HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
(Studi Kasus di Kampung Pisangan Kelurahan Ragunan Kecamatan Pasar Minggu Kotamadya Jakarta Selatan)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat MemperolehGelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
DIAN RANA AFRILIA NIM. 1111043100001
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH PRODI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
santumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, September 2015 28 Dzulhijjah 1436
i
ABSTRAK
DIAN RANA AFRILIA : 1111043100001. HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Kampung Pisangan Kelurahan Ragunan Kecamatan Pasar Minggu Kotamadya Jakarta Selatan),
skripsi. Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fikih, Progam Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.
Masalah roti buaya yang sudah muncul sejak lama ini merupakan adat kebiasaan yang terjadi di masyarakat Betawi menjelang seserahan pernikahan, beberapa masyarakat Betawi memang menyertakan roti buaya dalam seserahan pernikahannya. Roti buaya ini diklasifikasikan sebagai adat kebiasaan yang tidak ada dalam hukum Islam. Penilitian ini bertujuan untuk mengetahui status hukum adat Betawi yang menggunakan Roti Buaya dalam seserahan pernikahan menurut hukum Islam.
Penelitian ini merupakan pendekatan deskriptif kulitatif yaitu mendeskripsikan dengan menggunakan pendekatan “penelaahan”. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan normatif dengan tujuan untuk menemukan kebenaran dari berbagai data yang didasarkan pada norma-norma atau aturan-aturan yang digariskan oleh hukum Islam dan juga pendapat-pendapat para Ulama yang berkaitan dengan masalah roti buaya.
Dalam hukum Islam pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah.
Berdasarkan pendekatan yang dilakukan di atas, hasil penelitian menunjukan bahwa dalam hal roti buaya yang dilakukan dalam seserahan pernikahan adat Betawi menurut hukum Islam bila hanya tradisi tidak ada pelarangan adapun kalau ada yang menganggapnya sebagai sesajen atau sebagai dewa maka tidak diperbolehkan dalam Islam.
Kata Kunci : „Urf, Pandangan Ulama
ii
Alhamdulillahirabbil „alamiin, tak ada kata yang pantas penulis ucapkan
selain ungkapan puja dan puji serta rasa syukur atas karunia yang tak terhingga
yang diberikan Allah SWT, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul “HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA
DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Kampung Pisangan Kelurahan Ragunan Kecamatan Pasar Minggu Kotamadya Jakarta Selatan)” ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW juga kepada
keluarga, sahabat, dan umatnya yang senantiasa mengikuti jejak dan langkah
beliau sampai hari akhir nanti, amiin.
Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh
ujian Sarjana Syariah. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih
banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, hal ini
dikarenakan keterbatasan kemampuan yang penulis miliki.
Setelah perjuangan yang begitu berat dan melelahkan, akhirnya skripsi ini
selesai juga ditulis. Penulis sadar bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya
bantuan dari berbagai pihak dan semoga amal baik yang telah diberikan kepada
penulis mendapat balasan dari Allah SWT. Untuk itu dengan segala kerendahan
hati, penulis ingin meyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
iii
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si., selaku ketua Progam Studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum dan Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag., Lc., M.A.,
selaku sekretaris Progam Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Ibu Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, M.A., selaku dosen
pembimbing yang telah banyak memberikan masukan ilmu, waktu, dan
semangat serta memberikan pengarahan kepada penulis dalam penyusunan
skripsi ini.
4. Bapak Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.A., selaku dosen penasehat akademik
yang telah membimbing semasa kuliah.
5. Bapak dan Ibu dosen yang penulis hormati, yang telah memberikan tenaga
dan pikirannya untuk medidik penulis agar kelak menjadi manusia yang
berilmu dan berguna.
6. Kepada para tokoh-tokoh yang telah memberikan bantuan yang berharga
berupa wawancara dan juga kepada para warga Kampung pisangan yang
sudah memberikan waktunya untuk proses wawancara dalam penelitian ini.
7. Segenap karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan bantuan berupa bahan-bahan yang dijadikan
iv
sehingga penulis mampu berdiri kokoh seperti sekarang. Untuk mas-masku,
Alfin Marilif, Bay Haqi, dan Cira Adlin yang telah memberi dorongan agar
penulis tidak berputus asa dan terus berjuang sampai berhasil.
9. Teman seperjuangan menuntut ilmu Mila, Ratna, Resti, Sasa, Ratu, Uje,
Iwan, Hamdi, Rifa‟i dan seluruh teman di PMH angkatan 2011, serta para
senior. Terima kasih atas semua persahabatan yang telah kita rajut selama
ini. Terima kasih atas canda tawa dan dorongan semangatnya, semoga
persahabatan kita tidak akan pernah putus oleh jarak dan waktu.
10. Sahabat terbaikku, Anis, Amel, Meta, Yovi, yang setia mendengarkan
curahan hati penulis selama mengerjakan skripsi ini.
Akhirnya atas jasa dan bantuan dari semua pihak, baik berupa moril maupun
materi, penulis haturkan terima kasih. Penulis berdoa semoga Allah SWT
membalasnya dengan imbalan pahala yang berlipat ganda dan sebagai amal
jariyah yang tidak akan pernah surut mengalir pahalanya dan mudah-mudahan
skripsi ini dapat bermanfaat dan berkah bagi penulis dan semua pihak.
Jakarta,03 September 2015
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 10
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 10
D. Review Studi Terdahulu ... 12
E. Metode Penelitian dan Tekhnik Penulisan ... 14
F. Sistematika Penulisan ... 18
BAB II : TINJAUAN UMUM ‘URF A. Definisi ‘Urf ... 21
B. Pembagian ‘Urf ... 27
C. Kedudukan ‘Urf dalam Penetapan Hukum ... 32
D. Syarat-syarat ‘Urf ... 37
E. Pandangan Ulama tentang ‘Urf ... 45
F. Contoh-contoh ‘Urf yang sudah teradopsi di Indonesia ... 49
BAB III : PRAKTEK DAN KECENDERUNGAN ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN DI KALANGAN MASYARAKAT A. Kondisi Umum pada Masyarakat Kampung Pisangan ... 53
B. Sejarah Roti Buaya dalam Seserahan Pernikahan ... 55
vi
A. Pandangan Ulama Tentang Hukum Adat Betawi yang
Menggunakan Roti Buaya dalam Seserahan
Pernikahan ... 60
B. Analisis Penulis mengenai Adat Betawi yang Menggunakan Roti Buaya dalam Seserahan Pernikahan ... 68
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 75
B. Saran ... 76
DAFTAR PUSTAKA ... 77
1
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Hukum Syariat dipahami sebagai segala ketentuan yang dikeluarkan dari
Al-Qur‟an dan Sunnah. Al-Qur‟an dan Sunnah diakui sebagai sumber kewahyuan
yang valid. Pemahaman dan penafsiran kedua sumber kewahyuan ini disebut
dengan hukum fikih. Hukum fiqh inilah yang disebut dengan Hukum Islam.1
Bila kata hukum ini dihubungkan dengan kata Islam atau Syara‟, maka
hukum Islam akan berarti “seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan
Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini
mengikat untuk semua manusia yang beragama Islam.”2
Syariat dapat dikatakan adalah hukum yang ditetapkan Allah. Ketika
ketetapan Allah tersebut identik dengan firman-Nya maka dapat dipahami syariat
itu ialah wahyu, dan ketika wahyu itu dikaitkan dengan peranan Rasul yang
membawanya maka syariat itu dipahami sebagai ketentuan Al-Qur‟an dan
Sunnah.3
Semua ketentuan wahyu ini telah selesai dijelaskan oleh Nabi baik tujuan
maupun tekhnis pelaksanaannya. Itulah ajaran pokok agama Islam untuk
kepentingan manusia. Segala penjelasan beliau terhadap hukum-hukum itu disebut
1
Junaidi Lubis, Islam Dinamis Model ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks Perubahan Masyarakat, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), cet. 1, h. 25.
2
Ahmad Mukri Aji, Kontekstualisasi Ijtihad Dalam Diskursus Pemikiran Hukum Islam Di Indonesia, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010), cet. 1, h. 117.
3
dengan Sunnah, yang juga berlaku mengikat sebagai aturan meskipun tidak
tertutup kemungkinan kecerdasan beliau ikut berperan dalam membentuk aturan,
tetapi hal ini dilegalisir oleh Al-Qur‟an sebagai kebenaran. Segala persoalan
hukum yang dikeluarkan dengan sistematis dari Al-Qur‟an dan Sunnah ini disebut
dengan hukum fikih, yang mencakup segenap aspek dari perbuatan manusia.4
Hukum yang diturunkan oleh Allah kepada manusia tidak lain kecuali
untuk kemaslahatan dan keselamatan manusia baik di dunia maupun di akhirat
kelak. Keselamatan ini akan dapat kita peroleh jika kita mau menaati
hukum Allah secara konsekuen. Jika kita perhatikan secara cermat, maka
hukum-hukum Allah yang harus kita taati ada yang bersifat perintah tegas, yaitu tuntutan
untuk dikerjakan oleh kita secara tegas dan pasti yang disebut dengan wajib
seperti shalat dan puasa. Adakalanya perintah ini bersifat tidak tegas, yaitu
tuntutan untuk dikerjakan tetapi sifatnya tidak harus dan tidak mesti seperti shalat
sunnah. Adakalanya perintah itu berupa tuntutan untuk meninggalkan pekerjaan
secara pasti yang disebut dengan haram seperti berzina. Dan adakalanya berupa
tuntutan untuk meninggalkan pekerjaan itu secara tidak pasti artinya tidak harus
kita tinggalkan tetapi meninggalkannya dipandang lebih baik seperti makan
jengkol dan petai. Dan adakalanya hukum Allah itu bersifat pilihan artinya
seseorang diberikan keleluasan untuk memilih antara mengerjakan atau
meninggalkan seperti makan dan minum.5
4
Junaidi Lubis, Islam Dinamis Model ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks Perubahan Masyarakat, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), cet. 1, h. 29.
5
3
Secara teoritik hukum-hukum syari‟at didasarkan pada serangkaian
manfaat dan mudharat nyata, dan bahwa akal atau nalar manusia memiliki
kemampuan untuk secara mandiri menemukan manfaat-manfaat dan
mudarat-mudarat yang melekat pada sesuatu. Karena itu, maka dengan sendirinya akal
mampu menemukan maksud-maksud dan kriteria-kriteria hukum agama melalui
ijtihad dan ra’yu.6
Dalam menjelaskan hukum, Al-Qur‟an menggunakan beberapa cara dan
ibarat, yaitu dalam bentuk tuntutan, baik tuntutan untuk berbuat yang disebut
suruhan atau perintah, atau tuntutan untuk meninggalkan yang disebut larangan.7
Untuk memahami semua itu diperlukan penalaran dan kemampuan intelektual
yang tinggi, yang dalam studi Islam merupakan bagian dari telaah Ushul Fikih.
Dalam ilmu inilah dapat diketahui ketetapan-ketetapan Allah, mana yang berupa
perintah, mana yang larangan dan mana pula yang berupa pilihan dan yang
lainnya. Bahkan dengan ilmu ini pula akan dapat diketahui dengan jelas tujuan
(maqashid) dari Syari‟at Islam itu.8
Selain itu, sesuai dengan kedudukan Al-Qur‟an sebagai sumber utama atau
pokok Hukum Islam, berarti Al-Qur‟an itu menjadi sumber dari segala sumber
hukum. Karena itu, jika akan menggunakan sumber hukum lain di luar Al-Qur‟an,
maka harus sesuai dengan petunjuk Al-Qur‟an dan tidak boleh melakukan sesuatu
yang bertentangan dengan Al-Qur‟an. Hal ini berarti bahwa sumber-sumber
6
Afifi Fauzi Abbas, Baik Dan Buruk Dalam Perspektif Ushul Fiqh, (Ciputat: ADELINA Bersaudara, 2010), cet. 1, h. 64.
7
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 4, h. 77.
8
hukum selain Al-Qur‟an tidak boleh menyalahi apa-apa yang telah ditetapkan
Al-Qur‟an.9
Dengan demikian, bila Al-Qur‟an disebut sebagai sumber asli bagi hukum
fikih, maka Sunnah disebut sebagai bayani.10 Kedudukan Sunnah sebagai bayani
atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum Al-Qur‟an, tidak diragukan
lagi dan dapat diterima oleh semua pihak, karena memang untuk itulah Nabi
ditugaskan Allah. Jumhur ulama berpendapat bahwa Sunnah berkedudukan
sebagai sumber atau dalil kedua sesudah Al-Qur‟an dan mempunyai kekuatan
untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam.11
Dengan demikian di dalam Hukum Islam ada dua macam kaidah, yaitu;
pertama, kaidah-kaidah ushul fiqh, yang kita temukan di dalam kitab-kitab ushul
fiqh, yang digunakan untuk mengeluarkan hukum (takhrijal-ahkam) dari
sumbernya, Al-Qur‟an dan/atau Hadis. Kedua, kaidah-kaidah fikih, yaitu
kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian digunakan
pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak
jelas hukumnya di dalam nash.
Oleh karena itu baik kaidah-kaidah ushul fikih maupun kaidah-kaidah
fikih, bisa disebut sebagai metodologi hukum islam, hanya saja kaidah-kaidah
ushul sering digunakan di dalam takhrij al-ahkam, yaitu mengeluarkan hukum
dari dalil-dalilnya (al-Qur‟an dan sunnah). Sedangkan kaidah-kaidah fikih sering
9
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 4, h. 86.
10
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 4, h. 99.
11
5
digunakan di dalam tathbiq al-ahkam, yaitu penerapan hukum atas kasus-kasus
yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia.12
Hukum Islam sebagai suatu sistem hukum yang lengkap dan universal
perlu dipahami secara menyeluruh oleh segenap umat manusia, karena kesalahan
dalam memahami hukum Islam akan berdampak pada semakin menjauhnya
hukum dari manusia, atau terlepasnya fungsi pranata hukum dalam masyarakat.13
Semua hukum-hukum ini didasarkan kepada dalil (al-dalil), terdiri dari
firman (khitab) Allah dan Sunnah Rasulullah, ijma, qiyas, dan apa saja yang
menjadi sarana untuk sampai kepada dalil. Sebagaimana yang diatur dalam ilmu
Ushul Fikih, sebagai prosedur ilmiah mengeluarkan kandungan hukum dari
unit-unit dalil. Ilmu fikih ialah mengetahui hukum-hukum syari‟ah yang jalan
penetapannya melalui ijtihad.
Usaha-usaha untuk memahami hukum dari dalilnya, maupun melahirkan
hukum yang baru disebut dengan ijtihad (al-ijtihad). Perkembangan dan
perubahan masyarakat adalah faktor penting lahirnya ijtihad, sebab pada saat itu
terjadi pula kasus baru yang berbeda dengan tentunya memerlukan aturan
pula.Segala aturan yang dikeluarkan mujtahid maka hukum tersebut adalah
Hukum Islam.14
12
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2007), cet. 2, h. 4.
13
Ahmad Mukri Aji, Urgensi Maslahat Mursalah Dalam Dialetika Pemikiran Hukum Islam, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2012), cet. 2, h. 14.
14
Hukum-hukum ijtihadiyah yang ditentukan berdasarkan „urf akan
mengalami perubahan jika ’urf yang menjadi dasar mengalami perubahan.
Perubahan-perubahan atas hukum-hukum yang dibina atas „urf berubah menurut
masa dan tempat, asal tetap dalam bidang-bidang perbuatan-perbuatan yang
dibolehkan. Dalam fikih terdapat hukum yang didasarkan kepada ’urf yang
terdapat pada masa imam mazhab. Terdapat sebagian kalangan muta‟khirin ahli
fikih bertentangan dengan sebagian imam atau ulama mutaqaddimin, yang
berpokok pangkal pada perbedaan „urf yang berlaku ketika itu. Hukum berbeda
dikarenakan perbedaan „urf dalam suatu negara dan perubahan „urf karena
perubahan masa, dan perbedaan pendapat di antara mereka terjadi karena
perbedaan tempat dan masa bukan perbedaan hujah dan alasan. Dengan demikian,
berfatwa dengan hukum tersebut hukum-hukum yang dibina para fuqoha
berdasarkan ‘urf pada masa kini yang urf’nya sudah berubah merupakan suatu
kesalahan dalam agama.15
Kehidupan manusia disebut berubah karena adanya perubahan pada saat
adanya perbedaan waktu. Perubahan pada manusia terjadi pada satu persatu
individu dan menyebabkan pula pada kumpulan individu. Individu memiliki sifat
bawaan yang menjadi energi dirinya melakukan kegiatan. Sifat bawaannya yang
terutama adalah perkembangan. Sebagai makhluk hidup manusia bersifat
berkembang.
Perubahan sosial ialah perubahan pola-pola budaya (tata nilai),
struktur-struktur sosial, dan perilaku sosial pada rentang waktu. Dalam definisi ini
15
7
Robertson meletakan perubahan pada tiga aspek, kultur, struktur, dan nilai yang
dikaitkan dengan waktu.
Persoalan waktu menjadi bagian penting dari sebuah perubahan.Dalam
Perspektif Evoluionis perubahan masyarakat dipandang sebagai suatu yang
alamiah, terjadi dimana saja, niscaya, dan merupakan ciri tak terhindarkan dari
realitas sosial.16Perubahan itu sendiri bisa terjadi karena perubahan yang
disebabkan oleh kejadian-kejadian alam dan bisa terjadi karena usaha-usaha
manusia itu sendiri. Adapun bentuk-bentuk perubahan itu sendiri, berbagai macam
bentuknya yang disimpulkan oleh Ibnu Qayyim dengan ungkapannya:
دئاْ علاو اِّنلاو ا ْحاْلاو ن ْماْلا و نمْ اْلا ّْغت بْسحب ْتفْلا ِّْغت
Artinya: “fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan waktu, tempat, keadaan, niat, dan adat kebiasaan.”17
Dalam kajian hukum Islam terutama dalam masalah-masalah kontemporer
masalah perubahan sosial sangat menjadi perhatian dalam menetapkan hukum
yang mencerminkan kebutuhan masa kini. Dalam kaitan ini beberapa kaidah
tentang baik dan buruk yang berkaitan dengan perubahan sosial telah diinduksi
oleh para ahli hukum Islam dari nash’syara, seperti contoh kaidah berikut:
ٌ حم ةد اعل ا
Artinya: “Adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat dapat menjadi
hukum.”18
16
Junaidi Lubis, Islam Dinamis ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks Perubahan Masyarakat, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), cet. 1, h. 37.
17
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2007), cet. 2, h. 108.
18
Hal ini bermakna bahwa, status adat kebiasaan yang baik yang telah
berlaku ditengah-tengah masyarakat, berfungsi sebagai salah satu syarat dalam
suatu transaksi yang berlaku dalam masyarakat. Kaidah lain yang erat juga
hubungannya dengan masalah perubahan sosial adalah
امْ اا ّغتب ما ْح اا ّغت ْنتا
Artinya: “tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum-hukum itu
disebabkan oleh perubahan sosial (zaman).”19
Yang dimaksud dengan “al-ahkam” di sini adalah al-ahkam al-ijtihadiyah
al-mabniyah ala al-urf wa al-mashlahah (hukum-hukum berdasarkan hasil
pemikiran dengan mempertimbangkan tradisi yang baik dan kemashlahatan
masyrakat).20
Setiap komunitas selalu mempunyai adat dan tradisi khas sesuai dengan
peradaban dan falsafah hidup mereka. Adat dan tradisi tersebut lahir sebagai
akibat dari dinamika dan interaksi yang berkembang di suatu komunitas
lingkungan masyarakat. Oleh karenanya, bisa dikatakan, adat dan tradisi
merupakan identitas dan ciri khas suatu komunitas.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat atau tradisi bermakna
kebiasaan perilaku yang dijumpai secara turun-temurun. Karena bermula dari
kebiasaan dan itu merupakan warisan dari pendahulu, maka akan terasa sangat
ganjil ketika hal itu tidak boleh dilakukan atau dilakukan tapi tidak sesuai dengan
kebiasaan yang berlaku.
19
Ahmad al-Hajj al-Kurdy, Al-Madkhal al-Fiqh: al-Qawaid al-Kulliyah, (Damaskus: Dar al-Ma‟rif li al-TIba‟ah, 1979), h. 62.
20
9
Masyarakat Indonesia memiliki beragam adat dan tradisi yang berbeda
dengan negara-negara lain, bahkan dari satu daerah ke daerah yang lain.
Beragamnya agama, bahasa dan budaya adalah keniscayaan dalam konteks
keindonesiaan.21
Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada masyarakat atau
pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan masyarakat
itu berada, serta pergaulan masyarakat yang dipengaruhi oleh pengetahuan,
pengalaman, kepercayaan keagamaan yang dianutnya serta kebiasaan setempat.
Seperti dalam perkawinan adat Betawi seorang laki-laki yang ingin menikahi
seorang perempuan diharuskan membawa seserahan ketika akad nikah dimana
dalam seserahan tersebut berisi roti buaya yang merupakan ciri atau tradisi dari
perkawinan adat betawi. Sebuah perkampungan Betawi yaitu Kampung Pisangan
yang terletak di Kelurahan Ragunan Kecamatan Pasar Minggu Kotamadya Jakarta
Selatan dimana masyarakatnya sangat memegang teguh adat kebudayaannya dan
menjalankan kebudayaan tersebut, terutama pada bidang pernikahan mereka yang
menggunakan roti buaya yang menjadi salah satu bagian seserahan yang diberikan
dari pihak laki-laki ke pihak perempuan. Adapun hal yang penulis sebutkan di atas
nampaknya telah terjadi sejak lama dan telah mengakar dan membudidaya. Hal ini
harus diklarifikasi tentang kebenarannya. Oleh karena itu penulis tertarik untuk
mengangkatnya menjadi sebuah karya ilmiah (skripsi) yang berjudul sebagai
berikut : “Hukum Adat Betawi yang Menggunakan Roti Buaya dalam Seserahan
21 Iqbal1, “Ilmu Fiqh”, artikel diakses pada 27 Febuari 2015 dari
Pernikahan Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus di Kampung Pisangan
Kelurahan Ragunan Kecamatan Pasar Minggu Kotamadya Jakarta Selatan)”.
B. Pembatasan dan PerumusanMasalah
1. Pembatasan Masalah
Agar dalam pembahasan skripsi ini tidak melebar dan tetap fokus, maka
dalam penulisan ini penulis ingin membatasi masalah yang akan dibahas oleh
penulis, yakni seputar pengertian „urf, pandangan Ulama dan status hukum adat
Betawi dalam konteks pernikahan yang menggunakan roti buaya dalam
seserahannya.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka penulis merumuskan
masalahnya sebagai berikut :
a. Bagaimana perkembangan „urf atau adat dari zaman nabi sampai
sekarang?
b. Bagaimana pandangan Ulama tentang „urf atau adat ?
c. Bagaimana status hukum adat Betawi yang menggunakan Roti Buaya
dalam seserahan pernikahan ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dari latar belakang dan perumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka
dapat diakui bahwa :
1. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian yang dilakukan tentu harus mempunyai tujuan dan
11
penelitian, penulis berpegang pada masalah yang telah dirumuskan. Adapun
tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui perkembangan „urf atau adat dari zaman nabi sampai
sekarang.
b. Untuk mengetahui pandangan Ulama yang berkaitan dengan „urf atau adat.
c. Untuk mengetahui status hukum adat Betawi yang menggunakan Roti
Buaya dalam seserahan pernikahan.
2. Manfaat Penelitian
Selain tujuan penulisan di atas penelitian diharapkan juga dengan memberi
manfaat antara lain:
a. Manfaat Akademis
1) Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang didapat dalam
perkuliahan dan membandingkannya dengan praktek di lapangan.
2) Sebagai wahana untuk mengembangkan wacana dan pemikiran bagi
peneliti.
3) Menambah literatur atau bahan-bahan informasi ilmiah yang dapat
digunakan untuk melakukan kajian dan penelitian selanjutnya.
b. Manfaat Praktis
1) Memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum fikih.
2) Untuk memberikan masukan dan informasi bagi masyarakat luas
tentang status hukum adat Betawi yang menggunakan roti buaya
3) Hasil penelitian ini sebagai bahan ilmu pengetahuan dan wawasan
bagi penulis, khususnya bidang hukum fikih.
D. Review Studi Terdahulu
Untuk menghindari penelitian dengan objek yang sama, maka diperlukan
kajian terdahulu. Berdasarkan pengamatan dan pengkajian yang telah dilakukan
terhadap beberapa sumber kepustakaan terkait dengan permasalahan yang dibahas
dalam penulisan skripsi ini, maka penulis lebih memfokuskan masalah hukum
adat Betawi yang menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan.
Sedangkan skripsi yang terkait dengan permasalahan yang akan dibahas yaitu:
NO. NAMA/ NIM JUDUL PEMBAHASAN
1. Muhasim/
204044103048
Tradisi Kudangan
Perkawinan Betawi
Dalam Perspektif
Hukum Islam (Studi
Kasus Kelurahan
Benda Baru
Kecamatan
Pamulang)
Penulis membahas tentang
tradisi perkawinan adat
Betawi yang dimana ada
tradisi kudangan yaitu
permintaan pihak
perempuan yang
bersumber dari orang tua
dimana ketika masih kecil
meminta sesuatu kepada
orang tuanya tetapi tidak
dapat memenuhinya maka
permintaan tersebut
13
yang harus dipenuhi oleh
pihak laki-laki yang akan
menikahi perempuan
tersebut.
2. M. Irfan
Juliansah/
104043101283
Tata Cara Khitbah
dan Walimah pada
Masyarakat Betawi
Kembangan Utara
Jakarta Barat
Menurut Hukum
Islam
Penulis ini lebih
memfokuskan
pembahasannya kepada
masalah khitbah, walimah,
dan biaya pernikahan
dalam pandangan Imam
mazhab dengan
menemukan deskripsi
yang shahih dan valid
mengenai konsep Islam
dalam mengatur tentang
proses dan tata cara
pelaksanaan pernikahan
yang sesuai dengan
tuntunan yang telah
diberikan oleh Allah dan
Rasul-Nya, serta terhindar
dari campur tangan dan
3. Andy Pathoni Tinjauan Hukum
Islam Terhadap
Tradisi Khutbah
Penyerahan dan
Khutbah Penerimaan
dalam Perkawinan
Adat Betawi (Studi
Kasus di Setu
Babakan Kelurahan
Srengseng Sawah)
Penulis ini
mengetengahkan sebuah
tradisi dari perkawinan
adat Betawi khususnya
daerah kelurahan
Srengseng Sawah dalam
hal melaksanakan
sambutan khutbah
membawa uang belanja
dan khutbah menerima
uang belanja.
Masih ada beberapa skripsi yang menjelaskan tentang pernikahan adat
betawi. Salah satunya yang sudah disebutkan di atas. Namun skripsi tersebut tidak
ada hubungannya dengan skripsi penulis, dan tidak menjelaskan pandangan
Hukum Islam mengenai adat Betawi yang menggunakan Roti Buaya dalam
seserahan pernikahan, sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dengan mengambil judul Hukum Adat Betawi yang Menggunakan Roti Buaya
dalam Seserahan Pernikahan Perspektif Hukum Islam.
E. Metode Penelitian dan Tekhnik Penulisan
1. Metode Pendekatan
Penelitian dengan pendekatan kualitatif menekankan analisis proses dari
15
antarfenomena yang diamati, dan senantiasa menggunakan logika ilmiah.
Penelitian kualitatif bertujuan megembangkan konsep sensitivitas pada masalah
yang dihadapi, menerangkan realitas yang berkaitan dengan penelusuran teori dari
bawah (grounded theory) dan mengembangkan pemahaman akan satu atau lebih
dari fenomena yang dihadapi. Penelitian kualitaif merupakan sebuah metode
penelitian yang digunakan dalam mengungkapkan permasalahan dalam kehidupan
kerja organisasi pemerintah, swasta, kemasyarakatan, kepemudaan, perempuan,
olah raga, seni dan budaya, sehingga dapat dijadikan suatu kebijakan untuk
dilaksanakan demi kesejahteraan bersama.22
Penelitian kualitatif adalah deskriptif. Data yang dikumpulkan lebih
mengambil bentuk kata-kata atau gambar daripada angaka-angka. Hasil penelitan
tertulis berisi kutipan-kutipan dari data untuk mengilustrasikan dan menyediakan
bukti presentasi.23
2. Metode Penelitian
Landasan berpikir dalam penelitian kualitatif adalah pemikiran Max
Weber yang menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi bukan gejala-gejala
sosial, tetapi pada makna-makna yang terdapat di balik tindakan-tindakan
perorangan yang mendorong terwujudnya gejala-gejala sosial tersebut.
Gejala-gejala sosial dan budaya dianalisis dengan menggunakan
kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran
22
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitaif Teori dan Praktek, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013), cet. 1, h. 80.
23
mengenai pola-pola yang berlaku, dan pola-pola yang ditemukan tadi dianalisis
lagi dengan menggunakan teori yang objektif.24
3. Objek Penelitian
Yang menjadi objek penelitian ini adalah masyarakat Kampung Pisangan
Kelurahan Ragunan Kecamatan Pasar Minggu Kotamadya Jakarta Selatan, serta
buku-buku, litaratur-liteartur, dan kitab-kitab lainnya yang ada relevansinya
dengan judul skripsi ini.
4. Jenis Data
a. Data Primer
Data primer yang digunakan sebagai acuan dalam menyusun skripsi ini
adalah wawancara secara langsung dengan masyarakat yang menggunakanroti
buaya yang menjadikan salah satu bagian seserahan dalam perkawinannya yang
diberikan dari pihak laki-laki ke pihak perempuan.
b. Data Sekunder
Al-Qur‟an dan al-Hadits, serta buku-buku lainnya yang dapat mendukung
terselesaikannya skripsi ini.
5. Tekhnik Pengumpulan Data
Tekhnik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis
dalam penelitian, karena tujuan dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa
mengetahui tekhnik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan
24
17
data yang memenuhi standar data yang ditetapkan.25 Dalam hal ini peneliti
menggunakan tekhnik pengumpulan data diantaranya yaitu:
a. Studi Wawancara
Wawancara (interview) adalah pengumpulan data dengan mengajukan
pertanyaan secara langsung oleh pewawancara (pengumpulan data) kepada
responden, dan jawaban-jawaban responden dicatat atau direkam dengan alat
perekam.26 Dari berbagai sumber data yang penulis catat, penulis menghubungkan
satu data dengan data yang lainnya untuk dikontruksikan, sehingga menghasilkan
pola makna tertentu. Data yang masih diragukan penulis tanyakan kembali kepada
sumber data lama atau yang baru agar memperoleh ketuntasan dan kepastian.
b. Studi Dokumentasi
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa
berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.27 Dalam
studi ini peneliti mengumpulkan buku harian, surat pribadi, laporan dan dokumen
lainnya dari kemudian peneliti menelaah dan meneliti kembali data-data tersebut
sehingga dapat dituangkan ke dalam skripsi ini.
6. Metode Analisis Data
Jika data telah terkumpul, dilakukan analisa data secara kualitatif dengan
menggunakan instrument analisis induktif yaitu berangkat dari pengetahuan atau
25
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D, (Bandung: CV. Alfabeta, 2007), h. 224.
26
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial “Suatu Tehnik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya”. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), Cet: 8, h. 67-68.
27
fakta yang bersifat khusus untuk mencapai kesimpulan umum. Metode ini
digunakan dalam menjelaskan pendapat-pendapat hukum Islam (al-Qur‟an dan al
-Hadits) dan juga para pendapat Ulama kemudian pendapat tersebut
dikomperasikan dengan motifasi serta alasan masyarakat setempat, kemudian
menarik kesimpulan umum dari pendapat-pendapat itu. Sedangkan komperatif
yaitu menganalisis data yang berbeda ataupun yang sama dengan jalan
membandingkan untuk mengetahui permasalahan perbedaan dan persamaan serta
faktor yang melatar belakanginya.
7. Tekhnik Penulisan
Adapun Teknik penulisan dan penyusunan skripsi berpedoman pada
Prinsip-prinsip yang telah diatur dan di bukukan dalam buku pedoman penulisan
skiripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2012.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penyusunan skripsi ini, penulisan membaginya kepada
lima bab, yang garis besarnya penulis gambarkan sebagai berikut :
BAB I: PENDAHULUAN
Bab ini merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penilitian,
metode penelitian dan sistematika penulisan. Dengan berangkat
dari pendahuluan kita sudah mengetahui garis besar penelitian bab
19
seluruhnya tertuang dalam bab II, III, IV. Inti dari penelitian
seluruhnya tertuang dalam bab V, berisi kesimpulan dan saran.
BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG ‘URF
Bab ini merupakan kajian teori tentang „urf, dengan menelusuri
berbagai kepustakaan mengenai „urf. Kajian teori ini dimaksudkan
untuk menjadi pisau bedah dan analisis terhadap data-data hasil
penelitian. Kajian ini meliputi pengertian „urf dalam Islam,
pembagian „urf dalam Islam, dalil-dalil mengenai „urf,
syarat-syarat „urf dalam Islam, pandangan ulama mengenai „urf, serta
contoh-contoh „urf yang bersifat kontemporer.
BAB III: PRAKTEK DAN KECENDERUNGAN ADAT BETAWI
YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM
SESERAHAN PERNIKAHAN DI KALANGAN
MASYARAKAT
Bab ini merupakan pembahasan tentang sejarah munculnya adat
Betawi yang menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan,
dengan menjelaskan beberapa argumentasi dan dasar pemikiran
masyarakat yang mempraktekan adat tersebut di lingkungannya,
serta mekanisme adat Betawi yang menggunakan roti buaya dalam
seserahan pernikahan.
Bab ini merupakan bagian analisis yang penulis lakukan terhadap
topik inti skripsi dengan menggunakan kajian bab II sebagai
deskripsi teoritik tentang „urf dan bab III sebagai variabel lain yang
menjadi setting di mana analisis ini dilakukan. Dari analisis tersebut
kemudian akan diambil beberapa kesimpulan. Atas dasar itu, bab ini
mencoba menguraikan bagaimana pendapat dan kritikan ulama
mengenai adat Betawi dalam menggunakan roti buaya dalam
seserahan pernikahannya yang terjadi di kalangan masyarakat dan
status hukumnya.
BAB V: PENUTUP
Bab ini sebagai akhir dari karya ilmiah ini, yang memuat hasil
akhir atas kajian-kajian yang telah dilakukan dalam bentuk:
21 BAB II
TINJAUAN UMUM ‘URF A. Pengertian al-‘urf
Dari segi kebahasan (etimologi) al-„urf berasal dari kata yang terdiri dari
huruf „ain, ra’, dan fa’ yang berarti kenal. Dari kata ini muncul kata ma‟rifah
(yang dikenal), ta’rif (definsi), kata ma’ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan
kata „urf (kebiasaan yang baik).
Adapun dari segi terminologi, kata „urf mengandung makna:
اخ ئ عم ع ق ا طا ف اع فل ا , ب عاش عف م عا اس سا لا د ا عاام
عامس ع غ دا ال ةغ لاام فلا ا
1Artinya : Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang popular di antara mereka, ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain.
Kata „urf dalam pengertian terminologi sama dengan istilah al-„adah
(kebiasaan), yaitu:
م س ف لا ف ساام
لاب ةم لا عا طا
علا ة ج
2
Artinya : Sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapatnya diterima oleh akal yang sehat dan watak yang benar.
Kata al-„adah itu sendiri, disebut demikian karena ia dilakukan secara
berulang-ulang, sehingga menjadi kebiasaan masyarakat.
1
Abdul Wahab Kholaf, Ushul Fiqh, (t.t: Daar Arosyid, t.th), h.77.
2
Dari penjelasan di atas dapat dipahami, al-„urf atau al-„adah terdiri atas
dua bentuk yaitu, al-„urf al-qauli (kebiasaan dalam bentuk perkataan) dan al-„urf
al-fi’li (kebiasaan dalam bentuk perbuatan). „Urf dalam bentuk perbuatan,
misalnya, transaksi jual beli barang kebutuhan sehari-hari di pasar, tanpa
mengucapkan lafal ijab dan qabul. Demikian juga membagi mahar menjadi
“hantaran” dan “mas kawin”. Sedangkan contoh „urf dalam bentuk perkataan,
misalnya, kalimat “engkau saya kembalikan kepada orang tuamu” dalam
masyarakat Islam Indonesia, mengandung arti talak.3
Secara etimologi, „urf berarti “yang baik”. Para Ulama ushul fiqh
membedakan antara adat dengan „urf dalam membahas kedudukannya sebagai
salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Adat didefinisikan dengan:
ة عةقا ع غ م ك ملا ماا
4Artinya : Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan nasional.5
Kata „urf yang dalam bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan adat
kebiasaan, namun para Ulama membahas kedua kata ini dengan panjang lebar
yang kesimpulannya adalah sebagai berikut:
Al-„urf adalah sesuatu yang diterima oleh tabiat dan akal sehat manusia.
Demikianlah yang dikatakan oleh Imam Al Jurjani dalam At Ta‟rifat hal: 154,
kemudian beliau berkata: “Begitu jugalah makna al-„adah.”
3
Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), cet. 2, h. 209.
4
Ibnu Amir Hajj, at-Taqrir wa at-Tahbir, (Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyah, 1983 M), cet. 3, h. 282.
5Ma‟ruf Amin,
23
Meskipun arti kedua kata ini agak berbeda namun kalau kita lihat dengan
jeli maka sebenarnya keduanya adalah dua kalimat yang apabila bergabung maka
artinya berbeda namun apabila berpisah maka artinya sama, mirip dengan kata
Islam dengan iman.6
Definisi ini menunjukan bahwa apabila suatu perbuatan dilakukan secara
berulang-ulang menurut hukum akal, tidak dinamakan adat. Definisi ini juga
menunjukan bahwa adat itu mencakup persoalan yang amat luas, yang
menyangkut permasalahan pribadi, seperti kebiasaan seseorang dalam tidur,
makan, dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu, atau permasalahan yang
menyangkut orang banyak, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran
yang baik dan yang buruk. Adat juga bisa muncul dari sebab alami, seperti
cepatnya seorang anak menjadi baligh di daerah tropis atau cepatnya tanaman
berbuah di daerah tropis, dan untuk daerah dingin terjadi kelambatan seseotang
menjadi baligh dan kelambatan tanaman berbuah. Di samping itu, adat juga bisa
muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak, seperti korupsi, sebagaimana adat
juga bisa muncul dari kasus-kasus tertentu, seperti perubahan budaya suatu daerah
disebabkan pengaruh budaya asing.
Adapun menurut Ulama Ushul Fikih, „urf adalah:
عف ا ق ف ق مج ةداع
7Artinya : Kebiasaan mayoritas kaum, baik dalam perkataan maupun perbuatan.
6
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaedah-Kaedah Praktis Memahami FIqih Islami, (Pustaka Al Furqon, 2009), cet. 1, h. 104.
7
Berdasarkan definisi ini, Mushthafa Ahmad al-Zarqa, mengatakan bahwa
‘urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari ‘urf. Suatu ‘urf
menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan pada
pribadi atau kelompok tertentu dan ‘urf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana
yang berlaku dalam kebanyakan adat.8
Tentang berapa kali suatu perbuatan harus dilakukan untuk sampai disebut
adat, tidak ada ukurannya dan banyak bergantung pada bentuk perbuatan yang
dilakukan tersebut. Hal ini secara panjang lebar dijelaskan Asyab wa
al-Nazhair.
Kata „urf pengertiannya tidak melihat arti segi berulang kalinya suatu
perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama
dikenal dan diakui oleh orang banyak. Adanya dua sudut pandang berbeda ini
(dari sudut berulang kali, dan dari sudut dikenal) yang menyebabkan timbulnya
dua nama tersebut. Dalam hal ini sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsip
karena dua kata itu pengertiannya sama, yaitu: suatu perbuatan yang telah
berulang-ulang dilakukan menjadi dikenal dan diakui orang banyak; sebaliknya
karena perbuatan itu sudah dikenal dan diakui orang banyak, maka perbuatan itu
dilakukan orang secara berulang kali. Dengan demikian meskipun dua kata
tersebut dapat dibedakan tetapi perbedaannya tidak berarti.
Perbedaan antara kedua kata ini, juga dapat dilihat dari segi kandugan
artinya, yaitu: adat hanya memandang dari segi berulang kalinya suatu pebuatan
dilakukan dan tidak meliputi penilaian mengenaisegi baik dan buruknya perbuatan
8Ma‟ruf Amin
25
tersebut. Jadi kata adat ini berkonotasi netral, sehingga ada adat yang baik dan ada
adat yang buruk. Definisi tentang adat yang dirumuskan Muhammad Abu Zahrah
dalam bukunya Ushul al-Fiqh cenderung ke arah pengertian ini, yaitu:
م
عاا
ا
لا
سا
م
م
ع
ما
ا
سا
ما
ع
ا
م
9Artinya : Apa-apa yang dibiasakan oleh manusia dalam pergaulannya dan telah mantap dalam urusan-urusannya.
Kalau kata adat mengandung konotasi netral, maka „urf tidak demikian
halya. Kata „urf digunakan dengan memandang pada kualitas perbuatan yang
dilakukan, yaitu diakui, diketahui, dan diterima oleh orang banyak. Dengan
demikian, kata „urf itu mengandung konotasi baik.10
Dari adanya ketentuan bahwa „urf atau adat itu adalah sesuatu yang harus
telah dikenali, diakui, dan diterima oleh orang banyak, melihat ada kemiripannya
dengan ijma’. Namun antara keduanya mendapat beberapa perbedaan yang di
antaranya adalah sebagai berikut:
1. Dari segi ruang lingkupnya, ijma’harus diakui dan diterima smua pihak. Bila
ada sejumlah kecil saja pihak yang tidak setuju, maka ijma’ tidak tercapai.
(Hanya sebagian kecil ulama yang mengatakan bahwa ijma‟ yang tidak
diterima oleh beberapa orang saja, tidak mempengaruhi kesahihan suatu
ijma’). Sedangkan „urf atau adat sudah dapat tercapai bila ia telah dilakukan
dan dikenal oleh sebagian besar orang dan tidak mesti dilakukan oleh semua
orang.
9
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Beirut; Dar al Fikr al „araby, 1958).
10
2. Ijma’ adalah kesepakatan (penerimaan) di antara orang-orang tertentu, yaitu
para mujtahid, dan yang bukan mujtahid tidak diperhitungkan kesepakatan
atau penolakannya. Sedangkan „urf atau adat terbentuk bila yang
melakukannya secara berulang-ulang atau yang mengakui dan menerimanya
adalah seluruh lapisan manusia, baik mujatahid atau bukan.
3. Adat atau „urf itu meskipun telah terbiasa diamalkan oleh seluruh umat
Islam, namun ia dapat mengalami perubahan karena berubahnya
orang-orang yang menjadi bagian dari umat itu. Sedangkan ijma’ (menurut
pendapat kebanyakan ulama) tidak mengalami perubahan sesekali
ditetapkan, ia tetap berlaku sampai ke generasi berikutnya yang datang
kemudian.11
Adapun tentang pemakaiannya, „urf adalah sesuatu yang sudah menjadi
kebiasaan di kalangan ahli ijtihad atau bukan ahli ijtihad, baik yang berbentuk
kata-kata atau perbuatan. Dan sesuatu hukum yang ditetapkan atas dasar „urf
dapat berubah karena kemungkinan adanya perubahan „urf itu sendiri atau
perubahan tempat, zaman, dan sebagainya. Sebagian mendasarkan asal itu pada
kenyataan bahwa, Imam Syafi‟i ketika di Irak mempunyai pendapat-pendapat
yang berlainan dengan pendapat beliau sendiri setelah pindah ke Mesir. Di
kalangan ulama, pendapat Imam Syafi‟i ketika di Irak disebut qaulQadim, sedang
pendapat di Mesir adalah qaulJadid.
Adapun alasan para ulama yang memakai „urf dalam menentukan hukum
antara lain:
11
27
1. Banyak hukum syariat, yang ternyata sebelumnya telah merupakan
kebiasaan orang Arab, seperti adanya wali dalam pernikahan dan susunan
keluarga dalam pembagian waris.
2. Banyak kebiasaan orang Arab, baik berbentuk lafaz maupun perbuatan,
ternyata dijadikan pedoman sampai sekarang.12
B. Pembagian al-‘urf
Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan, „urf dapat dibagi dua
macam, yaitu:
1. „Urf qauli
Yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan.
Kata waladun secara etimologi artinya “anak” yang digunakan untuk anak laki
-laki atau perempuan. Berlakunya kata tersebut untuk perempuan karena tidak
ditemukannya kata ini khusus untuk perempuan dengan tanda perempuan
(mu’annats). Penggunaan kata walad itu untuk laki-laki dan perempuan,
(mengenai waris/ harta pustaka) berlaku juga dalam Al-Qur‟an, seperti dalam
surat an-Nisa‟ (4): 11-12, seluruh kata walad dalam kedua ayat tersebut yang
disebutkan secara berulang kali, berlaku untuk anak laki-laki dan anak
perempuan.
Dalam kebiasaan sehari-hari (‘urf) orang Arab, kata walad itu digunakan
hanya untuk anak laki-laki dan tidak untuk anak perempuan, sehingga dalam
12
memahami kata walad kadang digunakan ‘urf qauli tersebut. Umpamanya dalam
memahami kata walad pada surat an-Nisa‟ (4): 176:
فْ ن ا لف تْخأ هلو دلو هل سْيل كله ا ْما إ لاكْلا يف ْمكيتْفي ها لق كنوتْفتْسي
َ تام
امم اّلّلا ام لف ْيتنْثا اتناك إف دلو ا ل كي ْمل إ ث ي وهو
ًااجر ًوْخإ اوناك إو َ ت
ميلع ءْ ش لكب هاو اولضت أ ْمكل ها ي ي ْييّنأْا ّح لّْم كّللف ًء سنو
Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika
seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan. Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal …
Melalui penggunaan bukan „urf qauli, kata kalalah dalam ayat tersebut
diartikan sebagai “orang yang tidak meninggalkan anak laki-laki”. Dalam hal ini
(dengan pemahaman „urf qaula), anak laki-laki dapat meng-hijab saudara-saudara
sedangkan anak perempuan tidak dapat.
Kata lahm artinya adalah “daging”, baik daging sapi, ikan, atau hewan
lainnya. Pengertian umum lahmun yang juga mencakup daging ikan ini terdapat
dalam Al-Qur‟an, surat an-Nahl (16); 14:
ً يْلح هْنم اوج ّْتْستو اًي ط اًمْحل هْنم اولكْتل ْح ْلا ّس ّلا وهو
كْلفْلا تو ا نوس ْلت
و كْشت ْمكلعلو هلْضف م اوغتْتلو هيف خاوم
Artinya : Allah yang memudahkan laut untukmu supaya kamu dapat
memakan ikannya yang segar…
Namun dalam adat kebiasaan berbahasa sehari-hari di kalangan orang
Arab, kata lahmun itu tidak digunakan untuk “ikan”. Karena itu, jika seseorang
29
kemudian ia memakan daging ikan, maka menurut adat masyarakat Arab, orang
tersebut tidak melanggat sumpah.
2. „Urf fi’li
Yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Umpamanya, kebiasaan
jual beli barang-barang yang enteng (murah dan kurang begitu bernilai) transaksi
antara penjual dan pembeli cukup hanya menujukan barang serta serah terima dan
uang tanpa ucapan transaksi (akad) apa-apa. Hal ini tidak menyalahi aturan akad
dalam jual beli, kebiasaan saling mengambil rokok di antara sesama teman tanpa
adanya ucapan meminta dan memberi, tidak dianggap mencuri.13
Ditinjau dari segi jangkauannya, „urf dapat dibagi dua macam, yaitu:
1. Al-‘Urf al-Amm
Yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi, sebagian besar
masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas. Misalnya, membayar ongkos
kendaraan umum dengan harga tertentu, tanpa perincian jauh atau dekatnya jarak
yang ditempuh, dan hanya dibatasi oleh jarak tempuh maksimum. Demikian juga,
membayar sewa penggunaan tempat pemandian umum dengan harga tiket masuk
tertentu, tanpa membatasi fasilitas dan jumlah air yang digunakan, kecuali hanya
membatasi pemakaian dari segi waktunya saja.
2. Al-‘Urf al-Khash
Yaitu adat kebiasaan yang berlaku secara khusus pada suatu masyarakat
tertentu, atau wilayah tertentu saja. Misalnya, kebiasaan masyarakat Jambi
13
menyebut kalimat “satu tumbuk tanah”, untuk menunjuk pengertian luas tanah 10
x 10 meter.
Demikian juga kebiasaan masyarakat tertentu yang menjadikan kuintansi
sebagai alat bukti pembayaran yang sah, meskipun tanpa disertai dengan dua
orang saksi.
Selanjutnya ditinjau dari segi keabsahannya, „urf dapat pula dibagi
menjadi dua macam, yaitu:
1. Al-‘Urf ash-Shahihah(„Urf yang Absah)
Yaitu adat kebiasaan masyarakat yang sesuai dan tidak bertentangan
dengan aturan-aturan hukum Islam. Dengan kata lain, „urf yang tidak mengubah
ketentuan yang haram menjadi halal, atau sebaliknya, mengubah ketentuan halal
menjadi haram. Misalnya, kebiasaan yang terdapat dalam suatu masyarakat,
hadiah (hantaran) yang diberikan kepada pihak wanita ketika peminangan, tidak
dikembalikan kepada pihak laki, jika peminangan dibatalkan oleh pihak
laki-laki. Sebaliknya, jika yang membatalkan peminangan adalah pihak wanita, maka
“hantaran” yang diberikan kepada wanita yang dipinang dikembalikan dua kali
lipat jumlahya kepada pihak laki-laki yang meminang.
Demikian juga, dalam jual beli dengan cara pemesanan (inden), pihak
pemesan memberi uang muka atau panjar atas barang yang dipesannya.14
2. Al-‘Urf al-Fasidah(„Urf yang Rusak/ Salah)
Yaitu adat yang berlaku di suatu tempat meskipun merata pelaksanaannya,
namun bertentangan dengan agama, undang-undang negara dan sopan santun.
14
31
Umpamanya berjudi untuk merayakan suatu peristiwa, pesta dengan
menghidangkan minuman haram, membunuh anak perempuan yang baru lahir,
kumpul kebo (hidup bersama tanpa nikah).15
Adapun yang berkaitan dengan mu‟amalah perdata adalah kebiasaan yang
berlaku di kalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti peminjaman uang
antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta rupiah dalam
tempo satu bulan, harus dibayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo,
dengan perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungan yang diraih
peminjam, penambahan utang sebesar 10% tidaklah memberatkan, karena
keuntungan yang diraih dari sepuluh juta rupiah tersebut mungkin melebihi
bunganya yang 10%. Akan tetapi, praktik seperti ini bukanlah kebiasaan yang
bersifat tolong-menolong dalam pandangan syara‟, karena pertukaran barang
sejenis, menurut syara‟ tidak boleh saling melebihkan (HR. al-Bukhari, Muslim,
dan Ahmad Ibn Hanbal), dan praktik seperti ini adalah praktik peminjaman yang
berlaku di zaman Jahiliyah, yang dikenal dengan sebutan riba al-nasi‟ah (riba
yang muncul dari hutang-piutang). Oleh sebab itu, kebiasaan seperti ini, menurut
Ulama Ushul Fikih, termasuk dalam kategori al-‘urf al-fasid.
Contoh lain adalah dalam “penyuapan”. Untuk memenangkan perkaranya,
seseorang menyerahkan sejumlah uang kepada hakim, atau untuk kelancaran
urusan yang dilakukan seseorang, ia memberikan sejumlah uang kepada orang
yang menangani urusannya. Hal ini juga termasuk al-‘urf al-fasid.16
15
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 5, h. 392.
16Ma‟ruf Amin,
C. Kedudukan ‘Urf dalam Menetapkan Hukum
Di dalam fikih Islam banyak terdapat hukum yang dibina atas dasar „urf
yang terjadi dimasa para Imam. Perbedaan „urf antara beberapa negeri menjadi
sebab terjadinya perbedaan fuqaha terdahulu, sebagaimana halnya perubahan „urf
menurut perjalanan waktu menjadi sebab pula terjadinya perbedaan pendapat
ulama yang datang kemudian dengan pendapat ulama pendahulunya.
Dalam hubungan ini, mereka mengatakan bahwa perubahan dan perbedaan
itu adalah perubahan masa dan tempat, bukan perubahan hujjah dan dalil.17
Seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum, menurut Imam
al-Qarafi (w. 684 H/ 1285 M), harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan yang berlaku
dalam masyarakat setempat, sehingga hukum yang ditetapkan itu tidak
bertentangan atau menghilangkan kemaslahatan yang menyangkut masyarakat
tersebut. Seluruh Ulama mazhab, menurut Imam al-Syathibi (w. 790 H), dan
Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah (691-751 H/ 1292-1350 M), menerima dan
menjadikan „urfsebagai dalil syara‟ dalam menetapkan hukum, apabila tidak ada
nash yang menjelaskan hukum suatu masalah yang dihadapi. Misalnya, seseorang
yang menggunakan jasa pemandian umum dengan harga tertentu, padahal
lamanya ia dalam kamar mandi itu dan berapa jumlah air yang terpakai tidak jelas.
Sesuai dengan ketentuan umum syari‟at Islam dalam suatu akad, kedua hal ini
harus jelas. Akan tetapi, perbuatan seperti ini telah berlaku luas di tengah-tengah
masyarakat, sehingga seluruh Ulama mazhab menanggapi sah akad ini. Alasan
mereka adalah ‘urf ‘amali yang berlaku.
17
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya,
33
Para Ulama juga sepakat menyatakan bahwa ketika ayat-ayat al-Qur‟an
diturunkan, banyak sekali ayat-ayat yang mengukuhkan kebiasaan yang terdapat
ditengah-tengah masyarakat. Misalnya, kebolehan jual beli yang sudah ada
sebelum Islam. Hadits-hadits Rasulullah saw. Juga banyak sekali yang mengakui
eksistensi „urf yang berlaku di tengah masyarakat, seperti hadits yang berkaitan
dengan jual beli pesanan (salm). Dalam sebuah riwayat dari Ibn „Abbas dikatakan
bahwa ketika Rasulullah saw. Hjrah ke Madinah, beliau melihat penduduk
setempat melakukan jual beli (salm) tersebut. Lalu Rasulullah saw. Bersabda:
م
عم جا لا عم
عم ف ف ف م ف ف س ا
Artinya : Siapa yang melakukan jual beli salam pada kurma, maka hendaklah ditentukan jumlahnya, takarannya, dan tenggang waktunya. (HR. al-Bukhari)18
Tidak diperselisihkan di kalangan fuqaha bahwa ‘urf yang shahih dapat
dijadikan dasar pertimbangan. Fuqaha dari mazhab yang berbeda
memperhatikannya dalam istinbath, saat menerapkan hukum, dan ketika menafsiri
teks-teks akad.
Dasar dipertimbangkannya „urf ini kembali kepada prinsip menjaga
kemaslahatan manusia dan menghilangkan kesulitan. Melalui hukum-hukumnya,
syari‟at memperhatikan hal ini. Islam mengakui adat yang benar yang ada di
kalangan bangsa Arab Jahiliyah, seperti kewajiban diyat, dan sebagian mu‟amalah
lain seperti mudharabah dan syirkah. Sebagian ulama memberikan dalil atas
kehujjahan „urf dengan sebuah riwayat dari Nabi shallallahu „alaihi wasallam,
bahwa apa yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik pula di sisi Allah.
18Ma‟ruf Amin,
Bagaimana pun juga,’urf adalah hujjah syari‟at dan sumber fikih yang darinya
hukum-hukum digali. Para mujtahid, mufti, dan qadhi harus memperhatikannya.19
Kita dapat menemukan kemaslahatn yang telah ditetapkan oleh syari‟ah
agama, bahwa kemaslahatan tidak berada pada satu peringkat. Tetapi ia
bertingkat-tingkat, sebagaimana peringkat utama yang telah ditetapkan oleh para
ahli ushul fikih. Mereka membagai kemaslahatan itu menjadi tiga tingkatan
dengan urutan sebagai berikut: dharuriyyat, hajjiyat, dan tahsinat.20
Adapun beberapa argumentasi yang menjadi alasan para ulama berhujjah
dengan „urf dan menjadikannya sebagai sumber hukum fiqh, yaitu:
1.
Firman Allah pada surah al-A‟raf (7): 199يلهاجْلا ع ْ
ْعأو فْ عْلاب ْ مْأو وْفعْلا ّخ
Artinya :“Jadilah engkau pemaaf dan perintahkanlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.”
Kata al-‘urf dalam ayat tersebut, di mana umat umat manusia disuruh
mengerjakannya, oleh para Ulama Ushul Fiqh dipahami sebagai sesuatu yang baik
dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu, maka ayat tersebut
dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik
sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.21
2.
Firman Allah pada surah al-Baqarah (2): 233
19
Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’ah Mengenal Syari’ah Islam Lebih
Dalam, (Jakarta: Robbani Press, 2008), cet. 1, h. 260.
20
Yusuf Al Qardhawy, Fiqh Prioritas Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, Penerjamah Bahruddin F, (Jakarta: Robbani Press, 1996), h. 27.
21
35
ا عْسو اإ سْفن فلكت ا فو ْعمْلاب توْسكو قْ ر هل دولْومْلا لعو
.…
Artinya : “…Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf…”
Ayat tersebut tidak menjelaskan berapa kadar nafkah yang harus diberikan
seorang ayah kepada para ibu dari anak-anak. Untuk memastikannya, perlu
merujuk kepada adat kebiasaan yang berlaku dalam satu masyarakat di mana ia
berada. Dalam hal ini adat istiadat membantu seorang mufti untu menjelaskan
pengertian ayat-ayat yang senada dengan itu.22
3.
Firman Allah pada surah al-Baqarah (2): 180
Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) kematian, jika meninggalkan harta yang banyak untuk
ibu bapak dan karib kerabatnya serta ma’ruf.”
4. Sabda Nabi saw kepada Umar bin Khotob ketika ia mengadukan tentang
sebidang tanah yang didapatinya:
Dari Abdullah bin Umar berkata: Umar bin Khothob mendapatkan sebidang tanah di daerah Khoibar, maka beliau mendatangi Rasulullah seraya
berkata: “Saya telah mendapatkan sebidang tanah yang selama ini saya belum
pernah memiliki harta seberharga semacam ini, maka bagaimanakah perintahmu
kepadaku? Maka Rasulullah bersabda: “Jika engkau mau, maka engkau tahan pokoknya lalu engkau shodaqohkan hasilnya.” Maka Umar pun
menshodaqohkannya, namun tanah tersebut tidak boleh dijual, dihibahkan juga
22
tidak boleh diwarisi, hasilnya dishodaqohkan untuk orang-orang faqir, kerabat dekat, budak, mujtahid, tamu dan musafir, tidak mengapa bagi orang yang mengurusinya untuk memakan sedikit hasilnya atau memberi makan pada orang lain secara ma’ruf serta bukan untuk memperkaya diri.” (HR. Bukhori 2772 Muslim 1632)23
5. Sabda Rasulullah yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Abdullah bin Mas‟ud:
،ع م ب محأ بأ ث ح ، ح ب محأ ب ها ع ا ث ، ع لا فعج ب محأ ا خأ
ب كب بأ ا ث :ااق
: اق ها ع ع ، ع ، اع ا ث ، ا ع
د
ا ح م ملا أ ام
ٌ ح لا ع ف
)
Yang menunjukan bahwa hal-hal yang sudah berlaku menurut adat kaum
muslimin dan dipandangnya baik adalah pula baik di sisi Allah.
6. Sabda Nabi saw kepada Hindun isteri Abi Sufyan ketika ia mengadukan
suaminya kepada Nabi bahwa suaminya bakhil member nafkah:
لا ف س ع لا
لا لإ ا فس بأ ةأ ما ءاج : لاق ة ئاع ع
ابأ إ :
ا فس
ا ل ا ف ؟ ل ع ع قف أف ، لام م ب أ أ ٌحا ج ع ف ،ٌح حش ٌ ج
ف ف ا فس بأ ام م خأ أ ع ج ح ال" : س ع لا
لا
ع
ل ع
"ف عملاب
24
Artinya : Dari Aisyah sesungguhnya Hindun binti Utbah berkata: Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang sangat pelit, dia tidak memberikan nafkah yang cukup untukku dan anakku kecuali apa yang ambil saya sendiri tanpa sepengetahuannya, maka Rasulullah bersabda: “Ambillah yang
cukup bagimu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf.”
(Ambil dari harta Abu Sufyan secukup keperluanmu dan anakmu menurut
„urf).
23
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaedah-Kaedah Praktis Memahami FIqih Islami, (t.t: Pustaka Al Furqon, 2009), cet. 1, h. 106.
24
37
Al Qurtuby mengomentari bahwa dalam hadis ini terdapat pengakuan terhadap
„urf dalam penetapan hukum.
7. Dilakukannya kebiasaan manusia terhadap suatu hal menunjukan bahwa
dengan melakukannya, mereka akan memperoleh mashlahat atau terhindar
dari mafsadah.25
Dari berbagai kasus „urf yang dijumpai, para Ulama Ushul Fikih
merumuskan kaidah-kaidah fikih yang berkaitan dengan „urf di antaranya adalah
yang paling mendasar:
1. Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum.
2. Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat.
3. Yang lebih baik itu menjadi „urf sebagimana yang disyaratkan itu menjadi
syarat.
4. Yang ditetapkan melalui „urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash (ayat
dan atau hadits).26
D. Syarat-syarat ‘Urf
Pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan
mengakui adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu tidak
bertentangan dengan al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah. Kedatangan Islam bukan
menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyarakat. Tetapi
secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan.
Misal adat kebiasaan yang diakui, kerja sama dagang dengan cara berbagi untung
25
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya,
(Jakarta: Sinar Grafika: 2007), cet. 3, h. 78.
26Ma‟ruf Amin,
(al-mudharabah). Praktik seperti ini sudah berkembang di kala