• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VII PENUTUP

7.2 Saran

Agar intensifikasi pemungutan pajak reklame di Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Deli Serdang dapat mencapai hasil yang maksimal, ada beberapa saran yang peneliti berikan, antara lain:

1. Dengan setiap tahunnya realisasi penerimaan pajak reklame yang belum bisa mencapai 100%, pihak DISPENDA kabupaten Deli Serdang seharusnya meningkatkan pelaksanaan intensifikasi pemungutan pajak reklame dengan mengoptimalkan semua kegiatan yang telah dilaksanakan. Ini harus dan perlu dilaksanakan karena masih banyak potensi reklame yang belum dimaksimalkan secara penuh. Diperlukan pelaksanaan administrasi yang lebih baik dan efisien agar data wajib pajak reklame yang dimiliki sesuai denggan kondisi dan pelaporan wajib pajak yang sebenarnya, update data dnengan cepat dan cepat untuk setiap perubahan data objek pajak.

2. Bagi DISPENDA, jumlah pegawai salam melaksanakan tanggungjawabnya juga memberikan kontribusi yang baik, ini dilihat dari jika jumlah pegawaia memadai, maka dalam pelaksanaan dapat dibagi-bagi tugasnya, sehingga pencapaian hasil lebih efektif dengan waktu pelaksanaan yang tidak lama. Untuk itu, melihat kondisi dimana hanya tiga orang yang sangat berperandalma pemungutan pajak reklame, ada baiknya dilakukan penambahan jumlah pegewai yang bertanggungjawab dalam penguruasan reklame, ini dilihat dari jam kerja yang cukup padat tetapi terbatasnya pegawai yang melaksanakannya. 3. Pemerintah Kabupaten Deli Serdang memang telah mengesahkan

Peraturan Daerah terkait Pajak Reklame, tetapi belum semua tahu tentang peraturan ini.Maka seharusnya Pemerintah Lebih mensosialisasikan kepada masyarakat atau wajib pajak yang ad. Karena

kewajibannya membayar pajak sehingga realisasi dapat sesuai dengan target. Pemerintah daerah juga harus lebih tegas dalam penetapan sanksi untuk wajib pajak yang melakukan pembohongan data ataupun pembayaran jatuh tempo. Kalau hanya membayar 2% dari pajak yang terhitung, ini tidak akan membuat efek jera bagi wajib pajak. Untuk itu perlu membuat dan mengesahkan sanksi-sanksi seperti sanksi pidana yang membuat efek jera untuk setiap wajib pajak sehingga wajib pajak memiliki tanggungjawab untuk setiap penyelenggaraan reklamenya. 4. Koordinasi yang dilakukan dengan Badan Penanaman Modal dan

Peizinan, UPTD Kecamatan dan juga mitra jasa (advertising) semakin dierat dan diperkuat. Ini sebagai salah satu sarana untuk menambah pencapaian realisasi penerimaan pajak reklame, yang dimana dengan Badan Penanaman Modal dan Perizinan, DISPENDA harus sering- sering mananyakan dan data-data terkait izin penyelenggaraan reklame yang diterbitkan sehingga tidak menunggu wajib pajak yang datang, tetapi bisa langsung menghubungi si wajib pajak. Dengan UPTD di kecamatan yang mendata adanya reklame liar atau tidak, DISPENDA harus sering-sering berkunjung ke ke setiap UPTD yang ada, sehingga data yang diperoleh bisa di update langsung di kantor DISPENDA. Dan selanjutnya untuk mitra jasa semakin memiliki pendekatan personal yang baik, sehingga dalam penyelenggaraan reklamepun dapat berjalan dengan baik.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2. 1 Kerangka Teori

Teori merupakan serangkaian asumsi, konsepsi, konstruksi, definisi dan proposisi untuk menerapkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara hubungan antarkonsep (Singarimbun 2006:37). Kerangka teori adalah bagian dari penelitian, tempat peneliti memberikan panjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel-variabel pokok, sub variabel atau pokok masalah yang ada dalam penelitian. (Arikunto 2002:92). Kerangka teori ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang jelas dan tepat bagi peneliti dalam memahami masalah yang diteliti. Oleh karena itu, penulis akan mengemukakan beberapa teori, pendapat ataupun gagasan yang akan dijadikan sebagai landasan berpikir dalam penelitian ini.

2.1.1 Kebijakan Publik

Kebijakan publik bukan semata-mata hanya dipandang sebagai pelengkap dalam hal pemerintahan. Kebijakan publik dipahami sebagai instrumen yang dipakai pemerintah untuk menyelesaikan masalah publik. Dapat diartikan bahwa kebijakan publik merupakan aturan yang telah dibuat oleh pemerintah dengan melakukan pertimbangan dan memilih alternatif kebijakan guna untuk menyelesaikan persoalan atau masalah yang dihadapi oleh masyarakat.

Tangklisan 2003:01) kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah masalah-masalah publik atau pemerintah. Dalam kenyataannya, kebijakan tersebut telah banyak membantu para pelaksana pada tingkat birokrasi pemerintah maupun politisi untuk memecahkan masalah-masalah publik.

Andaearson (dalam Tangkilisan. 2003:2) menyatakan bahwa kebijakan publik sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat- pejabat pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan itu adalah: 1) kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan, 2) kebijakan berisi tindakan-tindakan pemerintah, 3) kebijkan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan, 4) kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah menggenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu, 5) Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti positif didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat dan memaksa.

Kebijakan publik adalah rangkaian tindakan pemerintah untuk mengatasi dan memecahkan masalah-masalah yang terjadi di masyarakat guna memenuhi kepentingan dan penyelengaraan urusan –urusan publik/masyarakat.

2.1.2 Kebijakan Perpajakan

Menurut Musgrave terdapat dua aspek dari kebijakan perpajakan yaitu yang pertama adalah perumusan dari peraturan pajak dan kedua adalah masalah-

masalah penting yang menyangkut administrasi perpajakan (Richard A dan Peggy 1989:35). Kebijakan pajak menurut Mansury (1999:1) terbagi dalam dua pengertian kebijakan fiskal yaitu berdasarkan pengertian luas dan pengertian sempit Kebijakan fiskal dalam arti luas adalah kebijakan yang mempengaruhi produksi masyarakat, kesempatan kerja dan inflasi, dengan menggunakan instrumen pemungutan pajak dan pengeluaran belanja negara. Sedangkan pengertian kebijakan fiskal dalam arti sempit adalah kebijakan yang berhubungan dengan penentuan siapa-siapa yang akan dikenakan pajak, apa yang akan dijadikan dasar pengenaan pajak, bagaimana menghitung besarnya pajak yang harus dibayar dan bagaimana tata cara pembayaran pajak terhutang.Kebijakan fiskal berdasarkan arti sempit ini disebut juga dengan kebijakan pajak.

Menurut Marsuni (2006:37-38), kebijakan perpajakan dapat dirumuskan sebagai:

1. Suatu pilihan atau keputusan yang diambil oleh pemerintah dalam rangka menunjang penerimaan negara dan menciptakan kondisi ekonomi yang kondusif.

2. Suatu tindakan pemerintah dalam rangka memungut pajak guna memenuhi kebutuhan dana untuk keperluan negara.

3. Suatu keputusan yang diambil pemerintah dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak untuk menyelesaikan kebutuhan dana bagi negara.

2.1.3 Evaluasi Kebijakan

Evaluasi adalah kegiatan untuk menilai tingkat kinerja suatu kebijakan. Evaluasi baru dapat dilakukan kalau suatu kebijakan sudah berjalan cukup waktu. Memang tidak ada batasan waktu yang pasti kapan sebuah kebijakan dapat dievaluasi. Misalnya untuk dapat mengetahui outcome, dan dampak suatu kebijakansudah tentu diperlukan waktu tertentu, misalnya 2 tahun semenjak kebijakan itu diimplementasikan.

Menurut Ripley (dalam Tangkilisan 2003:26) mengemukakan bahwa evaluasi yang dilakukan terhadap suatu tindakan kebijakan sesungguhnya merupakan evaluasi terhadap implementasinya, kemudian bagaimana kepatuhan dari kelompok-kelompok ketika proses implementasi berlangsung dan terakhir bagaimana prospek ke depan dari dampak kebijakan tersebut. Sejalan dengan itu pada hakekatnya suatu kebijakan publik mempunyai maksud untuk mencapai tujuan, oleh karena itu evaluasi kebijakan pada dasarnya harus dapat memperjelas seberapa jauh kebijakan dan implementasinya telah dapat mendekati tujuan (Bryant dan White dalam Tangkilisan 2003:26).

Adapun prosedur evaluasi menurut Umar (2002:34) bahwa proses suatu evaluasi pada umumnya memiliki tahapan-tahapannya sendiri, walaupun tidak selalu sama tetapi yang lebih penting adalah bahwa prosesnya sejalan dengan fungsi evaluasi itu sendiri. Adapun proses evaluasi meliputi menemukan apa yang akan dievaluasi, merancang desain kegiatan evaluasi, pengumpulan , pengelolahan dan analisis data, dan laporan hasil evaluasi. Bahkan masih dalam buku

Tangkilisan (2003:27) dinyatakan bahwa evaluasi kebijakan publik dapat dibedakan atas tiga bagian, yaitu:

1) Tipe evaluasi proses (process evaluation), dimana evaluasi dilakukan dengan memusatkan perhatian pada pertanyaan bagaimana program dilaksanakan?(How did the program operate?).

2) Tipe evaluasi dampak (impact evaluation), dimana evaluasi ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan mengenai apa yang telah dicapai dari program? (What did the program do?).

3) Tipe evaluasi strategi (strategic evaluation), dimana evaluasi bertujuan untuk mencari jawaban atas pertanyaan bagaimana program dapat dilaksanakan secara efektif, untuk memecahkan persoalan-persoalan masyarakat dibanding dengan program-program lain yang ditujukan pada masalah yang sama sesuai dengan topik mengenai kebijakan publik.

2.1.3.1Tujuan dan Alasan Evaluasi Kebijakan

Evaluasi memiliki beberapa tujuan menurut Subarsono (2005:120) yang dapat dirincikan sebagai berikut:

1. Menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan. 2. Mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan.

3. Mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan. 4. Mengukur dampak suatu kebijakan.

5. Untuk mengetahui apabila ada penyimpangan.

Menurut Subarsono (2005:123) alasan pentingnya evaluasi kebijakan yakni:

1. Untuk mengetahui tingkat efektivitas suatu kebijakan, yakni seberapa jauh suatu kebijakan mencapai tujuannya.

2. Mengetahui apakah suatu kebijakan berhasil atau gagal. Dengan melihat tingkat efektivitasnya, maka dapat disimpulkan apakah suatu kebijakan berhasil atau gagal.

3. Memenuhi aspek akuntabilitas publik. Dengan melakukan penilaian kinerja suatu kebijakan, maka dapat dipahami sebagai bentuk pertanggungjawaban pemerintah kepada publik sebagai pemilik dana dan mengambil manfaat dari kebijakan dan program pemerintah.

4. Menunjukan pada stakeholders manfaat suatu kebijakan. Apabila tindakan dilakukan evaluasi terhadap suatu kebijakan, para stakeholders, terutama kelompok sasaran tidak mengetahui secara pasti manfaat dari sebuah kebijakan atau program.

5. Agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Pada akhirnya evaluasi kebijakan bermanfaat untuk memberikan masukan bagi proses pengambilan kebijakan yang akan datang agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Sebaliknya, dari hasil evaluasi diharapkan dapat ditetapkan kebijakan yang lebih baik.

2.1.3.2Pendekatan Evaluasi

Pendekatan evaluasi Menurut William Dunn (2003:611-612) membedakan atas tiga pendekatan yakni:

1. Evaluasi semu (pseudo evaluation)adalah pendekatan yang menggunakan metode-metode deskriptif untuk menghasilkan informan yang valid dan dapat dipercaya mengenai hasil kebijakan,tanpa berusaha untuk menanyakan tentang manfaat atau nilai dari hasl-hasil tersebut terhadap individu, kelompok, atau masyarakat secara keseluruhan. Asumsi utama adalah bahwa ukuran tentang manfaat atau nilai merupakan sesesuatu yang dapat terbukti sendiri(self evident) atau tidak kontroversial.

2. Evaluasi Formal (Formal Evaluation) merupakan pendekatan yang menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan cepat dipercaya mengenai hasil-hasil kebijakan tetapi mengevaluasi hasil tersebut atas dasar tujuan program kebijakan yang telah diumumkan secara formal oleh pembuat kebijakan dan administrator program. Asumsi utamanya adalah bahwa tujuan dan target diumumkan secara formal adalah merupakan ukuran yang tepat untuk manfaat atau nilai kebijakan program.

3. Evaluasi keputusan teoritis (decision-theoretic evaluation) adalah pendekatan yang menggunakan metode-metode deksriptif untuk menghasilkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan valid mengenai hasil-hasil kebijakan yang secara eksplisit dinilai oleh berbagi macam pelaku kebijakan. Perbedaan pokok antara evaluasi teoritis dengan dua jenis pendekatan yang diatas adalah bahwa evaluasi keputusan teoritis berusaha untuk memunculkan dan membuat eksplisit tujuan dan target dari pelaku kebijakan baik yang tersembunyi maupun yang dinyatakan.

Tabel 2.1 Pendekatan Evaluasi

Sumber: William Dunn (2003) 2.1.3.3Metode Evaluasi

Untuk melakukan evaluasi terhadap program yang telah diimplementasikan ada beberapa metode evaluasi. Menurut Finsterbusch dan

Pendekatan Tujuan Asumsi Bentuk-Bentuk

Utama Evaluasi semu Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid tentang hasil

kebijakan

Ukuran manfaat atau nilai terbukti dengan sendirirnya atau tidak kontroversial 1. Eksprementasi sosial 2. Akuntasi sistem sosial 3. Pemeriksaan sosial 4. Sintesis riset dan

praktik Evaluasi formal Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan secara formal diumumkan sebagai tujuan program- kebijakan

Tujuan dan sasaran dari pengamil kebijakan dan administrator yang secara resmi diumumkan merupakan ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai.

1. Evaluasi perkembangan 2. Evaluasi eksperimental 3. Evaluasi proses retrospektif 4. Evaluasi hasil retrospektif Evaluasi keputusan teoritis Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai hasil kebijakan yang secara eksplisit diinginkan oleh berbagai pelaku kebijakan.

Tujuan dan sasaran dari berbagai pelaku yang diumumkna secara formal ataupun diam-diam merupakan ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai.

1. Penilaian tentang dapat tidaknya dievaluasi 2. Analisis utilitas

Motz dalam Indiahono (2009 : 146) untuk melakukan evaluasi terhadap program yang telah diimplementasikan ada beberapa metode implementasi yang dapat diplih yakni:

a. Single program after-only yaitu evaluasi dilakukan hanya mengidentifikasi kondisi kelompok sasaran pada saat kebijakan selesai dilakukan.

b. Single program before-after yaitu evaluasi dilakukan dengan membandingkan kondisi sebelum dan sesesudah dari kelompok sasaran tanpa menggunakan kelompok pembanding.

c. Comparative after-only evaluasi kebijakan dilakukan dengan mengidentifikasi kondisi kelompok sasaran setelah implementasi dan membandingkannya dengan kelompok pembanding.

d. Comparative before-after yaitu Evaluasi kebijakan dilakukan dengan mengidentifikasi kondisi kelompok sasaran dan kelompok pembanding sebelum dan sesudah implementasi.

Tabel 2.2

Metodologi Untuk Evaluasi

No Jenis Evaluasi pengukuran kondisi kelompok sasaran kelompok pembanding Informasi yang diperoleh Sebelum Sesudah 1 Single program after- only

Tidak Ya Tidak Ada Keadaan

Kelompok Sasaran 2 Single

program before-after

Ya Ya Tidak Ada Perubahan

Keadaan Kelompok Sasaran 3 Comparative

afte –only

Tidak Ya Ada Keadaan

Sasaran 4 Comparative before-after Ya Ya Ada Efek program terhadap kelompok sasaran

Sumber: Finterbusch dan Motz

2.1.3.4Kriteria Evaluasi

Untuk menilai suatu kebijakan perlu dikembangkan beberapa indikator kerena penggunaan indikator yang tunggal akan membahayakan, dalam arti hasil penilaiannya dapat bias dari yang sesungguhnya. Indikator atau kriteria evaluasi yang dikembangkan oleh William N. Dunn (2003:610) mencakup enam indikator sebagai berikut:

Tabel 2.3

Kriteria Evaluasi Kebijakan

No. Kriteria Penjelasan

1. Efektivitas Apakah hasil yang diinginkan telah tercapai?

2. Efisiensi Seberapa banyak usaha diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan?

3. Kecukupan Seberapa jauh hasil yang telah tercapai dapat memecahkan masalah?

4. Pemerataan Apakan biaya dan manfaat didistribusikan merata kepada kelompok masyarakat yang berbeda? 5. Responsivitas Apakah hasil kebijakan memuat preferensi/nilai

kelompok dan memuaskan mereka? 6. Ketepatan Apakah hasil yang dicapai bermanfaat?

Kriteria-kriteria di atas akan dijadikan sebagai tolak ukur atau indikator dari evaluasi kebijakan atau program. Untuk lebih jelasnya setiap indikator tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Efektivitas

Efektivitas berasal dari kata efektif yang artinya adalah tercapainya hasil dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas selalu berkaitan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya yang telah dicapai. Steers dalam Halim (2004:166) mendefinisikan efektivitas bahwa sampai seberapa jauh tercapainya suatu tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Selanjutnya Mardiasmo (2009:132) menyatakan bahwa efektivitas merupakan kontribusi output terhadap pencapaian tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan. Sedangkan Dunn (2003:429) menyatakan bahwa efektivitas berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil (akibat) yang diharapkan atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan.

Apabila setelah pelaksanaan kegiatan kebijakan atau program ternyata tidak mampu memecahkan permasalahan yang tengah dihadapi, maka dapat dikatakan bahwa suatu kebijakan tersebut telah gagal. Hasil kebijakan/program tidak langsung efektif dalam jangka waktu yang pendek, tetapi mungkin membutuhkan jangka waktu yang cukup lama dan melalui proses tertentu.

Mardiasmo dalam Dana (2014:2) menjelaskan bahwa indikator efektivitas menggambarkan jangkauan akibat dan dampak (outcome) dari keluaran (output) program dalam mencapai tujuan program. Semakin besar kontribusi keluaran yang dihasilkan terhadap pencapaian tujuan atau sasaran yang telah ditentukan, maka semakin efektif proses kerja yang dilakukan

suatu unit organisasi. Penilaian efektivitas dalam penelitian ini menggunakan serangkaian ukuran sebagai berikut:

a. Hasil b. Keadilan

c. Kemampuan melaksanakan

d. Kecocokan sebagai sumber penerimaan daerah

Selanjutnya, untuk melihat tingkat efektivitas dapat diketahui dengan hitungan sebagai berikut:

Efektivitas =��������� ����������

������ ��������� � × 100%

Tabel 2.4

Keriteria Penilaian Efektivitas Presentase Kriteria Diatas 100% Sangat Efektif

90%-100% Efektif

80%-90% Cukup Efektif 60%-80% Kurang Efektif Kurang dari 60% Tidak Efektif

2. Efisiensi

Efisiensi merupakan saah satu indikator untuk melihat suatu keberhasilan dapat tercapai. Dikatakan efisiensi bila dalam penggunaan sumber daya/usaha secara optimum untuk mencapai hasil atau tujuan dari kegiatan yang dijalankan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, efisiensi adalah ketepatan cara (usaha, kerja) dalam menjalankan sesuatu (dengan tidak membuang waktu, tenaga, biaya) atau kemampuan menjalankan tugas dengan baik dan tepat (dengan tidak membuang waktu, tenaga, biaya).

Menurut Dunn (2003:430), efisiensi (efficiency) berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu.

3. Kecukupan

Kecukupan dalam kebijakan publik dapat dikatakan tujuan yang dicapai sudah dapat dirasakan mencukupi dalam pemecahan masalah. Menurut Dunn (2003:430) , kecukupan berkenaan dengan seberapajauh suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah.

Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kecukupan masih sangat berhubungan dengan efektivitas dengan mengukur atau memprediksi seberapa jauh alternatif yang ada dapat memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan dalam meyelesaikan masalah yang terjadi. Dalam hal ini, kriteria kecukupan menekankan pada hubungan antara alternatif kebijakan yang diambil dengan hasil yang diharapkan, dimana usaha-usaha yang telah diambil atau dilakukan membawa perubahan yang ada.

4. Pemerataan

Pemerataan dalam kebijakan publik berbicara tentang keadilan yang diberikan dan diperoleh oleh kelompok sasaran. William N. Dunn (2003:434) menyatakan bahwa kesamaan (equity) erat berhubungan dengan rasionalitas legal dan sosial dan menunjukkan pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat.

atau usaha secara adil didistribusikan. Suatu kebijakan atau program dapat dikatakan efektif, efisien dan mencukupi, namun akan bisa saja ditolak jika biaya dan manfaat tidak merata dan adil bagi masyarakat. Kuncinya adalah keadilan dan kewajaran.

5. Responsivitas

Responsivitas berasal dari kata respon yang diartikan sebagai tanggap. Maka responsivitas dalam kebijakan publik dapat dikatakan sebagai tanggapan sasaran kebijakan atau program terhadap penerapan suatu kebijakan. Menurut Dunn (2003:437), responsivitas berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Bahkan lebih dalam lagi, Dunn menyatakan bahwa kriteria responsivitas penting karena analisis yang dapat memuaskan semua keriteria lainnya (efektif, efisien, kecukupan dan kesamaan) masih gagal jika belum menanggapi kebutuhan aktual dari kelompok yang semestinya diuntungkan dari adanya suatu kebijakan.

Dari pernyataan diatas, maka respositivas ini akan melihat bagaimana kebijakan atau program yang diambil sesuai sesuai dengan kebutuhan untuk menyelesaikan dan mengatasi masalah yang ada, bahkan mendatangkan kepuasan tertentu terhadap kelompok sasaran.

6. Ketepatan

Ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan program dan pada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuan tersebut. Dunn (2003:499) menyatakan bahwa kelayakan adalah kriteria yang dipakai untuk menseleksi sejumlah alternatif untuk dijadikan rekomendasi dengan menilai

apakah hasil dari alternatif yang direkomendasikan tersebut merupakan pilihan tujuan yang layak. Kriteria kelayakan dihubungkan dengan rasionalitas substantif, karena kriteria ini menyangkut substansi tujuan bukan cara atau instrumen untuk merealisasikan tujuan tersebut.

Dalam kriteria ketepatan ini, program atau kebijakan yang diambil dan ditetapkan yang dianggap dapat memecahkan masalah dapat dirasakan bermanfaat kepada kelompok sasaran.

2.1.4 Pendapatan Asli Daerah

2.1.4.1Tinjauan Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalahsalah satu sumber dari pendapatan daerah. MenurutYani (2008: 51) Pendapatan asli daerah adalahpendapatan yang diperoleh daerah yang dipungutberdasarkan peraturan daerah sesuai denganperaturan perundang-undangan. Menurut Halim(2004: 96) pendapatan asli daerah merupakansemua penerimaan daerah yang berasal darisumber ekonomi asli daerah.Mardiasmo (2004: 125) mengemukakanbahwa, “Pendapatan Asli Daerah adalahpenerimaan daerah dari sektor pajak daerah,retribusi daerah, hasil perusahan milik daerah, hasilkekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lainPAD yang sah”.

Pendapatan Asli Daerah (PAD)merupakan suatu pendapatan yang menunjukkansuatu kemampuan daerah menggali sumber-sumberdana untuk membiayai kegiatan rutinmaupun pembangunan. Jadi pengertian daripendapatan asli daerah dapat dikatakan sebagaipendapatan rutin dari usaha-usaha DemerintahDaerah dalam memanfaatkan potensi-potensisumber keuangan

sumber pembiayaanpembangunan daerah masih rendah. Kendatipunperolehan PAD setiap tahun relatif meningkatnamun masih kurang mampu menggenjot lajupertumbuhan ekonomi daerah.

Rendahnhya potensi PAD disebabkan olehfaktor (Erry, 2005: 51-52): a. Banyak sumber pendapatan di kabupaten/kota yang besar tetapi digali

oleh instansi yang lebih tinggi.

b. BUMD belum banyak memberikan keuntungan kepada pemerintah daerah.

c. Kurangnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak, retribusi dan pungutan lainnya.

d. Adanya kebocoran-kebocoran/kolusi e. Biaya pemungutan masih tinggi

f. Adanya kebijakan pemerintah yang berakibat menghapus atau mengurangi penerimaan PAD.

g. Banyak peraturan daerah yang perlu disesuaikan dan disempurnakan baik besaran tarifnya maupun sistem pemungutannya.

h. Kemampuan masyarakat untuk membayar pajak yang masih rendah. Upaya meningkatkan kemampuanpenerimaan daerah, khususnya penerimaan dalampendapatan asli daerah harus dilaksanankan secaraterus menerus oleh semua pihak dalam pemerintahdaerah, agar pendapatan asli daerah tersebut terusmeningkat. Pemerintah diharapkan dapatmeningkatkan PAD untuk mengurangiketergantungan terhadap pembiayaan dari pusat,sehingga meningkatkan otonomi dan keluasandaerah. Langkah penting yang harus dilakukan olehpemerintah daerah untuk meningkatkanpenerimaan daerah adalah

menghitung potensiPAD yang riil dimiliki daerah. MengoptimalisasiPAD akan berimplikasi pada peningkatanpungutan pajak daerah dan retribusi daerah, karenapenyumbang terbesar PAD adalah dua komponen tersebut.

2.1.4.2Kelompok Pendapatan Asli Daerah.

Halim (2012:1001) menjelaskan bahwa kelompok pendapatan asli daerah dipisahkan menjadi empat bagian yaitu:

a. Pajak Daerah

Pajak Daerah merupakan pendapatan daerah daei pajak. Terbagi atas dua jenis yaitu:

1. Pajak provinsi. 2. Pajak kabupaten/kota b. Retribusi Daerah

Retribusi daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari retribusi.

Dokumen terkait