Makna interpersonal merupakan salah satu makna dalam metafungsi bahasa. Makna interpersonal dapat menggali hubungan antarkomunikan yang berinteraksi dalam suatu pertuturan. Dengan menelisik makna interpersonal yang meliputi analisis fungsi tutur dan bentuk pilihan mood dalam merealisasikan fungsi tutur tersebut dapat digali realitas hubungan sosial antarpelaku komunikasi. Hasil analisis Bab IV menggiring pada suatu kesimpulan yang menjawab pertanyaan dalam penelitian ini.
5.1 Simpulan
Penelitian ini mengkaji makna interpersonal. Penelitian berfokus pada realisasi fungsi tutur dan tipikalitas dari fungsi tutur yang direalisasikan oleh guru BK dan siswa dalam kegiatan layanan bimbingan dan konseling. Ada tiga simpulan yang diperoleh dalam penelitian ini.
Pertama, ditemukan bahwa dari sisi jumlah tuturan yang direalisasikan, secara umum GBK lebih banyak menghasilkan fungsi tutur dibanding siswa. Artinya, GBK mempunyai kesempatan berbicara yang lebih banyak daripada siswa. Selain jumlah tuturan yang yang lebih produktif, GBK juga merupakan partisipan yang lebih banyak melakukan tindakan inisiasi. Percakapan lebih banyak dimulai oleh GBK. Sebaliknya, siswa lebih banyak merealisasikan fungsi
tutur respons, karena siswa lebih banyak berperan sebagai pemberi tanggapan atas tuturan GBK.
Dalam penelitian ini direalisasikan sebelas fungsi tutur. Seluruh fungsi tutur inisiasi muncul dalam penelitian ini. Fungsi tutur yang paling banyak muncul dalam layanan BK pada topik penanganan masalah siswa adalah fungsi tutur question yang direalisasikan oleh GBK. Sebaliknya, pada topik bimbingan karier, fungsi tutur yang paling banyak muncul adalah fungsi tutur question yang direalisasikan oleh siswa. Hasil analisis dalam penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah fungsi tutur proposisi (yang diwakili oleh fungsi tutur statement dan
question) lebih banyak dari pada fungsi tutur proposal (yang diwakili oleh offer
dan command). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa interaksi dalam kegiatan layanan bimbingan dan konseling didominasi oleh pertukaran informasi.
Fungsi tutur yang tidak muncul dalam penelitian ini adalah kategori respons, yaitu respons positif yang diwakili oleh fungsi tutur acceptance pada tuturan siswa, sedangkan respons negatif diwakili oleh fungsi tutur rejection pada tuturan GBK Ketidakmunculan fungsi tutur acceptance pada tuturan siswa karena fungsi tutur offer hanya muncul satu kali dalam tuturan GBK yang direspons negatif oleh siswa tersebut, sedangkan ketidakmunculan fungsi tutur rejection pada tuturan GBK karena siswa hanya merealisasikan tuturan offer satu kali yang direspons positif oleh GBK.
Kedua, sebagian besar fungsi tutur GBK dan siswa direalisasikan dalam bentuk pilihan mood tipikal, yaitu pilihan mood yang kongruen dengan fungsi tutur. Namun demikian dalam penelitian ini ditemukan bahwa realisasi fungsi
tutur dalam bentuk pilihan mood non tipikal muncul lebih banyak pada tuturan GBK dibanding siswa. Hal ini mencerminkan bahwa GBK lebih banyak berstrategi dalam merealisasikan tuturannya. Kenyataan ini sungguh menarik karena biasanya partisipan yang lebih banyak berstrategi dalam tuturannya adalah yang memiliki power yamg lebih rendah. Biasanya mereka melakukan upaya tersebut sebagai cara untuk mengaburkan maksud ataupun untuk menunjukkan kesantunan. Namun, strategi yang digunakan oleh GBK dalam konteks penelitian ini bukan untuk mengaburkan maksud ataupun untuk menunjukkan politeness, Dari hasil analisis data ditunjukkan bahwa pilihan mood non tipikal yang paling banyak dipergunakan oleh GBK adalah bentuk klausa tag declarative. Pilihan klausa tersebut menunjukkan bahwa GBK berupaya agar apa yang dituturkannya mendapatkan persetujuan dari siswa. Selain itu GBK juga mengindikasikan adanya penegasan dalam tuturannya. Hal ini mencerminkan peranan GBK sebagai orang tua siswa di sekolah berusaha untuk menjaga kedekatan dengan siswa agar senantiasa dapat mengayomi, membimbing dan mengarahkan siswanya.
Kategori fungsi tutur yang paling banyak direalisasikan dalam bentuk pilihan mood non tipikal adalah fungsi tutur respons negatif, yaitu rejection. Hal tersebut mencerminkan bahwa untuk merealisasikan penolakan, seseorang cenderung mencari cara yang tidak biasa atau melakukan strategi dalam bertutur. Hal tersebut dimaksudkan agar tuturan menolak atau ungkapan ketidaksetujuan tersebut lebih terasa nyaman di telinga lawan tutur karena penolakan atau ungkapan ketidaksetujuan rentan terhadap pengancaman wajah.
Ketiga, dari sisi jumlah tuturan, fungsi tutur yang direalisasikan dalam kegiatan layanan BK sekaitan dengan topik bimbingan karier berbeda dengan layanan BK sekaitan dengan topik penanganan masalah pelanggaran siswa. Dalam layanan BK dengan topik bimbingan karier, baik GBK maupun siswa memiliki kesempatan yang sama dalam berbicara, karena jumlah fungsi tutur yang direalisasikan oleh keduanya relatif sama banyak. Interaksi yang berlangsung dalam kegiatan tersebut adalah interaksi dua arah. Sehingga, dari sisi jumlah tuturan bisa dikatakan tidak ada dominasi satu pihak terhadap pihak lainnya. Interaksi dalam topik bimbingan karier mencerminkan sikap guru yang lebih egaliter.
Hal yang berbeda ditunjukkan oleh kegiatan layanan BK yang berkaitan dengan topik penanganan masalah pelanggaran siswa. Dalam kegiatan tersebut fungsi tutur yang direalisasikan GBK jauh lebih banyak dari tuturan siswa. Di sini GBK mengaplikasikan kekuasaannya dengan berperan sebagai pengendali interaksi yang mengarahkan kemana tuturan tersebut akan dibawa. Hal ini mencerminkan bahwa ada dominasi GBK terhadap siswa. GBK dalam hal ini mengaplikasikan sikap yang cenderung lebih bersifat feodalisme.
Selain itu, dalam topik bimbingan karier teridentifikasi bahwa siswa adalah partisipan yang sangat aktif dalam memulai pembicaraan, karena siswa lebih produktif merealisasilan fungsi tutur inisiasi. Hal ini merupakan fenomena yang tidak biasa. Biasanya guru lebih dominan dalam berinteraksi dengan siswa karena posisi power dan status yang dimilikinya. Akan tetapi dalam konteks topik layanan BK sekaitan dengan bimbingan karier, minimal dalam konteks penelitian
ini, ditunjukkan bahwa siswalah yang mengarahkan alur interaksi. Namun demikian, tidak pula dapat dikatakan bahwa power siswa berada di atas GBK, karena GBK tetap mengaplikasikan kekuasaannya dengan melakukan tuturan yang lebih lama dan lebih banyak dari siswa.
Di lain pihak, dalam konteks layanan BK dengan topik penanganan masalah pelanggartan siswa tercermin adanya keengganan siswa untuk memulai pembicaraan. Hal ini tercermin dari sangat minimnya inisiasi yang dilakukan oleh mereka. Siswa cenderung memainkan peranannya sebagai penanggap atas tuturan GBK. Lebih dari itu, dalam topik layanan penanganan masalah pelanggaran siswa ini, respons siswa baik positif maupun negatif lebih banyak terealisasi dalam tuturan yang singkat. Siswa lebih banyak mengekspresikan responsnya dalam klausa elipsik seperti ‘Ya’ dan ‘Tidak’, sehingga nampaknya GBK kurang dapat mengorek informasi atau mengekplorasi apa yang dirasakan siswa, serta kurang terekplorasi apa yang ada dalam benak siswa.
Berdasarkan tiga temuan di atas, dapat diungkapkan beberapa hal.
Pertama, hubungan interpersonal guru-siswa diwarnai oleh hubungan
power yang kental. Ini dapat diidentifikasi lewat kesempatan berbicara guru yang
lebih panjang dalam bentuk kalimat, lebih lama dalam durasi waktu, serta lebih banyak dalam jumlah tuturan. Power yang diaplikasikan oleh guru berbasiskan
knowledge, usia, pengalaman, serta posisi dan status guru itu sendiri.
Kedua, adanya geliat power struggle dalam interaksi tersebut. Power
struggle ini dapat diidentifikasi dengan munculnya respons negatif siswa terhadap
informal dan lugas dalam tuturan siswa. Dalam konteks tenor yang melibatkan tiga hal, yaitu power, contact, dan affective involvement umumnya ada keselarasan derajat di antara ketiganya. Artinya, pelaku interaksi dengan power yang jauh berbeda akan mengindikasikan adanya contact yang jarang serta memiliki affective involvement yang rendah. Namun demikian, dari hasil analisis dalam penelitian ini teridentifikasi bahwa dalam power struggle tercermin adanya
contact yang terjalin relatif cukup sering antara GBK dan siswa, serta affective
involvement yang cukup dekat, walaupun power di antara mereka tidak respirokal.
Ketiga, power struggle menunjukkan pola hubungan guru murid sesuai perjalanan waktu. Hal ini mungkin saja akan memunculkan perubahan konstelasi hubungan sosial guru-siswa. Siswa akan bisa lebih berani untuk melakukan inisiatif interaksi untuk dapat mengungkapkan apa yang ada dalam benaknya. Ini sesuai dengan paradigma baru dalam pendidikan, yaitu student-centeredness.
5.2 Saran
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, dan berdasarkan hal tersebut dikemukakan beberapa saran.
Penelitian ini hanya mengeksplorasi makna interpersonal dari realisasi fungsi tutur (speech function) dan bentuk pilihan mood (mood choice) saja. Lebih lanjut, makna interpersonal dapat digali dengan mengeksplorasi sistem mood lainnya, yaitu struktur mood dan modalitas. Penelitian selanjutnya diharapkan kedua aspek dalam sistem mood tersebut dapat ditelisik sehingga pembongkaran
makna interpersonal yang terekam dalam teks akan lebih komprehensif serta dapat lebih memperlihatkan keajegan dalam menciptakan makna.
Penelitian ini hanya menganalis enam sampel interaksi dalam konteks bimbingan di sekolah. Peneliti selanjutnya diharapkan bisa melebarkan cakupan bimbingannya tidak hanya dalam konteks sekolah, melainkan layanan bimbingan lainnya seperti pembinaan di lembaga pemasyarakatan, penanganan kasus narkoba di lembaga rehabilitasi, penanganan kasus depresan dll., sehingga dapat ditemukan pola-pola interaksi yang lebih akurat dalam kegiatan layanan bimbingan.
Penelitian ini sudah menggali pemakaian bahasa dalam kegiatan BK melalui pengungkapan makna interpersonal dan memperlihatkan hasil yang berbeda dalam pola komunikasi antara topik layanan BK sekaitan dengan bimbingan karier dan topik layanan BK sekaitan dengan penanganan masalah pelanggaran siswa. Perbedaan pola komunikasi yang diperoleh dari penelitian iuni diharapkan bisa duitindaklanjuti oleh penelitian selanjutnya yang dilakukan dari sudut ilmu lainnya, seperti kajian ilmu Psikologi atau bidang kajian ilmu lainnya sehingga dapat membongkar hal lain seperti penyebab perbedaan pola komunikasi di antara dua topik bimbingan yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Alam, Shah. 2008. Basic of Guidance and Counselling. New Delhi: Global Vision Publishing House.
Andriany, Liesna. 2011. Ujaran Interpersonal dalam Wacana Kelas (Analisis
Linguistik Sistemik Fungsional). Desertasi pada Jurusan Linguistik
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (tidak dipublikasikan). Araghi, Seyed Mahdi dan Kamal Shayegh. 2011. Interpersonal Metafunction of
Gender Talk in ELT Classrooms. Journal of Academic and Applied
Studies Vol. 1(2) July 2011, pp. 25-32.
Austin, J.L. 1962. How to do things with words. Oxford: OUP.
Coulthard, Malcolm.1985. An Introduction to discourse analysis. Second Edition. London: Longman Group UK limited.
Brown, Gillian dan George Yule. 1983. Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge University Press.
Bailey, Carol S. 2007. A Guide to Qualitative Field Research. Second Edition. Thousand Oaks: Pine Forge Press.
Depdiknas. 2010. Juknis Pelaksanaan Program Pengembangan diri melalui
Layanan BK di SMA. Direktorat Pembinaan SMA. Jakarta.
De Souza, Anderson Alves. 2006. The Construal of Interpersonal Meaning in the
Discourse of National Anthem: an Appraisal Analysis. Proceedings 33rd
International Systemic Functional Congress.
Dontcheva, Olga dan Navratilova. 2009. Interpersonal meaning in genre of
diplomatic addressees. Journal of Brno Studies in English. Volume 35,
No. 2, 2009. ISSN 0524-6881, 129-143.
Eggins, Suzanne. 2004. 2nd Ed. An Introduction Systemic Functional Linguistics. London & NY: Continuum.
Eriyanto. 2003. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS.
Feng, Hao dan Yuhui Liu. 2011. Analysis of Interpersonal Meaning in Public
Speeches—A Case Study of Obama’s Speech. Journal of Language Teaching and Research, Vol. 1, No. 6, pp. 825-829, November 2010.
Finegan, Edward. 2008. Language: Its Structure and Use, Fifth Edition. Boston: Thomson Wadsworth.
Fraenkel, Jack & Wallen, N. 2008. How to Design and Evaluate Research. San Fransisco: McGraw-Hill Book Co.
Gerot, Linda and Wignell, Peter. 1994. Making Sense of Functional Grammar. Sydney; Gerd Stabler.
Halliday, M. A. K. 1994. An Introduction to Functional Grammar. London: Edward Arnold.
Halliday, M. A. K. 2004. An Introduction to Functional Grammar. New York: Arnold.
Halliday, M. A. K. 2005. On Grammar. Edited by Jonathan Webster. New York, London: Continuum.
Halliday, M. A. K. 2007. Language and Education. Edited by Jonathan J. Webster New York, London: Continuum.
Kinra, Asha K. 2008. Guidance and Conselling. New Delhi: Dorling Kinder Sley Pvt. Ltd.
Lavid, Julia et al. 2010. Systemic Functional Grammar of Spanish: A Contrastive
Study with English. New York, London: Continuum.
Luddin, Abu Bakar M. 2010. Dasar-Dasar Konseling: Tinjauan Teori dan
Praktek. Bandung: Ciptapustaka Media Perintis.
Lukmana, Iwa dkk. 2006. Makna Interpersonal dalam Interaksi Guru-Murid:
Sebuah Kajian Wacana Kritis. Linguistik Indonesia, tahun 24/1, Februari
2006, 11-22.
Lukmana, Iwa. 2007. Modalitas dan Identitas Media: sebuah tinjauan wacana
kritis. Masyarakat Linguistik Indonesia, September 2007.
Lukmana, Iwa. 2007. Analisis Bahasa untuk Kajian Sosial: Pemaknaan Kritis
terhadap Praktek Berwacana sebagai Praktek Sosial. Linguistika, Vol 17,
No 01.
Masinambow, E. K. M. 2000. Kajian Serba Linguistik: Linguistik dalam Konteks
Studi Sosial-Budaya. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
McCabe, Anne and Karl Heilman. 2007. Textual and Interpersonal Differences
between a News Report and an Editorial. Revista Alicantina de Estudios
Ingleses 20 (2007): 139-156.
Mills, Sara. (1997). Discourse: The New Critical Idiom. London: Routledge. Moleong, Lexy J. 2011. Metodologi penelitian kualitatif . Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Nepomuceno, Sheila M. 2012. An Analysis of Interpersonal Meaning in a
Computer Mediated Conversation Using the Systemic-Functional Grammar Approach. Computer Mediated Book.
Paltridge, Brian. 2008. Discourse Analysis: An Introduction. London, Ney York: Continuum.
Prayitno. 1999. Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok: Dasar dan Profil. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Prayitno dkk. 2004. Pedoman Khusus bimbingan Konseling. Direktorat jendral pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat pendidikan Menengah Umum. Depdiknas.
Saragih, Amrin. 2006. Bahasa dalam Konteks Sosial. Pendekatan Linguistik
Fungsional Sistemik terhadap Tata Bahasa dan Wacana. Medan: Program
Pascasarjana USU.
Schegloff, Emanuel A. 2007. Sequence Organization in Interaction. A Primer in
Conversation Analysis I. New York: Cambridge University Press.
Sinaga, Goldy Pratiwi. 2012. The impersonal Strategies of Hotel and Apartement
Advertisements in the Now! Jakarta Life in the Capital Magazine. Tesis
pada Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Pendidikan Indonesia (tidak dipublikasikan).
Stubbs, Michael. 1983. Discourse Analysis: The Sociolinguistic Analysis of
Natural Language. Chicago: Basil Blackwell Publisher Limited.
Sugiono. 2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Suryana, Asep dan Suryadi. 2012. Modul Bimbingan dan Konseling Kementrian
Agama RI. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI.
Takahashi, Hiroshi. 2009. Modality in L2 Legal Writing: A Functional
Analysis.Volume 24, 2009 - Language Research Bulletin. Tersedia dalam web.icu.ac.jp/lrb/volume-24.html.
Tyaningsih Annisa Rachmani. 2011. Makna Interpersonal dalam Interaksi
Pemimpin dan Karyawan sebagai suatu Bentuk Strategi Komunikasi Kepemimpinan (Analisis Wacana Kritis Lintas Gender). Tesis pada
Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Pendidikan Indonesia (tidak dipublikasikan).
Van Dijk, T. A. 2008. Discourse and Powers. New York: Palgrave Macmillan. Wan, Yau Ni. 2008. The Exchange of Interpersonal Meaning. Systemic
Functional Linguistics in Use. Odense Working Papers in Language and Communication vol. 29 (ISSN 0906-7612, ISBN: 978-87-90923-47-1).
Wodak dan Meyer. 2009. Methods of Critical Discourse Analysis. London: Sage Publication.