BAB V PENUTUP
B. Saran
Bank syariah haruslah berhati-hati dalam memberikan pembiayaan terhadap nasabah, karena apabila terjadi kesalahan yang rugi juga pihak bank. Setelah proses ini telah sesuai dengan prosedur barulah membuat akad yang lebih jelas dan transparan agar masing – masing pihak tidak saling dirugikan atau terzholimi.
Dalam proses ta’widh, bank harus mengedepankan prinsip kejujuran dan transparan agar tidak terjerumus ke dalam riba, karena sedikit saja dalam penambahan terhadap pinjaman yang tidak jelas dari mana asalnya dan bukan riil sudah termasuk ke dalam katagori riba.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul , Hakim, Mabaadiy Awwaliyah, Jakarta: Saadiyah Putra, 1927
Abdul , Mujies, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta : PT Pustaka Firdaus, 1994
Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, al Mughni Libni Qudamah, (Riyadh:Maktabah Riyadh al Haditsah),
Abd al-Hamid Mahmud al-Ba’li, Mafahim Asasiyyah fi al-Bunuk al-Islamiyah,( al Qahirah: al-Ma’had al-‘Alami li-al-Fikr al-Islami, 1996),
Al-’Imraani, Abdullah bin Muhammad bin Abdullah, DR, ’Uqud Maaliyah al-Murakkabah, (Dirasah Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyah, 1427H),h. 257
Amalia, Euis, Sejarah Pemikiran Islam dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta;Pusataka Asatruss
Anshori, Abdul Ghofur, Tanya Jawab Perbankan Syariah, Yogyakarta: UII Press, 2008
Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank Syariah Suatu Pengalaman Umum, Jakarta: Tazkia, 2000, cet. 1
Anwar, Syamsul, Hukum Perjanjian Syariah; Studi Tentang Teori Akad Dalam Fikih Muamalah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer
Arab-Indonesia,(Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, cet. I, h. 954
Daryanto, Bahasa Kamus Indonesia Lengkap, Surabaya: APOLLO, 1997
Jadurrabb, al-Ta’wis al-Ittifaqi ‘an ‘Adam Tanfidz al-Iltizam au at-Ta’akhkhur fih: Dirasah Muqaranah Baina al-Fiqh al-Islami wa al-Qanun al-Wadhi’I, (Iskandariah : Dar al-Fikr al-Jamai’I, 2006),
Kamil, Ahmad dan M. Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana, 2007, cet.1
Karim, Adiwarman A., Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: GIP, 2001, cet.1
---, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta:Rajawali press, cet.3
Muhammad, Bank Syariah Analisis kekuatan, Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman, Yogyakarta: Ekononisia, cet. 1
---, Manajemen Bank Syariah, Yogyakarta: LPP AMP YKPN, 2002
Nasrun, H. Haroen, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000, cet. 1
Riawan Amin, Menata Perbankan Syariah di Indonesia,UIn Press, UIN Syarif Hidaytullah Jakarta,2001 cet. 1
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (Beirut:Daar Al fikri)
Siamat, Dahlan, Manajemen lembaga Keuangan, Jakarta: LPFEUI, 1999, edisi. 2
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2001, cet. 18
Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2003
Wiroso, Jual Beli Murabahah, Yogyakarta: UII Press, 2005
Zuhaily, Wahbah, al – Islamy Wa Adillatuhu, Beirut: Dar al Fikr, 2002 , Vol. 2
http://www.republika.co.id/launcher/view/mid/174/kat/17 , BI Rate Pacu Kinerja Bank Syariah
wawancara pribadi dengan Kanny Hidayat, DSN-MUI, 4 Februari 2010
wawancara pribadi dengan Noor Cholis, Kepala Divisi Pengembangan Bisnis dan Cabang PT. Bank Syariah Bukopin, 20 April 2010
Exposure Draft Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 108 : Akuntansi Penyelesaian Utang Piutang Murabahah Bermasalah, Ikatan Akuntan Indonesia.
Peraturan Bank Indonesia nomor: 7/46/PBI/2005 tentang Akad Perhimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Peraturan Bank Indonesia nomor: 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.
Peraturan Bank Indonesia nomor: 10/18/2008 tentang Rektrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
MURABAHAH
ِﻢﻴِﺣﺮﻟﺍ ِﻦﻤﺣﺮﻟﺍ ِﷲﺍ ِﻢﺴِﺑ
Dewan Syari’ah Nasional setelahMenimbang : a. bahwa masyarakat banyak memerlukan bantuan penyaluran dana
dari bank berdasarkan pada prinsip jual beli;
b. bahwa dalam rangka membantu masyarakat guna melang-sungkan dan meningkatkan kesejahteraan dan berbagai kegiatan, bank syari’ah perlu memiliki fasilitas murabahah bagi yang memerlukannya, yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba;
c. bahwa oleh karena itu, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang Murabahah untuk dijadikan pedoman oleh bank syari’ah.
Mengingat : 1. Firman Allah QS. al-Nisa’ [4]: 29:
ﹶﻥﻮـﹸﻜﺗ ﹾﻥﹶﺃ ﱠﻻِﺇ ِﻞـِﻃﺎﺒﹾﻟﺎِﺑ ﻢﹸﻜﻨﻴﺑ ﻢﹸﻜﹶﻟﺍﻮﻣﹶﺃ ﺍﻮﹸﻠﹸﻛﹾﺄﺗﹶﻻ ﺍﻮﻨﻣﺁ ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ ﺎﻬﻳﹶﺃ ﺂﻳ
ﻢﹸﻜﻨِﻣ ٍﺽﺍﺮﺗ ﻦﻋ ﹰﺓﺭﺎﺠِﺗ
...
“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…”.
2. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 275:
…
ﺎﺑﺮﻟﺍ ﻡﺮﺣﻭ ﻊﻴﺒﹾﻟﺍ ُﷲﺍ ﱠﻞﺣﹶﺃﻭ
…
"…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…."
3. Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 1:
ِﺩﻮﹸﻘﻌﹾﻟﺎِﺑ ﺍﻮﹸﻓﻭﹶﺃ ﺍﻮﻨﻣﺁ ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ ﺎﻬﻳﹶﺃﺎﻳ
…
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”
4. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 280:
ٍﺓﺮﺴﻴﻣ ﻰﹶﻟِﺇ ﹲﺓﺮِﻈﻨﹶﻓ ٍﺓﺮﺴﻋﻭﹸﺫ ﹶﻥﺎﹶﻛ ﹾﻥِﺇﻭ
...
Dewan Syariah Nasional MUI
5. Hadis Nabi SAW.:
ِﻪـﻴﹶﻠﻋ ُﷲﺍ ﻰﱠﻠﺻ ِﷲﺍ ﹶﻝﻮﺳﺭ ﱠﻥﹶﺃ ﻪﻨﻋ ﷲﺍ ﻲﺿﺭ ﻱِﺭﺪﺨﹾﻟﺍ ٍﺪﻴِﻌﺳ ﻲِﺑﹶﺃ ﻦﻋ
ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻢﱠﻠﺳﻭ ِﻪِﻟﺁﻭ
:
،ٍﺽﺍﺮﺗ ﻦﻋ ﻊﻴﺒﹾﻟﺍ ﺎﻤﻧِﺇ
)
ـﺑﺍﻭ ﻲﻘﻬﻴﺒﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ
ﻪـﺟﺎﻣ ﻦ
ﻥﺎﺒﺣ ﻦﺑﺍ ﻪﺤﺤﺻﻭ
(
Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka."
(HR. al-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).
6. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah:
ﺍ ﱠﻥﹶﺃ
ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻢﱠﻠﺳﻭ ِﻪِﻟﺁﻭ ِﻪﻴﹶﻠﻋ ُﷲﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻲِﺒﻨﻟ
:
ﹸﺔﹶﻛﺮﺒﹾﻟﺍ ﻦِﻬﻴِﻓ ﹲﺙﹶﻼﹶﺛ
:
ﻰﹶﻟِﺇ ﻊﻴﺒﹾﻟﹶﺍ
ِﻊﻴﺒﹾﻠِﻟ ﹶﻻ ِﺖﻴﺒﹾﻠِﻟ ِﺮﻴِﻌﺸﻟﺎِﺑ ﺮﺒﹾﻟﺍ ﹸﻂﹾﻠﺧﻭ ،ﹸﺔﺿﺭﺎﹶﻘﻤﹾﻟﺍﻭ ،ٍﻞﺟﹶﺃ
)
ﻪﺟﺎﻣ ﻦﺑﺍ ﻩﺍﻭﺭ
ﺐﻴﻬﺻ ﻦﻋ
(
“Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual
beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan
mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah
tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).
7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi:
ﲔِﻤِﻠﺴﻤﹾﻟﺍ ﻦﻴﺑ ﺰِﺋﺎﺟ ﺢﹾﻠﺼﻟﹶﺍ
ﺎﻣﺍﺮﺣ ﱠﻞﺣﹶﺃ ﻭﹶﺃ ﹰﻻﹶﻼﺣ ﻡﺮﺣ ﺎﺤﹾﻠﺻ ﱠﻻِﺇ
ﺎﻣﺍﺮﺣ ﱠﻞﺣﹶﺃ ﻭﹶﺃ ﹰﻻﹶﻼﺣ ﻡﺮﺣ ﺎﹰﻃﺮﺷ ﱠﻻِﺇ ﻢِﻬِﻃﻭﺮﺷ ﻰﹶﻠﻋ ﹶﻥﻮﻤِﻠﺴﻤﹾﻟﺍﻭ
)
ﻑﻮﻋ ﻦﺑ ﻭﺮﻤﻋ ﻦﻋ ﻱﺬﻣﺮﺘﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ
(.
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram” (HR. Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf).
8. Hadis Nabi riwayat jama’ah:
ﻐﹾﻟﺍ ﹸﻞﹾﻄﻣ
ﻢﹾﻠﹸﻇ ﻲِﻨ
…
“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman…”
9. Hadis Nabi riwayat Nasa’i, Abu Dawud, Ibu Majah, dan Ahmad:
ﻪﺘﺑﻮﹸﻘﻋﻭ ﻪﺿﺮِﻋ ﱡﻞِﺤﻳ ِﺪِﺟﺍﻮﹾﻟﺍ ﻲﹶﻟ
.
Dewan Syariah Nasional MUI
10. Hadis Nabi riwayat `Abd al-Raziq dari Zaid bin Aslam:
ﻪﱠﻠﺣﹶﺄﹶﻓ ِﻊﻴﺒﹾﻟﺍ ﻰِﻓ ِﻥﺎﺑﺮﻌﹾﻟﺍ ِﻦﻋ ﻢﱠﻠﺳﻭ ِﻪﻴﹶﻠﻋ ُﷲﺍ ﻰﱠﻠﺻ ِﷲﺍ ﹸﻝﻮﺳﺭ ﹶﻞِﺌﺳ ﻪﻧﹶﺃ
“Rasulullah SAW. ditanya tentang ‘urban (uang muka) dalam jual beli, maka beliau menghalalkannya.”
11. Ijma' Mayoritas ulama tentang kebolehan jual beli dengan cara
Murabahah (Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, juz 2, hal. 161;
lihat pula al-Kasani, Bada’i as-Sana’i, juz 5 Hal. 220-222). 12. Kaidah fiqh:
ﺎﻬِﻤﻳِﺮﺤﺗ ﻰﹶﻠﻋ ﹲﻞﻴِﻟﺩ ﱠﻝﺪﻳ ﹾﻥﹶﺃ ﱠﻻِﺇ ﹸﺔﺣﺎﺑِﻹﹾﺍ ِﺕﹶﻼﻣﺎﻌﻤﹾﻟﺍ ﻰِﻓ ﹸﻞﺻَﻷﹶﺍ
.
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Memperhatikan : Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada hari Sabtu, tanggal 26 Dzulhijjah 1420 H./1 April 2000.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG MURABAHAH
Pertama : Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syari’ah:
1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.
3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang. 6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah
(pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
Dewan Syariah Nasional MUI
Kedua : Ketentuan Murabahah kepada Nasabah:
1. Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu barang atau aset kepada bank.
2. Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
3. Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan janjiyang telah disepakatinya, karena secara hukum janji tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
4. Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
5. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
6. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
7. Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka
a. jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga.
b. jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.
Ketiga : Jaminan dalam Murabahah:
1. Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya.
2. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.
Keempat : Utang dalam Murabahah:
1. Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada bank.
2. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
Dewan Syariah Nasional MUI
kerugian itu diperhitungkan.
Kelima : Penundaan Pembayaran dalam Murabahah:
1. Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian utangnya.
2. Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Keenam : Bangkrut dalam Murabahah:
Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya, bank harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 26 Dzulhijjah 1420 H.
1 April 2000 M
DEWAN SYARI’AH NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua, Sekretaris,
Kepada
SEMUA BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH DI INDONESIA
Perihal : Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/18/PBI/2008 tanggal 25 September 2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4898), perlu diatur ketentuan pelaksanaan dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia dengan pokok ketentuan sebagai berikut:
I. UMUM
1. Sejalan dengan meningkatnya kompleksitas usaha, Bank Umum Syariah
yang selanjutnya disebut BUS dan Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS perlu menjaga kelangsungan usahanya, antara lain dengan meningkatkan kemampuan dan efektivitas dalam mengelola risiko kredit dari aktivitas Pembiayaan (credit risk) serta meminimalkan potensi kerugian.
2. Sebagai salah satu upaya untuk meminimalkan potensi kerugian yang
disebabkan oleh Pembiayaan bermasalah, BUS dan UUS dapat melakukan Restrukturisasi Pembiayaan terhadap nasabah yang mengalami penurunan kemampuan pembayaran dan masih memiliki
prospek usaha yang baik serta mampu memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi.
3. Restrukturisasi Pembiayaan dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal
pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya;
b. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau
seluruh persyaratan Pembiayaan, antara lain perubahan jadwal pembayaran, jumlah angsuran, jangka waktu dan/atau pemberian potongan sepanjang tidak menambah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada BUS atau UUS; dan/atau
c. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan
Pembiayaan yang tidak terbatas pada rescheduling atau
reconditioning, antara lain meliputi:
1) penambahan dana fasilitas Pembiayaan BUS atau UUS;
2) konversi akad Pembiayaan;
3) konversi Pembiayaan menjadi Surat Berharga Syariah Berjangka
Waktu Menengah;
4) konversi Pembiayaan menjadi Penyertaan Modal Sementara pada
perusahaan nasabah.
4. Dalam melaksanakan Restrukturisasi Pembiayaan, BUS dan UUS harus
menerapkan prinsip kehati-hatian dan prinsip syariah serta prinsip akuntansi yang berlaku.
II. KEBIJAKAN DAN PROSEDUR
Kebijakan dan prosedur Restrukturisasi Pembiayaan mencakup paling kurang hal-hal sebagai berikut:
1. Penetapan satuan kerja khusus untuk menangani Restrukturisasi
Pembiayaan.
2. Penetapan limit wewenang memutus Pembiayaan yang direstrukturisasi.
3. Kriteria Pembiayaan yang dapat direstrukturisasi.
4. Sistem dan Standard Operating Procedure Restrukturisasi Pembiayaan,
termasuk penetapan penyerahan Pembiayaan yang akan direstrukturisasi kepada satuan kerja khusus dan penyerahan kembali Pembiayaan yang telah berhasil direstrukturisasi kepada satuan kerja pengelola Pembiayaan.
5. Sistem informasi manajemen Pembiayaan yang direstrukturisasi.
III. SATUAN KERJA KHUSUS
1. Pembentukan satuan kerja khusus Restrukturisasi Pembiayaan
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing BUS dan UUS.
2. Pejabat atau pegawai yang melakukan Restrukturisasi Pembiayaan harus
berbeda dengan pejabat atau pegawai yang terlibat dalam pemberian Pembiayaan.
3. Keputusan Restrukturisasi Pembiayaan harus dilakukan oleh pejabat
yang kedudukannya lebih tinggi dari pejabat yang memutuskan pemberian Pembiayaan.
4. Dalam hal keputusan pemberian Pembiayaan dilakukan oleh pihak yang
memiliki kewenangan tertinggi sesuai anggaran dasar perusahaan, maka keputusan Restrukturisasi Pembiayaan dilakukan oleh pejabat yang kedudukannya setingkat dengan pejabat yang memutuskan pemberian Pembiayaan.
IV. PELAKSANAAN
1. Pembiayaan yang akan direstrukturisasi dianalisis berdasarkan:
a. prospek usaha nasabah dan/atau kemampuan membayar sesuai
proyeksi arus kas untuk nasabah Pembiayaan usaha produktif; atau b. kemampuan …
b. kemampuan membayar sesuai proyeksi arus kas untuk nasabah Pembiayaan non produktif.
2. Pembiayaan kepada pihak terkait yang akan direstrukturisasi dianalisis oleh konsultan keuangan independen yang memiliki izin usaha dan reputasi yang baik.
3. Analisis yang dilakukan BUS atau UUS dan konsultan keuangan
independen terhadap Pembiayaan yang direstrukturisasi dan setiap
tahapan dalam pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan
didokumentasikan secara lengkap dan jelas.
4. Restrukturisasi Pembiayaan dituangkan dalam addendum akad
Pembiayaan dan/atau melakukan akad Pembiayaan yang baru mengikuti karakteristik masing-masing bentuk Pembiayaan.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2, angka 3 dan angka 4 juga diterapkan dalam hal dilakukan Restrukturisasi Pembiayaan yang kedua dan ketiga.
V. PENERAPAN PRINSIP SYARIAH
1. BUS dan UUS dapat mengenakan ganti rugi (ta’widh) kepada nasabah dalam rangka Restrukturisasi Pembiayaan.
2. Ganti rugi ditetapkan sebesar biaya riil yang dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan oleh nasabah dan bukan potensi kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss/al-furshah al-dha-i’ah).
3. Perubahan-perubahan yang disepakati antara BUS atau UUS dengan
nasabah dalam Restrukturisasi Pembiayaan, termasuk penetapan ganti
rugi harus dituangkan dalam addendum akad Pembiayaan.
4. Dalam hal Restrukturisasi Pembiayaan dilakukan melalui konversi akad
maka harus dibuat akad Pembiayaan baru.
VI. TATACARA RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN
Semua jenis Pembiayaan dapat dilakukan restrukturisasi sebagaimana dimaksud pada butir I angka 3 dengan memperhatikan karakteristik masing-masing bentuk Pembiayaan, sebagai berikut:
1. Piutang Murabahah dan Piutang Istishna’
Pembiayaan dalam bentuk piutang murabahah dan piutang istishna’
dapat dilakukan restrukturisasi dengan cara:
a. Penjadwalan kembali (rescheduling).
Restrukturisasi dilakukan dengan memperpanjang jangka waktu jatuh tempo Pembiayaan tanpa mengubah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada BUS atau UUS.
b. Persyaratan kembali (reconditioning).
Restrukturisasi dilakukan dengan menetapkan kembali syarat-syarat Pembiayaan antara lain perubahan jadwal pembayaran, jumlah angsuran, jangka waktu dan/atau pemberian potongan sepanjang tidak menambah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada BUS atau UUS.
c. Penataan kembali (restructuring) dengan melakukan konversi
piutang murabahah atau piutang istishna’ sebesar sisa kewajiban
nasabah menjadi ijarah muntahiyyah bittamlik atau mudharabah atau
musyarakah.
Konversi piutang dimaksud dilakukan sebagai berikut:
1) BUS atau UUS menghentikan akad Pembiayaan dalam bentuk
piutang murabahah atau piutang istishna’ dengan
memperhitungkan nilai wajar obyek murabahah atau istishna’. Dalam hal terdapat perbedaan antara jumlah kewajiban nasabah
dengan nilai wajar obyek murabahah atau istishna’, maka diakui
sebagai berikut:
a) apabila nilai wajar lebih kecil daripada jumlah kewajiban nasabah, maka BUS atau UUS mengakui kerugian sebesar selisih tersebut;
b) apabila nilai wajar lebih besar daripada jumlah kewajiban nasabah, maka selisih nilai tersebut diakui sebagai uang muka
ijarah muntahiyyah bittamlik atau menambah porsi modal
nasabah untuk musyarakah atau mengurangi modal
mudharabah dari BUS atau UUS.
2) Obyek murabahah atau istishna’ sebelumnya menjadi dasar
untuk pembuatan akad Pembiayaan baru.
3) BUS atau UUS melakukan akad Pembiayaan baru dengan
mempertimbangkan kondisi nasabah antara lain golongan
nasabah, jenis usaha, kemampuan membayar (cash flow) nasabah.
Pembuatan akad Pembiayaan baru dalam rangka restrukturisasi mengikuti ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai pelaksanaan prinsip syariah.
4) BUS atau UUS mencantumkan kronologis akad Pembiayaan
sebelumnya dalam akad Pembiayaan baru.
d. Penataan kembali (restructuring) dengan melakukan konversi
menjadi Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah.
Penempatan dalam bentuk Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah dalam rangka restrukturisasi dilakukan sebagai berikut:
1) BUS atau UUS menghentikan akad Pembiayaan dalam bentuk
piutang murabahah atau piutang istishna’.
2) BUS atau UUS membuat akad mudharabah atau musyarakah
dengan nasabah atas Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah yang diterbitkan oleh nasabah atas dasar proyek yang dibiayai.
3) BUS atau UUS memiliki Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah paling tinggi sebesar sisa kewajiban nasabah.
e. Penataan kembali (restructuring) dengan melakukan konversi
menjadi Penyertaan Modal Sementara.
Penyertaan Modal Sementara dalam rangka restrukturisasi dilakukan sebagai berikut:
1) Penyertaan Modal Sementara hanya dapat dilakukan pada
nasabah yang merupakan badan usaha berbentuk hukum Perseroan Terbatas.
2) BUS atau UUS menghentikan akad Pembiayaan dalam bentuk
piutang murabahah atau piutang istishna’.
3) BUS atau UUS membuat akad musyarakah dengan nasabah
untuk Penyertaan Modal Sementara sesuai kesepakatan dengan nasabah atas usaha yang dilakukan.
4) BUS atau UUS melakukan Penyertaan Modal Sementara paling
tinggi sebesar sisa kewajiban nasabah.
Sisa kewajiban nasabah dalam restrukturisasi piutang murabahah atau
piutang istishna’ sebagaimana dimaksud pada butir VI.1 huruf a sampai
dengan huruf e merupakan jumlah pokok dan margin yang belum dibayar oleh nasabah pada saat dilakukan restrukturisasi.
2. Piutang Salam
Pembiayaan dalam bentuk piutang salam dapat dilakukan proses
restrukturisasi dengan cara:
a. Penjadwalan kembali (rescheduling).
Restrukturisasi yang dilakukan dengan memperpanjang jangka waktu jatuh tempo penyerahan barang salam tanpa mengubah spesifikasi dan kekurangan jumlah barang yang harus diserahkan nasabah kepada BUS atau UUS.
b. Persyaratan kembali (reconditioning).
Restrukturisasi yang dilakukan dengan menetapkan kembali syarat– syarat Pembiayaan antara lain spesifikasi barang, jumlah, jangka waktu, jadwal penyerahan, pemberian potongan piutang dan/atau lainnya tanpa menambah nilai barang yang harus diserahkan nasabah kepada BUS atau UUS.
c. Penataan kembali (restructuring) dengan penambahan dana.
Restrukturisasi yang dilakukan dengan penambahan dana oleh BUS atau UUS kepada nasabah agar kegiatan usaha nasabah dapat kembali berjalan dengan baik.
3. Piutang Qardh
Pembiayaan dalam bentuk piutang qardh dapat dilakukan proses
restrukturisasi dengan cara:
a. Penjadwalan kembali (rescheduling).
Restrukturisasi yang dilakukan dengan memperpanjang jangka waktu jatuh tempo Pembiayaan tanpa mengubah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada BUS atau UUS.
b. Persyaratan kembali (reconditioning).
Restrukturisasi yang dilakukan dengan menetapkan kembali syarat– syarat pembiayaan antara lain perubahan jadwal pembayaran, jumlah angsuran, jangka waktu dan/atau pemberian potongan sepanjang tidak menambah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada BUS atau UUS.
Sisa kewajiban nasabah dalam restrukturisasi pembiayaan qardh
sebagaimana dalam butir VI.3 huruf a dan huruf b merupakan jumlah pokok yang belum dibayar oleh nasabah pada saat dilakukan restrukturisasi.
4. Mudharabah dan Musyarakah
Pembiayaan dalam bentuk mudharabah dan musyarakah dapat
dilakukan proses restrukturisasi dengan cara:
a. Penjadwalan kembali (rescheduling).
Restrukturisasi yang dilakukan dengan memperpanjang jangka waktu jatuh tempo Pembiayaan tanpa mengubah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada BUS atau UUS.
b. Persyaratan kembali (reconditioning).
Restrukturisasi yang dilakukan dengan menetapkan kembali syarat– syarat pembiayaan antara lain nisbah bagi hasil, jumlah angsuran, jangka waktu, jadwal pembayaran, pemberian potongan pokok dan/atau lainnya tanpa menambah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada BUS atau UUS.
c. Penataan kembali (restructuring) dengan penambahan dana.
Restrukturisasi yang dilakukan dengan penambahan dana oleh BUS atau UUS kepada nasabah agar kegiatan usaha nasabah dapat kembali berjalan dengan baik.
d. Penataan kembali (restructuring) dengan melakukan konversi
menjadi Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah.
Penempatan dalam bentuk Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah dalam rangka restrukturisasi dilakukan sebagai berikut:
1) BUS atau UUS menghentikan akad Pembiayaan dalam bentuk
mudharabah atau musyarakah.
2) BUS atau UUS membuat akad mudharabah atau musyarakah
dengan nasabah untuk Surat Berharga Berjangka Waktu Menengah yang diterbitkan oleh nasabah atas dasar proyek yang dibiayai.
3) BUS atau UUS memiliki Surat Berharga Syariah Berjangka
Waktu Menengah paling tinggi sebesar sisa kewajiban nasabah.
e. Penataan kembali (restructuring) dengan melakukan konversi menjadi Penyertaan Modal Sementara.
Penyertaan Modal Sementara dalam rangka restrukturisasi dilakukan sebagai berikut:
1) Penyertaan Modal Sementara hanya dapat dilakukan pada
nasabah yang merupakan badan usaha berbentuk hukum Perseroan Terbatas.
2) BUS atau UUS menghentikan akad Pembiayaan dalam bentuk
mudharabah atau musyarakah.
3) BUS atau UUS membuat akad musyarakah dengan nasabah
untuk Penyertaan Modal Sementara sesuai kesepakatan dengan nasabah atas usaha yang dilakukan.
4) BUS atau UUS melakukan Penyertaan Modal Sementara sebesar
sisa kewajiban nasabah.
Sisa kewajiban nasabah dalam restrukturisasi akad Pembiayaan dalam
bentuk mudharabah atau musyarakah sebagaimana dimaksud dalam
butir VI.4 huruf a, huruf b, huruf d dan huruf e merupakan jumlah pokok yang belum dibayar oleh nasabah pada saat dilakukan restrukturisasi. 5. Ijarah dan Ijarah Muntahiyyah Bittamlik
Pembiayaan dalam bentuk ijarah dan ijarah muntahiyyah bittamlik
dapat dilakukan restrukturisasi dengan cara:
a. Penjadwalan kembali (rescheduling).
Restrukturisasi dilakukan dengan memperpanjang jangka waktu