BAB V PENUTUP
5.2. Saran
Distro dikawasan Jalan Dr. Mansyur lebih giat mengenalkan fashion distro pada masyarakat. Karena pada masyarakat masih terdapat stigma berbelanja harus ke pusat perbelanjaan. Padahal kualitas pakaian distro tidak kalah bagus dibanding pakaian yang terdapat di pusat perbelanjaan dengan harga yang dapat menjangkau kalangan dengan ekonomi menengah kebawah.
Distro dikawasan Jalan Dr. Mansyur mengajak kalangan anak muda terkhusus untuk membeli produk dalam negeri melalui produk-produk distro. Karena sudah banyak merek lokal yang berasal dari Indonesia yang mendesain produk pakaian untuk distro.
Kemudian distro dikawasan Jalan Dr. Mansyur yang menjadikan Kota Bandung sebagai kiblat fashion distro, untuk dimasa depan dapat menggunakan desain-desain daerah Kota Medan dalam produk fashion yang dihasilkan atau dipasarkan. Karena untuk fashion di Kota Bandung sendiri masih melihat perkembangan fashion pada dunia barat. Perlu memunculkan ide dan kreasi anak negeri dalam hal desain produk pakain.
BAB II
PERKEMBANGAN FASHION DISTRO 2.1. Sejarah perkembangan fashion di Indonesia
Fashion di Indonesia telah berkembang dengan baik sejak tahun 1960 ditandai dengan munculnya Non Kawilarang dam Peter Sie. Dalam perkembangan awalnya fashion Indonesia cenderung meniru gaya barat baik dalam bahan yang digunakan atau desain. Secara usia, orang tua Indonesia umumnya lebih nyaman dengan kostum tradisional seperti kebaya, terutama untuk menghadiri acara khusus, berbeda dengan usia muda yang lebih sering tampil dengan mode gaya barat atau gaya busana Korea. Sejak saat itu busana tradisional secara harmonis berkembang sama baiknya dengan desain gaya barat hingga saat ini.
Tahun 1970 merupakan awal kemunculan dari Iwan Tirta, Harry Dharsono, Prajudi, Poppy Dharsono dan Ramil yang telah memberikan signal dalan dunia fashion Indonesia kepada dunia internasional melalui penciptaan mereka dan parade fashion didalam maupun diluar negeri. Dalam dekade tersebut, dunia fashion Indonesia mencatat kemajuan yang cukup besar. Upaya dan kerja keras dari para desainer muda didukung oleh terbitnya majalah wanita “Femina”, majalah wanita baru yang dimulai penerbitan pada tahun 1972, yang banyak memberikan perhatian serius terhadap dunia mode dengan menghadirkan berita trend fashion dunia, sehingga memberikan spektrum yang lebih luas untuk fashion nasional di era ini.
Pia Alisjahbana merupakan wanita yang berpengaruh dalam mengelola majalah tersebut dan memprakarsai lomba fashion desainer pertama tahunan pada tahun 1979. Acara ini menjadi peristiwa penting yang berhasil mencetak banyak desainer muda berbakat seperti Samuel Wattimena, Chossy Latu, Carmanita, Edward Hutabarat, dan Stephanus Hamy, menambah daftar desainer yang ada seperti Arthur Harland, Susan Budiarjo, Thomas Sigar, Dandy Burhan, Adrianto Halim, Corrie Kastubi, Ghea Panggabean, Biyan, Raizal Rais dan Itang Yunaz.
Nama mereka telah menjadikan titik sejarah untuk pengembangan fashion Indonesia. Pada masa itu, peluang besar bagi perancang busana untuk mengembangkan design-nya didukung oleh pemerntah Indonesia.
Pada tahun 1990-an ketika isu-isu globalisasi dan perkembang teknologi mediamodern, seperti internet, mempermudah para desainer untuk mengakses berita mengenai perkembangan dunia fashion dan trend telah banyak membantu para desainer dalam menciptakan variasi fashion terutama dalam mengadopsi gaya barat yang glamour.
Pada tahun 2000-an nama-nama baru lebih memperkaya daftar panjang desainer berbakat Indonesia yang memiliki karakteristik tersendiri dan gaya independen seperti Adrian Gan, Obin, Kiata Kwanda, Sally Koeswanto, Tri Handoko, dan Irsan. Sementara yang lain membuat desain gaya berat, Edward Hutabarat dan Anne Avantie mendedikasikan kreasi mereka dengan mendesign kostum tradisional “blus kebaya” dnegan sentuhan modern. Sehingga membuat
busana tradisonal Indonesia terlahir kembali dan dicintai oleh kalangan muda sehingga mereka lebih menghargai seni tradisonal.29
2.2. Sejarah dan perkembangan fashion Distro di Indonesia
Distro merupakan salah satu industri kreatif yang menjual produk pakaian dengan fashion tersendiri yang menjadi citra distro pada kalangan masyarakat. Distro di Indonesia berkembang sebagai sebuah toko yang menjual produk pakaian yang dititipkan oleh sebuah merek pakaian yang memproduksi pakaian dengan fashion yang bergerak dan berkembang pada distro. Sebagai salah satu pusat penjualan produk fashion, distro identik dengan fashion urban culture dengan model pakaian streetwear yang identik dengan kegiatan urban diperkotaan, seperti skateboard, BMX, atau genre musik tertentu seperti genre rap, metal, rock, deathmetal dan aliran musik lainnya melekat dengan fashion Distro.
Perkembangan Distro berawal pada sebuah studio musik, Reverse di daerah Sukasenang sekitar tahun 1994. Semula Richard (mantan drummer Pas Band), Helvi, dan Didit kemudian dikenal dengan Dxxxt (3 orang pendiri pertama dari Reverse), hanya memasarkan produk-produk spesifik yang terutama diminati oleh komunitas penggemar musik rock dan skateboard. Reverse kemudian mulai
29
pada tanggal 21 September 2016 pukul 23.05)
menjual CD, kaset, poster, artwork30, aksesoris, kaos atau t-shirt, termasuk barang- barang impor maupun barang buatan lokal lainnya.31
Dalam perkembangannya, eksplorasi desain clothing anak-anak muda Bandung, banyak juga dipengaruhi oleh gaya street fashion Jepang yang terasa lebih eklektik
Untuk membesarkan bisnis yang semula dibangun berdasarkan hobi, butuh kedisiplinan tinggi dalam mengelolanya. Bagi clothing company yang muncul belakangan, idealisme dan keterbatasan modal menjadi tantangan yang harus disiasati lebih keras lagi. Karena secara bisnis, mereka harus berhadapan dengan
clothing teman-temannya yang muncul dan mapan lebih dulu. Dari segi
pengembangan desain, tidak banyak juga yang melakukan riset dan pengembangan desain secara serius. Akibat dari boom clothing di tahun 2003,
follower yang muncul belakangan, banyak yang asal jiplak desain-desain yang
sudah ada. Karena untuk membangun sebuah karakter desain yang kuat dibutuhkan waktu dan proses yang lama.
32
30 Artwork adalah hasil karya seni berupa lukisan, patung dan benda-benda visual lainnya.
dan baliknya. Persoalan ketiadaan infrastruktur dan ketidak jelasan pengaturan tata guna lahan di Bandung untuk kawasan komersial, menyebabkan nilai ekonomi lahan semakin mahal dan tak terjangkau dalam mengembangkan usaha yang selama ini mereka jalankan. Pada akhirnya, dukungan yang digembar-gemborkan pemerintah untuk mendukung industri kecil
(diakses pada
tanggal 17 September 2016)
menengah dan membangun kecintaan akan produk dalam negeri, hanya menjadi jargon33
Dari yang semula hanya didatangi oleh penggemar musik rock dan komunitas skateboard, Reverse mulai didatangi oleh beberapa kelompok yang berasal dari komunitas yang lain. Dari yang meminati musik pop, metal, punk,
hardcore, sampai pada kelompok skateboard, BMX, surfing atau peselancar dan
lain sebagainya. Saat krisis ekonomi terjadi pada tahun 1998, bisnis yang dijalani Reverse, mengalami masa sulit sampai akhirnya tutup. Mereka tak mampu lagi membeli barang-barang dari luar negeri karena nilai mata uang dolar terhadap
belaka.
Disadari atau tidak, clothing industry yang muncul dan berkembang, justru memicu perkembangan industri-industri kecil baru yang juga berbasis kreatifitas. Secara organik, infrastruktur pendukungnya, bermunculan satu persatu. Wajar saja, jika kemudian tawaran yang datang tiba-tiba ini, disikapi dengan membentuk forum komunikasi yang bertujuan untuk memperkuat dan saling mendukung satu sama lain. Banyak persoalan baik internal maupun eksternal yang selama ini harus disiasati dan dipecahkan sendiri oleh mereka. Karena itu, tawaran pemerintah, seperti sesuatu yang to good to be true. Mereka bukannya resistan terhadap niat baik pemerintah, namun yang mereka harapkan adalah kejelasan dalam proses negosiasi dimana posisi tawar kedua belah pihak bisa berjalan dengan seimbang. Perspektif kemandirian, kemudian menjadi prinsip yang selalu dimaknai kembali oleh mereka.
33
Jargon adalah kosakata khusus yang digunakan dalam bidang kehidupan atau lingkungan tertentu.
mata uang rupiah melambung tinggi dan tak terjangkau. Namun kondisi sulit ini justru melahirkan fase baru dalam perkembangan clothing industry Bandung.
Kurangnya modal untuk membeli barang-barang dari luar, membuat daya kreatifitas kedua pemuda ini diasah. Ketika itu mereka berpikir, untuk dapat menghasilkan kaos sesuai dengan keinginan mereka. Transformasi Reverse sebagai clothing company, dimotori oleh Dxxxt pada bulan Februari 2004. Reverse kemudian menjelma menjadi label yang memfokuskan dirinya pada fashion untuk pria. Urban Culture yang menjadi keseharian tim kreatifnya, menjadi inspirasi dalam desain produk-produk Reverse. Helvi vetaran Reverse, kemudian membangun clothing label bernama Airplane yang memulai usahanya pada tahun 1997.
Sementara kegemaran skateboard, bmx dan surfing yang ditekuni Dandhy dan teman-temannya, justru memotivasi mereka untuk membuat produk-produk yang mendukung hobi yang mereka cintai. Bukan hal yang mudah untuk menemukan fashion penunjang kegiatan surfing di Bandung pada saat itu. Maka tahun 1996, dari rumah di dago 347 Bandung, mereka mulai memproduksi barang-barang yang menunjang hobi mereka untuk digunakan sendiri. Ternyata apa yang mereka pakai, menarik perhatian teman-teman mereka.
Seperti halnya Airplane, dengan modal patungan seadanya mereka mulai memproduksi barang- barang yang mereka desain untuk kebutuhan hobi mereka itu, untuk dijual di kalangan teman-teman mereka sendiri dengan label ‘347 boardrider co.’ Toko pertamanya dibuka pada tahun 1999 dan diberi nama ‘347 Shophouse’ di Jalan Trunojoyo Bandung.
Demikian pula Ouval yang muncul di tahun 1998. Masih di tahun 1996, Dadan Ketu bersama delapan orang temannya yang lain membentuk sebuah kolektif yang diberi nama Riotic. Kesamaan minat akan ideologi punk, menyatukan ia dan teman-temannya. Riotic menjadi label kolektif yang memproduksi sendiri rilisan musik-musik yang dimainkan oleh komunitas mereka, menerbitkan zines, dan membuka sebuah toko kecil yang menjadi distribusi outlet produk kolektif yang mereka hasilkan. Riotic juga dikenal konsisten dalam mendukung pertunjukan- pertunjukan musik punk rock dan underground yang saat itu kerap diselenggarakan di Gelora Saparua Bandung.
Ketika masa kekuasaan Orde Baru berakhir, kehidupan sosial politik Indonesia mengalami banyak perubahan di era reformasi. Masyarakat memperlihatkan pola relasi yang baru dengan ruang-ruang publik yang ada. Beragam aktivitas dan perayaan dilakukan di jalan. Jalanan seperti Dago, menjadi
catwalk publik yang mengundang siapa pun yang datang untuk menampilkan gaya
dandanan mereka. Individu kemudian mendapat ruang untuk mengekspresikan diri. Saat itu, banyak pertunjukan-pertunjukan musik yang kemudian disponsori oleh clothing company yang mulai memiliki kemampuan ekonomi. Perkembangan musik dan juga street fashion mendorong pertumbuhan distro.
Untuk membesarkan bisnis yang semula dibangun berdasarkan hobi, butuh kedisiplinan tinggi dalam mengelolanya. Bagi clothing company yang muncul belakangan, idealisme dan keterbatasan modal menjadi tantangan yang harus disiasati lebih keras lagi. Karena secara bisnis, mereka harus berhadapan dengan
pengembangan desain, tidak banyak juga yang melakukan riset dan pengembangan desain secara serius. Akibat dari boom clothing di tahun 2003,
follower yang muncul belakangan, banyak yang asal jiplak desain-desain yang
sudah ada. Karena untuk membangun sebuah karakter desain yang kuat dibutuhkan waktu dan proses yang lama.
Dalam Bandung, banyak juga dipengaruhi oleh gaya street fashion Jepang yang terasa lebih eklektik dan baliknya. Persoalan ketiadaan infrastruktur dan ketidak jelasan pengaturan tata guna lahan di Bandung untuk kawasan komersial, menyebabkan nilai ekonomi lahan semakin mahal dan tak terjangkau dalam mengembangkan usaha yang selama ini mereka jalankan. Pada akhirnya, dukungan yang digembar- gemborkan pemerintah untuk mendukung industri kecil menengah dan membangun kecintaan akan produk dalam negeri, hanya menjadi jargon belaka. Sadari atau tidak sadar, clothing industri yang muncul dan berkembang justru memicu perkembangan industri-industri kecil baru yang juga berbasis kreatifitas.
Secara organik, infrastruktur pendukungnya, bermunculan satu persatu. Wajar saja, jika kemudian tawaran yang datang tiba-tiba ini, disikapi dengan membentuk forum komunikasi yang bertujuan untuk memperkuat dan saling mendukung satu sama lain. Banyak persoalan baik internal maupun eksternal yang selama ini harus disiasati dan dipecahkan sendiri oleh mereka. Karena itu, tawaran pemerintah, seperti sesuatu yang to good to be true. Mereka bukannya resistan terhadap niat baik pemerintah, namun yang mereka harapkan adalah kejelasan dalam proses negosiasi dimana posisi tawar kedua belah pihak bisa berjalan
dengan seimbang. Perspektif kemandirian, kemudian menjadi prinsip yang selalu dimaknai kembali oleh mereka.
Ketika kemandirian berarti memulai impian besar dengan langkah-langkah kecil dengan patungan modal seadanya. Juga ketika usaha ini berkembang dan mendapatkan perhatian, kemandirian berarti membangun posisi tawar mereka ketika bertarung dengan banyak kepentingan- kepentingan lain, pemerintah salah satunya. Pada saat banyak orang kemudian mengeluh, bahwa produk clothing menjadi seragam, waktu yang akan membuktikan mana yang kemudian konsisten menjalani proses eksplorasi terus menerus untuk menemukan kematangan produk atau malah inovasi-inovasi baru dan mana yang kemudian hilang seperti merek- merek Bandung yang memudar dan tak dikenal orang seperti yang dikawatirkan Agus Gustiar.
Setidaknya sampai hari ini, setelah satu dekade yang panjang mereka berproses terus menerus, kekawatiran itu tidak terbukti. Yang paling keren sekarang anak-anak muda tidak gengsi dan malu lagi pake produk lokal. Karya anak muda Bandung dihargai orang dari mulai yang naik angkot sampai mobil mewah. Kini, industri distro sudah berkembang, bahkan dianggap menghasilkan produk-produk yang memiliki kualitas ekspor. Pada tahun 2007 diperkirakan ada sekitar 700 unit usaha distro di Indonesia, dan 300 lebih distro di Bandung.34
34
(diakses pada tanggal 20 September 2016 pukul 22.23)
2.3. Sejarah perkembangan fashion Distro di Kota Medan
Distro tertua di Kota Medan adalah Kontjo Khabe. Berawal dari sekedar tempat berkumpul. Berawal dari sekedar tempat berkumpul, kreativitas seni yang tertuang sepakat dijadikan komersil. Souvenir, sticker, spanduk dan berbagai lainnya dijadikan produk jualan. Melihat minat konsumen yang cukup potensial, mereka menambah ragam dagangan dengan pakaian, aksesoris yang bernilai fashion selain menerima pesanan seperti sablon dan sticker timbul.
Survei ke Bandung merupakan langkah pertama yang dilakukan oleh
Kontjo Khabe. Berkenalan dengan teman-teman yang berbisnis distro di Parisj
van Java, menjadi pembuka kesempatan berbisnis serupa di Medan, pionir-pionir
mulanya lahir dari Kontjo Khabe membuka Distro Kontjo One Brother’s, koleksi distro ini beragam dipenuhi aksesoris keren yang kini dikelola oleh Rahmad dan Zufrizal di kawasan Halat.
Untuk kawasan Kota Medan selain Halat sebagai lokasi berdrinya distro tertua di Kota Medan, terdapat Kawasan Jalan Dr. Mansyur. Belakangan tren penjualan produk bergaya street memang lagi familiar di Kota Medan. Seperti halnya Dr. Mansyur, Medan yang notabene dekat dengan Universitas Sumatera Utara yang kini menjadi “sarang” dari distro-distro atau dealer resmi produk- produk bercirikan anak muda.35
Selain kawasan Halat yang sudah lebih dahulu melahirkan distro tertua di Kota Medan yang terdapat pada Distro Kontjo Khabe, para pelaku usaha sejenis berlomba-lomba membuka distro untuk bersaing dengan distro yang telah ada.
35
(diakses pada tanggal 22 September 2016 pukul 23.28)
Kemudian para pelaku usaha distro membuka kawasan Jalan Dr. Mansyur yang notabene kawasan tersebut dekat dengan Universitas Sumatera Utara dan sekolah, sehingga sesuai dengan target pasar pada kalangan anak muda.
Satu diantaranya adalah Rumah Sepatu yang berdiri sejak 2009 dan menjadi pionir pada kalangan anak muda Kota Medan untuk memenuhi hasrat membeli sepatu yang modern dan mengikuti tren. Merek yang familiar dikalangan mahasiswa dan siswa seperti Vans, Nike, Zara, Fred Perry yang didatangkan dari China, Vietnam, Korea menjadi beberapa merek yang dipasarkan disamping produk dari merek dalam negeri.
2.3.1. Sejarah dan Gambaran Umum Distro SnugxRaw
Distro SnugxRaw didirikan oleh seorang pria Minang yang sudah memilki pengalaman dalam dunia fashion distro. Beliau bernama Ersad yang mendirikan Distro SnugxRaw pada tahun 2011 di kawasan Jalan Dr. Mansyur dengan beberapa pertimbangan dan pengamatan terhadap lokasi beridrinya Distro SnugxRaw. Sebelum tahun 2011 sudah banyak berdiri distro di kawasan Jalan Dr. Mansyur, pada 2008 berdiri Distro Dreamer menyusul kemudian pada tahun 2009 berdiri Rumah Sepatu lalu Distro Elevate, kemudian Distro Victory, S.T.O.R.E yang dilanjut Distro SnugxRaw pada 2011 dengan membuka SNUG STORE. Baru kemudian setelah berdiri BOX 19 menyusul didirikan toko RAW LAB’S pada Distro SnugxRaw. Seperti yang diungkapkan Bang Ersad (32 tahun) :
“ Dr. Mansyur sendiri berdiri Distro punya kawan saya, yaitu Elevate yang sekarang sudah tutup, kemudian buka Distro Victory punya kawan saya,
pemilik yang sama buka PSD STORE di epicetrum hingga pada 2011 berdiri Distro SnugxRaw dengan konsep toko STORE menyusul kemudian toko RAW LAB’S setelah Distro BOX 19.”
Kecintaan Bang Ersad sejak berstatus sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta terhadap fashion membuat dirinya ingin memiliki distro. Selama menjadi mahasiswa Bang Ersad banyak bergaul dan mengamati perkembangan fashion distro di Kota Bandung sebagai pionir distro di Indonesia. Demi hobi Bang Ersad rela menempuh jarak Yogyakarta ke Bandung menggunakan sepeda motor turing bersama teman sesama mahasiswa. Kecintaan Bang Ersad pada fashion distro juga terlihat dari penggunaan fashion distro yang sudah dialakukan sejak berada dibangku SMA yang dapat menghabiskan sekitar Rp.400.000 – Rp.500.000 untuk sekali belanja. Dengan jumlah nominal uang tersebut, Bang Ersad mendapatkan empat sampai lima kaos atau dua pasang pakaian dengan dua kaos dan duan celana jeans yang dapat digunkan untuk tiga sampai empat bulan sebelum belanja ke distro lagi. Seperti penuturan Bang Ersad (32 tahun) :
“saya sendiri waktu SMA sudah belanja di distro dan berlanjut saat menjadi mahasiswa di Yogyakarta. Untuk sekali belanja berkisar antara 400 sampai 500, itu saya sudah mendapatkan empat sampai lima kaos atau dua kaos dan dan dua celana jeans, saya bisa pake untuk tiga sampai empat bulan berikutnya. Semasa saya kuliah saya bersama teman sering turing ke kota Bandung rame-rame hanya untuk melihat perkembangan fashion disana.”
Hingga pada akhirnya semua pengalaman dan keinginan untuk memilki distro dicetuskan dalam sebuah ide Distro SnugxRaw yang juga sebagai tempat pemasaran merek produk yang diproduksi oleh Bang Ersad, yaitu Sir Alex. Pemilihan nama Distro SnugxRaw berawal dari kecintaan Bang Ersad terhadap hal-hal yang mengandung peperangan dan senjata, hingga suatu ketika teman Bang Ersad mencetuskan istilah GUNS X WARS yang kemudian dpengucapannya dibalik seperti bahasa walikan yang familiar di Kota Malang. Dari istilah GUNS X WARS terlahirlah nama SnugxRaw dengan logo yang didesain oleh kawan Bang Ersad yang seorang desain gambar.
Pada awal didirikannya Distro SnugxRaw hanya berdiri satu toko Distro yang diberi nama SNUG STORE yang khusus untuk produk fashion popculture. Hingga kemudian muncul kawan dari Bang Ersad untuk berbagi saham mendirikan toko Distro RAW LAB’S disamping SNUG STORE. RAW LAB’S adalah toko bagian Distro SnugxRaw yang memasarkan produk fashion yang mengandung unsur musik rock dan genre musik sejenis.
Distro SnugxRaw merupakan salah satu Distro yang terdapat di kawasan Jalan Dr. Mansyur, terletak diapit oleh sebuah barbershop36
36 Barbershop merupakan suatu model usaha salon yang khusu untuk kaum pria.
dan Distro BOX19
dan VICTORY. Letak Distro SnugxRaw yang dipinggir Jalan Dr. Mansyur memungkinkan Distro ini dapat dengan mudah diketahui masyarakat yang kebetulan atau melintas lewat Jalan Dr. Mansyur serta dengan mudah untuk dijangkau oleh konsumen yang hendak berkunjung untuk belanja pakaian distro. Mendukung dengan terdapat baliho berbentuk lingkaran sebagai logo Distro
SnugxRaw yang dapat menggundang perhatian orang yang melintas, baik dari arah kedatangan atau kepergian dapat diperhatikan pada siang hari dan dengan bantuan lampu LED yang menerangi baliho pada malam hari. Seperti penuturan Bang Ersad (32 tahun) :
“alasan pemilihan lokasi Dr. Mansyur adalah karena lokasi ini adalah grade A. Dimana seperti diketahui terdapat kampus USU nih kemudian ada cafe tempat nongkrong anak muda, cocok ke Snug karena melirik pasar kalangan anak muda. Sebagai jalan lintas kawasan ini rentan macet, Snug dekat dengan Zam-zam banyak pengunjung sedang makan, sore jam pulang kuliah adalah penyebab kemacetan. Orang kalo lagi macet pasti lirik kanan- kiri, ada niatan untuk singgah atau sekedar mengetahui Snug itu seperti apa sambil menunggu macet.
Distro SnugxRaw memiliki pelataran toko yang menjadi lahan parkir baik konsumen yang berkunjung untuk belanja atau karyawan-karyawan Distro SnugxRaw yang bekerja setiap hari. Pada bagian pintu distro sebelum menjangkau pintu kaca, distro dilapis dengan pintu sorong dari besi yang akan digunakan untuk melindungi pintu kaca distro jika semua aktivitas Distro SnugxRaw sudah selesai pada malam hari. Seperti pada kebanyakan distro, kaca menjadi tampilan awal toko yang membuat tampilan display pakaian distro dapat terlihat.