• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.2 Saran

5.2.3 Saran Dalam Kaitan Praktis

1. Penelitian ini yang bersifat deskriptif untuk menggambarkan pengaruh program “Sumut Dalam Berita” terhadap kebutuhan informasi lokal. Adanya pengaruh positif diharapkan program “Sumut Dalam Berita” terus memuat berita lokal di Sumatera Utara dan terus memperbaharui informasi yang terjadi di Sumatera Utara.

2. Banyaknya keunikan yang ada di Sumatera Utara misalnya di daerah-daerah terpencil yang belum diekspos/disorot oleh media, diharapkan program “Sumut Dalam Berita” melalui jurnalis mampu menggali dan membuat tampilan dan suara yang kreatif untuk lebih menarik minat penonton.

Dengan adanya program “Sumut Dalam Berita” diharapkan dapat mengangkat keunikan-keunikan masyarakat Sumatera Utara ke tengah permukaan yang belum diketahui masyarakat luas.

BAB II

URAIAN TEORITIS

2.1Paradigma Kajian

Penelitian pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan suatu kebenaran atau untuk lebih mudah membenarkan kebenaran. Usaha umtuk mencari kebenaran dilakukan oleh para filsuf, peneliti maupun para praktisi melalui model-model tertentu. Model-model tertentu biasanya disebut dengan paradigma (Moleong, 2010: 34).

Paradigma bukanlah teori-teori, namun lebih merupakan cara pandang atau pola-pola untuk penelitian yang diperluas dan dapat menuju pembentukan suatu teori. Setiap penelitian yang diperluas dan dapat menuju pembentukan suatu teori. Setiap penelitian memerlukan paradigm teori dan model teori sebagai dasar dalam menyusun kerangka penelitian. Paradigma adalah cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif) dan bertingkah laku (konatif). Karenanya paradigma sangat menentukan bagaimana seorang ahli memandang komunikasi yang menjadi objek ilmunya (Vardiansyah, 2008: 27).

Dalam Dani Vardiansyah (2008: 27-28) memberi uraian atas ketiga paradigma sebagai hasil “kesepakatan untuk tidak sepakat” dari para teoretisi komunikasi; dan karenanya akan menentukan “aliran” atau “mahzab” yang dianut:

a. Paradigma-1: komunikasi harus terbatas pada pesan yang sengaja diarahkan seseorang dan diterima oleh orang lainnya. Paradigma ini menyatakan bahwa pesan harus disampaikan dengan sengaja dan pesan itu harus diterima. Artinya, untuk dapat terjadi komunikasi harus terdapat: (a) komunikator pengirim, (b) pesan itu sendiri, (c) komunikan penerima. Implikasinya, jika

pesan itu tidak diterima, tidak ada komunikan karena tidak ada manusia yang menerima pesan. Jadi, tidak ada komunikasi dan proses komunikasi yang merupakan kajian paradigma ini. Misalnya, ketika seorang teman melambai pada Anda tapi Anda tidak melihat, ini bukan komunikasi yang menjadi kajiannya, karena Anda selaku komunikan tidak menerima pesan itu. Tidak ada komunikan tidak menerima pesan itu. Tidak ada komunikan dan karenanya tidak ada komunikasi dan proses komunikasi antara Anda dengan teman itu.

b. Paradigma-2: komunikasi harus mencakup semua perilaku yang bermakna bagi penerma, apakah disengaja ataupun tidak disengaja. Paradigma ini menyatakan nahwa pesan tidak harus disampaikan dengan sengaja, tetapi harus diterima. Paradigma ini relatif tidak mengenal istilah komunikan penerima. Biasanya dalam penggambaran model, pada dua titik pelaku komunikasi dinamai sebagai komunikator mengingat bahwa keduanya punya peluang untuk menyampaikan pesan – disengaja atau tidak – yang dimaknai oleh pihak lainnya. Atau, keduanya disebut sebagai komunikan yang dimaknai sebagai semua manusia pelaku komunikasi. Intinya, selama ada pemaknaan pesan pada salah satu pihak adalah komunikasi yang menjadi kajiannya. Maka ketika Anda dengan tidak sengaja melenggang di tepi jalan dan sopir taksi berhenti serta bertanya, “Taksi, Pak?” ini adalah komunikasi yang menjadi kajiannya karena sopir itu telah memaknai lenggangan Anda yang tidak sengaja sebagai panggilan terhadapnya, tanpa terlalu mempersoalkan siapa pengirim dan penerima.

a. Paradigma-3: komunikasi harus mencakup pesan-pesan yang disampaikan dengan sengaja, namun derajat kesengajaan sulit ditentukan. Paradigma ini menyatakan bahwa pesan harus disampaikan dengan sengaja, tetapi tidak mempersoalkan apakah pesan diterima atau tidak. Artinya, untuk dapat terjadi komunikasi harus ada: (a) komunikator pengirim, (b) pesan, (c) target komunikan penerima. Ketika seorang teman melambaikan tangan tapi Anda tidak melihat, ini sudah merupakan komunikasi yang menjadi kajiannya, pertanyaannya adalah mengapa pesan itu tidak Anda terima?

Gangguan apa yang sedang terjadi pada salurannyakah? Pada alat penerima (mata Anda)? Atau ada hal lainnya?

Ketiga paradigma ini dapat digambarkan dalam tabel berikut:

Tabel 2.1

Tabel Paradigma Objek Kajian Ilmu Komunikasi

Sengaja Diterima Syarat

Paradigma-1 V V Komunikator, pengirim pesan dan

komunikan penerima

Paradigma-2 X V Tidak mempersoalkan komunikator

– komunikasi selama ada pihak yang menerima dan memaknai pesan.seluruh pelaku komunikasi disebut komunikator atau bahkan

mendefinisikannya sebagai komunikan: manusia pelaku komunikasi

Paradigma-3 V X Komunikator, pesan dan target

komunikan

Penelitian kuantitatif pada dasarnya lahir dan berkembang dari tradisi ilmu-ilmu sosial Inggris dan Perancis yang dipengaruhi tradisi ilmu-ilmu-ilmu-ilmu alam (eksakta dan karenanya terukur). Dari sini lahir dan berkembang ilmu sosial dengan latar positivism yang mengedepankan penelitian kuantitatif untuk menjelaskan fenomena sosial. Dilihat dari paradigma filsafat ilmunya, penelitian komunikasi kuantitatif-positivist memandang manusia sebagai makhluk jasmaniah yang sehari-hari bertindak atau member respons terhadap stimulus yang diterimanya.

Tindakan atau respons terhadap stimulus ini tergantung pada tuntutan organismik yang secara alamiah tersimpan di dalam diri manusia itu sendiri dan/atau dari luar manusia sebagai bagian dari struktur sosial yang melingkunginya. Karena itu, suatu fenomena sosial dipandang sebagai akibat atau fungsi dari bekerjanya faktor organismik internal tertentu dalam diri manusia dan/atau faktor lingkungan eksternal sebagai bagian dari struktur sosialnya. Dari sini lahir tradisi penelitian yang berupaya mengidentifikasi dan mengukur faktor, dalam bentuk variabel-variabel apa saja yang mempengaruhi atau menyebabkan suatu fenomena komunikasi.

Paradigma positivisme adalah satu aliran filsafat yang menolak unsur metafisik dan teologik dari realitas sosial. Karena penolakannya terhadap unsure tersebut, positivisme kadang-kadang dianggap sebagai sebuah varian dari materialisme. Menurut Susman dan Evered tahun 1978 dalam Emzir (2012: 243-244), paradigma positivism merupakan paradigma yang didasarkan pada perpaduan atau kombinasi antara angka dan menggunakan rancangan penelitian kuantitatif dalam mengungkapkan suatu fenomena secara objektif. Peneliti mengambil pendekatan partikularistik dengan fokus yang diteliti sangat spesifik berupa variabel-variabel tertentu saja bukan bersifat holistik yang meliputi aspek yang cukup luas atau tidak dibatasi pada variabel tertentu.

Dalam penelitian kuantitatif diyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang valid adalah ilmu pengetahuan, yaitu pengetahuan yang berawal dan didasarkan pada pengalaman yang tertangkap lewat pancaindra untuk kemudian diolah oleh nalar. Secara epistemologis, dalam penelitian kuantitatif diterima sebagai suatu paradigma bahwa sumber pengetahuan yang paling utama adalah fakta yang sudah pernah terjadi dan lebih khusus lagi hal-hal yang dapat ditangkap panca indera (exposed to sensory experience). Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa secara ontologisme, objek studi penelitian kuantitatif adalah fenomena dan hubungan-hubungan umum antara fenomena-fenomena (general relations between phenomena). Yang dimaksud dengan fenomena disini adalah sejalan dengan prinsip sensory experience yang terbatas pada external appeareance given in sense perception saja. Karena pengetahuan itu bersumber dari fakta yang

diperoleh melalui pancaindra , maka ilmu pengetahuan harus didasarkan pada eksperimen, induksi dan observasi.

Terdapat sejumlah asumsi dalam penelitian kuantitatif sebagai dasar ontologisnya dalam melihat fakta atau gejala. Asumsi-asumsi tersebut adalah (1) objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain baik bentuk, struktur, sifat maupun dimensi lainnya; (2) suatu benda atau keadaan tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu; (3) suatu gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan, melainkan merupakan akibat dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jadi diyakini adanya deterninisme atau proses sebab akibat (kausalitas).

Sejalan dengan penjelasan di atas, secara epistemologi, paradigma kuantitatif berpandangan bahwa sumber ilmu itu teridiri dari dua, yaitu pemikiran rasional data empiris. Karena itu, ukuran kebenaran terletak pada koherensi dan korespondensi. Koheren berarti sesuai dengan teori-teori terdahulu dan korespondensi berarti sesuai dengan kenyataan empiris.

Dalam hal ini peneliti menggunakan metodologi penelitian komunikasi kuantitatif-positivisme dengan pendekatan survei. Dalam survei, informasi dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuisioner dan data dikumpulkan dari sampel yang mewakili populasi. Apabila sampel diambil dari seluruh populasi dengan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpul data yang pokok. Survei cenderung digunakan digunakan untuk melihat hubungan antarvariabel (Vardiansyah, 2008: 67).

Penelitian survei adalah penelitian yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual, baik tentang instituisi sosial, ekonomi atau politik dari suatu kelompok ataupun suatu daerah (Hasan, 2002: 13). Dalam penelitian survei ini dikerjakan evaluasi serta perbandingan-perbandingan terhadap hal-hal yang telah dikerjakan orang dalam menangani situasi atau masalah yang serupa dan hasilnya dapat digunakan dalam pembuatan rencana dan pengambilan keputusan di masa datang.

Penelitian dilakukan terhadap sejumlah individu atau unit, baik secara sensus maupun dengan sampel.

Dalam hal ini, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat serta tata cara yang berlaku dalam masyarakt serta situasi-situasi termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan serta proses-proses yang sedang berlangsung danpengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. Jadi penelitian deskriptif dimaksudkan untuk pengukuran yang cermat terhadap fenomena-fenomena masyarakat (sosial) tertentu, misalnya perceraian, pengangguran, keadaan gizi, preferensi terhadap politik tertentu dan lain-lain.

Vardiasyah dalam bukunya Filsafat Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (2008: 68) umumnya, dalam upaya mengejar objektivitas dan generalisasi universalitas yang diinginkannya, penelitian komunikasi kuantitatif-positivisme meliputi beberapa criteria tugas pokok yaitu:

1. Merumuskan masalah dan menetapkan kerangka teori yang akan digunakan untuk mengupas masalah penelitian.

2. Dalam kerangka teori, dikupas konsep-konsep penelitian sehingga dapat diturunkan variabel serta hipotesis penelitian. Dalam hal ini, konsep diartikan sebagai penggambaran secara abstrak suatu fenomena, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi masalah pokok penelitian. Agar konsep dapat diteliti secara empiric harus dioperasionalkan menjadi variabel. Bagaimana penelitian melihat keterkaitan antarvariabel disebut hipotesis, yakni praduga sementara yang harus dibuktikan kebenarannya. Dari sini disusunlah rancangan penelitiannya.

3. Rancangan penelitian dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana penelitian dilakukan utamanya menetapkan bagaimana data akan dikumpulkan, detailnya adalah sebagai berikut:

a. Dalam rancangan penelitian, ditetapkan jenis data yang dibutuhkan dalam upaya menjawab masalah penelitian bagaimana data itu didapatkan sehingga terkait dengan teknik pengambilan data,

menetapkan prosedur dan skala pengukuran data untuk kemudian melaksanakan pre-test atas alat pengumpul data dan pengukurannya. b. Dalam menetapkan cara mendapatkan data dikenal sejumlah teknik

penarikan sampel. Sampel yang diambil harus representatif, mewakili populasi sehingga dapat dilakukan generalisasi terhadapnya. Karenanya, kuantitaif-positivisme menuntut sampel yang bersifat acak (random) guna member peluang yang sama atas setiap unsure populasi sehingga dapat dilakukan generalisasi.

c. Dalam menetapkan alat pengukuran data, maka validitas dan realibilitas mutlak diperhatikan. Validitas menunjuk sejauh mana alat ukur yang digunakan mampu mengukur apa yang ingin diukur. Sedangkan realibilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur dapat diandalkan.

4. Selain itu, rancangan penelitian juga mengurai bagaimana data akan dianalisis. Karenanya, pemilihan teknik analisis data termasuk ketepatan pemilihan dan penggunaan metode statistik mutlak diperhatikan.

2.2Kerangka Teori

Dalam penelitian diperlukan teori sebagai acuan dan pedoman. Kerangka teori adalah suatu kumpulan teori dan model dari literatur yang menjelaskan hubungan dalam masalah tertentu. Dalam kerangka teoritis secara logis dikembangkan, digambarkan dan dielaborasi jaringan-jaringan dari asosiasi antara variabel-variabel yang diidentifikasi melalui survei atau telaah literatur (Silalahi, 2009:92). Emery dan Cooper mengatakan bahwa teori merupakan suatu kumpulan konsep, definisi, proposisi, dan variabel yang berkaitan satu sama lain secara sistematis dan telah digeneralisasikan sehingga dapat menjelaskan dan memprediksi suatu fenomena tertentu (Umar, 2000:55). Dalam penelitian ini, teori-teori yang dianggap relevan adalah:

2.2.1 Komunikasi

Komunikasi atau communication berasal dari bahasa latin, yaitu communicatus yang berarti berbagi atau milik bersama. Komunikasi menurut Lexicographer (ahli kamus bahasa), menunjuk pada suatu upaya yang bertujuan berbagi untuk mencapai kebersamaan (Fajar, 2009:31). Manusia sebagai makhluk sosial sangat memerlukan sebagai hal paling mendasar dalam berinteraksi. Hal ini dilakukan untuk kebutuhan dirinya sendiri maupun orang lain. Tentunya komunikasi juga dilakukan dengan berbagai tujuan sebab komunikasi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar sesuai dengan keinginan dari pelakunya.

Menurut Laswell, komunikasi meliputi lima unsur yakni: komunikator (communicator, source, sender), pesan (message), media (channel, media), komunikan, dan efek (effect). Berdasarkan paradigma Laswell, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu (Effendy, 2003:19).

Proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran bisa merupakan gagasan, informasi, opini, dan lain-lain yang muncul dari benaknya. Perasaan bisa merupakan keyakinan, kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan, dan sebagainya yang timbul dari lubuk hati (Effendy, 2007: 11).

2.2.2 Komunikasi Massa

Komunikasi massa menurut para ahli adalah komunikasi kepada khalayak luas dengan menggunakan media massa. Sedangkan menurut Joseph A. Devito dalam bukunya, Communicology: An Introduction to the study of communication menyatakan bahwa komunikasi massa adalah:

“First, mass communication is communication addressed to the masses, to an extremely large audience. This does not mean that the audience includes all people or that is large and generally rather poorly defined. Second, mass

communication is perhaps most easily and most logically defined by it form: television, radio, newspaper, magazine, film, books, and tapes.”

Pertama, komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan pada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Ini tidak berarti khalayak meliput seluruh penduduk atau semua orang yang menonton televisi agaknya ini berarti bahwa khalayak itu besar pada umumnya agar sukar didefinisikan. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar yang audio atau visual komunikasi. Barangkali akan lebih mudah dan lebih egois bila didefinisikan menurut bentuknya: televisi, radio, majalah, film, buku, dan pita (McQuail, 2011: 65).

Nuruddin dalam bukunya Pengantar Komunikasi Massa (2004: 19), mengemukakan ciri-ciri komunikasi massa adalah:

1. Komunikator bukan satu orang, tetapi kumpulan orang-orang. Artinya, gabungan antar berbagai macam unsur dan bekerja satu sama lain dalam sebuah lembaga.

2. Komunikan bersifat heterogen yang artinya penonton televisi beragam pendidikan, umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi, jabatan beragam, agama atau kepercayaan yang tidak sama pula.

3. Pesan yang bersifat umum sehingga pesan tersebut tidak disengaja untuk golongan tertentu.

4. Komunikasi berlangsung satu arah yakni dari media massa ke khalayak dan tidak sebaliknya.

5. Komunikasi massa menimbulkan keserempakan sehingga khalayak dapat menikmati media massa tersebut hampir bersamaan.

6. Komunikasi massa mengandalkan peralatan teknis seperti, pemancar untuk media elektronik (mekanik atau elektronik).

7. Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper (pentapis informasi/palang pintu/penjaga gawang) yang merupakan orang yang ikut menambah atau mengurangi, menyederhanakan, mengemas agar semua informasi yang disebarkan lebih mudah dipahami.

2.2.3 Televisi

Televisi adalah televisi siaran yang merupakan media dari jaringan komunikasi (Effendy, 2003: 21). Televisi merupakan media yang menguasai ruang tetapi tidak menguasai waktu. Siaran dari televisi dapat diterima di mana saja dalam jangkauan pancarannya (menguasai ruang) tetapi siarannya tidak dapat dilihat kembali (tidak menguasai waktu). Televisi merupakan paduan radio (broadcast) dan film (moving picture). Televisi terdiri dari istilah “tele” yang berarti jauh dan “vision” yang berarti penglihatan. Segi “jauh” dihasilkan dengan prinsip radio, sedangkan segi “penglihatan” oleh gambar (Effendy, 2003: 174).

Televisi saat ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Banyak orang yang menghabiskan waktunya lebih lama di depan pesawat televisi dibandingkan dengan keluarga, pasangan atau teman-temannya. Bagi banyak orang televisi menjadi cerminan perilau masyarakat dan televisi dapat menjadi candu (Morissan 2010: 3). Menurut Prof. Dr. R. Mar’at dari UNPAD, acara televisi pada umumnya mempengaruhi sikap, pandangan, persepsi dan perasaan para penonton. Salah satu pengaruh psikologis dari televisi ialah seakan-akan menghipnotis penonton sehingga penonton dihanyutkan dalam suasana pertunujukan televisi (Effendy, 2007: 41).

Komunikasi massa media televisi bersifat periodik. Dalam komunikasi massa tersebut, penyelenggara komunikasi bukan secara perorangan melainkan melibatkan banyak orang dengan organisasi yang kompleks serta pembiayaan yang besar karena media televisi bersifat “transitory” (hanya meneruskan) maka pesan-pesan yang disampaikan melalui komunikasi massa media tersebut, tidah hanya dapat didengar tetapi juga dapat dilihat dalam gambar yang bergerak (audiovisual).

Sebagai media massa, televisi memiliki ciri-ciri berlangsung satu arah, komunikatornya melembaga, pesannya bersifat umum dan menimbulkan keserempakan. Menurut Russel, Verril dan Lane dalam buku Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan dan Media (1999) menyatakan dengan kekuatannya yang

audiovisual, televisi mampu mempengaruhi kehidupan manusia baik dari segi politik, sosial, dan budaya.

“Sejak diperkenalkan sebagai media nasional pada awal 50-an, TV telah berubah menjadi sebuah institusi. Untuk memahami tentang televisi, ia haruslah dipandang sebagai sebuah fenomena sosial. Lebih dari sebuah media untuk periklanan dan hiburan, televisi memiliki kemampuan untuk merubah cara kita berinteraksi dengan orang lain sejalan dengan bagaimana kita melihat dunia yang berada di sekeliling kita.”

Menurut Djalaludin Rakhmat (2000: 72) dalam bukunya Teori Komunikasi Massa adapun fungsi utama televisi yaitu:

1. Fungsi menyiarkan informasi (to inform)

Menyiarkan informasi merupakan fungsi yang pertama dan utama. Khalayak menerima informasi mengenai berbagai hal yang terjadi. Gagasan atau pikiran orang lain dan apa yang dipikirkan orang lain dan sebagainya.

2. Fungsi mendidik (to educate)

Fungsi ini sebagai sarana pendidikan massa sebagai khalayak bertambah pengetahuannya. Fungsi mendidik ini bisa secara implisit dalam bentuk pendapat-pendapat membangun dari para dewan juri jurnalis.

3. Fungsi menghibur (to entertain)

Hal – hal yang bersifat menghibur untuk megimbangi berita-berita yang berbobot tujuannya untuk melemaskan ketegangan pikiran setelah dihidangkan berita yang berat.

4. Fungsi mempengaruhi (to persuasive)

Fungsi ini menyebabkan sebuah program acara memegang peranan dalam kehidupan masyarakat dalam mempengaruhi khlayak.

2.2.4 Berita

Istilah “news” berasal dari bahasa Inggris yang berarti “berita”, berasal dari “new” (baru) dengan konotasi kepada hal-hal yang baru. Dalam bahasa Inggris berita juga disebut news yang dapat diartikan sebagai cerita tentang peristiwa yang

dapat dari empat penjuru mata angin yaitu: North (utara), East (timur), West (barat) dan South (selatan). Semua hal yang baru merupakan bahan informasi yang dapat disampaikan kepada orang lain dalam bentuk berita (news). Hornbby (1961) menjelaskan bahwa news sebagai laporan tentang apa yang terjadi paling mutakhir (sangat-sangat baru), baik peristiwanya maupun faktanya (Morissan, 2010: 69). Secara ilmiah Curtis D. MacDogall (1977) menyatakan bahwa berita yang selalu dicari oleh para reporter adalah laporan tentang fakta yang terlibat dalam suatu peristiwa namun bukan hakiki dari peristiwa itu sendiri.

Fraser Bond tahun 1961 (Suhandang 2004: 144-145) menyatakan bahwa untuk menyajikan berita yang bernilai tinggi dan dapat merangsang bangkitnya perhatian orang banyak maka ada empat faktor yang harus diperhatikan yakni:

1. Ketepatan waktu (timeless).

2. Kedekatan tempat kejadian (proximity) 3. Besarnya (size)

4. Kepentingan (importance)

Nilai berita adalah karakteristik sebuah peristiwa yang dapat diberikan atau dapat dipublikasikan di media massa yaitu (Romli, 2003: 90-92):

1. Aktual, yakni hangat atau baru saja terjadi 2. Faktual, nyata dan benar-benar terjadi

3. Penting, yakni menyangkut orang-orang penting atau artis atau tokoh ternama

4. Menarik, yakni mengundang perhatian orang untuk melihat

Dalam bukunya Romli (2003: 40) menyatakan jenis-jenis berita yaitu:

1. Straight News: berita langsung, apa adanya, ditulis secara singkat, dan lugas.

2. Depth News: berita mendalam, dikembangkan dengan pendalaman hal-hal yang ada di bawah suatu permukaan.

3. Investigation News: berita yang dikembangkan berdasarkan penelitian atau penyelidikan berbagai sumber.

4. Interpretative News: berita yang dikembangkan dengan pendapat atau penelitian penulisnya/reporter.

5. Opinion News: berita mengenai pendapat seseorang, biasanya pendapat para cendikiawan, sarjana, ahli, atau pejabat mengenai suatu hal, peristiwa, dan sebagainya.

2.2.5 Konten Lokal (Local Content)

Nilai berita (news value) yang sama bisa saja diterapkan baik oleh lembaga penyiaran publik maupun lembaga penyiaran swasta. Namun satu hal yang menjadi keunggulan dari sistem penyiaran publik Indonesia yang sudah memiliki jaringan di setiap daerah adalah konten lokal dalam siarannya. Konten lokal adalah segala sesuatu yang bermuatan sumber pengetahuan atau informasi yang asli dihasilkan oleh instansi, perusahaan atau daerah sampai dengan negara yang dapat dijadikan sumber pembelajaran dalam bentuk karya cetak maupun karya rekam.

Konten lokal merupakan aspek penting dan perlu mendapat perhatian oleh penyelenggara televisi. Setiap lembaga penyiaran publik memiliki tugas utama untuk melayani kebutuhan masyarakat dengan memberikan informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, cerdas dan mendidik. Selain itu lembaga penyiaran publik menjadi perekat sosial serta melestarikan budaya bangsa dan mempersatukan bangsa melalui siarannya di seluruh wilayah Indonesia.

Pengelola program media penyiaran daerah dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk memproduksi acara dengan setting berdasarkan kebutuhan daerah setempat. Acara tersebut dapat berguna untuk agar pemerintah kota atau kabupaten bisa menyampaikan berbagai gagasan atau informasi pembangunan, progress report program pemerintah daerah serta mendiskusikan berbagai masalah sosial. Acara tersebut biasanya disukai oleh masyarakat setempat karena menyangkut daerah mereka. Dengan demikian, media penyiaran daerah menjadi sebuah jembatan komunikasi antara masyarakat dan pemerintah serta medium yang mampu menstimulasi dukungan masyarakat pada setiap

Dokumen terkait