• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V : PENUTUP

B. Saran

Dengan berakhirnya penyusunan skripsi ini, penulis menyarankan kepada diri penulis dan para pembaca:

1. Hendaknya bagi warga Kampung Pisangan dalam melaksanakan upacar adat pernikahan harus disesuaikan dengan ajaran agama Islam.

2. Hendaknya dalam pelaksanaan seserahan pernikahan dilakukan dengan semampunya tidak mengharuskan hal-hal yang memang tidak wajibkan.

77

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan terjemah

Abbas, Afifi Fauzi. Baik dan Buruk dalam Perspektif Ushul Fiqh, cet. 1, Ciputat: ADELINA Bersaudara, 2010.

Abbas, Ahmad Sudirman. Dasar-dasar Masail Fiqhiyyah, Jakarta: CV Banyu Kencana, 2003.

Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, Jakarta: Radar Jaya Offset, 2004.

Abdullah, Sulaiman. Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya,

cet. 3, Jakarta: Sinar Grafika: 2007.

Abu Yusuf, Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif. Kaedah-Kaedah Praktis Memahami FIqih Islami, cet. 1, t.tp, Pustaka Al Furqon, 2009.

Aji, Ahmad Mukri. Kontekstualisasi Ijtihad dalam Diskursus Pemikiran Hukum Islam Di Indonesia, cet. 1, Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010.

Aji, Ahmad Mukri. Urgensi Maslahat Mursalah Dalam Dialetika Pemikiran Hukum Islam, cet. 2, Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2012.

Al-Kurdy, Ahmad al-Hajj. Al-Madkhal al-Fiqh: al-Qawaid al-Kulliyah,

Damaskus: Dar al-Ma’rif li al-TIba’ah, 1979.

Al-Qardhawy, Yusuf. Fiqh Prioritas Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur’an

dan As-Sunnah, Penerjamah Bahruddin F, Jakarta: Robbani Press, 1996. Al-Zuhaili, Muhammad Mushthafa. al-Qawa’id al-Fiqhiyah wa tathbiqatuha fii

al-Mazahib al-arba’ah, juz. 1, Damaskus: Dar al-Fikr, 2006.

Amin, Ma’ruf. Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, cet. 1, Jakarta: Elsas, 2008.

Burnu, Muhammad Shidq bin Ahmad bin Muhammad Ali. Al Wajiz fii idhohi qawaid al fiqh al-Kulliyah, Beirut: Muassisah ar Risalah, 1996 M.

Dahlan, Abd Rahman. Ushul Fiqh, cet. 2, Jakarta: Amzah, 2011.

Djalil, A. Basiq. Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, cet. 6, Jakarta: Kencana, 2010. Djazuli, A. Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam

Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, cet. 2, Jakarta: Kencana, 2007.

Effendi, Satria dan M. Zein. Ushul Fiqh, cet. 1, Jakarta: Kencana, 2005.

Emzir. Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data, cet. 2, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitaif Teori dan Praktek, cet. 1, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013.

Hadi, Sutrisno. Metodelogi Penelitian Resreach, Jakarta: PT. Moyo Segoro Agung, 2007.

Hajj, Ibnu Amir. at-Taqrir wa at-Tahbir, cet. 3, Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyah, 1983 M.

Hibban, Ibnu. al-Ihsanu fi Taqribi Shahih Ibnu Hibban (Beirut: Muassasatu al-Risalah, 1408 H/1988 M). Juz 10. h. 72.

Kholaf, Abdul Wahab. Ushul Fiqh, t.t: Daar Arosyid, t.th.

Juliansah, M. Irfan. “Tata Cara Khitbah dan Walimah pada Masyarakat Betawi

Kembangan Utara Jakarta Barat Menurut Hukum Islam,” Skripsi S1 Fakultas

Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.

Lubis, Junaidi. Islam Dinamis Model ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks Perubahan Masyarakat, cet. 1, Jakarta: Dian Rakyat, 2010.

Mudzhar, M. Atho. Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Pres, 1998.

Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial,Cet.12, Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press 2007.

Pathoni, Andy. “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Khutbah Penyerahan

dan Khutbah Penerimaan dalam Perkawinan Adat Betawi (Studi Kasus di

Setu Babakan Kelurahan Srengseng Sawah)”, Skripsi S1 Fakultas Syariah

dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. SA, Romli. Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999. Shidiq, Sapiudin. Ushul Fiqh, cet. 1, Jakarta: Kencana, 2011.

Shomad, Abd. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, cet. 1, Jakarta: Kencana, 2010.

79

Soehartono, Irawan. Metode Penelitian Sosial “Suatu Tehnik Penelitian Bidang

Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya”. Cet. 8, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008

Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia, cet. 6, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2003.

Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam I, cet. 9, Jakarta: Al Husna Zikra, 1997.

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, cet. 4, Jakarta: Kencana, 2009. Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh Jilid 2, cet. 5, Jakarta: Kencana, 2009.

Sudjana, Nana. Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah,Cet ke 7, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2003.

Sugiyono. Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D, Bandung: CV. Alfabeta, 2007.

Suryowingjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung, 1982.

Taufiq, dkk, Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Jakarta: Logos, 1998.

Umar, M. Hasbi. Nalar Fiqh Kontemporer, cet. 1, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007.

Zaidan, Abdul Karim. Pengantar Studi Syari’ah Mengenal Syari’ah Islam Lebih

Dalam, cet. 1, Jakarta: Robbani Press, 2008.

Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqh, cet. 8, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003. Zidan, Abdul Karim. al-wajiz fil usulil fiqh, Baghdad: Maktabh batsair, 1976. Wawancara Pribadi dengan Bapak Abdul Jalil. Jakarta, 7 Oktober 2015. Wawancara Pribadi dengan Bapak Fuad Thohari. Ciputat, 24 Agustus 2015.

Wawancara Pribadi dengan Bapak Muhammad Ishak. Jakarta, 7 Oktober 2015. Wawancara Pribadi dengan Bapak Yahya Andi Saputra. Jakarta, 29 Juni 2015. Wawancara Pribadi dengan Ibu Hanisah. Jakarta, 12 April 2015.

Wawancara Pribadi dengan Ibu Tika. Jakarta, 12 April 2015.

http://kampungbetawi.com/gerobog/dedengkot-2/yahya-andi-saputra/ diakses

pada 29 Juni 2015

Kusnendar. “Hewan yang Setia dengan Pasangannya”. Artikel diakses pada 13

Oktober 2015

http://www.kusnendar.web.id/2013/09/hewan-yang-setia-dengan-pasangannya.html

Iqbal1, “Ilmu Fiqh”, artikel dari

81

Pedoman wawancara kepada warga tokoh budayawan

1. Apa latar belakang atau atas dasar pemikiran apa menggunakan Roti Buaya sebagai bagian seserahan ?

2. Dari manakah budaya Roti Buaya berasal ? 3. Kapan budaya Roti Buaya masuk ke daerah ini ? 4. Mengapa harus dengan menggunakan Roti Buaya ?

5. Apa maksud atau tujuan dengan menggunakan Roti Buaya ?

6. Bagaimana mekanisme proses penyerahan seserahan Roti Buaya, apakah ada syarat-syarat sebelumnya ?

83

Pedoman Wawancara Tokoh Ulama

1. Apa yang bapak atau ibu ketahui tentang adat betawi yang menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

2. Bagaimana pendapat bapak atau ibu mengenai hukum adat betawi yang menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

3. Jika terjadi perbedaan pendapat hukum adat betawi yang menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan, bagaimana cara penyelesaiannya ?

Pedoman wawancara kepada warga Kampung Pisangan

1. Apa yang bapak atau ibu ketahui tentang roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

2. Apa alasan bapak atau ibu yang mengikut sertakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

3. Apa maksud atau tujuan bapak atau ibu menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

4. Apa bapak atau ibu percaya dengan mitos bahwa roti buaya tersebut menunjukan simbol setia atau menikah sekali seumur hidup ?

5. Apa bapak atau ibu setuju dengan adanya roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

85

Hasil Wawancara Nama: Bapak drs. Yahya Andi Saputra Jabatan: Tokoh Budayawan

Tanya: Apa latar belakang atau atas dasar pemikiran apa menggunakan Roti Buaya sebagai bagian seserahan ?

Jawab: tradisi ini pada mulanya buaya adalah sebuah simbol dimana dalam cerita rakyat Betawi dikenal dengan buaya siluman. Entah yang dimaksud buaya merah, buaya buntung, ataupun buaya putih. Buaya-buaya siluman ini oleh masyrakat Betawi dianggap pemelihara atau penunggu sebuah entuk. Dalam Bahasa Betawi kuno entuk diartikan sebagai sumber mata air. Maka pada zaman dahulu kalau ada kegiatan masyarakat yang mengganggu seperti kebersihan, keasrian, keindahan entuk itu akan

mendapat sanksi. Contohnya seperti “kalau lewat situ yang ada sumber

mata airnya harus mengucapkan numpang-numpang karena di situ ada

makhluk penjaganya”. Adapun sumber mata air itu adalah sumber

kehidupan manusia, kalau kamu membuang sampah maka akan mendapat ketulah. Di mana dalam Bahasa Betawi kuno ketulah itu artinya karma atau akibat tindakan, sikap, perilaku yang ada dihari lampau.Selanjutnya, karena si buaya itu sudah menunggu sumber kehidupan masyarakat yaitu sumber mata air. Maka oleh masyarakat Betawi buaya itu dimanfaatkan sebagai simbol kehidupan. Adapun pemanfaatannya digunakan dalam acara pernikahan tepatnya pada saat seserahan dari pihak calon pengantin pria terhadap pihak calon pengantin wanita.Perkawinan itu sendiri adalah

bagian salah satu siklus kehidupan yaitu suatu rangkaian aktivitas secara alami yang dialami oleh individu-individu dalam populasi berkaitan dengan perubahan tahap-tahap dalam kehidupan. Seperti manusia yang bertujuan menciptakan, melanjutkan kehidupan yang baru.

Tanya: Dari manakah budaya Roti Buaya berasal ?

Jawab: tentang siapa yang menciptakan tradisi roti buaya ini tidak ada yang tahu, yang jelas tradisi roti buaya ini milik masyrakat Betawi.

Tanya: Kapan budaya Roti Buaya masuk ke daerah ini ?

Jawab: sudah berlangsung sejak lama karena tidak tahu jelas kapan datangnya tradisi roti buaya ini.

Tanya: Mengapa harus dengan menggunakan Roti Buaya ?

Jawab: karena si buaya itu sudah menunggu sumber kehidupan masyarakat yaitu sumber mata air. Maka oleh masyarakat Betawi buaya itu dimanfaatkan sebagai simbol kehidupan.

Tanya: Apa maksud atau tujuan dengan menggunakan Roti Buaya ?

Jawab: Perkawinan bukan sekedar yang berarti melampiaskan nafsu biologis atau menghalalkan bersenang-senangnya antara laki-laki dan perempuan, tetapi dengan memiliki tujuan yaitu melanjutkan generasi yang baru. Maka dari itu masyarakat Betawi mengwajibkan adanya dalam seserahan pernikahan sebagai simbol melanjutkan kehidupan yang baru.

Tanya: Bagaimana mekanisme proses penyerahan seserahan Roti Buaya, apakah ada syarat-syarat sebelumnya ?

87

Jawab: Secara mekanisme ia tidak memiliki cara-cara tertentu dalam penyerahan roti buaya tersebut.

Hasil Wawancara

Nama: Ibu Hanisah

Jabatan: Warga Kampung Pisangan

Tanya: Apa yang ibu ketahui tentang roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab: adat kebiasaan masyarakat Betawi yang sudah ada sejak zaman dahulu.

Tanya: Apa alasan ibu yang mengikut sertakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab: karena nikah dengan orang Betawi

Tanya: Apa maksud atau tujuan ibu menggunakan roti buaya dalam seserahanpernikahan ?

Jawab: mempertahankan kebudayaan

Tanya: Apa ibu percaya dengan mitos bahwa roti buaya tersebut menunjukan simbol setia atau menikah sekali seumur hidup ?

Jawab: percaya tidak percaya

Tanya: Apa ibu setuju dengan adanya roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Hasil Wawancara

Nama: Ibu Tika Nurjanah

Jabatan: Warga Kampung Pisangan

Tanya: Apa yang ibu ketahui tentang roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab: adat Betawi

Tanya: Apa alasan ibu yang mengikut sertakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab: karena orang Betawi

Tanya: Apa maksud atau tujuan ibu menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab: karena kebiasaan

Tanya: Apa ibu percaya dengan mitos bahwa roti buaya tersebut menunjukan simbol setia atau menikah sekali seumur hidup ?

Jawab: percaya

Tanya: Apa ibu setuju dengan adanya roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

89

Hasil Wawancara

Nama: Ibu Camah (Ketua RT)

Jabatan: Warga Kampung Pisangan

Tanya: Apa yang ibu ketahui tentang roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab: untuk seserahan perkawinan adat Betawi

Tanya: Apa alasan ibu yang mengikut sertakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab: untuk pelengkap sebagai seserahan

Tanya: Apa maksud atau tujuan ibu menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab: untuk pengantin wanita

Tanya: Apa ibu percaya dengan mitos bahwa roti buaya tersebut menunjukan simbol setia atau menikah sekali seumur hidup ?

Jawab: nggak

Tanya: Apa ibu setuju dengan adanya roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Hasil Wawancara Nama: Bapak Dr. H. Fuad Thohari, MA

Jabatan: Dosen Fakultas Syariah dan Hukum (Tokoh Ulama)

Tanya: Apa yang bapak ketahui tentang adat betawi yang menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab: Roti buaya adalah model roti yang dibentuk menyerupai buaya yang memiliki ekor, badan, kepala, gigi, dan taring. Adapun roti buaya tersebut diserahkan pada saat seserahan. Selain itu juga dilengkapi dengan pakaian, peralatan dapur, uang, permata, salah satu yang diserahkan adalah roti buaya. Buaya itu simbol dari kesetiaan, siap mengorbankan untuk menjaga anak-anaknya, ketika calon pengantin dari pihak laki-laki menyerahkan roti yang dibentuk serupa dengan buaya itu sebenarnya tidak lain ingin mengatakan ketika nanti sudah menikahi, ia tidak hanya siap menjadi suami tetapi bertanggung jawab dalam hal melindungi, mengamankan, menjaga, merawat istri dan anak-anak seperti bagaimana buaya melindungi telurnya, anaknya, dan lain-lain.

Tanya: Bagaimana pendapat bapak mengenai hukum adat betawi yang menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab: Adapun kebiasaan laki-laki memberikan roti buaya itu selain menggambarkan seserahan juga sebagai gambaran siap menjaga istrinya sampai menutup usia. Meskipun, faktanya orang-orang Betawi yang uangnya banyak istrinya tidak hanya satu, bahkan dua, tiga, empat. Memberikan roti buaya itu mengingatkan saja bahwa ia pernah janji hanya

91

memiliki satu istri saja dengan kesetiaannya. Dengan maksud menahan diri saja. Adanya cerita masyarakat atau legenda pada umumnya tidak hanya satu pandangan, tetapi banyak. Karena pandangannya tidak hanya ada satu cerita, maka tidak tunggal ceritanya. Jadi, bisa saja dipahami semacam keinginan laki-laki yang ingin brtanggung jawab seperti wataknya buaya, jadi tidak keliru.

Tanya: Jika terjadi perbedaan pendapat hukum adat betawi yang menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan, bagaimana cara penyelesaiannya ?

Jawab: Mengaitkan sebuah perilaku manusia dengan sebuah legenda itu bisa saja, karena legenda itu tidak absolut atau dengan kata lain tidak relatif maka tafsirannya banyak tidak tunggal. Bila hanya tradisi tidak ada pelarangan adapun kalau ada yang menganggapnya sebagai sesajen atau sebagai dewa maka tidak diperbolehkan dalam Islam.

Hasil Wawancara Nama: Bapak Bapak Abdul Jalil

Jabatan: penghulu (tokoh ulama)

Tanya: Apa yang bapak atau ibu ketahui tentang adat betawi yang menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab : roti buaya itu merupakan simbolik yang dijadikan adat istiadat oleh orang Betawi. Folisofinya bahwa buaya itu binatang yang tahan dan kuat. Maka karena itu, menurut orang Betawi denagn simbol tersebut diharapakan kuat mencari nafkah yang nanti akan menjadi suami. Setelah kuat mencari nafkah, kemudian memiliki sikap yang tanggung jawab terhadap keluarga, serta rejekinya mudah. Karena, buaya itu dikenal tidak jauh rejekinya, kalau mencari makan cukup membuka mulutnya saja, mangsa akan datang. Filosofi selanjutnya yaitu buaya dikenal sebagai binatang yang setia pada pasangannya. Dalam penelitian otang Betawi itu kawin hanya sekali. Jadi diharapkan dari suaminya nanti ia akan menjadi suami yang setia dan tidak berkhianat. Menampakan symbol bagi masyarakat Betawi, ada pelajaran-pelajaran berharga yang dapat diambil. Jadi, dengan membawakan roti buaya ini sekaligus menunjukan siakp yang optimis terhadap doa itu moga sisi positif yang ada pada diri buaya bisa diterapkan kepada diri suami.

Tanya: Bagaimana pendapat bapak atau ibu mengenai hukum adat betawi yang menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

93

Jawab : dalam hukum Islam tidak ada ketentuan harus menggunakan roti buaya

dalam seserahan pernikahan. Tetapi pada kaidah ushul fikih “bahwa tradisi

bisa menjadi hukum” oleh karena itu tradisi yang sudah menjadi kebiasaan

orang Betawi itu bisa menjadi hukum terhadap orang Betawi. Secara hukum Islam roti buaya bukan kewajiban bukan juga sebagai sunnah. Tetapi, karena hukum itu beredar sesuai zamannya. Apabila terjadi ketidak harmonisan, adanya pembicaraan di luar. Maka biasa terjadi kewajiban yetapi bagi yang mampu melaksanakannya. Karena fikih itu bagian dari

produkpemikiran manusia yang bersifat dinamis. “sesuatu yang dapat

menyempurnakan yang wajib, maka hukumnya bisa jadi wajib”. Sama

seperti roti buaya . bila ada pandangan pelit atau tidak mengerti tradisi maka dikembalikan saja pada hukum Islam yaitu keadaan yang berlaku.

Tanya: Jika terjadi perbedaan pendapat hukum adat betawi yang menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan, bagaimana cara penyelesaiannya ?

Jawab : dikompromikan atau dimusyawarahkan dengan keluarg dan bisa dipahami oleh keluarga. Karena itu termasuk hukum adat yang tak tertulis apabila memang hukum ini sudah mengakar di masyarakat.

Hasil Wawancara

Nama: Bapak H. Muhammad Ishak

Jabatan: tokoh ulama Betawi

Tanya: Apa yang bapak atau ibu ketahui tentang adat betawi yang menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab : buaya adalah binatang yang termasuk liar. Dengan adanya pasangan jantan dan betina. Maka akan menjadi binatang yang jinak. Kemudian buaya itu ternasuk binatang yang setia, dengan maksud menunjukan lambang calon mempelai pengantin laki-laki supaya bisa setia dengan istilah lain buaya itu akan jinak. Selanjutnya, kalau sudah berumah tangga, kehidupannya lebih terang yang berarti lebih terarah lagi dalam jalur agama begitu yang diharapkan oleh sang pengantin.

Tanya: Bagaimana pendapat bapak atau ibu mengenai hukum adat betawi yang menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab : boleh-boleh saja, apabila hal itu tidak memberatkan. Adapun dalam segi ekonomi apabila membebani, maka tidak perlu di adakan.

Tanya: Jika terjadi perbedaan pendapat hukum adat betawi yang menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan, bagaimana cara penyelesaiannya ?

Jawab :memberikan pengertian karena, agama sifatnya tidak membebani. Tetapi, mempermudah bukan berarti memudahkan. Betawi itu luwes, tidak ada takut ini atau takut itu. Karena, lebih menekankan pada hal-hal yang diwajibkan dalam agama yaitu, jika dalam pernikahan adanya calon

95

sepasang pengantin, ijab qabul, saksi, dan terakhir wali. Tidak ada hal-hal yang membebani.

Dokumen terkait