• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

5.2 Saran

Berisi tindak lanjut dari sumbangan penelitian terhadap bidang yang diteliti, baik secara teoritis maupun praktis.

DAFTAR PUSTAKA

Berisi daftar referensi yang digunakan dalam penyusunan proposal penelitian skripsi.

LAMPIRAN

21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN ASUMSI DASAR PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kebijakan Publik

Dalam tatanan pemerintahan, kebijakan publik merupakan hal yang tidak asing lagi diperdengarkan. Kebijakan publik sering diartikan sebagai peraturan yang dibuat oleh pemerintah dalam mengatur sistem pemerintahan yang mengikat pihak-pihak terkait (stakeholders). Menurut Dunn dalam Syafeii dkk (1999:107), kebijakan publik adalah suatu rangkaian pilihan-pilihan yang saling berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang-bidang yang menyangkut tugas pemerintah, seperti keamanan, energi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kriminalitas, perkotaan dan lain-lain. Sedangkan menurut Anderson dalam Syafeii dkk (1999:107), menyebutkan bahwa kebijakan publik adalah hubungan antar unit-unit pemerintah dengan lingkunganannya.

Sementara itu Hogwood dan Gunn dalam buku Policy Analysis for the Real World (1984 dan direvisi 1990) dalam Wicaksono (2006:53) menyebutkan 10 (sepuluh) penggunaan istilah kebijakan dalam pengertian modern, diantaranya:

1. Sebagai label untuk sebuah bidang aktivitas (as a label for a field of activity)

Contohnya: statemen umum pemerintah tentang kebijakan ekonomi, kebijakan industri, atau kebijakan hukum dan ketertiban. 2. Sebagai ekspresi tujuan umum atau aktivitas negara yang diharapkan (as expression of general purpose or desired state of affairs)

Contohnya: untuk menciptakan lapangan kerja seluas mungkin atau pegembangan demokrasi melalui desentralisasi.

3. Sebagai proposal spesifik (as specific proposal)

Contohnya: membatasi pemegang lahan pertanian hingga 10 hektar atau menggratiskan pendidikan dasar.

4. Sebagai keputusan pemerintah (as decesions of government)

Contohnya: keputusan kebijakan sebagaimana yang diumumkan Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden.

5. Sebagai otorisasi formal (as formal authorization)

Contohnya: tindakan-tindakan yang diambil oleh parlemen atau lembaga-lembaga pembuat kebiijakan lainnya.

6. Sebagai sebuah program (as a programe)

didefinisikan, seperti program reformasi agrarian atau program peningkatan kesehatan perempuan.

7. Sebagai output (as output)

Contohnya: apa yang secara aktual telah disediakan, seperti sejumlah lahan yang diredistribusikan dalam program reformasi agraria dan jumlah penyewa yang terkena dampaknya.

8. Sebagai hasil (as outcome)

Contohnya: apa yang secara aktual tercapai, seperti dampak terhadap pendapatan petani dan standar hidup dan output agrikultural dari program reformasi agararia.

9. Sebagai teori atau model (as a theory or model)

Contohnya apabila kamu melakukan x maka akan terjadi y, misalnya apabila kita meningkatkan insentif kepada industri manufaktur, maka output industri akan berkembang.

10.Sebagai sebuah proses (as a process)

Sebagai sebuah proses yang panjang yang dimulai dengan issues

lalu bergerak melalui tujuan yang sudah di (setting), pengambilan keputusan untuk implementasi dan evaluasi.

Menurut Dye dan Anderson dalam Agustino (2008:4), ada tiga hal yang melatar belakangi mengapa kebijakan publik perlu di pelajari, antara lain:

1. Pertimbangan atau alasan ilmiah (scientific reasons),

2. Pertimbangan atau alasan profesional (professional reasons), 3. Pertimbangan atau alasan politis (political reasons).

23

Kebijakan publik menurut Eyestone dalam Agustino (2008:6) dapat diartikan sebagai hubungan antara unit pemerintah dengan lingkungannya. Berbeda dengan Robert dalam Agustino (2008:6) yang masih mendefinisikan secara luas mengenai kebijakan publik, Heinz Eulau dan Kenneth Prewitt menyebutkan bahwa kebijakan publik sebagai:

“keputusan tetap’ yang dicirikan dengan konsistensi dan pengulangan

(repitisi) tingkahlaku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut”

Selain itu, Anderson dalam Agustino (2008:7) mendefinisikan bahwa kebijakan publik sebagai:

“serangkaian kegiatan yang dilaksanakan oleh seorang aktor atau

sekelompok aktor yang berhubungan dengan suatu permasalahan atau

suatu hal yang diperhatikan”

Leo Agustino (2008:8) menyebutkan beberapa karakteristik utama dari suatu definisi kebijakan publik, yaitu:

1. Pada umumnya kebijakan publik perhatiannya ditunjukan pada tindakan yang mempunyai maksud atau tujuan tertentu daripada perilaku yang berubah atau acak. Artinya, setiap kebijakan yang dibuat harus lah memiliki tujuan yang jelas dan tentunya beguna bagi publik sebagai sasarannya.

2. Kebijakan publik pada dasarnya mengandung bagian atau pola kegiatan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah daripada keputusan yang terpisah-pisah. Artinya, harus ada penjelasan yang jelas mengenai bagaimana penerapan dan penjelasan yang pasti mengenai kebijakan tersebut yang disampaikan melalui peraturan penamping.

3. Kebijakan publik merupakan apa yang dikerjakan oleh pemerintah dalam mengatur perdagangan, mengontrol inflasi, atau menawarkan perumahan rakyat, bukan apa maksud yang dikerjakan atau yang akan dikerjakan.

Menurut Dye dalam Subarsono AG (2006:2), menyatakan bahwa: Kebijakan Publik meliputi apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu ( public policy is whatever governments choose to do or not to do ). Demikian, berdasarkan paparan yang telah dikemukakan para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah apa yang dikerjakan dan tidak dikerjakan pemerintah dalam menangani semua masalah yang terjadi di lingkukan publik. Kebijakan publik menjadi salah satu cara/atau aturan bagi pemerintah dalam mengatur sistem pemerintahan. Karena pada dasarnya, peraturan yang dibuat atau tidak dibuat oleh pemerintah pastinya memberi dampak bagi masyarakat luas. Oleh karena itu, setiap kebijakan publik yang dibuat harus lah bisa mewakili kepentingan publik.

2.1.2 Evaluasi Kebijakan Publik

Evaluasi dilakukan guna mencari tahu apakah suatu kebijakan berjalan dengan baik atau tidak. Menurut Agustino (2008:185), evaluasi kebijakan adalah bagian akhir dari suatu proses kebijakan yang dipandang sebagai pola aktivitas yang berurutan. Sedangkan, menurut Laster dan Stewart dalam Agustino (2008:185) menyebutkan bahwa evaluasi ditunjukan untuk melihat sebagian-sebagian kegagalan suatu kebijakan dan untuk mengetahui apakah kebijakan yang telah dirumuskan dan dilaksanakan dapat menghasilkan dampak yang diinginkan.

25

Sementara itu, Dye mencatat bahwa evaluasi kebijakan adalah pembelajaran tentang konsekuensi dari kebijakan publik. Adapun evaluasi kebijakan menurut Dye dalam Parson (2005:547) adalah :

“Evaluasi kebijakan adalah pemerikasaan yang objektif, sistematis,

dan empiris dari kebijakan dan program publik terhadap targetnya dari segi tinjauan yang ingin dicapai.“

Secara sederhana, Dunn dalam Agustino (2008:185) menyebutkan bahwa evaluasi kebijakan berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai-nilai atau manfaat-manfaat hasil kebijakan.

Demikian, berdasarkan uraian diatas, maka secara garis besar dapat dikatakan bahwa evaluasi kebijakan dilakukan guna melihat sejauh mana suatu kebijakan berhasil dilakukan dan bagaimana manfaat kebijakan tersebut bagi masyarakat. Evaluasi juga tidak hanya melihat sejauh mana suatu kebijakan dibuat berhasil atau tidak. Tetapi juga memberikan cara atau rekomendasi terhadap apa yang menjadi masalah. Sehingga menjadi sebuah jawaban dari keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan publik.

Ada beberapa pendekatan yang bisa dilakukan untuk dapat menghasilkan penilain yang baik menurut Dunn dalam Agustino (2008:189), yaitu :

1. Evaluasi Semu atau pseudo evaluation ialah pendekatan yang menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai hasil kebijakan tanpa berusaha

menanyakan tentang manfaat atau nilai dari hasil – hasil kebijakan terhadap individu, kelompok, ataupun masyarakat serta keseluruhan. 2. Evaluasi formal atau formal evaluation. Tujuan evaluasi formal adalah

untuk menghasilkan informasi yang valid dan cepat dipercaya mengenai hasil-hasil kebijakan yang didasarkan atas tujuan formal program kebijakan secara deskriptif.

Dalam model ini terdapat tipe-tipe untuk memahami evaluasi kebijakan lebih lanjut, yaitu :

a. Evaluasi sumatife, yang berusaha untuk memantau pencapaian tujuan dan target formal setelah suatu kebijakan atau program diterapkan untuk jangka waktu tertentu.

b. Evaluasi formatif, suatu tipe evaluasi kebijakan yang berusaha untuk meliputi usaha-usaha secara terus menerus dalam rangka memantau pencapaian tujuan-tujuan dan target-target formal. Menurut Rose dan Freeman dalam Parson (2005:549), ada tiga model evaluasi ini yaitu :

“ (1) sejauhmana sebuah program mencapai target populasi yang

tepat; (2) apakah penyampaian pelayanannya konsisten dengan spesifikasi desain program atau tidak; dan (3) sumber daya apa

yang dikeluarkan dalam melaksanakan program”.

c. Evaluasi keputusan teorites atau sering disebut dengan decision-theoritic evaluation adalah pendekatan evaluasi kebijakan yang menggunakan metode – metode deskripif untuk menghasilkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan valid menangani hasil – hasil kebijakan yang secara eksplisit dinilai oleh berbagai macam pelaku kebijakan.

27

Maka secara garis besar dapat dikatan bahwa evaluasi pada dasarnya digunakan untuk memberikan informasi yang valid terhadap hasil hasil dari sebuah kebijakan yang dibuat sehingga menghasilkan penilaian yang baik dalam proses evaluasi.

Dunn (2003:609) menyebutkan ada empat sifat evaluasi, yaitu:

1. Fokus nilai. Evaluasi berbeda dengan pemantauan dimana evaluasi berusaha untuk mencari manfaat dan kegunaan suatu program.

2. Interdepedensi fakta-nilai. Dunn menganggap bahwa evaluasi bukan hanya sekedar mencari fakta bahwa kebijakan tersebut berguna bagi sebagian individu, kelompok atau seluruh masyarakat. Tetapi, hasil kebijakan secara aktual merupakan konsekuensi dari aksi-aksi yang dilakukan untuk memecahkan masalah tertentu. Dunn juga menyebukan bahwa salah satu prasyarat evaluasi adalah pemantauan.

3. Orientasi masa kini dan masa lampau. Evaluasi bersifat retrpspektif dan setelah aksi-aksi dilakukan (ex post).

4. Dualitas nilai. Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai kualitas ganda, karena mereka dipandangkan sebagai tujuan dan cara.

Demikian, berdasarkan uraian diatas, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya evaluasi tidak hanya melihat sejauh mana suatu kebijakan bermanfaat bagi masyarakat tertentu, tetapi juga menjadi jawaban atas masalah yang terjadi dimasyarakat sehingga menjadi acuan dalam membuat suatu kebijakan nantinya. Karena pada dasarnya setiap kebijakan haruslah

mencapai hasil yang diharapkan, maka dari itu evaluasi juga dipandang sebagai tujuan atau cara untuk memecahkan masalah yang ada didalam sebuah kebijakan yang dibuat. Yang pada akhirnnya dapat memberikan rekomendasi atau jawaban bagi masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan kebijakan.

Selanjutnya, Dunn (2003:609) membagi tiga fungsi evaluasi, yaitu: 1. Evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai

kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan tertentu.

2. Evalusi bersifat memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhada nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target.

3. Evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainya, termasuk perumasan masalah dan rekomendasi.

Sementara itu, Samora Wibawa dkk dalam Nugroho (2004:187) menyebutkan ada empat fungsi, yaitu:

1. Eksplanansi. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antara berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator dapat menidentifikasikan masalah, kondisi, dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan.

29

2. Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan.

3. Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar sampai kepada tangan kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada kebocoran atau penyimpangan.

4. Akunting. Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial ekonomi dari kebijakan tersebut.

Demikian, dapat disimpulkan bahwa evaluasi berfungsi sebagai tolak ukur atau penilaian dari sebuah kebijakan yang telah dibuat. Evaluasi memberikan gambaran tentang sebuah kebijakan, juga memberi jawaban terhadap kegagalan sebuah kebijakan.

Menurut Langbein dalam Widodo (2007:116) menjelaskan bahwa tipe riset evaluasi kebijakan ada dua macam tipe, yaitu riset proses dan riset outcomes. Metode riset juga dibedakan menjadi dua macam yaitu metode deskriptif dan metode kausal. Metode deskriptif lebih mengarah pada tipe penelitian evaluasi proses (process of public implementation), sedangkan metode kausal lebih mengarah pada penelitian evaluasi dampak (outcomes of public omplementation). Untuk memudahkan dan memahami kedua tipe dan metode riset evaluasi kebijakan publik tersebut dapat digambarkan dalam bentuk matrik sebagaimana tampak dalam tabel 2.1 berikut ini:

Tabel 2.1

Tipe Evaluasi Penelitian

Methods Process Outcomes

Deskriptif

1. Apakah fasilitas, sumber daya digunakan dalam kebijakan.

2. Apakah kebijakan

dilaksanakan sesuai dengan petunjuk.

3. Bagaimana manfaat yang ditetapkan dalam kebijakan. 4. Menentukan apakah manfaat

nyata dari kebijakan dapat dinikmati oleh kelompok sasaran (target groups).

1. Siapa yang terlibat dalam kebijakan.

2. Apakah kebijakan dapat mencapai siapa yang menjadi sasaran kebijakan.

Causal

1. Apakah kebijakan menghasilkan outcomes

yang diiharapkan atau tidak diharapkan.

2. Sarana (faktor) implementasi kebijakan mana yang menghasilkan

outcomes yang terbaik. 3. Berusaha

mencari/melihat apakah

outcome utama yang terjadi dikarenakan oleh kebijakan utama.

4. Apakah kebijakan utama menjadi penyebab dampak utama.

Sumber: Widodo (2007:118)

Sedangkan menurut Dunn, evaluasi memiliki kriteria sebagai berikut: Tabel 2.2

Kriterian Evalusi Menurut Milliam Dunn

TIPE KRITERIA PERTANYAAN ILUSTRASI

Efektivitas Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai?

Unit pelayanan

Efisiensi

Seberapa banyak usaha diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan?

Unit biaya Manfaat bersih Rasio biaya-manfaat Kecukupan Seberapa jauh pencapain hasil

yang diinginkan memecahkan

Biaya tetap (masalah tipe I)

31

masalah? Efektivitas tetap

(masalah tipe II)

Perataan

Apakah biaya dan manfaat didistribusikan dengan merata kepada kelompok-kelompok yang berbeda? Kriteria pareto Kriteria kaldor-hicks Kriteria rawls Responsivitas

Apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok tertentu?

Konsistensi dengan survei warga negara

Ketepatan

Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan benar-benar berguna atau bernilai?

Program publik harus merata dan efisien. Sumber : Dunn, 2003 (610)

Dari Kriteria evaluasi kebijakan diatas yang dikemukakan oleh Dunn (2003:610), dapat dikembangkan sebagai berikut:

1. Efektivitas

Berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. Efektivitas, yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas teknis, selalu diukur dari unit produk atau layanan atau nilai moneternya.

2. Efesiensi

Berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. efesiensi, yang merupakan sinonim dari rasionalitas ekonomi, adalah merupakan hubungan antara efektivitas dan usaha, yang terakhir umumnya diukur dari ongkos moneter. Efesiensi biasanya ditentukan melalui perhitungan biaya per unit produk atau layanan. Kebijakan yang mencapai efektivitas tertinggi dengan biaya terkecil dinamakan efesien.

3. Kecukupan

Berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah. Kriteria kecukupan menekankan pada kuatnya hubungan antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan. 4. Pemerataan

Kriteria ini erat hubungannya dengan rasionalitas legal dan sosial yang menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antar kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat. Kebijakan yang berorientasi pada perataan adalah kebijakan yang akibatnya

(misalnya, unit pelayanan atau manfaat moneter) atau usaha (misalnya biaya moneter) secara adil didistribusikan.

5. Responsivitas

Berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan preferensi, atau nilai kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Kriteria responsivitas adalah penting karena analisis yang dapat memuaskan semua kriteria lainnya (efektivitas, efesiensi, kecukupan, perataan) masih gagal jika belum menanggapi kebutuhan aktual dari kelompok yang semestinya diuntungkan dari adanya suatu kebijakan.

6. Ketepatan

Kriteria ini secara dekat dihubungkan dengan rasionalitas substansif, karena pertanyaan tentang ketepatan kebijakan tidak berkenaan dengan satuan kriteria individu tetapi dua atau lebih kriteria secara bersama-sama. Ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan program dan kepada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuan tersebut.

2.1.3 Penanaman Satu Milyar Pohon 2.1.3.1Definisi

Menurut Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten, penanaman satu milyar pohon pada hakekatnya merupakan kegiatan penanamn secara nasional yang dilaksanakan oleh sektor kehutanan dan sektor diluar kehutanan serta gerakan moral masyarakat.

2.1.3.2Maksud dan tujuan

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.61/ Menhut-II/2011 tentang Panduan Penanaman Satu Milyar Pohon tahun 2011 menyatakan bahwa maksud dilaksanakannya Gerakan Penanaman Satu Milyar Pohon adalah:

33

1. Sebagai sarana edukasi, peningkatan kepedulian, kemampuan dan kemandirian seluruh komponen bangsa akan pentingnnya menanam dan memelihara pohon.

2. Mengajak seluruh komponen bangsa untuk melakukan penanaman dan pemeliharaan pohon secara berkelanjutan untuk mitigasi perubahan iklim dan merehabilitasi hutan dan lahan.

Sedangkan, tujuan Penanaman Satu Milyar Pohon adalah untuk menambah tutupan lahan dan hutan guna mencegah longsor dan banjir dimusim hujan, menyerap karbon dioksida akibat mitigasi perubahan iklim dan penyediaan bahan baku industri penolahan kayu, pangan dan energi terbarukan.

2.1.3.3Dasar Pelaksanaan

Peraturan perundang-undangan yang mendasari pelaksanaan Penanaman Satu Milyar Pohon, antara lain adalah:

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Repulik Indonesia Tahin 1990 Nomor 49 Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 3419);

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolahan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699);

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (Lembaran Negra Repulik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 4010);

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2000 Tentang Pembentukan Provinsi Banten (Lembaran Negra Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);

5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);

6. Keputusan Presiden RI No. 24 Tahun 2008 Tentang Hari Menanam Pohon Indonesia (HMPI) dan Bulan Menanam Nasioanal (BMN);

7. Peraturan Kehutanan RI Menteri Kehutana RI Nomor : P.61/ Menhut- II/ 2011 Tentang Panduan Penanaman Satu Milyar Pohon Tahun 2011;

8. Surat Menteri Kehutanan RI Kepada Gubernur Banten Nomor : S.481/ MENHUT-II/2011 Tanggal 12 September 2011 Tentang Penyelenggaraan Hari Menanam Pohon Indonesia (HMPI) dan Bulan Menanam Nasional (BMN) Tahun 2011;

9. Surat Gubernur Banten Kepada Bupati/Walikota Se-Provinsi Banten Nomor 522/2908/Hutbun.2/2011, tnggal 25 Oktober 2011 perihal Penyelenggaraan Hari Menanam Pohon Indonesia (HMPI) dan Bulan Menanam Nasional (BMN) Tahun 2011.

35

2.2 Kerangka berpikir

Berdasarkan alur kerangka berpikir tersebut, dapat dilihat bahwa penelit berusaha untuk sedikit menilai bagaimana hasil dari pelaksanaan Program Penanaman Satu Milyar Pohon Sektor kehutanan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Kecamatan Taktakan Kota Serang tahun 2011 dilaksanakan melalu model evaluasi kebijakan Dunn (2003). Menurut Dunn, ada enam kriteria evaluasi, yaitu efektivitas, efisiensi, kecukupan, pemerataan, responsivitas, dan ketepatan.

Keenam indikator tersebut kemudian dijadikan acuaan peneliti di lapangan mengenai Program Penanaman Satu Milyar Pohon Sektor Kehutanan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Kecamatan Taktakan Kota Serang tahun 2011. Selain itu peneliti juga akan membuat kesimpulan dan saran sebagai feedback dari hasil evaluasi yang dilakukan di lapangan. Kesimpulan dan saran tersebut sebagai sebuah sarana dan rekomendasi untuk peningkatan Program Penanaman Satu Milyar Pohon Sektor Kehutanan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Kecamatan Taktakan Kota Serang tahun 2011. Hal ini karena peniliti berasumsi bahwa program tersebut belum optimal dilaksanakan.

Untuk memperjelas alur pemikiran peneliti dalam penelitian ini, berikut akan dipaparkan kerangka berpikir penelitian pada gambar 2.1 berikut:

Gambar 2.1

Kerangka Berpikir Penelitian Sumber: Peneliti, 2012

Identifikasi Masalah (Input): 1. Lemahnya pengawasan dari Dinas

Pertanian sehingga hampir sebagian tanaman yang di tanam sudah tidak ada lagi.

2. Kurangnya sosialisasi Program Penanaman Satu Milyar Pohon Sektor Kehutanan Rehabilitasi Hutan dan Lahan menyebabkan masyarakat setempat tidak paham mengenai program tersebut.

3. Koordinasi antar stakeholder masih belum dilakukan secara maksimal. 4. Sumber daya manusia pelaksana

masih kurang secara kuantitas dan kualitas.

Evaluasi Kebijakan menurut Dunn (2003), adalah : 1. Efektivitas 2. Efisiensi 3. Kecukupan 4. Pemerataan 5. Responsivitas 6. Ketetapan Output:

Optimalnya Penyelenggaraan Program Penanaman Satu Milyar Pohon Sektor Kehutanan Rejabilitasi Hutan dan Lahan di Kecamatan Taktakan Tahun 2011

Outcome:

Terciptanya Masyarakat Peduli Lingkungan

Program Penanaman Satu Milyar Pohon Sektor Kehutanan Rehabilitasi Hutan

dan Lahan di Kecamatan Taktakan Tahun 2011 F e e d ba ck

37

2.3Asumsi Dasar

Berdasarkan alur kerangka berpikir, maka peneliti berasumsi bahwa Program Penanaman Satu Milyar Pohon Sektor Kehutanan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Kecamatan Taktakan Kota Serang tahun 2011 belum terlaksana dengan baik. Hal ini didasari pada masalah-masalah yang ditemukan peneliti di lapangan. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi secara komprehensif terhadap Program Penanaman Satu Milyar Pohon Sektor Kehutanan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Kecamatan Taktakan Kota Serang tahun 2011 dengan enam indikator evaluasi kebijakan dari Dunn (2003), yaitu: efektivitas, efisiensi, kecukupan, pemerataan, responsivitas dan ketetapan.

38

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Untuk mengetahui bagaimana hasil dari penelitian Evaluasi Program Penanaman Satu Milyar Pohon Sektor Kehutanan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Kecamatan Taktakan Kota Serang tahun 2011, maka peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Menurut Sugiyono, penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan, atau menghubungkan antara variabel satu dengan variabel yang lain. Sedangkan, Menurut Danin (2002:54) penelitian kualitatif dimaksudkan untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan dan posisi saat ini, serta interaksi lingkungan unit sosial tertentu yang bersifat apa adanya (given). Sehingga dapat menjawab pertanyaan bagaimana Evaluasi Program Penanaman Satu Milyar Pohon Sektor Kehutanan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Kecamatan Taktakan Kota Serang tahun 2011. Selain itu, dengan digunakan metode kualitatif, maka data yang didapat lebih lengkap, mendalam, kredibel, dan bermakna sehingga tujuan penelitian dapat dicapai. Dengan metode ini permasalahan yang telah dirumuskan akan terjawab dari hasil observasi dan

39

wawancara secara langsung dengan stakeholders ( pihak yang terlibat ) di lokasi penelitian dalam pelaksanaan program tersebut.

3.2 Intrumen penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi instrumen penelitian adalah peneliti itu sendiri. Karena pada penelitian kualitatif segala sesuatu yang akan eliti ditdari objek penelitian belum jelas dan pasti masalahnya, sumber datanya, dan hasil yang diharapkan semuanya belum jelas. Sugiyono (2009:60) mengatakan bahwa dalam penelitian kualitatif “the resecerher is

Dokumen terkait