• Tidak ada hasil yang ditemukan

REALISASI MAKNA INTERPERSONAL ANTARA GURU BK DAN SISWA DALAM KEGIATAN LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "REALISASI MAKNA INTERPERSONAL ANTARA GURU BK DAN SISWA DALAM KEGIATAN LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING."

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

REALISASI MAKNA INTERPERSONAL

ANTARA GURU BK DAN SISWA

DALAM KEGIATAN LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING

Tesis

Diajukan guna memenuhi salah satu syarat penyelesaian studi untuk meraih

gelar Magister Humaniora dalam bidang Linguistik

Oleh:

Siti Haryati

1102255

PROGRAM STUDI LINGUISTIK SEKOLAH PASCASARJANA

(2)

REALISASI MAKNA INTERPERSONAL

ANTARA GURU BK DAN SISWA DALAM KEGIATAN

LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING

Oleh Siti Haryati

S.Pd IKIP Medan 1994

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat penyelesaian studi untuk meraih gelar Magister Humaniora dalam bidang Linguistik

© Siti Haryati 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Juli 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL PENELITIAN:

Realisasi Makna Interpersonal antara Guru BK dan Siswa dalam Kegiatan Layanan Kimbingan dan konseling

NAMA PENELITI : SITI HARYATI

NIM : 1102255 PROGRAM STUDI : LINGUISTIK

Menyetujui,

Pembimbing 1,

Prof. Chaidar Alwasilah M.A., Ph.D. NIP. 195303301980021002

Pembimbing 2,

Iwa Lukmana, M.A., Ph.D. NIP.196611271993031002

Mengetahui,

Ketua Program Studi Linguistik SPs UPI,

(4)

Realisasi Makna Interpersonal antara Guru BK dan Siswa dalam Kegiatan Layanan Bimbingan dan Konseling

ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji makna interpersonal. Penelitian berfokus pada realisasi fungsi tutur dan tipikalitas dari fungsi tutur yang direalisasikan oleh guru BK dan siswa dalam kegiatan layanan BK. Penelitian ini bersifat kualitatif, namun didukung oleh kuantifikasi deskriptif untuk melihat kecenderungan dalam realisasi makna interpersonal. Data dalam penelitian ini adalah tuturan guru BK dan siswa ketika mereka berinteraksi dalam kegiatan tersebut. Data diperoleh dari lima sekolah menengah. Data diperoleh dengan observasi langsung dengan teknik perekamam audio, dan terkumpul 1.264 fungsi tutur. Data tersebut dianalisis dengan menggunakan parameter dan teori systemic functional grammar yang diusung terutama oleh Halliday (1994, 2004). Hasil analisis menunjukkan tiga hal. Pertama, dari dua belas jenis fungsi tutur, ada sebelas jenis fungsi tutur yang muncul. Fungsi tutur yang paling banyak muncul pada tuturan GBK adalah

question. Sebaliknya, fungsi tutur yang paling banyak muncul pada tuturan siswa

adalah answer. Kedua, fungsi tutur tersebut sebagian besar direalisasikan dalam bentuk pilihan mood tipikal. Bentuk pilihan mood non tipikal lebih banyak direalisasikan oleh GBK dibanding siswa. Ketiga, topik yang berbeda dalam kegiatan layanan BK memunculkan perbedaan realisasi makna interpersonal. Kata kunci: makna interpersonal, fungsi tutur (speech function), pilihan mood

(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK……… i

KATA PENGANTAR………. ii

UCAPAN TERIMA KASIH………... iii

DAFTAR ISI……… vi

DAFTAR TABEL……… x

DAFTAR GAMBAR………... xii

DAFTAR SINGKATAN………. xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah……….. 1

1.2 Rumusan Masalah……… 7

1.3 Tujuan Penelitian………. 7

1.4 Manfaat Penelitian………... 8

1.5 Istilah-istilah Kunci………. 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Analisis Wacana……….. 10

2.2 Analisis Wacana Kritis……… 13

2.3 Systemic Functional Linguistics (SFL)……… 14

2.3.1 Bahasa Sebagai Sistem Makna………... 15

(6)

2.3.3 Makna Interpersonal……….. 19

2.3.3.1 Fungsi tutur (speech function)……… 21

2.3.3.2 Pilihan mood (mood choice)……….. 24

2.4 Bimbingan dan Konseling………... 26

2.4.1 Fungsi dan Jenis Layanan BK……… 29

2.4.2 Konteks Layanan Per-BK-an di Sekolah……… 32

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tujuan Penelitian……… 34

3.2 Desain Penelitian……… 35

3.3 Pengumpulan Data……….. 36

3.4 Analisis Data……… 37

3.4.1 Identifikasi Fungsi Tutur (Speech function)……….. 37

3.4.2 Identifikasi Tipikalitas Realisasi Fungsi Tutur………... 41

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Realisasi Fungsi Tutur GBK dan Siswa dalam Layanan BK………….. 43

4.1.1 Statement……… 50

4.1.2. Acknowledgement……… 57

4.1.3 Contradiction………. 60

4.1.4 Question………. 65

4.1.5 Answer……… 69

4.1.6 Disclaimer………. 73

(7)

4.1.8 Offer dan Acceptance………. 80

4.1.9 Command……… 81

4.1.10 Compliance……….. 85

4.1.11 Refusal……….. 88

4.2 Kesesuaian Fungsi Tutur dan Pilihan Mood……… 90

4.2.1 Pilihan Mood dalam Fungsi tutur Statement……….. 95

4.2.2 Pilihan Mood dalam Fungsi tutur Acknowledgement………. 101

4.2.3 Pilihan Mood dalam Fungsi tutur contradiction………. 107

4.2.4 Pilihan Mood dalam Fungsi tutur Question……… 112

4.2.5 Pilihan Mood dalam Fungsi tutur Answer………. 119

4.2.6 Pilihan Mood dalam Fungsi tutur Disclaimer……… 124

4.2.7 Pilihan Mood dalam Fungsi tutur Offer………. 128

4.2.8 Pilihan Mood dalam Fungsi tutur Acceptance……… 131

4.2.9 Pilihan Mood dalam Fungsi tutur Rejection……….. 132

4.2.10 Pilihan Mood dalam Fungsi tutur Command……… 133

4.2.11 Pilihan Mood dalam Fungsi tutur Compliance………. 139

4.2.12 Pilihan Mood dalam Fungsi tutur Refusal……… 142

4.3. Perbedaan Realisasi Fungsi Tutur dalam Topik Layanan Bimbingan Karir dan Penanganan Masalah Pelanggaran Siswa…..………... 145 BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan……….. 154

(8)
(9)

BAB I

PENDAHULUAN

Di dalam pendahuluan ini akan diuraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan istilah-istilah kunci.

1.1Latar Belakang Masalah

Bahasa adalah sarana atau alat yang dipergunakan manusia untuk berkomunikasi. Pada dasarnya berkomunikasi adalah menyampaikan makna atau gagasan. Untuk memahami makna yang komprehensif yang dipertukarkan dalam komunikasi dapat dilakukan dengan analisis wacana. Dengan analisis wacana dapat terungkap bukan hanya apa yang menjadi topik pembicaraan dalam komunikasi, lebih jauh dapat pula mengidentifikasi hal lain yang tidak secara eksplisit terungkap dalam interaksi, seperti, ideologi dan power dari interaktan (Van Dijk : 2008).

(10)

makna interpersonal. Singkatnya, makna interpersonal adalah makna yang terkandung dalam teks yang berkaitan dengan bagaimana hubungan partisipan yang terlibat dalam penciptaan teks tersebut, apakah hubungan yang setara yang didasari oleh solidaritas ataukah hubungan yang berjarak karena adanya perbedaan status dan power antarpartisipan.

Sebagai contoh, tuturan seperti ‘Ketemuan besok, ya’ adalah tuturan yang lazim disampaikan oleh dua orang yang status dan powernya relatif sama dan tidak berjarak, seperti antara dua orang teman akrab. Tuturan tersebut akan sangat tidak mungkin dipergunakan oleh dua orang yang mempunyai status dan power yang berbeda, seperti misalnya seorang siswa terhadap guru. Ketika seseorang yang memiliki status dan power yang lebih rendah berbicara kepada seseorang yang lebih tingi, misalnya siswa yang ingin menemui gurunya untuk suatu keperluan, dia akan menggunakan pilihan klausa yang berbeda dengan maksud yang sama dengan tuturan diatas. Mungkin mereka akan menggunakan kalimat

seperti ‘Maaf, Pak/Bu. Bolehkah saya menemui Bapak/Ibu besok?’ Hal ini terjadi

karena ada perbedaan status dan power yang berbeda antarpartisipan.

Dalam kalimat ‘Ketemuan besok, ya’ pilihan kata dalam tuturan tersebut

mengindikasikan adanya kedekatan interpersonal. Pilihan kata ‘ketemuan’ adalah

kata yang tidak baku yang mengindikasikan solidaritas diantara mereka, Demikian juga penggunaan bahasa yang lugas dan singkat menjadi penanda hubungan yang dekat di antara mereka. Lain halnya dengan tuturan dalam

kalimat ‘Maaf, Pak/Bu. Bolehkah saya menemui Bapak/Ibu besok?’ Pilihan kata

(11)

karena perbedaan status dan power. Demikian pula dalam pilihan bentuk kalimat. Di antara partisipan yang memiliki power dan status yang relatif sama seperti dua orang teman akrab, jenis kalimat yang dipergunakan untuk menyampaikan permintaan adalah kalimat pernyataan, sedangkan ungkapan permintaan yang disampaikan siswa kepada guru dinyatakan dengan kalimat pertanyaan. Lebih dari itu, kalimat pertanyaan tersebut diawali dengan penggunaan kata ‘bolehkah’ yang mengindikasikan adanya ungkapan pelembut dari si pembicara. Di sisi lain, yaitu orang yang diajak bicara terindikasi memiliki power yang tinggi, sehingga cenderung memiliki keleluasaan untuk memutuskan boleh tidaknya suatu yang diminta tersebut dipenuhi. Sebaliknya, seorang yang mempunyai status dan

power yang lebih tinggi, misalnya, guru terhadap siswa biasanya menggunakan

tuturan yang langsung, tanpa melakukan upaya modifikasi. Pemilihan tuturan yang berbeda untuk mengungkapkan makna yang sama adalah suatu strategi penutur agar tuturannya tidak berpotensi untuk ‘mengancam wajah’ mitra tuturnya. Pemilihan realisasi tuturan inilah yang dikaji dalam makna interpersonal (eggins, 1994 :102).

Dalam makna interpersonal yang digagas oleh Halliday (1994, 2004) disebutkan bahwa makna tersebut merupakan suatu makna yang mengekplorasi sistem mood, yaitu bagaimana konteks tenor, yang membicarakan who, ‘Siapa’ yang mencerminkan hubungan interpersonal antarinteraktan, terekam dalam teks atau tertekstualisasikan. Payung penelitian ini menggunakan teori SFG (systemic

functional grammar) yang digagas oleh Halliday, utamanya yang berkaitan

(12)

Penelusuran literatur menunjukkan bahwa telah banyak penelitian yang dilakukan terhadap makna interpersonal tersebut. Penelitian makna interpersonal telah banyak dilakukan pada berbagai kajian wacana, seperti makna interpersonal dalam konteks pemberitaan media (Lukmana 2007; McCabe&Heilman 2007,

Nepomuceno 2012; Sinaga 2012), makna interpersonal dalam konteks politik (De

Souza 2006; Dontcheva dan Navratilova 2009; Feng 2011). Selain itu banyak peneliti-peneliti lain yang telah mengekplorasi makna interpersonal dalam konteks lain, seperti konteks wacana customer service call (Wan, 2008), konteks wacana hukum (Takahashi 2009) dan konteks dunia kerja (Tyaningsih 2012). Dalam bidang pendidikan, penelitian makna interpersonal telah banyak pula dilakukan, seperti makna interpersonal dalam konteks pembelajaran di kelas (Lukmana dkk 2006; Araghi dan Shayegh 2011; Andriany 2011).

Namun begitu, dari penelitian makna interpersonal yang dilakukan dalam bidang pendidikan yang tersebut di atas, belum ditemukan realisasi makna interpersonal yang dipertukarkan dalam konteks sekolah yang berkaitan dengan kegiatan layanan bimbingan dan konseling, yang biasanya dikenal dengan layanan BK. Kegiatan layanan BK merupakan bagian dari kegiatan pembelajaran yang penting dan terintegrasi dengan kegiatan pembelajaran lainnya di sekolah.

(13)

belakang pendidikan formal per-KB-an. Akibatnya banyak sekolah yang memberikan tugas guru BK kepada guru bidang studi lain. Pada dasarnya seorang guru, apapun mata pelajaran yang diampunya, harus mampu memberikan pelayanan dasar dalam kegiatan bimbingan. Namun demikian, tentu saja untuk kegiatan atau pemberian layanan BK yang komprehensif haruslah diberikan oleh ahlinya.

Kegiatan pemberiaan layanan BK yang diberikan pada siswa pada tingkat SD biasanya cukup diberikan oleh guru kelas saja. Kegiatan layanan bimbinganpun tidak begitu kentara. Sementara layanan BK untuk siswa pada tingkat sekolah lanjutan sudah ditangani oleh guru BK. Walau seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa banyak sekali sekolah yang tidak mempunyai tenaga yang berlatar pendidikan BK.

Dalam praktek di lapangan, kegiatan layanan BK sekaitan dengan layanan individu, utamanya di tingkat sekolah lanjutan pertama, lebih banyak mengorientasikan kegiatannya hanya dalam mengatasi masalah-masalah kenakalan anak, seperti kasus pemalakan, tawuran, sering absen dalam pelajaran, serta masalah-masalah pribadi lain yang berhubungan dengan penegakkan disiplin, sehingga ada kesan pelabelan yang negatif terhadap siswa yang berurusan dengan guru BK. Sering diasumsikan bahwa siswa yang sering

‘berhubungan’ dengan guru BK adalah siswa yang nakal, bandel, malas, serta

atribut-atribut lainnya yang bernuansa negatif. Di lain pihak, guru BKpun sering mendapat label yang tak kalah miris. Mereka acapkali dicap sebagai ‘polisi

(14)

berperilaku tidak baik. Kenyataan ini tentu saja tidak sesuai dengan hakekat dari layanan BK yang sebenarnya.

Kegiatan layanan BK sekaitan dengan pengembangan karier nampaknya jarang diberikan dalam layanan individual di tingkat sekolah lanjutan pertama, karena siswa pada level tersebut masih diharapkan (dituntut) untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Adapun layanan lain seperti layanan bimbingan belajar biasanya dilakukan dalam kegiatan klasikal. Sementara kegiatan layanan BK di tingkat sekolah menengah atas sudah mengaplikasikan bimbingan karier, baik berupa layanan individu, kelonpok, atau klasikal.

(15)

1.2Rumusan Masalah

Untuk menjawab permasalahan yang dijabarkan diatas, maka penelitian ini dilakukan berdasarkan pada pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

1) Fungsi tutur (speech function) apakah yang direalisasikan dalam interaksi antara guru BK dan siswa dalam kegiatan layanan BK?

2) Bagaimana tipikalitas dari realisasi fungsi tutur yang digunakan guru BK dan siswa dalam kegiatan layanan BK?

3) Sejauh mana topik yang dibicarakan (bimbingan karier dan penanganan masalah pelanggaran siswa) berpengaruh terhadap realisasi makna interpersonal yang digunakan guru BK dan siswa dalam kegiatan layanan BK?

1.3Tujuan Penelitian

(16)

1.4Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis.

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran atau masukan bagi bidang kajian yang sama atau bahkan bisa memberikan inspirasi untuk mengembangkan dan menindaklanjuti aspek-aspek yang belum tersentuh dalam penelitian ini.

Secara praktis penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangan kepada sekolah, khususnya dalam kegiatan bimbingan dan konseling, karena penelitian ini mengungkapkan sebuah pola komunikasi yang digunakan oleh guru BK dan siswa dalam dua topik layanan bimbingan yang berbeda. Dengan melihat pola yang berbeda di antara dua topik yang berbeda dalam layanan kegiatan BK ini diharapkan dapat berkontribusi dalam meningkatkan pelayanan dalam kegiatan bimbingan dan konseling.

1.5Istilah-istilah Kunci

Di dalam penelitian ini, terdapat beberapa istilah teknis yang menjadi kunci dalam memahami konteks dari isi keseluruhan penelitian ini, antara lain:

(17)

b. Fungsi tutur (speech function): Sistem semantik interpersonal melalui peranan dalam memberikan atau meminta informasi atau barang dan jasa. Empat fungsi tutur mendasar adalah statement, question, offer dan

command (Halliday, 1994, 2004, Matthiessen et al, 2010)

c. Pilihan mood (mood choice): Realisasi fungsi tutur dalam struktur klausa, seperti struktur klausa declarative, interrogative, imperative, klausa minor dll.

d. Tipikalitas: Kongruen tidaknya realisasi fungsi tutur dengan bentuk pilihan mood yang dipergunakan.

e. Layanan Bimbingan Konseling: Salah satu komponen penting dalam program pendidikan yang memberikan kesempatan dan bantuan kepada semua siswa untuk mencapai perkembangan yang optimal

.

f. Topik Bimbingan Karier: Salah satu topik dalam layanan BK yang

memberikan bantuan kepada siswa untuk menentukan pilihan antara bekerja dan atau melanjutkan kuliah.

g. Topik Penanganan Masalah Pelanggaran Siswa: Salah satu topik

(18)

BAB III

METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang bagaimana penelitian ini dilakukan untuk dapat menjawab pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan dalam Bab 1. Dengan demikian, dalam Bab ini penulis akan mengemukakan beberapa hal, yaitu tujuan penelitian, desain penelitian, teknik dan prosedur pengumpulan data, serta analisis data.

3.1Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui realisasi makna interpersonal yang direalisasikan oleh guru BK dan siswa dalam kegiatan layanan bimbingan dan konseling. Tujuan tersebut tentu saja harus dirinci untuk mempertajam pembongkaran makna interpersonal yang dipertukarkan. Dengan demikian tujuan-tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mengidentifikasi kemunculan fungsi tutur (speech function) yang dipertukarkan dalam interaksi antara guru BK dan siswa dalam kegiatan layanan bimbingan dan konseling.

(19)

3. Melihat perbedaan realisasi fungsi tutur yang muncul dalam kegiatan layanan BK yang berkaitan dengan topik bimbingan karir dan layanan penanganan masalah pelanggaran siswa.

3.2Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan metode deskriptif kualitatif, karena penelitian ini memotret dan mendeskripsikan secara kualitatif penggunaan bahasa dalam situasi alamiah, yaitu bahasa yang dipergunakan dalam kegiatan layanan bimbingan dan konseling. Bogdan dan Biklen dalam Fraenkel dan Wallen (2008: 422) mengatakan salah satu ciri dari penelitian kualitatif adalah sumber data diperoleh langsung dari situasi yang alamiah (natural setting) dan peneliti merupakan instrumen kunci dalam penelitian kualitatif. Sedangkan Sugiono (2012: 1) mengatakan, ”Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah

(sebagai lawannya adalah eksperimen)”. Akan tetapi, penelitian ini juga didukung

oleh kuantifikasi deskriptif untuk melihat kecenderungan terealisasinya makna interpersonal dalam tuturan tersebut.

(20)

tipikalitas pilihan mood untuk merealisasikan fungsi tutur tersebut. Sedangkan struktur mood tidak dibahas.

3.3Pengumpulan Data

Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2011: 157) “Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.”

Yang menjadi data dalam penelitian ini adalah tuturan (kata-kata) yang diucapkan oleh guru BK dan siswa dalam kegiatan layanan BK. Data tersebut merupakan sumber data utama atau data primer.

Penelitian ini dilakukan pada lima sekolah lanjutan yang mempunyai guru BK. Untuk alasan etika penelitian, identitas sekolah tersebut tidak disebutkan agar partisipan yang terlibat dalam penelitian merasa aman serta terlindungi dari kerugian secara fisik maupun psikologi bilamana tuturan yang menjadi data dalam penelitian ini menjadi masalah dikemudian hari (Lihat Fraenkel dan Wallen, 2008: 55; Bailey, 2007:193-194).

Tuturan yang menjadi data yang akan diteliti adalah tuturan guru BK dan siswa. Pengambilan data ini dilakukan ketika guru BK sedang memberikan layanan bimbingan dan konseling kepada siswa sekaitan dengan layanan BK dengan topik bimbingan karier dan layanan BK dengan topik penanganan masalah pelanggaran siswa.

(21)

penulis juga melakukan pencatatan yang dirasa perlu untuk menanggulangi kekurangjelasan perekaman yang disebabkan karena adanya distorsi yang tiba-tiba dan tidak diharapkan ketika proses interaksi pemberian layanan berlangsung. Ujaran-ujaran yang muncul pada saat komunikasi antara guru BK dengan siswa merupakan sumber data penelitian ini.

3.4Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan parameter dan teori linguistik fungsional sistemik (Halliday, 1994, 2004; Eggins, 1994). Makna interpersonal dalam interaksi antara guru BK dan siswa dapat dikaji melalui analisis sistem mood. Dalam sistem mood ada tiga hal yang dapat mengungkapkan makna interpersonal yang meliputi analisis fungsi tutur, identifikasi kesesuaian realisasi fungsi tutur dengan bentuk pilihan mood, dan struktur mood. Akan tetapi penelitian ini hanya akan dilakukan penganalisisan terhadap fungsi tutur serta kesesuaian fungsi tutur dengan bentuk pilihan mood.

3.4.1 Identifikasi Fungsi Tutur (Speech function)

(22)

tersebut adalah memberi (giving) atau meminta (demand). Dalam tindakan memberi dan meminta tersebut ada dua komoditas yang dipertukarkan. Adapun komoditas tersebut adalah informasi dan barang&jasa. Persilangan antara tindakan inisiasi dengan komoditas tersebut menciptakan empat fungsi tutur, yang bisa dilihat dalam table 3.1 sebagai berikut:

Tabel 3.1

Pembagian peran tutur dan komoditas interaksi

Komoditas

Inisiasi biasanya diikuti dengan respons. Respons bisa berupa persetujuan (positive) bisa juga berupa penolakan (negative). Hubungan antara inisiasi dan respons, baik yang menyetujui maupun yang menolak, terlihat dalam tabel 3.2 sebagai berikut:

Tabel 3.2

Penggabungan fungsi tutur: inisiasi dan respons

No. Inisiasi respon

Positif Negatif 1. Statement Acknowledgement Contradiction

2. Question Answer Disclaimer

3. Offer Acceptance Rejection

4. Command Compliance Refusal

(Halliday, 1994: 69)

(23)

sesuatu, menawarkan sesuatu, atau memerintah (lihat Eggins 2004:145). Adapun identifikasi jenis dan bentuk fungsi tutur (speech function) tersebut adalah sebagai berikut:

A. Kelompok inisiasi, yaitu kelompok fungsi tutur yang memulai pembicaraan, terdiri dari fungsi tutur yang meliputi:

1) Fungsi tutur statement dapat dikenali dari maknanya yang memberikan informasi kepada lawan tutur. Bentuk tuturan statement biasanya berupa kalimat pernyataan (declarative).

2) Fungsi tutur question dapat dikenali dari maknanya yang meminta/menuntut informasi kepada lawan tutur. Bentuk tuturan question biasanya berupa kalimat pertanyaan (interrogative).

3) Fungsi tutur offer dapat dikenali dari maknanya yang memberi (menawarkan) barang&jasa. Fungsi tutur offer ini termasuk proposal, yang tujuan akhir dari interaksi tersebut pada dasarnya bukan bahasa verbal, melainkan non linguitik (tindakan). Bahasa verbal hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian, bentuk tuturan offer bisa berupa apa saja seperti kalimat pernyataan (declarative), pertanyaan ((modulated) interrogative) atau bahkan perintah (imperative) (Halliday, 1994:70).

(24)

B. Kelompok respons, yaitu kelompok fungsi tutur yang menanggapi pembicaraan, terdiri dari fungsi tutur yang meliputi:

1) Fungsi tutur acknowledgment dapat dikenali dari maknanya yang memberikan persetujuan terhadap fungsi tutur Statement. Namun adakalanya fungsi tutur tersebut juga merupakan tanggapan atas tuturan lain seperti answer, disclaimer, contradiction dan lain-lain, sepanjang fungsi-fungsi tutur tersebut mempunyai makna memberikan informasi. 2) Fungsi tutur contradiction dapat dikenali dari maknanya yang

memberikan sanggahan terhadap fungsi tutur statement. Namun adakalanya fungsi tutur tersebut juga merupakan tanggapan atas tuturan lain seperti answer atau fungsi tutur lainnya, sepanjang fungsi tutur tersebut membawa makna sanggahan terhadap informasi.

3) Fungsi tutur answer dapat dikenali dari maknanya yang memberikan jawaban atau respons positif terhadap fungsi tutur question.

4) Fungsi tutur disclaimer dapat dikenali dari maknanya yang menyatakan pengabaian atau respons negatif terhadap fungsi tutur question,

5) Fungsi tutur acceptance dapat dikenali dari maknanya yang memberikan penerimaan atau respons positif terhadap fungsi tutur offer.

6) Fungsi tutur rejection, dapat dikenali dari maknanya yang menyatakan penolakan atau respons negatif terhadap fungsi tutur offer,

(25)

8) Fungsi tutur refusal, dapat dikenali dari maknanya yang menunjukkan pengingkaran atau respons negatif terhadap fungsi tutur command.

3.4.2 Identifikasi Tipikalitas Realisasi Fungsi Tutur

Identifikasi tipikalitas adalah identifikasi kesesuaian fungsi tutur dengan bentuk pilihan mood untuk merealisasikannya. Ada dua macam bentuk pilihan mood dalam merealisasikan masing-masing fungsi tutur. Pilihan mood tersebut adalah (1) bentuk biasa atau tipikal, dan (2) bentuk yang tidak biasa atau non tipikal. Bentuk tipikal adalah realisasi fungsi tutur yang kongruen dengan bentuk pilihan mood; sedangkan bentuk non tipikal adalah realisasi fungsi tutur yang tidak kongruen dengan bentuk pilihan mood. Sebagai ilustrasi, jika sebuah tuturan memiliki fungsi tutur memerintah, tuturan tersebut biasanya direalisasikan dengan bentuk klausa imperative sebagai pilihan mood tipikalnya. Akan tetapi, jika tuturan tersebut direalisasikan dalam bentuk klausa lain, seperti klausa declarative atau interrogative, pilihan bentuk mood tersebut dikategorikan sebagai bentuk non tipikal atau bentuk yang di luar kebiasaan. Pemilihan bentuk pilihan mood non tipikal mengisaratkan adanya upaya penutur untuk berstrategi dalam tuturannya.

(26)

Tabel 3.3

Analisis realisasi fungsi tutur dan tipikalitas fungsi tutur

No Tuturan Responden Function Speech Tipikalitas

Tipikal Non Tipikal

1.

2.

3.

4.

5.

(27)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Makna interpersonal merupakan salah satu makna dalam metafungsi bahasa. Makna interpersonal dapat menggali hubungan antarkomunikan yang berinteraksi dalam suatu pertuturan. Dengan menelisik makna interpersonal yang meliputi analisis fungsi tutur dan bentuk pilihan mood dalam merealisasikan fungsi tutur tersebut dapat digali realitas hubungan sosial antarpelaku komunikasi. Hasil analisis Bab IV menggiring pada suatu kesimpulan yang menjawab pertanyaan dalam penelitian ini.

5.1 Simpulan

Penelitian ini mengkaji makna interpersonal. Penelitian berfokus pada realisasi fungsi tutur dan tipikalitas dari fungsi tutur yang direalisasikan oleh guru BK dan siswa dalam kegiatan layanan bimbingan dan konseling. Ada tiga simpulan yang diperoleh dalam penelitian ini.

(28)

tutur respons, karena siswa lebih banyak berperan sebagai pemberi tanggapan atas tuturan GBK.

Dalam penelitian ini direalisasikan sebelas fungsi tutur. Seluruh fungsi tutur inisiasi muncul dalam penelitian ini. Fungsi tutur yang paling banyak muncul dalam layanan BK pada topik penanganan masalah siswa adalah fungsi tutur question yang direalisasikan oleh GBK. Sebaliknya, pada topik bimbingan karier, fungsi tutur yang paling banyak muncul adalah fungsi tutur question yang direalisasikan oleh siswa. Hasil analisis dalam penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah fungsi tutur proposisi (yang diwakili oleh fungsi tutur statement dan

question) lebih banyak dari pada fungsi tutur proposal (yang diwakili oleh offer

dan command). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa interaksi dalam kegiatan layanan bimbingan dan konseling didominasi oleh pertukaran informasi.

Fungsi tutur yang tidak muncul dalam penelitian ini adalah kategori respons, yaitu respons positif yang diwakili oleh fungsi tutur acceptance pada tuturan siswa, sedangkan respons negatif diwakili oleh fungsi tutur rejection pada tuturan GBK Ketidakmunculan fungsi tutur acceptance pada tuturan siswa karena fungsi tutur offer hanya muncul satu kali dalam tuturan GBK yang direspons negatif oleh siswa tersebut, sedangkan ketidakmunculan fungsi tutur rejection pada tuturan GBK karena siswa hanya merealisasikan tuturan offer satu kali yang direspons positif oleh GBK.

(29)

tutur dalam bentuk pilihan mood non tipikal muncul lebih banyak pada tuturan GBK dibanding siswa. Hal ini mencerminkan bahwa GBK lebih banyak berstrategi dalam merealisasikan tuturannya. Kenyataan ini sungguh menarik karena biasanya partisipan yang lebih banyak berstrategi dalam tuturannya adalah yang memiliki power yamg lebih rendah. Biasanya mereka melakukan upaya tersebut sebagai cara untuk mengaburkan maksud ataupun untuk menunjukkan kesantunan. Namun, strategi yang digunakan oleh GBK dalam konteks penelitian ini bukan untuk mengaburkan maksud ataupun untuk menunjukkan politeness, Dari hasil analisis data ditunjukkan bahwa pilihan mood non tipikal yang paling banyak dipergunakan oleh GBK adalah bentuk klausa tag declarative. Pilihan klausa tersebut menunjukkan bahwa GBK berupaya agar apa yang dituturkannya mendapatkan persetujuan dari siswa. Selain itu GBK juga mengindikasikan adanya penegasan dalam tuturannya. Hal ini mencerminkan peranan GBK sebagai orang tua siswa di sekolah berusaha untuk menjaga kedekatan dengan siswa agar senantiasa dapat mengayomi, membimbing dan mengarahkan siswanya.

(30)

Ketiga, dari sisi jumlah tuturan, fungsi tutur yang direalisasikan dalam kegiatan layanan BK sekaitan dengan topik bimbingan karier berbeda dengan layanan BK sekaitan dengan topik penanganan masalah pelanggaran siswa. Dalam layanan BK dengan topik bimbingan karier, baik GBK maupun siswa memiliki kesempatan yang sama dalam berbicara, karena jumlah fungsi tutur yang direalisasikan oleh keduanya relatif sama banyak. Interaksi yang berlangsung dalam kegiatan tersebut adalah interaksi dua arah. Sehingga, dari sisi jumlah tuturan bisa dikatakan tidak ada dominasi satu pihak terhadap pihak lainnya. Interaksi dalam topik bimbingan karier mencerminkan sikap guru yang lebih egaliter.

Hal yang berbeda ditunjukkan oleh kegiatan layanan BK yang berkaitan dengan topik penanganan masalah pelanggaran siswa. Dalam kegiatan tersebut fungsi tutur yang direalisasikan GBK jauh lebih banyak dari tuturan siswa. Di sini GBK mengaplikasikan kekuasaannya dengan berperan sebagai pengendali interaksi yang mengarahkan kemana tuturan tersebut akan dibawa. Hal ini mencerminkan bahwa ada dominasi GBK terhadap siswa. GBK dalam hal ini mengaplikasikan sikap yang cenderung lebih bersifat feodalisme.

(31)

ini, ditunjukkan bahwa siswalah yang mengarahkan alur interaksi. Namun demikian, tidak pula dapat dikatakan bahwa power siswa berada di atas GBK, karena GBK tetap mengaplikasikan kekuasaannya dengan melakukan tuturan yang lebih lama dan lebih banyak dari siswa.

Di lain pihak, dalam konteks layanan BK dengan topik penanganan masalah pelanggartan siswa tercermin adanya keengganan siswa untuk memulai pembicaraan. Hal ini tercermin dari sangat minimnya inisiasi yang dilakukan oleh mereka. Siswa cenderung memainkan peranannya sebagai penanggap atas tuturan GBK. Lebih dari itu, dalam topik layanan penanganan masalah pelanggaran siswa ini, respons siswa baik positif maupun negatif lebih banyak terealisasi dalam tuturan yang singkat. Siswa lebih banyak mengekspresikan responsnya dalam klausa elipsik seperti ‘Ya’ dan ‘Tidak’, sehingga nampaknya GBK kurang dapat mengorek informasi atau mengekplorasi apa yang dirasakan siswa, serta kurang terekplorasi apa yang ada dalam benak siswa.

Berdasarkan tiga temuan di atas, dapat diungkapkan beberapa hal.

Pertama, hubungan interpersonal guru-siswa diwarnai oleh hubungan

power yang kental. Ini dapat diidentifikasi lewat kesempatan berbicara guru yang

lebih panjang dalam bentuk kalimat, lebih lama dalam durasi waktu, serta lebih banyak dalam jumlah tuturan. Power yang diaplikasikan oleh guru berbasiskan

knowledge, usia, pengalaman, serta posisi dan status guru itu sendiri.

Kedua, adanya geliat power struggle dalam interaksi tersebut. Power

struggle ini dapat diidentifikasi dengan munculnya respons negatif siswa terhadap

(32)

informal dan lugas dalam tuturan siswa. Dalam konteks tenor yang melibatkan tiga hal, yaitu power, contact, dan affective involvement umumnya ada keselarasan derajat di antara ketiganya. Artinya, pelaku interaksi dengan power yang jauh berbeda akan mengindikasikan adanya contact yang jarang serta memiliki affective involvement yang rendah. Namun demikian, dari hasil analisis dalam penelitian ini teridentifikasi bahwa dalam power struggle tercermin adanya

contact yang terjalin relatif cukup sering antara GBK dan siswa, serta affective

involvement yang cukup dekat, walaupun power di antara mereka tidak respirokal.

Ketiga, power struggle menunjukkan pola hubungan guru murid sesuai perjalanan waktu. Hal ini mungkin saja akan memunculkan perubahan konstelasi hubungan sosial guru-siswa. Siswa akan bisa lebih berani untuk melakukan inisiatif interaksi untuk dapat mengungkapkan apa yang ada dalam benaknya. Ini sesuai dengan paradigma baru dalam pendidikan, yaitu student-centeredness.

5.2 Saran

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, dan berdasarkan hal tersebut dikemukakan beberapa saran.

(33)

makna interpersonal yang terekam dalam teks akan lebih komprehensif serta dapat lebih memperlihatkan keajegan dalam menciptakan makna.

Penelitian ini hanya menganalis enam sampel interaksi dalam konteks bimbingan di sekolah. Peneliti selanjutnya diharapkan bisa melebarkan cakupan bimbingannya tidak hanya dalam konteks sekolah, melainkan layanan bimbingan lainnya seperti pembinaan di lembaga pemasyarakatan, penanganan kasus narkoba di lembaga rehabilitasi, penanganan kasus depresan dll., sehingga dapat ditemukan pola-pola interaksi yang lebih akurat dalam kegiatan layanan bimbingan.

Penelitian ini sudah menggali pemakaian bahasa dalam kegiatan BK melalui pengungkapan makna interpersonal dan memperlihatkan hasil yang berbeda dalam pola komunikasi antara topik layanan BK sekaitan dengan bimbingan karier dan topik layanan BK sekaitan dengan penanganan masalah pelanggaran siswa. Perbedaan pola komunikasi yang diperoleh dari penelitian iuni diharapkan bisa duitindaklanjuti oleh penelitian selanjutnya yang dilakukan dari sudut ilmu lainnya, seperti kajian ilmu Psikologi atau bidang kajian ilmu lainnya sehingga dapat membongkar hal lain seperti penyebab perbedaan pola komunikasi di antara dua topik bimbingan yang berbeda.

(34)

DAFTAR PUSTAKA

Alam, Shah. 2008. Basic of Guidance and Counselling. New Delhi: Global Vision Publishing House.

Andriany, Liesna. 2011. Ujaran Interpersonal dalam Wacana Kelas (Analisis

Linguistik Sistemik Fungsional). Desertasi pada Jurusan Linguistik

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (tidak dipublikasikan). Araghi, Seyed Mahdi dan Kamal Shayegh. 2011. Interpersonal Metafunction of

Gender Talk in ELT Classrooms. Journal of Academic and Applied

Studies Vol. 1(2) July 2011, pp. 25-32.

Austin, J.L. 1962. How to do things with words. Oxford: OUP.

Coulthard, Malcolm.1985. An Introduction to discourse analysis. Second Edition. London: Longman Group UK limited.

Brown, Gillian dan George Yule. 1983. Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge University Press.

Bailey, Carol S. 2007. A Guide to Qualitative Field Research. Second Edition. Thousand Oaks: Pine Forge Press.

Depdiknas. 2010. Juknis Pelaksanaan Program Pengembangan diri melalui

Layanan BK di SMA. Direktorat Pembinaan SMA. Jakarta.

De Souza, Anderson Alves. 2006. The Construal of Interpersonal Meaning in the

Discourse of National Anthem: an Appraisal Analysis. Proceedings 33rd

International Systemic Functional Congress.

Dontcheva, Olga dan Navratilova. 2009. Interpersonal meaning in genre of

diplomatic addressees. Journal of Brno Studies in English. Volume 35,

No. 2, 2009. ISSN 0524-6881, 129-143.

Eggins, Suzanne. 2004. 2nd Ed. An Introduction Systemic Functional Linguistics. London & NY: Continuum.

Eriyanto. 2003. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS.

Feng, Hao dan Yuhui Liu. 2011. Analysis of Interpersonal Meaning in Public

Speeches—A Case Study of Obama’s Speech. Journal of Language

(35)

Finegan, Edward. 2008. Language: Its Structure and Use, Fifth Edition. Boston:

Halliday, M. A. K. 2005. On Grammar. Edited by Jonathan Webster. New York, London: Continuum.

Halliday, M. A. K. 2007. Language and Education. Edited by Jonathan J. Webster New York, London: Continuum.

Kinra, Asha K. 2008. Guidance and Conselling. New Delhi: Dorling Kinder Sley Pvt. Ltd.

Lavid, Julia et al. 2010. Systemic Functional Grammar of Spanish: A Contrastive

Study with English. New York, London: Continuum.

Luddin, Abu Bakar M. 2010. Dasar-Dasar Konseling: Tinjauan Teori dan

Praktek. Bandung: Ciptapustaka Media Perintis.

Lukmana, Iwa dkk. 2006. Makna Interpersonal dalam Interaksi Guru-Murid:

Sebuah Kajian Wacana Kritis. Linguistik Indonesia, tahun 24/1, Februari

2006, 11-22.

Lukmana, Iwa. 2007. Modalitas dan Identitas Media: sebuah tinjauan wacana

kritis. Masyarakat Linguistik Indonesia, September 2007.

Lukmana, Iwa. 2007. Analisis Bahasa untuk Kajian Sosial: Pemaknaan Kritis

terhadap Praktek Berwacana sebagai Praktek Sosial. Linguistika, Vol 17,

No 01.

Masinambow, E. K. M. 2000. Kajian Serba Linguistik: Linguistik dalam Konteks

Studi Sosial-Budaya. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

(36)

McCabe, Anne and Karl Heilman. 2007. Textual and Interpersonal Differences

between a News Report and an Editorial. Revista Alicantina de Estudios

Ingleses 20 (2007): 139-156.

Mills, Sara. (1997). Discourse: The New Critical Idiom. London: Routledge. Moleong, Lexy J. 2011. Metodologi penelitian kualitatif . Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Nepomuceno, Sheila M. 2012. An Analysis of Interpersonal Meaning in a

Computer Mediated Conversation Using the Systemic-Functional Grammar Approach. Computer Mediated Book.

Paltridge, Brian. 2008. Discourse Analysis: An Introduction. London, Ney York: Continuum.

Prayitno. 1999. Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok: Dasar dan Profil. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Prayitno dkk. 2004. Pedoman Khusus bimbingan Konseling. Direktorat jendral pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat pendidikan Menengah Umum. Depdiknas.

Saragih, Amrin. 2006. Bahasa dalam Konteks Sosial. Pendekatan Linguistik

Fungsional Sistemik terhadap Tata Bahasa dan Wacana. Medan: Program

Pascasarjana USU.

Schegloff, Emanuel A. 2007. Sequence Organization in Interaction. A Primer in

Conversation Analysis I. New York: Cambridge University Press.

Sinaga, Goldy Pratiwi. 2012. The impersonal Strategies of Hotel and Apartement

Advertisements in the Now! Jakarta Life in the Capital Magazine. Tesis

pada Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Pendidikan Indonesia (tidak dipublikasikan).

Stubbs, Michael. 1983. Discourse Analysis: The Sociolinguistic Analysis of

Natural Language. Chicago: Basil Blackwell Publisher Limited.

Sugiono. 2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Suryana, Asep dan Suryadi. 2012. Modul Bimbingan dan Konseling Kementrian

Agama RI. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI.

(37)

Takahashi, Hiroshi. 2009. Modality in L2 Legal Writing: A Functional

Analysis.Volume 24, 2009 - Language Research Bulletin. Tersedia dalam web.icu.ac.jp/lrb/volume-24.html.

Tyaningsih Annisa Rachmani. 2011. Makna Interpersonal dalam Interaksi

Pemimpin dan Karyawan sebagai suatu Bentuk Strategi Komunikasi Kepemimpinan (Analisis Wacana Kritis Lintas Gender). Tesis pada

Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Pendidikan Indonesia (tidak dipublikasikan).

Van Dijk, T. A. 2008. Discourse and Powers. New York: Palgrave Macmillan. Wan, Yau Ni. 2008. The Exchange of Interpersonal Meaning. Systemic

Functional Linguistics in Use. Odense Working Papers in Language and Communication vol. 29 (ISSN 0906-7612, ISBN: 978-87-90923-47-1).

Gambar

Tabel 3.1 Pembagian peran tutur dan komoditas interaksi
Tabel 3.3 sebagai berikut:
Tabel 3.3 Analisis realisasi fungsi tutur dan tipikalitas fungsi tutur

Referensi

Dokumen terkait

Pemahaman yang baik akan membantu dalam memberikan layanan kepada siswa, sehingga tujuan dan fungsi dari setiap layanan akan tercapai dengan maksimal.. Guru BK juga harus

1. Guru BK menyampaikan tujuan layanan yang akan di capai. Guru BK menggunakan berbagai media untuk mempermudah siswa dalam meningkatkan self control siswa. Guru BK

Kasus yang dapat dipelajari adalah tentang bagaimana seorang konselor sekolah atau biasa disebut sebagai guru BK dengan latar belakang pendidikan sarjana non bimbingan dan

Siswanya...58 Tabel 5.6 Guru BK Sering Memberikan Penyuluhan Sebagai Dukungan Motivasi Belajar Kepada Para Siswanya...60 Tabel 5.7 Penyuluhan Yang Diberikan Oleh Guru

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) hubungan interpersonal guru BK berada dikategori cukup baik, (2) motivasi siswa mengikuti layanan Bimbingan dan Konseling

 Layanan perencanaan individual bertujuan untuk membantu Layanan perencanaan individual bertujuan untuk membantu peserta didik agar (1) memiliki pemahaman tentang diri dan

Maka layanan bimbingan dan konseling yang diberikan di sekolah tidak lain adalah untuk menunjang pengembangan potensi para siswa secara utuh dan menyeluruh.Oleh karena itu maka layanan

Jadi layanan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu bantuan yang diberikan oleh guru bimbingan dan konseling BK berupa informasi, penempatan, penguasaan konten dan konseling