• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN & SARAN

5.2 Saran

5.2.3 Saran Dalam Kaitan Praktis

Dengan adanya pemberitaan kekerasan terhadap anak yang muncul di Harian Medan Pos seharusnya masyarakat sebagai pembaca sadar akan bahaya kekerasan terhadap anak, anak kemungkinan menarik diri dari pergaulan sosialnya, lebih introvert, dan penyesalan yang mendalam akan nasib yang dialaminya. Keadaan ini akan mempengaruhi kepribadian anak kelak. Pengalaman-pengalaman masa kecilnya adalah pengalaman yang paling berharga dalam hidupnya. Dan pengalaman ini akan dijadikan referensi dalam mengatasi problem-problem hidup ketika mereka dewasa kelak. Anak akan selalu merasa bersalah sehingga memiliki self-concept yang salah. Oleh sebab itu masyarakat dapat ikut berperan serta untuk mengurangi tingkat kekerasan terhadap anak dimulai dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1Paradigma Penelitian

2.1.1Perspektif / Paradigma Kajian

Perspektif adalah suatu kerangka konseptual (conceptual framework), suatu perangkat asumsi, nilai, atau gagasan yang mempengaruhi persepsi kita, dan pada gilirannya mempengaruhi cara kita bertindak dalam suatu situasi. Oleh karena itu, tidak ada seorang ilmuan yang berhak mengklaim, bahawa perspektifnya yang benar atau sah, sedangkan perspektif lain salah. Seperti dikemukakan Tucker et al., oleh karena suatu paradigma adalah suatu pandangan dunia dalam memandang segala sesuatu, paradigma mempengaruhi pandangan kita mengenai fenomena, yakni teori. Teori digunakan peneliti untuk menjustifikasi dan memandu penelitian mereka. Mereka juga membandingkan hasil penelitian berdasarkan teori itu untuk lebihjauh mengembangkandan mengaskan teori tersebut. Tingkat perkembangan teoritis suatu bidang akademik merupakan indeks kecanggihan dan kematangan disiplin tersebut. Seraya merujuk kepada Kuhn, Tucker et al. mengatakan bahwa disiplin yang belum matang ditandai dengan persaingan di antara paradigma – paradigma, kurangnya khasanah teori yang terintegerasi, dan pengumpulan fakta yang bersifat acak. Namun pendapat Kuhn mungkin hanya cocok untuk ilmu – ilmu alam dan eksakta. Bagi sebagian ilmu sosial, keistimewaan ilmu sosial, justru keanekaragaman perspektifnya. Objek ilmu – ilmu alam (yang statis, tidak punya kemauan bebas) memang berada dengan objek ilmu sosial, yakni manusia, yang mempunyai jiwa dan kemauan bebas. Persaingan paradigma dalam disiplin komunikasi, misalnya, antara lain disebabkan rumitnya fenomena komunikasi. Frank Dance mengakui, disiplin komunikasi tidak punya grand theories, sejumlah teori parsial, dan banyak teori yang partikularistik, berdasarkan alas an berikut.

• Sifat komunikasi yang hadir di mana – mana membuat penjelasan menjadi sulit.

• Fakta bahwa komunikasi adalah instrument dan objek studi

• Kekuatan dan pelecehan yang berasal dari perdebatan para digmatik.

• Persaingan antara disiplin – disiplin yang berkaitan.

Dalam bidang keilmuan, sekali lagi, perspektif akan mempengaruhi definisi, model atau teori kita yang pada gilirannya mempengaruhi cara kita melakukan penelitian. Perspektif tersebut menjelaskan asumsi – asumsinya yang spesifik mengenai bagaimana penelitian harus dilakukan dalam bidang yang bersangkutan. Perspektif menentukan apa yang dianggap fenomena yang relevan bagi penelitian dan metode yang sesuai untuk menemukan hubungan di antara fenomena, yang kelak disebut teori.

Oleh karena setiap peneliti memandang bidang ilmunya secara berbeda, ia cenderung menafsirkan fenomena yang sama dengan cara yang berbeda pula. Oleh karena tidak adannya paradigma, model, dan sudut pandang yang diterima secara universal, semua interpretasi yang beraneka ragam dan sering tidak konsisten itu sama – sama absah. Keragaman paradigma berguna karena hal itu memberikan berbagai perspektif mengenai fenomena yang sama. Agar metode itu disebut ilmiah, kita harus dapat memahami apa yang kita lakukan, dan bagaimana kesimpulan yang kita peroleh. Berdasarkan kriteria ini, hamper semua metode bersifat ilmiah bila peneliti dapat mempertahankan pengamatan dan hasilnya secara sistematis dan teratur karena ada kejelasan dari panduan yang ada, antara lain memperhatikan tingkat kepercayaan data dan tafsiran, serta keterbukaan terhadap keritik dari public. Seperti ditegaskan Tucker et al., bila suatu paradigma menjelaskan dan meramalkan suatu fenomena, paradigma itu memperoleh lebih banyak pendukukung. Lebih banyak lagi ilmuan yang mengeksplorasi, memperbaiki dan menyempurnakan paradigma tersebut. Penelitian – penelitian dan laporan – laporan penelitian berdasarkan paradigma tersebut berlipat ganda sementara paradigma – paradigma saingannya memperoleh sedikit perhatian. Lebih banyak orang menerima paradigma yang bersangkutan, dan para penentangnya tersisihkan. Menurut Tucker et al., paradigma tersebut berkembang

sepanjang terus memungkinkan kita berhasil mengatasi problem kita dan menjelaskan fenomena yang kita teliti (Mulyana, 2004, 18).

Paradigma merupakan suatu kepercayaan atau prinsip dasar yang ada dalam diri seseorang tentang pandangan dunia dan bentuk cara pandangnya terhadap dunia. Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Sebagaimana dikatakan Patton, paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya: paradigma menunjukkan pada mereka apa yang penting, absah, dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan kepada praktisnya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epistemologis yang panjang (Mulyana, 2004:9).

Di dalam buku Semiotika Komunikasi R.Bailey berpendapat bahwa paradigma merupakan jendela mental (mental window) seseorang untung melihat dunia.

Perbedaan antara paradigma penelitian biasa dilihat melalui empat dimensi, yaitu:

1. Epitemologi, yang antara lain menyangkut asumsi mengenai hubungan antara peneliti dan yang diteliti dalam proses untuk memperoleh pengetahuan mengenai objek yang diteliti.

2. Ontologi, yang berkaitan denga asumsi mengenai objek atau realitas sosial yang diteliti.

3. Metodologis, yang berisi asumsi – asumsi mengenai bagaimana cara memperoleh pengetahuan mengenai suatu objek pengetahuan.

4. Aksiologis, yang berkaitan dengan posisi value judgements, etika an pilihan moral peneliti dalam suatu penelitian.

Paradigma dalam pandanga filosofis, memuat pandangan awal yang membedakan, memperjelas dan mempertajam orientasi berfikir seseorang. Dengan demikian paradigma membawa konsekuensi praktis berprilaku, cara berfikir, interpretasi dan kebijakan dalam pemilihan terhadap masalah (Salim, 2000:70).

2.1.2 Positivisme

Positivisme berasal dari kata “positif”. Kata positif di sini sama artinya dengan faktual, yaitu apa yang didasarkan fakta-fakta. Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik, tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik). Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis dihindari.

Positivisme lahir sebagai evolusi lanjut dari empirisme. Paham ini meyakini, semesta hadir melalui data empirik sensual tertangkap indra. Ajaran positivist menyatakan, puncak pengetahuan manusia adalah ilmu yang dibangun berdasarkan fakta empirik sensual : teramati, terukur, teruji, terulang dan teramalkan. Dan, karenanya, ia sangat kuantitatif (Vardiansyah, 2008).

Awalnya adalah Auguste Comte (1798-1857), dikenal sebagai bapak sosiologi modern, yang mencetuskan pemikirannya pada abad ke-19. Comte mengurai secara garis besar prinsip-prinsip positivisme yang hingga kini masih digunakan. Menurut Comte, alam pikir manusia berkembang dalam tiga tahap : teologik, metafisik dan positif. Pada jenjang teologik, manusia memandang segala sesuatu didasarkan adanya dewa, roh, atau Tuhan. Pada tahap metafisik, penjelasan fenomena alam didasarkan pada pengertian-pengertian metafisik seperti substansi, bentuk, dan sejenisnya. Pada jenjang positif, manusia mengadakan pencarian pada ilmu absolut yang positif. Inilah akar kata positivisme (Vardiansyah, 2008).

Positivisme lahir dan berkembang sebagai jawaban tegas atas kegagalan filsafat spekulatif. Para penganut positivisme sejak awal memang menolak metode

spekulasi teoritis yang digunakan untuk merumuskan pengetahuan karena menurut pandangan mereka, cara spekulatif sudah jauh keluar dari maksud pencarian kebenaran yang sebenarnya. Alasan mereka juga, kebenaran pengetahuan harus dapat teruji melalui verifikasi data / realitas yang ada.

Pada tahap awal, para ilmuwan yang bersikukuh memperkenalkan paradigma ini kebanyakan muncul dari kalangan ilmu-ilmu alam yang berkembang pesat pada masa itu. Dengan kata lain, positivisme sendiri sejak perkembangan awalnya merupakan suatu aliran pemikiran filsafat yang secara tegas menyatakan bahwa ilmu-ilmu alam (empiris) sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak nilai kognitif dari studi filosofis atau metafisik (Narwaya, 2006). Comte menegaskan, dengan memberi penekanan pada aspek metodologi, positivisme berpendapat bahwa pengetahuan ilmu menganut tiga prinsip utama: empiris-objektif, deduktif-nomologis (jika…,maka…), serta instrumental-bebas nilai. Prinsip ini tidak hanya berlaku pada ilmu-ilmu alam, tapi juga harus berlaku pada ilmu-ilmu sosial. Implikasinya terurai sebagai berikut.

1. Prosedur metodologis ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan pada ilmu-ilmu sosial. Sebagaimana pada ilmu-ilmu yang objeknya benda alam, subjektivitas manusia tidak boleh mengganggu observasi atas tindakan sosial. Artinya, objek ilmu sosial disejajarkan dengan objek ilmu-ilmu alam.

2. Seperti dalam ilmu-ilmu alam, hasil riset ilmu-ilmu sosial dirumuskan dalam bentuk hukum-hukum yang universal, berlaku kapan pun dan dimana pun, yang dalam bahasa filsafat ilmu disebut nomothetik.

3. Ilmu-ilmu sosial harus bersifat teknis, menyediakan pengetahuan yang instrumental murni, tidak memihak. Pengetahuan harus dapat dipakai untuk keperluan apa saja, sehingga tidak bersifat etis. Dengan kata lain, sebagaimana ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial harus bebas nilai dan tidak berpihak. Ilmu adalah untuk ilmu (Vardiansyah, 2008).

2.2 Kajian Pustaka 2.2.1. Komunikasi

Komunikasi terjadi sejak manusia hidup lebih dari seorang karena komunikasi merupakan sarana interaksi manusia. Tidak mungkin ada interaksi tanpa komunikasi, baik dengan cara sederhana maupun dengan sarana canggih, bahkan kelompok hewan juga berkomunikasi dengan sesamanya menggunakan bahasa yang mereka mengerti. Sebagai contoh di masa lalu, suku Indian memakai asap sebagai saran komunikasi jarak jauh, sedangkan beberapa suku di berbagai belahan dunia meniru suara yang ada di sekitarnya, seperti suara burung untuk memberi tanda tentang sesuatu. Sistem komunikasi seperti itu sering dikatakan sebagai bahasa isyarat (Mondry, 2008: 1).

Istilah komunikasi (communication) berasal dari kata: common, yang berarti “sama”, dengan maksud sama makna, sehingga secara sederhana dapat dikatakan bahwa komunikasi merupakan proses menyamakan persepsi, pikiran dan rasa antara komunikator dengan komunikan (Mondry, 2008:1).Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa ingin berhubungan dengan manusia lainnya. Ia ingin mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya. Rasa ingin tahu ini memaksa manusia perlu berkomunikasi (Cangara, 2006:1).

Banyak pakar menilai bahwa komunikasi adalah suatu kebutuhan yang sangat fundamental bagi seseorang dalam hidup bermasyarakat. Sebuah definisi yang dibuat oleh kelompok sarjana komunikasi yang mengkhususkan diri pada studi komunikasi antarmanusia (human communication) bahwa:

“Komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan (1) membangun hubungan antarsesama manusia (2) melalui pertukaran informasi (3) untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain (4) serta berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu” (Cangara, 2006:18-19).

Seperti pendapat Everett M. Rogers seorang pakar Sosiologi Pedesaan Amerika dalam (Cangara, 2006:19) yang telah banyak memberi perhatian pada studi riset komunikasi, khususnya dalam hal penyebaran inovasi membuat definisi bahwa: Komunikasi adalah proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.

Dalam suatu komunikasi harus ada unsur komunikasi di dalam nya. Supaya proses komunikasi berlangsung baik, setiap unsur harus berperan dengan baik. Salah satu saja dari unsur komunikasi tersebut tidak berjalan dengan baik, tentu komunikasi tersebut akan terganggu. Unsur-unsur komunikasi tersebut adalah (Cangara 1998: 22-27) :

a. Sumber

Semua peristiwa komunikasi akan melibatkan sumber sebagai pembuat atau pengirim informasi. Sumber sering disebut pengirim, komunikator, atau source, sender, atau encoder.

b. Pesan

Pesan (message, content, atau information) yang dimaksud dalam proses komunikasi adalah sesuatu yang disampaikan pengirim kepada penerima. Pesan dapat disampaikan melalui tatap muka atau melalui media komunikasi.

c. Media

Media yang dimaksud disini adalah alat yang digunakan untuk memindahkan pesan dari sumber kepada penerima. Dalam komunikasi antarpribadi pancaindra dianggap sebagai media komunikasi. Selain pancaindra manusia, telepon, surat, telegram juga digolongkan sebagai media komunikasi antarpribadi. Dalam komunikasi massa media komunikasi dapat dibedakan kedalam dua macam, yakni media cetak dan media media elektronik. Media cetak bisa berupa surat kabar, majalah, buku, leaflet, brosur, stiker, buletin, hand out, poster, spanduk, dan sebagainya. Sementara media elektronik dapat berupa radio, film, televisi, video recording, komputer, dan sebagainya.

d. Penerima

Penerima adalah pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh sumber. Penerima bisa terdiri satu orang atau lebih, bisa dalam bentuk kelompok, partai, atau negara. Penerima biasa disebut dalam berbagai istilah seperti khalayak, sasaran, komunikan, audience atau reciever. e. Pengaruh

Pengaruh atau efek adalah perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan. Pengaruh ini bisa terjadi pada pengetahuan, sikap, dan tingkah laku seseorang.oleh karena itu, pengaruh bisa juga diartikan perubahan atau penguatan keyakinan pada pengetahuan, sikap, dan tindakan seseorang sebagai akibat penerima pesan.

f. Tanggapan balik

Ada yang beranggapan bahwa umpan balik sebenarnya adalah salah satu bentuk daripada pengaruh yang berasal dari penerima. Akan tetapi sebenarnya umpan balik bisa juga berasal dari unsur lain seperti pesan dan media, meski pesan belum sampai pada penerima.

g. Lingkungan

Lingkungan atau sesuatu ialah faktor-faktor tertentu yang dapat memengaruhi jalannya komunikasi. Faktor ini dapat digolongkan atas empat macam, yakni lingkungan fisik, lingkungan sosial budaya, lingkungan psikologis, dan dimensi waktu.

Komunikasi antarmanusia hanya bisa terjadi jika ada seseorang yang menyampaikan pesan kepada orang lain dengan tujuan tertentu, artinya komunikasi hanya bisa terjadi kalau didukung oleh adanya sumber, pesan, media, penerima dan efek. Unsur-unsur ini bisa juga disebut komponen atau elemen komunikasi (Cangara, 2006:21).

Terdapat beberapa macam pandangan tentang banyaknya unsur atau elemen yang mendukung terjadinya komunikasi. Ada yang menilai bahwa terciptanya proses komunikasi, cukup didukung oleh tiga unsur, sementara ada juga yang menambahkan umpan balik dan lingkungan selain kelima unsur yang telah disebutkan (Cangara, 2006:21).

1. Fungsi Komunikasi

Menurut Verderber (1978) dalam (Mondry, 2008:9) mengemukakan:

“Komunikasi itu memiliki dua fungsi; meliputi fungsi sosial dan pengambilan keputusan. Fungsi sosial bertujuan untuk kesenangan, menunjukkan ikatan, membangun dan memelihara hubungan dengan orang lain. Pengambilan keputusan adalah berupa memutuskan melakukan atau tidak melakukan sesuatu pada saat tertentu, misalnya apakah dirinya harus kuliah atau bekerja di pagi ini, bagaimana mempersiapkan diri menghadapi ujian di kampus atau tes promosi pekerjaan dikantor. Keputusan yang diambil seseorang sebagian ditetapkannya sendiri, sebagian lagi diputuskan setelah orang itu berkonsultasi/ membicarakannya dengan orang lain”

Menurut Zimmerman (1978) dalam (Mondry, 2008:10) membagi komunikasi menjadi empat fungsi yang tidak saling meniadakan, meliputi komunikasi sosial, komunikasi ekspresif, komunikasi ritual dan komunikasi instrumental. Fungsi komunikasi menurut (Effendy, 2003:55) adalah menginformasikan (to inform), mendidik (to educate), menghibur (to entertaint) dan mempengaruhi (to influence).

William I. Gorden (dalam Deddy Mulyana, 2005:5-30) mengkategorikan fungsi komunikasi menjadi empat, yaitu:

Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial setidaknya mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep diri kita, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan, antara lain lewat komunikasi yang bersifat menghibur, dan memupuk hubungan hubungan orang lain. Melalui komunikasi kita bekerja sama dengan anggota masyarakat (keluarga, kelompok belajar, perguruan tinggi, RT, desa, ..., negara secara keseluruhan) untuk mencapai tujuan bersama.

a. Pembentukan konsep diri. Konsep diri adalah pandangan kita mengenai diri kita, dan itu hanya bisa kita peroleh lewat informasi yang diberikan orang lain kepada kita. Melalui komunikasi dengan orang lain kita belajar bukan saja mengenai siapa kita, namun juga bagaimana kita merasakan siapa kita. Anda mencintai diri anda bila anda telah dicintai; anda berpikir anda cerdas bila orang-orang sekitar anda menganggap anda cerdas; anda merasa tampan atau cantik bila orang-orang sekitar anda juga mengatakan demikian. George Herbert Mead (dalam Jalaluddin Rakhmat, 1994) mengistilahkan significant others (orang lain yang sangat penting) untuk orang-orang disekitar kita yang mempunyai peranan penting dalam membentuk konsep diri kita. Ketika kita masih kecil, mereka adalah orang tua kita, saudara-saudara kita, dan orang yang tinggal satu rumah dengan kita. Richard Dewey dan W.J. Humber (1966) menamai affective others, untuk orang lain yang dengan mereka kita mempunyai ikatan emosional. Dari merekalah, secara perlahan-lahan kita membentuk konsep diri kita. Selain itu, terdapat apa yang disebut dengan reference group (kelompok rujukan) yaitu kelompok yang secara emosional mengikat kita, dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri kita. Dengan melihat ini, orang mengarahkan perilakunya dan menyesuaikan dirinya dengan ciri-ciri kelompoknya. Kalau anda memilih kelompok rujukan anda Ikatan Dokter Indonesia, anda menjadikan norma-norma dalam Ikatan ini sebagai ukuran perilaku anda. Anda juga meras diri sebagai bagian dari kelompok ini, lengkap dengan sifat-sifat doketer menurut persepsi anda.

b. Pernyataan eksistensi diri. Orang berkomunikasi untuk menunjukkan dirinya eksis. Inilah yang disebut aktualisasi diri atau lebih tepat lagi pernyataan eksistensi diri. Fungsi komunikasi sebagai eksistensi diri terlihat jelas misalnya pada penanya dalam sebuah seminar. Meskipun mereka sudah diperingatkan moderator untuk berbicara singkat dan langsung ke pokok masalah, penanya atau komentator itu sering berbicara panjang lebarm mengkuliahi hadirin, dengan argumen-argumen yang terkadang tidak relevan.

c. Untuk kelangsungan hidup, memupuk hubungan, dan memperoleh kebahagiaan. Sejak lahir, kita tidak dapat hidup sendiri untuk mempertahankan hidup. Kita perlu dan harus berkomunikasi dengan orang lain, untuk memenuhi kebutuhan biologis kita seperti makan dan minum, dan memnuhi kebutuhan psikologis kita seperti sukses dan kebahagiaan. Para psikolog berpendapat, kebutuhan utama kita sebagai manusia, dan untuk menjadi manusia yang sehat secara rohaniah, adalah kebutuhan akan hubungan sosial yang ramah, yang hanya bisa terpenuhi dengan membina hubungan yang baik dengan orang lain. Abraham Moslow menyebutkan bahwa manusia punya lima kebutuhan dasar: kebutuhan fisiologis, keamanan, kebutuhan sosial, penghargaan diri, dan aktualisasi diri. Kebutuhan yang lebih dasar harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum kebuthan yang lebih tinggi diupayakan. Kita mungkin sudah mampu kebuthan fisiologis dan keamanan untuk bertahan hidup. Kini kita ingin memenuhi kebutuhan sosial, penghargaan diri, dan aktualisasi diri. Kebutuhan ketiga dan keempat khususnya meliputi keinginan untuk memperoleh rasa lewat rasa memiliki dan dimiliki, pergaulan, rasa diterima, memberi dan menerima persahabatan. Komunikasi akan sangat dibutuhkan untuk memperoleh dan memberi informasi yang dibutuhkan, untuk membujuk atau mempengaruhi orang lain, mempertimbangkan solusi alternatif atas masalah kemudian mengambil keputusan, dan tujuan-tujuan sosial serta hiburan.

2. Sebagai komunikasi ekspresif

Komunikasi berfungsi untuk menyampaikan perasaan-perasaan (emosi) kita. Perasaan-perasaan tersebut terutama dikomunikasikan melalui pesan-pesan nonverbal. Perasaan sayang, peduli, rindu, simpati, gembira, sedih, takut, prihatin, marah dan benci dapat disampaikan lewat kata-kata, namun bisa disampaikan secara lebih ekpresif lewat perilaku nonverbal. Seorang ibu menunjukkan kasih sayangnya dengan membelai kepala anaknya. Orang dapat menyalurkan kemarahannya dengan mengumpat, mengepalkan tangan seraya melototkan matanya, mahasiswa memprotes kebijakan penguasa negara atau penguasa kampus dengan melakukan demontrasi.

3. Sebagai komunikasi ritual

Suatu komunitas sering melakukan upacara-upacara berlainan sepanjang tahun dan sepanjang hidup, yang disebut para antropolog sebagarites of passage, mulai dari upacara kelahiran, sunatan, ulang tahun, pertunangan, siraman, pernikahan, dan lain-lain. Dalam acara-acara itu orang mengucapkan kata-kata atau perilaku-perilaku tertentu yang bersifat simbolik. Ritus-ritus lain seperti berdoa (salat, sembahyang, misa), membaca kitab suci, naik haji, upacara bendera (termasuk menyanyikan lagu kebangsaan), upacara wisuda, perayaan lebaran (Idul Fitri) atau Natal, juga adalah komunikasi ritual. Mereka yang berpartisipasi dalam bentuk komunikasi ritual tersebut menegaskan kembali komitmen mereka kepada tradisi keluarga, suku, bangsa. Negara, ideologi, atau agama mereka.

4. Sebagai komunikasi instrumental

Komunikasi instrumental mempunyai beberapa tujuan umum, yaitu: menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah sikap, menggerakkan tindakan, dan juga menghibur. Sebagai instrumen, komunikasi tidak saja kita gunakan untuk menciptakan dan membangun hubungan, namun juga untuk menghancurkan hubungan tersebut. Studi komunika membuat kita peka terhadap

berbagai strategi yang dapat kita gunakan dalam komunikasi kita untuk bekerja lebih baik dengan orang lain demi keuntungan bersama.

Komunikasi berfungsi sebagi instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi dan pekerjaan, baik tujuan jangka pendek ataupun tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek misalnya untuk memperoleh pujian, menumbuhkan kesan yang baik, memperoleh simpati, empati, keuntungan material, ekonomi, dan politik, yang antara lain dapat diraih dengan pengelolaan kesan (impression management), yakni taktik-taktik verbal dan nonverbal, seperti berbicara sopan, mengobral janji, mengenakankan pakaian necis, dan sebagainya yang pada dasarnya untuk menunjukkan kepada orang lain siapa diri kita seperti yang kita inginkan.

Sementara itu, tujuan jangka panjang dapat diraih lewat keahlian komunikasi, misalnya keahlian berpidato, berunding, berbahasa asing ataupun keahlian menulis. Kedua tujuan itu (jangka pendek dan panjang) tentu saja saling berkaitan dalam arti bahwa pengelolaan kesan itu secara kumulatif dapat digunakan untuk mencapai tujuan jangka panjang berupa keberhasilan dalam karier, misalnya

Dokumen terkait