• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 KESIMPULAN

6.2. Saran

Setelah peneliti melakukan penelitian mengenai gambaran karakteristik dan jenis penyakit rematik pada pasien rawat jalan di Puskesmas Polonia Medan tahun 2015, maka hasil penelitian dapat digunakan sebagai:

1. Masukan bagi pihak Puskesmas Polonia membantu pasien rematik untuk mengurangi nyeri sendi yang dialami. Misalnya dengan memberi informasi tentang cara melakukan olah raga atau senam rematik secara konsisten dan istirahat yang cukup untuk memperbaiki kondisi fisik, juga harus mengamalkan cara hidup sehat dengan mengkonsumsi makanan dengan diet yang benar.

2. Dapat digunakan sebagai motivator bagi seluruh civitas akademik terutama pasien yang mengalami rematik sehingga dapat menjadi budaya yang baik untuk peningkatan derajat kesehatan dalam penatalaksanaan penyakit rematik, dengan cara memberikan informasi atau penyuluhan-penyuluhan kesehatan khususnya tentang penyakit rematik.

3. Dapat digunakan sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya, untuk meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit rematik dan menggunakan jumlah populasi yang lebih banyak sehingga akan lebih diperoleh hasil yang lebih baik.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sendi

2.1.1. Sendi Lutut

2.1.2. Sendi jari-jari tangan

2.1.4. Sendi Pang gul

2.1.3. Sendi jari-jari kaki

2.1.4. Sendi Panggul

2.2. Rematik 2.2.1. Definisi

Rematik adalah penyakit yang menyerang sendi dan tulang atau jaringan penunjang sekitar sendi. Bagian tubuh yang diserang biasanya persendian pada jari, lutut, pinggul dan tulang punggung (Purwoastuti, 2009). Penyakit ini menyebabkan inflamasi, kekakuan, pembengkakan, dan rasa sakit pada sendi, otot, tendon, ligamen, dan tulang (Misnadiarly, 2007). Istilah penyakit rematik tidak memiliki batas yang jelas. Istilah ini mencakup lebih dari 100 kondisi-kondisi berbeda yang dilabelkan ke dalam penyakit rematik termasuk osteoartritis, arthritis reumatoid, gout, sistemik lupus eritematosus, skleroderma, dan lain-lain (Sangha, 2000).

2.2.2. Faktor Resiko

1. Riwayat keluarga dan keturunan 2. Jenis kelamin wanita lebih sering 3. Obesitas atau kegemukan

4. Usia lebih dari 40 tahun

5. Pernah mengalami trauma berat pada lutut sampai terjadi pembengkakan atau berdarah, seperti pada olahragawan.

6. Para pekerja yang menggunakan lutut secara berlebihan misalnya pedagang keliling dan pekerja yang bekerja dengan banyak jongkok yang menyebabkan tekanan berlebihan pada lutut (Sangha, 2000)

2.2.3. Klasifikasi

Penyakit rematik dapat digolongkan kepada 2 bagian, yang pertama diuraikan sebagai penyakit jaringan ikat karena mengefek rangka pendukung (supporting framework) tubuh dan organ-organ internalnya. Antara penyakit yang dapat digolongkan dalam golongan ini adalah osteoartritis, gout, dan polimialgia. Golongan yang kedua pula dikenali sebagai penyakit autoimun karena terjadi

apabila sistem imun yang biasanya memproteksi tubuh dari infeksi dan penyakit, mulai merusakkan jaringan-jaringan tubuh yang sehat. Antara penyakit yang dapat digolongkan dalam golongan ini adalah rheumatoid artritis, spondiloartritis, lupus eritematosus sistemik dan skleroderma. (NIAMS, 2008)

a) Artritis Reumatoid (AR)

Merupakan penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target utama. Manifestasi klinis klasik AR adalah poliartritis simetrik yang terutama mengenai sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki. Selain lapisan sinovial sendi, AR juga bisa mengenai organ-organ di luar persendian seperti kulit, jantung, paru-paru dan mata. Mortalitasnya meningkat akibat adanya komplikasi kardiovaskular, infeksi, penyakit ginjal, keganasan dan adanya komorbiditas (Suarjana, I.N., 2009).

Penyebab RA belum diketahui dengan pasti. Terdapat interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik berperan penting terhadap kejadian AR, dengan angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%. Hubungan gen HLA-DRB1 dengan kejadian AR telah diketahui dengan baik. Kerusakan sendi pada AR dimulai dari proliferasi makrofag dan fibroblas sinovial setelah adanya faktor pencetus, berupa autoimun atau infeksi. Limfosit menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel yang selanjutnya terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan-bekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terjadi pertumbuhan yang iregular pada jaringan sinovial yang mengalami inflamasi sehingga membentuk jaringan pannus. Pannus menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang. Berbagai macam sitokin, interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan dilepaskan, sehingga mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik (Suarjana, I.N., 2009).

b) Osteoartritis

Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif non-inflamasi yang terutama terjadi pada orang tua. Osteoartritis dapat ditandai dengan adanya degenerasi tulang rawan sendi, hipertrofi tulang pada tepinya, dan perubahan pada membrane sinovial (Dorland, W.A.N., 2012). Pada umumnya osteoarthritis menyerang sendi-sendi yang bergerak. Penyakit ini bersifat kronis, berjalan progresif lambat, dan ditandai oleh adanya pembentukan tulang baru pada permukaan persendian. OA merupakan penyakit sendi yang paling banyak dijumpai dan prevalensinya semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Masalah OA di Indonesia diperkirakan 1 sampai 2 juta orang lanjut usia menderita kecacatan (Dubey, S., Adebajo, A., 2008).

Selama ini OA sering dipandang sebagai akibat dari suatu proses ketuaan yang tidak dapt dihindari. Para pakar yang meneliti penyakit ini sekarang berpendapat bahwa OA ternyata merupakan penyakit gangguan homeostatis dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur proteoglikan kartilago yang penyebabnya belum jelas diketahui (Woodhead, 1989).

Pemahaman yang lebih baik mengenai patogenesis OA akhir-akhir ini diperoleh antara lain berkat meningkatnya pengetahuan mengenai biokimia dan biologi molekuler rawan sendi. Dengan demikian diharapkan kita dapat mengelola pasien OA dengan lebih tepat dan lebih aman. Perlu dipahami bahwa penyebab nyeri yang terjadi pada OA bersifat multifaktorial. Nyeri dapat bersumber dari regangan serabut syaraf periosteum , hipertensi intra-osseous, regangan kapsul sendi, hipertensi intra-artikular, regangan ligament, mikrofraktur tulang subkondral, entesopati, bursitis dan spasme otot. Dengan demikian penting difahami, bahwa walaupun belum ada obat yang dapat menyembuhkan OA saat ini, namun terdapat berbagai cara untuk mengurangi nyeri dengan memperhatikan kemungkinan sumber

nyerinya, memperbaiki mobilitas dan meningkatkan kwalitas hidup (Dubey, S., Adebajo, A., 2008).

c) Artritis Gout

Penyakit ini berhubungan dengan tingginya asam urat darah (hiperurisemia). Artritis gout merupakan jenis penyakit yang pengobatannya mudah dan efektif. Namun bila diabaikan, gout juga dapat menyebabkan kerusakan sendi. Penyakit ini timbul akibat kristal monosodium urat di persendian meningkat. Timbunan kristal ini menimbulkan peradangan jaringan yang memicu timbulnya rematik gout akut. Pada penyakit gout primer, 99% penyebabnya belum diketahui (idiopatik). Diduga berkaitan dengan kombinasi faktor genetik dan faktor hormonal yang menyebabkan gangguan metabolisme yang dapat mengakibatkan meningkatnya produksi asam urat atau bisa juga diakibatkan karena berkurangnya pengeluaran asam urat dari tubuh (Roddy, E., Zhang, W., Doherty, M., 2007).

Penyakit gout sekunder disebabkan antara lain karena meningkatnya produksi asam urat karena nutrisi, yaitu mengkonsumsi makanan dengan kadar purin yang tinggi. Purin adalah salah satu senyawa basa organik yang menyusun asam nukleat (asam inti dari sel) dan termasuk dalam kelompok asam amino, unsur pembentuk protein. Produksi asam urat meningkat juga bisa karena penyakit darah (penyakit sumsum tulang, polisitemia), obat-obatan (alkohol, obat-obat kanker, vitamin B12). Penyebab lain adalah obesitas (kegemukan), penyakit kulit (psoriasis), kadar trigliserida yang tinggi. Pada penderita diabetes yang tidak terkontrol dengan baik biasanya terdapat kadar benda-benda keton (hasil buangan metabolisme lemak) yang meninggi. Benda-benda keton yang meninggi akan menyebabkan asam urat juga ikut meninggi (Roddy, E., Zhang, W., Doherty, M., 2007).

d) Spondiloartritis

Spondiloartritis (atau spondiloartropati) adalah nama keseluruhan suatu penyakit rematik dengan peradangan yang dapat mempengaruhi tulang belakang dan sendi, ligamen dan tendon. Penyakit tersebut dapat menyebabkan kelelahan dan nyeri atau kekakuan di punggung, leher, tangan, lutut, dan pergelangan kaki serta peradangan mata, kulit, paru-paru, dan katup jantung. Penyakit yang termasuk dalam spondiloartritis dapat mencakup, ankilosing spondilitis, reaktif artritis, artritis psoriatis dan spondilitis psoriasis, dan artritis atau spondilitis yang berkaitan dengan penyakit inflamasi usus, kolitis ulseratif dan Crohn's disease. (Reveille, J.D., 2010)

e) Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)

Lupus adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan peradangan akut dan kronis dari berbagai jaringan tubuh. Orang dengan lupus memproduksi antibodi abnormal dalam darah mereka yang menargetkan jaringan dalam tubuh mereka sendiri daripada agen infeksi asing. Karena antibodi dan sel-sel yang menyertai peradangan dapat mempengaruhi jaringan di mana saja di tubuh, lupus memiliki potensi untuk mempengaruhi berbagai area. Lupus dapat menyebabkan penyakit hati, kulit, sistem paru-paru, ginjal, sendi, dan/atau sistem saraf. Ketika hanya kulit yang terlibat, kondisi ini disebut dermatitis lupus atau lupus eritematosus kulit. Suatu bentuk dermatitis lupus yang dapat diisolasi ke kulit, tanpa penyakit internal disebut lupus discoid. Ketika organ-organ internal yang terlibat, kondisi ini disebut sebagai LES (Shiel, W.C., 2010).

f) Polimialgia

Polimialgia rematika adalah suatu keadaan yang menyebabkan nyeri hebat dan kekakuan pada otot leher, bahu dan panggul. Penyakit ini terjadi pada usia lebih dari 50 tahun dan wanita 2 kali lebih sering terkena. Kekakuan ini akan memburuk pada pagi hari dan setelah beristirahat. Gejala-gejala otot bisa disertai demam, tidak enak badan, penurunan berat badan dan depresi. Semua gejalan ini bisa timbul secara tiba-tiba atau secara bertahap (Borigini, M.J., 2010).

g) Skleroderma

Skleroderma merupakan penyakit kronis multisistem dimana etiologinya masih belum diketahui. Secara klinis, dikarakteristikkan dengan penebalan kulit yang disebabkan oleh akumulasi jaringan ikat dan abnormalitas struktur dan fungsional pada organ viseral, termasuk saluran pencernaan, paru-paru, jantung, dan ginjal. Antara manifestasi klinis yang terdapat pada penyakit ini adalah fenomenon Raynaud, penebalan kulit, kalsinosis subkutan, artralgias, miopati, ismotilitas esofageal, fibrosis pulmonal, gagal jantung kongestif, dan krisis renal. Penyakit skleroderma mempunyai distribusi di seluruh dunia dan mengefek semua suku kaum. Onset bagi penyakit ini biasanya pada masa anak-anak dan pria usia muda. Insidensi semakin meningkat pada usia lanjut, dimana puncak maksimumnya ada pada usia 30-50 tahun. Wanita, secara keseluruhan terkena penyakit ini 3 kali lebih sering jika dibanding dengan pria. Penyakit ini biasanya didiagnosis berdasarkan gejala-gejalanya. Pada beberapa pasien, monoklonal IgG dapat dideteksi. Selain itu, biopsi juga turut dilakukan untuk membedakan dengan penyakit rematik lain.Walaupun penyakit ini tidak dapat disembuhkan, penanganan organ-organ yang terlibat dapat mengurangkan simptom-simptom dan memperbaiki fungsi. Efek terapi

obat untuk penyakit ini, menjadi susah untuk dievaluasi karena penyebabnya yang bervariasi dan keparahan penyakit yang berbeda. Pasien dengan skleroderma kutan yang terbatas, mempunyai prognosis yang baik, tetapi prognosis pada pasien tahap awal menjadi susah untuk diprediksi (Fauci, A.S., & Langford, C.A., 2006).

2.2.4. Manifestasi Klinis

Gejala utama dari rematik adalah adanya nyeri pada sendi yang terkena, terutama waktu bergerak. Umumnya timbul secara perlahan-lahan. Mula-mula terasa kaku, kemudian timbul rasa nyeri yang berkurang dengan istirahat. Terdapat hambatan pada pergerakan sendi, kaku pagi, krepitasi, pembesaran sendi dan perubahan gaya jalan. Lebih lanjut lagi terdapat pembesaran sendi dan krepitasi (Soeroso, J., Isbagyo, H., Kalim, H., Broto, R., Pramudiyo, R., 2010). Tanda-tanda peradangan pada sendi tidak menonjol dan timbul belakangan, mungkin dijumpai karena adanya sinovitis, terdiri dari nyeri tekan, gangguan gerak,, rasa hangat yang merata dan warna kemerahan, antara lain:

1. Nyeri Sendi

Keluhan ini merupakan keluhan utama. Nyeri biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan tertentu kadang-kadang menimbulkan rasa nyeri yang lebih dibanding gerakan yang lain.

2. Hambatan Gerakan Sendi

Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat dengan pelan-pelan sejalan dengan bertambahnya rasa nyeri.

3. Kaku pagi

Pada beberapa pasien, nyeri atau kaku sendi dapat timbul setelah imobilitas, seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu yang cukup lama atau bahkan setelah bangun tidur.

4. Krepitasi

Rasa gemeretak (kadang-kadang dapat terdengar) pada sendi yang sakit. 5. Pembesaran Sendi (deformitas)

Pasien mungkin menunjukkan bahwa salah satu sendinya (seringkali terlihat di lutut atau tangan) secara pelan-pelan membesar.

6. Perubahan Gaya Berjalan

Pergelangan kaki, tumit, lutut atau panggul berkembang menjadi pincang pada hamper semua pasien OA. Gangguan berjalan dan gangguan fungsi sendi yang lain merupakan ancaman yang besar untuk kemandirian pasien yang umumnya tua (Soeroso, J., Isbagyo, H., Kalim, H., Broto, R., Pramudiyo, R., 2010).

2.2.5. Patofisiologi

Inflamasi mula-mula mengenai sendi-sendi sinovial seperti edema, eksudat febrin dan infiltrasi selular. Peradangan yang berkelanjutan, sinovial menjadi menebal, terutama pada sendi artikular kartilago dari sendi. Pada persendian ini granulasi membentuk pannus, atau penutup yang menutupi kartilago. Pannus masuk ke tulang sub kondria. Jaringan granulasi menguat karena radang menimbulkan gangguan pada nutrisi kartilago artikular. Kartilago menjadi nekrosis (Brunner dan Suddarth, 2003).

Tingkat erosi dari kartilago menentukan tingkat ketidakmampuan sendi. Bila kerusakan kartilago sangat luas maka terjadi adhesi diantara permukaan sendi, karena jaringan fibrosa atau tulang bersatu (ankilosis). Kerusakan kartilago dan tulang menyebabkan tendon dan ligamen jadi lemah dan bisa menimbulkan subluksasi atau dislokasi dari persendian (Brunner dan Suddarth, 2003).

2.2.6. Penatalaksanaan

Hingga sekarang belum ada obat-obatan yang dapat menyembuhkan penyakit rematik, kecuali penyakit rematik yang disebabkan oleh infeksi. Obat yang tersedia hanya mengatasi gejala penyakitnya, sedangkan proses penyakitnya tetap berlangsung (Shiel, W.C., 2010).

Beberapa terapi yang digunakan agar dapat meringankan penderitaan pasien adalah sebagai berikut:

1) Terapi Obat

Pengobatan yang dilakukan terhadap penyakit rematik adalah untuk mengatasi gejala nyeri dan peradangannya. Pada beberapa kasus, pengobatan bertujuan untuk memperlambat proses atau mengubah perjalanan penyakit. Beberapa obat atau golongan obat yang dapat digunakan pada rematik (Saryono, 2011):

a) Golongan Analgetik: golongan obat ini berfungsi mengatasi atau meredakan rasa nyeri pada sendi, contohnya aspirin, obat antiinflamasi non steroid (NSAIDs) lainnya seperti ibuprofen dan asetaminofen (Saryono, 2011).

b) Golongan kortikosteroid: obat kortikosteroid seperti prednisone, kotison dan hidrokartison banyak digunakan untuk mengobati gejala rematik. Cara kerja kortikosteroid adalah dengan mengatasi inflamasi dan menekan sistem kekebalan tubuh sehingga reaksi radang pada rematik berkurang. Efek samping jangka pendek kortikosteroid adalah pembengkakan, menambah nafsu makan, menambah berat badan dan emosi yang labil. Efek samping tersebut akan berhenti bila pemberian obat dihentikan. Efek samping jangka panjang dari penggunaan kortikosteroid diantaranya tanda goresan pada kulit (strie), rambut tumbuh berlebihan, tulang keropos (osteoporosis), tekanan darah tinggi,

kerusakan arteri pembuluh darah, peningkatan kadar gula darah, infeksi dan katarak. Penghentian pemberian obat ini harus dilakukan secara bertahap, tidak boleh secara mendadak (Saryono, 2011).

c) DMARD: Pemilihan DMARD harus mempertimbangkan kepatuhan, beratnya penyakit, pengalaman dokter dan adanya penyakit penyerta. Methotrexate dan Sulfasalazine sering digunakan sebagai terapi awal, tetapi pada kasus yang lebih berat, MTX atau kombinasi terapi mungkin digunakan sebagai terapi lini pertama. Banyak bukti menunjukkan bahwa kombinasi DMARD lebih efektif dibandingkan dengan terapi tunggal (Saryono, 2011).

2) Terapi Non-Obat

Tersedia bahan alami atau herbal dan beberapa suplemen yang dapat digunakan untuk melawan penyakit rematik. Beberapa terapi non-obat yang digunakan adalah sebagai berikut (Putra, 2009) :

a) Suplemen dan Sayuran

Obat-obat suplemen dan sayuran yang dapat digunakan bagi penderita rematik adalah sebagai berikut: Jus sayuran: dapat membantu mengurangi gejala arthritis (Putra, 2009).

1. Vitamin C: menurut penelitian ahli fisiologis Dr. Robert Davis dari Pennsylvania membuktikan bahwa penyakit artritis rheumatoid berkorelasi dengan kadar vitamin C rendah. Penggunaan dosis besar vitamin C (500-1000 mg) sehari dapat menghilangkan gejala arthritis (Carter, 2006).

2. Ikan dan minyak ikan: menurut Dr. Robert C. Atkins, penulis New Diet Revolution prinsip dasar terapi dari artritis harus diberikan suplemen kapsul minyak ikan yang mengandung asam lemak omega-3 yang dapat menghilangkan nyeri dan pembengkakan pada semua jenis artritis. Selain

itu minyak ikan kod juga kaya akan vitamin D yang membantu membangun tulang, dan vitamin A membantu melawan peradangan. Satu sendok makan minyak ikan setiap hari merupakan dosis yang diperlukan untuk mendapat manfaatnya. Penelitian telah dilakukan selama 12 bulan tentang suplemen minyak ikan pada pasien artritis rheumatoid dan hasilnya menunjukkan 2-6 gram minyak omega-3 setiap hari dapat menurunkan pembengkakan dan nyeri sendi (Carter, 2006).

b) Olahraga dan istirahat

Penderita rematik mau tidak mau harus menyeimbangkan kehidupannya antara istirahat dan beraktivitas. Kalau merasa nyeri atau pegal, pasien harus beristirahat. Namun harus diingat, istirahat tidak boleh berlebihan karena dapat mengakibatkan kekakuan pada otot dan sendi (Junaidi, 2006).

Latihan dan olahraga yang dianjurkan adalah sebagai berikut:

1. Range of motion exercises: merupakan latihan fisik yang membantu menjaga pergerakkan normal sendi, memelihara atau meningkatkan fleksibilitas dan menghilangkan kekakuan sendi (Junaidi, 2006).

2. Aerobic atau endurance exercises: untuk meningkatkan kesehatan pembuluh darah jantung, membantu menjaga berat badan ideal dan memperbaiki kesehatan secara menyeluruh (Junaidi, 2006).

c) Mobilisasi dan relaksasi

Mobilisasi dapat digunakan untuk mengurangi nyeri dan memperbaiki kekakuan pada sendi yang terserang rematik. Relaksasi progresif membantu mengurangi nyeri dengan melakukan gerakan yang melemaskan otot yang tegang. Pada relaksasi progresif, gerakan yang dilakukan adalah pada satu saat

mengencangkan kumpulan otot tertentu, kemudian secara perlahan melemaskannya atau merelaksasikannya (Junaidi, 2006).

d) Terapi rehabilitasi

Ada beberapa terapi rehabilitasi yang dibutuhkan oleh penderita rematik adalah sebagai berikut (Purwoastuti, 2009):

1. Edukasi: pada edukasi ini pasien diberi informasi yang lengkap dan benar mengenai pengobatan dan perjalanan penyakit ke depan.

2. Fisioterapi: berbagai aktivitas latihan yang diperlukan untuk mendapatkan gerak sendi yang baik dan optimal, agar massa otot tetap dan stabil.

3. Okupasi: okupasi bertujuan untuk membantu pasien agar dapat melakukan tugas sehari-hari, yakni dengan memosisikan sendi secara baik sehingga dapat berfungsi dengan baik dan terhindar dari gerakan berlebihan yang dapat menimbulkan nyeri.

4. Diet: diet diutamakan untuk mengurangi berat badan yang berlebihan, dianjurkan mencapai berat badan 10-15% di bawah ideal. Kegemukan memberikan beban tekanan pada sendi penopang berat tubuh (Purwoastuti, 2009).

2.3. Nyeri

2.3.1. Definisi Nyeri

Nyeri didefinisikan sebagai pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial akan menyebabkan kerusakan jaringan. Reseptor neurologik yang dapat membedakan antara rangsang nyeri dengan rangsang lain disebut nosiseptor. Nyeri dapat mengakibatkan impairment dan disabilitas.

Impairment adalah abnormalitas atau hilangnya struktur atau fungsi anatomik, fisiologik maupun psikologik. Sedangkan disabilitas adalah hasil dari impairment, yaitu keterbatasan atau gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas yang normal (The International Association for the the study of pain (IASP)).

2.3.2. Klasifikasi Nyeri

Nyeri terbagi atas (Setiyohadi, B., Sumariyono, Kasjmir, Y.I., Isbagio, H. dan Kalim, H., 2010):

a. Nyeri nosiseptif

Nyeri yang timbul sebagai akibat perangsangan pada nosiseptor (serabut a-delta dan serabut-c) oleh rangsang mekanik, termal atau kemikal.

b. Nyeri somatik

Nyeri yang timbul pada organ non viseral, misal nyeri pasca bedah, nyeri metastatic, nyeri tulang, nyeri artritik.

c. Nyeri viseral

Nyeri yang berasal dari organ viseral, biasanya akibat distensi organ yang berongga, misalnya usus, kandung empedu, pankreas, jantung. Nyeri viseral seringkali diikuti referred pain dan sensasi otonom, seperti mual dan muntah.

d. Nyeri neuropatik

Nyeri yang timbul akibat iritasi atau trauma pada saraf. Nyeri seringkali persisten, walaupun penyebabnya sudah tidak ada. Biasanya pasien merasakan rasa seperti terbakar, seperti tersengat listrik atau alodinia dan disestesia.

e. Nyeri psikogenik

Nyeri yang tidak memenuhi kriteria nyeri somatik dan nyeri neuropatik, dan memenuhi kriteria untuk depresi atau kelainan psikosomatik

2.3.3. Mekanisme Nyeri

Proses nyeri mulai stimulasi nociceptor oleh stimulus noxiuos sampai terjadinya pengalaman subyektif nyeri adalah suatu seri kejadian elektrik dan kimia yang bias dikelompokkan menjadi 4 proses, yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi (Setiyohadi, B., Sumariyono, Kasjmir, Y.I., Isbagio, H. dan Kalim, H., 2010).

a. Transduksi

Mekanisme nyeri dimulai dari stimulasi nociceptor oleh stimulus noxiuos pada jaringan, yang kemudian akan mengakibatkan stimulasi nosiseptor dimana disini stimulus noxiuos tersebut akan dirubah menjadi potensial aksi. Proses ini disebut transduksi atau aktivasi reseptor.

b. Transmisi

Tahap pertama transmisi adalah konduksi impuls dari neuron aferen primer ke kornu dorsalis medulla spinalis, pada kornu dorsalis ini neuron aferen primer bersinap dengan neuron susunan saraf pusat. Dari sini jaringan neuron tersebut akan naik keatas di medulla spinalis menuju batang otak dan thalamus.

c. Modulasi

Terdapat proses modulasi sinyal yang mampu mempengaruhi proses nyeri tersebut, tempat modulasi sinyal yang paling diketahui adalah pada kornu dorsalis medula spinalis.

d. Persepsi

Proses dimana pesan nyeri di relai ke otak dan menghasilkan pengalaman yang tidak menyenangkan (nyeri).

2.3.4. Nyeri Inflamasi

Pada proses inflamasi, misalnya pada artritis, proses nyeri terjadi karena stimulus nosiseptor akibat pembebasan berbagai mediator biokimiawi selama proses inflamasi terjadi. Inflamasi terjadi akibat rangkaian reaksi imunologik yang dimulai oleh adanya antigen yang kemudian diproses oleh antigen presenting cell (APC) yang kemudian akan diekskresikan ke permukaan sel dengan determinan HLA yang sesuai. Antigen yang diekspresikan tersebut akan diikat oleh sel T melalui reseptor sel T pada permukaan sel T membentuk kompleks trimolekuler. Kompleks trimolekuler tersebut akan mencetuskan rangkaian reaksi imunologik dengan pelepasan berbagai sitokin (IL-1, IL-2) sehingga terjadi aktifasi, mitosis dan proliferasi sel T tersebut. Sel T yang teraktifasi juga akan menghasilkan berbagai limfokin dan mediator inflamasi yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan merangsang proliferasi dan aktivasi sel B untuk memproduksi antibodi (Setiyohadi, B., Sumariyono, Kasjmir, Y.I., Isbagio, H. dan Kalim, H., 2010).

Setelah berikatan dengan antigen, antibodi yang dihasilkan akan membentuk kompleks imun yang akan mengendap pada organ target dan

Dokumen terkait