibalas sesuai dengan amal perbuatan nanti di hari pembalasan. Oleh karena itu makna kontekstual kata

ﻥﻳﺩ

/dīnun/ pada ayat ini adalah pembalasan.

4.Surah At-Tiin ayat 7 :





/famā yukażżibuka ba‘du bīddīni/ “maka apa yang menyebabkan (mereka) mendustakanmu (tentang) hari pembalasansetelah (adanya keterangan-keterangan)itu?”

Al-Maragi (1993: 342) mengemukakan bahwa pada ayat ini Allah mengecam kaum Musyrikin atas keingkaran mereka kepada hari pembalasan setelah datang bukti-bukti yang jelas kepada mereka dengan sebuah pertanyaan: ‘Apa yang mendorong kamu mengingkari adanya hari pembalasan atas segala amal perbuatanmu? Padahal telah datang bukti nyata yang menjelaskan kebenaran masalah ini. Sesungguhnya Zat yang Menciptakan kamu dari air mani dan Menyempurnakan kejaianmu, Ia mampu membangkitkanmu setelah kematianmu dan menghisabmu di akhirat kelak.

Makna

ﻥﻳﺩ

/dīnun/ pada ayat ini adalah pembalasan.Makna dapat dipahami jika ditinjau segi konteks ayat yang menceritakan tentang tanda-tanda yang Allah berikan kepada kaum Musyrik agar mereka mau beriman kepada Allah.Oleh karena itu dari segi situasi lingkungan pengguna bahasa maka makna kontekstual kata

ﻥﻳﺩ

/dīnun/ pada ayat ini adalah pembalasan.

D. Kata yang Bermakna Undang-undang/Hukum

1. Surah Yusuf ayat 76 :

(23)

















/fabada'a bi'au‘iyatihim qabla wi‘ā'i 'akhīhi ṡumma 'istakhrajahā min wi‘ā'i

'akhīhi każālika kidn ā liyūsufa mā kāna liya'khuża 'akhāhī fī dīni 'al-maliki 'illā

'anyasyā'a 'allāhu narfaū darajātin man nasyā'u wafauqa kulli żī ‘ilmin ‘alīmun/

“maka mulailah dia (memeriksa) karung-karung mereka sebelum (memeriksa) karung saudaranya sendiri, kemudian dia mengeluarkan (piala Raja) itu dari karung saudaranya. Demikianlah Kami mengatur (rencana) untuk Yusuf.Dia tidak dapat menghukum saudaranya menurut undang-undang Raja, kecuali Allah menghendakinya.Kami angkat derajat orang yang kami kehendaki; dan di atas setiap orang yang berpengetahuan ada yang lebih mengetahui.”

Menurut Al-Maragi (1993: 34) menuturkan bahwa pada ayat ini Allah menceritakan peristiwa tipu daya yang dilakukan Nabi Yusuf a.s terhadap saudara-saudaranya.Peristiwa ini menunjukkan boleh mencapai tujuan yang benar melalui jalan yang tampak merupakan tipu daya asalkan tidak bertentangan dengan syarat yang qath’i.Selanjutnya Allah menerangkan alasan mengapa Dia mengatur “tipu daya” untuk mencapai tujuan Yusuf.

Makna kata

ﻥﻳﺩ

/dīnun/ pada ayat ini adalah undang-undang atau hukum.Makna ini muncul ditinjau dari sudut konteks intrakalimat berhubungan dengan kata yang terletak sesudahnya yaitu

ﻚﻠﻤﻟﺍ

/al-maliku/ “Raja”. Kemudian ditinjau dari sudut konteks antarkalimat, menilik dari kalimat sebelumnya yakni

ﻪﻴﺧﺃ ءﺎﻋﻭ ﻦﻣ ﺎﻬﺟﺮﺨﺘﺳﺍ ﻢﺛ ﻪﻴﺧﺃ ءﺎﻋﻭ ﻞﺒﻗ ﻢﻬﺘﻴﻋﻭﺄﺑ ﺃﺪﺒﻓ

/fabada'a bi'au‘iyatihim qabla

wi‘ā'i 'akhīhi ṡumma 'istakhrajahā min wi‘ā'i 'akhīhi/ “maka mulailah dia (memeriksa) karung-karung mereka sebelum (memeriksa) karung saudaranya sendiri, kemudian dia mengeluarkan (piala Raja) itu dari karung saudaranya.” Kalimat ini mengandung makna adanya suatu peristiwa pencurian yang

(24)

seharusnya mendapat perlakuan hukum.Oleh karena itu makna kontekstual kata

ﻥﻳﺩ

/dīnun/ pada ayat ini adalah undang-undang atau hukum.

2. Surah An-Nur ayat 2 :

















/'az-zāniyatu wazzānī fa'ajlidū kulla wāḥidin minhumā mi'ata jaldatin walā

ta'khużkum bihimā ra'fatun fī dīni 'allāhi 'inkuntum tu'minūna billāhi wa 'al-yaumi 'al-'akhiri walyasyhad ‘ażābahumā ṭā'ifatun mina 'al-mu'minīna/ “pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang yang beriman.”

Al-Maragi (1993: 123) mengatakan bahwa ayat ini menerangkan tentang hukuman bagi pezina laki-laki dan perempuan yang merdeka, baligh, berakal, dan bukan muhshan dengan mempunyai istri atau suami yakni seratus kali deraan. Dan hendaklah rasa kasih sayang dan lemah lembut tidak menghalangi kalian dalam menegakkan agama Allah dan janganlah bersikap lunak dalam menyempurnakan segala ketentuan.

Makna kata

ﻥﻳﺩ

/dīnun/ pada ayat ini adalah undang-undang atau hukum Allah. Makna ini muncul ditinjau dari konteks antarkalimat dilihat dari kalimat sebelumnya yaitu

ﺓﺪﻠﺟ ﺔﺋﺎﻣ ﺎﻤﻬﻨﻣ ﺪﺣﺍﻭ ﻞﻛ ﺍﻭﺪﻠﺟﺎﻓ ﻲﻧﺍﺰﻟﺍﻭ ﺔﻴﻧﺍّﺰﻟﺍ

/'az-zāniyatu

wazzānī fa'ajlidū kulla wāḥidin minhumā mi'ata jaldatin/ “pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali.” Kalimat ini

(25)

mengandung makna suatu hukum atau undang-undang yang berlaku untuk para pezina laki-laki dan perempuan.Oleh karena itu, makna kontekstual kata

ﻥﻳﺩ

/dīnun/ adalah undang-undang dan hukum.

E. Kata yang Bermakna Ketetapan Agama

Surah At-Taubah ayat 36 :





















/'inna ‘iddata 'asy-syuhūri ‘inda 'allāhi 'iṡnā ‘asyara syahran fī kitābi 'allāhi yauma khalaqa 'as-samāwāti wal'arḍa minhā 'arba‘atun ḥurumun żālika 'ad-dīnu 'al-qayyimu falā taẓlimū fīhinna 'anfusakum waqātilū 'al-musyrikīna kāffatan

kamā yuqātilūnakum kāffatan wa‘lamū 'anna 'allāha ma‘a 'al-muttaqina/

“Sesungguhnya jumlah bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah

(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu, dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang takwa.”

Makna kata

ﻦﻳﺩ

/dīnun/ pada ayat ini secara kontekstual dapat dipahami ketetapan agama. Hal ini ditinjau dari konteks antarkalimat yang terletak sebelumnya

ِﺕﺍَﻭﺎَﻤﱠﺴﻟﺍ َﻖَﻠَﺧ َﻡْﻮَﻳ ِﷲ ِﺏﺎَﺘِﻛ ْﻲِﻓ ﺍًﺮْﻬَﺷ ﺮَﺸَﻋ ﺎَﻨْﺛﺍ ِﷲ َﺪْﻨِﻋِﺭْﻮُﻬﱡﺸﻟﺍ َﺓﱠﺪِﻋ ﱠﻥِﺇ

ٌﻡُﺮُﺣ ٌﺔَﻌَﺑْﺭَﺃ ﺎَﻬْﻨِﻣ ِﺽْﺭَﻷﺍِﻭ

/'inna ‘iddata 'asy-syuhūri ‘inda 'allāhi 'iṡnā ‘asyara
(26)

ḥurumun/ ‘Sesungguhnya jumlah bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram’. Kalimat tersebut menjelaskan tentang aturan-aturan yang ditetapkan Allah swt di langit dan bumi.

3.2 Makna Kontekstual Kata

ﺔّﻠﻣ

/millatun/

Makna kontekstual kata

ﺔّﻠﻣ

/millatun/ yang ditemukan dalam Al-Qur’an sebanyak tiga makna yaitu:

1. Agama para Nabi/yang disyariatkan oleh Allah swt

2. Agama Yahudi/Nasrani

3. Agama nenek moyang

Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat uraian berikut ini:

A. Kata yang bermakna agama para Nabi/yang disyariatkan oleh Allah swt

1. Surah Al-Baqarah ayat 130 :











/wa man yargabu‘an millati 'ibrāhīma 'illā man safiha nafsahu walaqadi 'iṣṭafaynāhu fī 'ad-dunyā wa' innahu fī 'al-'akhirati lamina 'aṣ-ṣāliḥīna/ “dan orang yang membenci agama Ibrahim, hanyalah orang yang memperbodoh dirinya sendiri. Dan sungguh, kami telah memilihnya (Ibrahim) di dunia ini.Dan sesungguhnya di akhirat dia termasuk orang-orang yang saleh.”

(27)

manusia pilihan yang digelari khalilullah (kekasih Allah).Maka dari itu hanya orang-orang yang memperbodoh dirinya sendiri yang membenci agama Ibrahim.

Makna kata

ﺔّﻠﻣ

/millatun/ pada ayat ini adalah agama para Nabi.Makna ini dipahami dari segi konteks intrakalimat dilihat dari kata yang terletak sesudahnya yakni

ﻡﻳﻫﺍﺭﺑﺍ

/`ibrāhīmu/ ‘Nabi Ibrahim a.s’. Konteks ayat ini menceritakan celaan Allah untuk orang-orang yang membenci millah Ibrahim sebagai orang-orang yang memperbodoh diri sendiri karena Ibrahim memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah dan agama yang dibawanya juga adalah agama yang diturunkan kepada Nabi-nabi selanjutnya hingga ke Nabi Muhammad saw. Dengan demikian makna kontekstual dari segi lingkungan pengguna bahasa kata

ﺔّﻠﻣ

/millatun/ adalah agama para Nabi.

2. Surah Al-Baqarah ayat 135 :









/wa qālū kūnū hūdān 'au naṣārā tahtadū qul bal millata 'ibrāhī ma ḥanīfān wa mā

kāna mina 'al-musyrikīna/ “dan mereka berkata, “Jadilah kamu (penganut) Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk.” Katakanlah “(Tidak!) tetapi (kami mengikuti) agamaIbrahim yang lurus dan dia tidak termasuk golongan orang yang mempersekutukan Tuhan.”

Al-Maragi (1993: 411) mengatakan bahwa dalam ayat ini penganut agama Yahudi dan Nasrani sama-sama menganggap bahwa kitab dan Nabi mereka masing-masing adalah paling utama. Yahudi dengan kitab Taurat dan Nabi Musa a.s sedangkan Nasrani dengan kitab Injil dan Nabi Isa a.s. Karena itu mereka menyeru untuk masuk agama mereka agar mendapat petunjuk. Namun Allah membantah dengan memerintahkan kepada Nabi Muhammad bahwa Ia mengikuti

millah Ibrahim yang lurus dan tidak termasuk golongan orang-orang yang musyrik sebagai sindiran untuk orang-orang Yahudi dan Nasrani karena telah menyelewengkan ajaran agama dengan menyekutukan Allah.

(28)

Makna kata

ﺔﻠﻣ

/millatun/ yang terkandung dalam ayat ini adalah agama para Nabi. Makna ini dipahami dari segi konteks intrakalimat dilihat dari kata yang terletak sesudahnya yakni

ﻡﻳﻫﺍﺭﺑﺍ

/`ibrāhīmu/ ‘Nabi Ibrahim a.s’. Konteks ayat menceritakan tentang sanggahan Allah atas pendapat kaum Yahudi dan Nasrani yang menganggap agama mereka yang paling utama padahal mereka telah menyelewengkan isi kitab yang diturunkan kepada mereka. Allah menjelaskan kepada Nabi Muhammad bahwa ia adalah pengikut millah Ibrahim yang juga dibawa oleh Nabi-nabi berikutnya hingga sampai kepada Nabi Muhammad saw. Sehingga dapat disimpulkan bahwa makna kontekstual dari kata

ﺔﻠﻣ

/millatun/ adalah agama para Nabi.

3. Surah Al-Imran ayat 95:







/qul ṣadaqa 'allāhu fāttabi‘ū millata 'ibrāhīma ḥanīfān wa mā kāna mina 'al

-musyrikīna/ “katakanlah (Muhammad),”benarlah(segala yang difirmankan) Allah.” Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan dia tidaklah termasuk orang yang musyrik.”

Al-Maragi (1993: 7-8) mengatakan bahwa ayat ini menerangkan bahwa Allah Maha Benar dengan segala yang diberitakannya kepada Nabi Muhammad yakni sanggahan terhadap tuduhan-tuduhan Yahudi bahwa Nabi Muhammad bukanlah pengikut Nabi Ibrahim karena beliau makan daging unta dan berkiblat ke arah Ka’bah. Karena itu ikutilah Millah Ibrahim yang lurus dan bukanlah Ia orang yang musyrik seperti orang-orang Yahudi yang menyelewengkan isi kitabnya.

(29)

daging unta yang menurut mereka diharamkan dalam Taurat, padahal sesungguhnya pada dasarnya segalanya dihalalkan Allah untuk Bani Israil namun diharamkan sebagai hukuman untuk mereka, kemudian berkiblat ke arah Ka’bah menurut mereka juga hal yang salah karena menurut Taurat yang telah mereka selewengkan tempat mulia adalah Baitul Maqdis namun Allah menyanggah bahwa Ka’bah adalah bangunan tempat Ibadah yang pertama. Allah menjelaskan kepada Nabi Muhammad bahwa ia adalah pengikut millah Ibrahim yang juga dibawa oleh Nabi-nabi berikutnya hingga sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Sehingga dapat disimpulkan bahwa makna kontekstual dari kata

ﺔﻠﻣ

/millatun/ adalah agama para Nabi.

4. Surah Al-A’raf ayat 89 :





















/qadiftaraynā ‘alā 'allāhi każibān 'in‘udnā f ī millatikum ba‘da 'iż najjānā 'allāhu wamā yakūnu lanā 'an na‘ūda fihā 'illā 'an yasyā'a 'allāhu rabbunā wasi‘a rabbunā kulla syay'in ‘ilmān ‘alā 'allāhi tawakkalnā rabbanā 'iftah baynan wa

bayna qauminā bilḥaqqi wa 'anta khayru 'al-fātiḥīna/ “Sungguh, kami telah mengada-adakan kebohongan yang besar terhadap Allah, jika kami kembali kepada agamamu, setelah Allah melepaskan kami darinya. Dan tidaklah pantas kami kembali kepadanya kecuali jika Allah, Tuhan kami menghendaki.Pengetahuan Tuhan kami meliputi segala sesuatu.Hanya kepada Allah kami bertawakal.Ya Tuhan kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil).Engkaulah pemberi keputusan terbaik.”

Al-Maragi (1993:2) mengungkapkan bahwa pada ayat ini Nabi Syu’aib tidak mau kembali kepada agama para pemuka kaum Syu’aib yang kafir. Dan

(30)

bahwa tidak seorang pun dapat memaksa mereka merubah sikap selain Allah yang maha mampu melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya.

5. Surah Yusuf ayat 38 :















/wattaba‘tu millata 'ābā'ī 'ibrāh īma wa 'isḥāqa wa ya‘qūba mā kāna lanā 'an

nusyrika billāhi min syai'in żālika min faḍli 'allāhi ‘alainā wa ‘alā 'an-nāsi wa lakin 'akṡara 'an-nāsi lā yasykurūna/ “dan aku mengikuti agama nenek moyangku: Ibrahim, Ishak dan Yakub. Tidak pantas bagi kami (para nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah.Itu adalah dari karunia Allah kepada kami dan kepada manusia (semuanya); tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.”

Menurut Al-Maragi (1993: 276) mengungkapkan bahwa ayat ini menceritakan Nabi Yusuf a.s yang mengabarkan kepada kedua temannya di penjara bahwa Iamenganut agama Bapak-bapaknya yang telah menyeru kepada Tauhid yang murni. Yaitu, Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub. Pernyataan Yusuf seperti, merupakan penggembiraan (targhib) bagi kedua sahabatnya untuk beriman dan menganut tauhid, disamping keduanya berusaha agar mengingkari kemusyrikan dan kesesatan yang mereka anut selama ini.

Makna kata

ﺔﻠﻣ

/millatun/ yang terkandung dalam ayat ini adalah agama para Nabi.Makna ini dipahami dari segi konteks intrakalimat dilihat dari frase yang terletak sesudahnya yakni

ﻲﺋﺎﺑﺁ

/`ābā`ī/ ‘Bapak-bapakku’ yang dijelaskan lagi dengan kata-kata berikutnya yaitu

ﻢﻴﻫﺍﺮﺑﺃ

/`ibrāhīmu/ ‘Nabi Ibrahim a.s’,

ﻕﺎﺤﺳﺇ

/`isḥāqu/ ‘Nabi Ishaq’, dan

ﻞﻴﻋﺎﻤﺳﺇ

/`ismā’īlu/ ‘Nabi Isma’il’.Sehingga dapat
(31)

dipahami makna kontekstual kata

ﺔﻠﻣ

/millatun/ pada ayat ini adalah agama para Nabi.









/ṡumma 'auḥaynā 'ilayka 'anittabi’ millata 'ibrāhīmaḥanīfān wamākāna mina 'almusyrikīna/”kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad),”ikutilah

agama Ibrahim yang lurus, dan dia bukanlah termasuk orang musyrik.”

Menurut Al-Maragi (1993 : 288) mengatakan bahwa ayat ini menerangkan bahwa Nabi Muhammad saw. Di perintahkan untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim a.s dengan meniadakan kemusyrikan.

Makna kata

ﺔﻠﻣ

/millatun/ yang terkandung pada ayat ini adalah agama para Nabi. Makna ini dipahami dari segi konteks intrakalimat dilihat dari kata yang terletak sesudahnya yakni

ﻢﻴﻫﺍﺮﺑﺃ

/`ibrāhīmu/ ‘Nabi Ibrahima.s’. konteks ayat menceritakan tentang Nabi Muhammad saw diperintah untuk mengikuti agama Nabi Ibrahin yang lurus, berserah diri kepada Allah, dan bersih dari penyembahan terhadap berhala.

B. Kata yang bermakna tuntunan, cara hidup (agama) Yahudi, Nasrani

1. Surah Al-Baqarah ayat 120 :

(32)

/wa lan tarḍā ‘anka 'al-yahūdu wa lā 'an-naṣārā ḥattā tattabi‘a millatahum qul

'inna hudā 'allāhi huwa 'alhudā wala 'inittaba‘ta āhwā 'ahum ba‘dallażī jā'aka

mina 'al-‘ilmi mā laka mina 'allāhi min waliyyin wa lā naṣīrin/ “dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah,”sesunggunya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya).”Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah.”

Al-Maragi (1993: 120) Millah adalah suatu syariat yang dterangkan sebagai pengatur hamba-hamba Allah. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Rasulullah sangat ingin golongan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) beriman kepadanya namun justru mereka yang paling menentang karena kebiasaan mereka merusak ajaran-ajaran agama dengan menambahkan syariat sendiri dan meminta Nabi untuk mengikutinya.Agama telah dijadikan model kebangsaan bagi mereka. Ini menunjukkan bahwa agama menurut mereka adalah cara hidup mereka.

Makna

ﺔﻠﻣ

/millatun/ yang terkandung di dalam ayat ini adalah agama Yahudi dan Nasrani.Makna ini dipahami dari segi konteks intrakalimat dilihat dari kata yang terletak sesudahnya yakni kata ganti orang ketiga jama’ (banyak) yaitu

ﻢﻫ

/hum/ ‘mereka (laki-laki)’ yang merujuk kepada kata yang terletak sebelumnya pada kalimat yang sama yakni

ﺩﻮﻬﻴﻟﺍ

/al-yahūdu/ ‘Yahudi’ dan

ﻯﺮﺼﻨﻟﺍ

/an-naṣarā/ ‘Nasrani’. Sehingga disimpulkan bahwa makna kontekstual kata

ﺔﻠﻣ

/millatun/ adalah agama berupa cara hidup Yahudi dan Nasrani.

2. Surah Shad ayat 7 :







/mā sami‘nā bihāżā fī 'al-milati 'al-'akhirati 'in hāżā 'illā 'ikhtilāqun/ “ Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir, ini (mengesakan Allah), tidak lain hanyalah (dusta) yang diadakan-adakan.”

Al-Maragi (1993: 164) menyatakan bahwa pada ayat ini para pemuka Quraisy mencoba mencegah dakwah Nabi Muhammad saw dengan menyebutkan

43

(33)

bahwa mereka tidak pernah mendengar tentang Tauhid yang diserukan oleh Nabi Muhammad kepada mereka pada agama yang terakhir, yaitu agama Nasrani. Karena, orang-orang Nasrani mengatakan tentang Trinitas dan beranggapan bahwa Trinitas itulah agama yang dibawa oleh Nabi Isa a.s.

Makna kata

ﺔﻠﻣ

/millatun/ bermakna agama Nasrani.Makna ini dipahami dari segi konteks intrakalimat dilihat dari kata yang terletak sesudahnya yakni kata

ﺓﺮﺧﻵﺍ

/al-`ākhiratu/ ‘yang terakhir’ membentuk frasa adjektiva dengan kata

ﺔﻠﻣ

/millatun/ sehingga bermakna agama yang terakhir. Ditinjau dari segi konteks situasi waktu maka dapat dipahami agama yang terakhir adalah agama Nasrani karena pada masa itu agama terakhir yang dikenal oleh Quraisy adalah agama Nasrani di antara agama-agama ahli kitab yang lainnya.

C. Kata yang bermakna kepercayaan nenek moyang

1. Surah Al-A’raf ayat 88 :













/qāla 'al-mala'ullażīna 'istakbarū min qaumihi lanukhrijannaka yāsyu‘aibu

wallażīna 'āmanū ma‘aka min qaryatinā 'au lata‘ūdunna f ī millatnā qāla 'awalau kunnā kārihīna/ “pemuka-pemuka yang menyombongkan diri dari kaum Syuaib berkata,”Wahai Syuaib!Pasti kami usir engkau bersama orang-orang yang beriman dari negeri kam, kecuali engkau kembali kepada agama kami.”Syuaib berkata,”Apakah (kamu akan mengusir kami), kendatipun kami tidak suka?”

(34)

sebab itu, enak saja mereka menuntut dia supaya kembali lagi kepada agama mereka.

Makna kata

ﺔﻠﻣ

/millatun/ pada ayat ini adalah kepercayaan nenek moyang.Makna muncul jika ditinjau dari segi konteks intrakalimat dilihat dari kata yang terletak sesudahnya yakni ḍamīr (kata ganti) kepemilikan orang pertama jama’ (banyak) yaitu

ﺎﻧ

// ‘kami, kita’ yang merujuk kepada kaum Nabi Syu’aib.Ditinjau dari segi waktu, kaum Nabi Syu’aib menganut kepercayaan

paganism dan curang dalam menakar timbangan merupakan suatu kebiasaan yang dianggap wajar dan merupakan bagian dari kepercayaan mereka.Oleh karena itu makna kontekstual kata

ﺔﻠﻣ

/millatun/ pada ayat ini adalah kepercayaan nenek moyang.

2. Surah Yusuf ayat 37 :















/qāla lā ya'tīkumā ṭa‘āmun turzaqānihi 'illā nabba'tukumā bita'wīlihi qabla 'an

ya'tiyakumā żālikumā mimmā ‘allamanī rabbī 'innī taraktu millata qaumin lā yu'minūna billāhi wahum bil'ākhirati hum kāfirūna/ “Dia (Yusuf) berkat,”makanan apapun yang akan diberikan kepadamu berdua aku telah dapat menerangkan takwilnya, sebelum(makanan) itu sampai kepadamu. Itu sebagian dari yang diajarkan Tuhan kepadaku.Sesungguhnya aku telah meninggalkan

agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, bahkan mereka tidak percaya kepada hari akhirat.”

(35)

yang bermimpi. Hal itu adalah salah satu nikmat beriman kepada Allah yang dianugerahkan kepadanya dan kepada bapak-bapaknya yaitu Ibrahim.

Kata

ﺔﻠﻣ

/millatun/ pada ayat ini bermakna agama atau kepercayaan nenek moyang.Makna ini muncul ditinjau dari konteks intrakalimat dilihat dari kata yang terletak sesudahnya yaitu

ﻡﻭﻗ

/qawmun/ ‘kaum’.Kaum yang dimaksud adalah bangsa Kan’an dan penduduk tanah yang dijanjikan lainnya.Menurut situasi lingkungan pengguna bahasa dimana konteks ayat menceritakan kisah Nabi Yusuf a.s yang tinggal di Mesir maka dapat disimpulkan bahwa makna kontekstual kata

ﺔﻠﻣ

/millatun/ adalah kepercayaan nenek moyang.

3. Surah Al-Kahfi ayat 20 :









/'innahum 'in yaẓharū ‘alaikum yarjumūkum 'au ya‘īdūkum fī milltihim wa lan tufliḥū 'iżān 'abadān/ “sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempari kamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepadaagama meraka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya.”

Ayat di atas merupakan potongan kisah Ashabul Kahfiyang telah dibangunkan oleh Allah swt setelah tertidur sekian ratus tahun. Ayat di atas adalah perkataan salah satu dari Ashabul Kahfi kepada temannya yang akan pergi ke kota untuk menyelidiki berapa lama mereka telah berada di gua karena mereka berselisih paham akan hal itu.

Kata

ﺔﻠﻣ

/millatun/ pada ayat ini secara kontekstual dapat dipahami sebagai kepercayaan nenek moyang. Hal ini ditinjau dari konteks intrakalimat melihat kata sesudahnya yaitu dhamir(kata ganti)

ْﻡُﻫ

/hum/ ‘mereka’ yang merujuk kaum dari

Ashabul Kahfi dan dari segi konteks situasi waktu dari terjadinya peristiwa pada ayat di atas dapat dipahami bahwa ‘mereka’ pada ayat di atas adalah nenek moyang.

(36)

3.4 Makna Kontekstual Kata

ﺔّﻠﻣ

/millatun/ dan Kata

ﻦﻳﺩ

/dnun/yang terdapat dalam satu ayat

1. Surah An-Nisa ayat 125 :











/Waman 'ahsanu dīnān mimman 'aslama wajhahu lillāhi wahuwa muḥsinun

wattaba‘a millata 'ibrāhīma ḥanīfān wattakhaża Allahu 'ibrāhīma khalīlān/ “Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang dengan ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang dia mengerjakan kebaikan, dan mengikuti agama

Ibrahim yang lurus? Dan Allah telah memilih Ibarahim menjadi kesayangan(Nya).”

Pada ayat ini terdapat kata

ﺔّﻠﻣ

/millatun/ dan

ﻦﻳﺩ

/dīnun/ yang sama-sama diterjemahkan ‘agama’.Menurut Al-Maragi mengutip riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Hatim (Al-Maragi 1993: 273) yang meriwayatkan dari As-Saddiy bahwa beberapa orang dari kaum Muslimin, Yahudi, dan Nasrani be

Referensi

Dokumen terkait

Van Parijs (2003, 232) päättää toteamalla, että hyvä yhteiskunta on enemmän kuin vain oikeudenmukainen yhteiskunta, mutta ainoa tapa tehdä siitä parempi on pyrkiä

secara logis) dan jelas kepada teman-temannya, guru dan orang lain; (3). Menganalisis dan mengevaluasi pemikiran matematis

I hope that my plea to you good citizens does not go unheard in these dark times, as we need to rally together to make our Guild houses and Temples of Katanal great once

9.Apakah kamu tahu permainan egrang yang juga termasuk olahraga tradisional. Jelaskan yang kamu ketahui tentang

Hasil penelitian menunjukkan pemanfaatan situs sejarah peninggalan peradaban Islam di Kota Malang sebagai sumber belajar dan basis aktifitas pembelajaran merupakan

Capaian Program Jumlah dokumen perencanaan dan penganggaran SKPD yang dibuat secara benr dan tepat waktu sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Photogrammetry and pattern projection are both based on the principle of intersection of directions. In order to locate coordinates, at least two directions are

• The Common Core State Standards (CCSS) requires a shift in focus from high school completion to college and career readiness for all students.. • The CCSS will radically