• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlu penyuluhan tentang masalah kesehatan hewan dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan di Kampung Adat Pulo.

DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 2009. Pedoman praktis berternak ayam kampung pedaging. 

http://sentralternak.com/index.php/2009/09/10/pedoman-praktis-beternak-ayam-kampung-pedaging/ [9 Oktober 2011]

Baker EW, Canin JH. 1958. Guide to The Families of Mites. America : The Institute of Arcalogy, Departemen Zoology.

Butcher GD, Beck C. 1993. Knemidokiptic mange in pet birds: Scaly face and scaly leg diseases. http://www.feedbarnstore.com/animalscience/ 

vm02200.pdf [21 September 2011]

Cahyono B. 2001. Ayam Buras Pedaging. Jakarta: Penebar Swadaya.

Hadi, UK. 2006. Pengenalan artropoda dan biologi serangga. Di dalam: Sigit SH, Hadi UK, editor. Hama Pemukiman Indonesia: Pengenalan, Biologi, dan Pengendaliannya. Bogor: IPB Pr. Hlm 14-22.

Hadi, UK. 2010. Efikasi bifentrin dan sipermetrin terhadap ektoparasit ayam. Laporan Pengujian Efikasi. Laboratorium Entomologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, FKH IPB, Bogor.

Hadi UK, Soviana S. 2010. Ektoparasit: Pengenalan, Diagnosis, dan Pengendaliannya. Bogor: IPB Pr.

Hien OC, Diarra B, Dabire R, Wangrawa J, Sawadogo L. 2011. Effects of external parasite on the productivity of poultry in the traditional rearing system in the sub-humid zone of Burkina Faso. International Journal of Poultry Science 10 (3): 189-196.

Hungerford TG. 1970. Diseases of Poultry including Cage Birds and Pigeons. Sydney: Angus and Robertson.

Ikpeze OO, Amagba IC, Eneanya CI. 2008. Preliminary survey of ectoparasites in chicken in Awka, South-Eastern Nigeria. Animal Research International 5 (2): 848-851.

Johnson WH, Delanney LE, Williams EC, Cole TA. 1977. Principles of Zoology. Ed ke-2. New York: Holt, Rinehart, and Winston.

Kettle DS. 1984. Medical and Veterinary Entomology. New York: John Wiley & Sons.

Lapage G. 1962. Monning’s Veterinary Helminthology and Entomology. Ed ke-5. Great Britain: Bailliere, Tindall, and Cox.

Mullen GR, Oconnor BM. 2002. Mites (Acari). Di dalam: Mullen GR, Durden L, editor. Medical and Veterinary Entomology. Florida: Academic Pr. Hlm 449-516.

Nurcahyo EM, Widyastuti YE. 2002. Usaha Pembesaran Ayam Kampung Pedaging. Jakarta: Penebar Swadaya.

Pence DB, Cole RA, Bruger KE, Fischer JR. 1999. Epizootic podoknemidokoptiasis in american robins. Journal of Wildlife Diseases 35 (1): 1-7.

Pickworth CL, Morishita TY. 2003. Common external parasites in poultry: Lice and Mites. http://en.engormix.com/MA-poultry-industry/health/article.htm [19 Juni 2011]

Quintero MT, Itza M, Juarez G, Eleno A. 2006. Seasonality of Megninia ginglymura: a one year study in a hen farm in Yucatan, Mexico. Di dalam: Sabelis MW, Bruin J, editor. Trends in Acarology. Proceedings of the 12th International Congress; Amsterdam, 21-26 Agustus 2006. New York: Springer. Hlm 537-538.

Sangvaranond A, Jittapalapong S, Sutasha K, Chimnoi W. 2007. Case report: Cnemidocoptiasis (scaly leg) of paddyfield pipit bird (Anthus rufulus) in Petchaburi Province of Thailand. Kasetsart Veterinarians 17 (2): 91-96. Sarwono B. 2003. Beternak Ayam Buras. Jakarta: Penebar Swadaya.

Schulz TA, Stewart JS, Fowler ME. 1989. Knemidokoptes mutans (Acari: Knemidocoptidae) in a great-horned owl (Bubo virginianus). Journal of Wildlife Diseases 25 (3): 430-432.

Shoker NI, Tawfek NS, Ibrahim MH, Osman ES. 2001. Mites associated with some birds in El-Minia Governorate, Upper Egypt. Egyptyan Journal of Biology 3: 124-136.

Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods, and Protozoa of Domisticated Animals. Ed ke-7. London: The English Language Book Society and Bailliere Tindall.

Stevens L. 1991. Genetics and Evolution of The Domestic Fowl. Cambridge: Cambridge Univ Pr.

Storer TI, Usinger RL, Nybakken JW. 1968. Elements of Zoology. Ed ke-3. New York: McGraw-Hill.

Storer TI, Usinger RL, Nybakken JW, Stebbins RC. 1979. General Zoology. Ed ke-6. New York: McGraw-Hill.

Suprijatna E, Atmomarsono U, Kartasudjana R. 2008. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Jakarta: Penebar Swadaya.

Tabbu CR. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Yogyakarta: Kanisius. Tarwiyah. 2001. Intensifikasi ternak ayam buras.

http://www.warintek.ristek.go.id/peternakan/budidaya/ayam_buras.pdf [20 Juni 2011]

Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary Parasitology. Ed ke-3. Oxford: Blackwell.

Wiranata, IGAB. 2003. Hukum Adat Indonesia, Perkembangannya dari Masa ke Masa. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Zucca P, Delogu M. 2008. Infectious disease, arthropod. Di dalam: Samour J, editor. Avian Medicine. Ed ke-2. Edinburgh: Mosby Elsevier. Hlm 309-317. http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/9/96/Ayam_kampung_jantan.jpg [21 November 2011]                                  

Lampiran 1

Tabel 1 Sistem pemeliharaan ayam kampung oleh masyarakat Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut

No. Nama Pengetahuan Sistem Pemeliharaan Ayam

Σ Ayam (ekor)

Σ Ayam Terinfestasi Kaki Kapur (ekor)

Persentase (%)

Cara Pemeliharaan

1 Bapak Tatang 10 2 20 Dilepas

2 Bapak Umar 10 1 10 Dilepas

3 Ibu Ida 8 2 25 Dilepas

4 Bapak Irman 8 1 12,5 Dikandangkan

5 Bapak Gri 5 1 20 Dilepas

6 - - - - -

Lampiran 2

Tabel 2 Data umur, pendidikan, dan pekerjaan masyarakat Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut

No. Nama Data Responden

Umur Pendidikan Pekerjaan

1 Bapak Tatang 56 th SD Petani

2 Bapak Umar 41 th SD PNS

3 Ibu Ida 53 th SD Ibu Rumah Tangga

4 Bapak Irman 32 th SD Petani

5 Bapak Gri 60 th SD Petani

6 - - - -

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Seiring peningkatan kesejahteraan masyarakat, meningkat pula kebutuhan protein hewani. Sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi masyarakat berasal dari produk unggas, yaitu daging dan telur. Hal ini mengakibatkan permintaan bahan makanan tersebut meningkat dan mendorong masyarakat untuk memelihara ternak unggas. Jenis unggas yang banyak dipelihara oleh masyarakat adalah ayam kampung.

Masyarakat lebih memilih memelihara ayam kampung karena mudah dipelihara secara sederhana. Selain itu, masyarakat memelihara ayam kampung sebagai pekerjaan sampingan sehingga pemeliharaannya tidak mendapatkan perhatian yang serius seperti ayam jenis lainnya. Cara pemeliharaan ayam kampung yang tidak intensif dan sangat sederhana membuat ayam kampung rentan terhadap penyakit. Penyakit yang biasa menyerang ayam kampung selain disebabkan oleh virus dan bakteri juga disebabkan oleh infestasi ektoparasit. Ektoparasit merupakan parasit yang hidup menumpang di luar atau pada permukaan inangnya. Infestasi ektoparasit di permukaan kulit dan di antara bulu dapat menyebabkan iritasi, kegatalan, peradangan, kudisan, miasis, atau berbagai macam bentuk alergi. Dampak yang ditimbulkan jika ayam terinfestasi ektoparasit adalah menurunnya status gizi, turunnya produksi daging dan telur secara drastis (Hadi & Soviana 2010). Hien et al (2011) dalam penelitiannya menyatakan akibat dari infestasi ektoparasit tungau dan kutu adalah meningkatnya tingkat kematian dan menurunnya laju pertumbuhan ayam.

Penyakit yang disebabkan oleh ektoparasit satu di antaranya adalah kaki berkapur. Ayam yang menderita penyakit ini memperlihatkan gejala klinis hiperkeratosis atau keratinisasi sehingga sisik pada kaki ayam menjadi tebal dan tampak putih seperti kapur (Lapage 1962). Kasus penyakit kaki berkapur ini juga pernah dilaporkan terjadi pada beberapa negara di dunia. Pence et al. (1999) melaporkan kejadian kasus kaki berkapur yang terjadi pada burung migrasi (Turdus migratorius) di Amerika Serikat yang disebabkan oleh Knemidokoptes

jamaicensis, sedangkan Shoker et al. (2001) mendapatkan kasus kaki berkapur pada unggas-unggas di Mesir yang disebabkan oleh K. mutans. Ikpeze et al.

(2008) juga menemukan kaki berkapur pada burung di Nigeria yang disebabkan juga oleh K. mutans. Sangvaranond et al. (2007) menemukan kasus knemidokoptiasis pada unggas di Thailand. Schulz et al. (1989) juga melaporkan

K. jamaicensis pada burung hantu Bubo virginianus sebagai penyebab scaly leg. Di Indonesia, sejauh ini kasus kaki berkapur belum banyak dilaporkan. Sedikitnya laporan tentang kejadian kasus kaki berkapur disebabkan oleh kurangnya perhatian masyarakat dan pemerintah (dinas peternakan). Hal ini mungkin disebabkan oleh kerugian ekonomi yang ditimbulkannya tidak terlalu besar. Beberapa saat yang lalu Penulis menemukan kasus kaki berkapur pada ayam di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut. Kampung Adat Pulo merupakan sebuah kampung yang menganut hukum adat yang unik. Jumlah kepala keluarga yang menempati kampung ini hanya sebatas enam kepala keluarga saja. Hukum adat yang berlaku lainnya adalah masyarakat kampung ini tidak diperbolehkan memelihara hewan besar seperti sapi, kerbau, kambing, dan domba. Hewan yang banyak dipelihara oleh masyarakat Kampung Adat Pulo adalah ayam kampung.

Masyarakat di sini memelihara ayam kampung sebagai sumber makanan. Sistem pemeliharaan yang mereka lakukan sangat sederhana. Ayam yang dipelihara oleh mereka tidak diperbolehkan untuk dijual kepada masyarakat lain, sehingga ayam tersebut tidak menyebar keluar dari Kampung Adat Pulo. Mereka juga tidak begitu memperhatikan kesehatan ayam peliharannya. Akibat dari kurangnya perhatian masyarakat, ayam kampung yang dipelihara banyak yang terjangkit penyakit kaki berkapur. Kebijakan mereka untuk tidak menjual ayam mereka kepada masyarakat lain juga menyebabkan kejadian kaki berkapur menyebar secara merata pada ayam pelihara mereka.

Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian untuk mengetahui penyebab kaki berkapur perlu dilakukan. Jika penyebabnya telah diketahui maka dapat dilakukan pengendalian, pencegahan, serta pengobatan secara tepat. Pengendalian

yang tepat dapat meningkatkan kembali kesehatan dan nilai ekonomi ayam kampung.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi penyebab kasus kaki berkapur (scaly leg) pada ayam di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut.

1.3 Manfaat

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi yang bernilai bagi ilmu pengetahuan dan dapat digunakan sebagai dasar untuk melakuan pengendalian terhadap infestasi ektoparasit pada ayam.

                                       

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ayam Kampung

Ayam kampung merupakan hewan vertebrata yang termasuk dalam kelas Aves dengan ordo Galliformes dan spesies Gallus domesticus. Ayam kampung telah berkembang pesat di Indonesia dan telah banyak dipelihara oleh masyarakat Indonesia sebagai pemanfaatan perkarangan, pemenuhan gizi, dan tambahan pendapatan sehingga ayam kampung sangat mudah ditemukan di berbagai tempat. Unggas ini memiliki daya adaptasi yang tinggi sehingga mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi, lingkungan, dan iklim yang ada. Masyarakat pada umumnya memelihara ayam kampung karena sebagai usaha sampingan sehingga pemeliharaan ayam kampung sangat sederhana (Sarwono 1999; Tarwiyah 2001).

Gambar 1 Ayam kampung (sumber: www.wikimedia.org)

Ayam kampung (Gambar 1) telah ada dan didomestikasi sejak lama, bahkan sebelum masehi. Umur yang sangat tua ini membuat nenek moyang ayam kampung melalui proses evolusi yang sangat panjang. Ayam kampung yang dipelihara saat ini bermula dari domestikasi ayam hutan dengan proses yang sangat panjang. Ada dua teori tentang proses domestikasi ayam hutan ini, yaitu teori monophyletic dan teori polyphyletic. Teori monophyletic adalah teori yang digagas oleh Charles Darwin. Menurutnya ayam peliharaan berasal dari satu jenis ayam hutan yang saat ini masih ada, yaitu Gallus gallus, sedangkan menurut teori

polyphyletic, ayam pelihara yang ada sekarang berasal dari beberapa jenis ayam hutan yang saat ini masih ada di berbagai belahan dunia, yaitu Gallus gallus,

Gallus sonneratti, Gallus laffayetti, dan Gallus varius (Stevens 1991; Suprijatna

et al. 2008).

2.2 Morfologi Ayam Kampung

Ayam kampung (G. domesticus) memiliki tubuh yang kecil, produktivitas telur yang rendah, dan pertumbuhan tubuh yang lambat. Suara dan penampilan yang sangat tidak menarik membuat ayam kampung (G. domesticus)tidak dijadikan ayam hias (Nurcahyo & Widyastuti 2002). Ayam ini memiliki warna bulu yang bervariasi dari warna putih, hitam, cokelat, kuning, atau kombinasi warna-warna tersebut. Warna kulit yang dimiliki ayam kampung (G. domesticus) kuning pucat, muka merah, dan kaki yang panjang serta kuat (Cahyono 2001). Kedua kaki pada ayam kampung (G. domesticus) mempunyai dua segmen dan sebuah tulang kering ramping yang hanya terdiri dari tendon serta tumit yang bercakar empat (Storer et al. 1968).

Pada bagian kepala ayam terdapat paruh, jengger, cuping, dan pial. Paruh berasal dari tulang wajah yang mengalami perpanjangan. Paruh bawah pada ayam terbentuk dari lima tulang. Pada paruh atas terdapat dua nostril atau lubang hidung. Jengger berwarna merah karena umumnya pada bagian epidermis kulit ayam terdapat banyak pembuluh darah, sedangkan pial yang merupakan cuping telinga berdaging tebal yang terletak di bawah bagian telinga, warnanya tergantung dari masing-masing bangsa ayam. Kedua organ ini merupakan kulit yang menjulur ke luar (Johnson et al. 1977; Suprijatna et al. 2008). Jengger dan pial sangat istimewa pada ayam dan beberapa jenis burung lainnya. Oleh karena itu jengger dan pial dapat dijadikan indikator karakteristik kelamin sekunder karena sangat sensitif terhadap hormon seks (Storer et al. 1968).

Mata ayam terletak di lateral dan memiliki ukuran besar dengan kelopak mata yang gemuk dan di dalamnya terdapat kelopak ketiga yang transparan, yaitu membran nictitan. Ayam berbeda dengan vertebrata lainnya karena tubuhnya ditutupi oleh bulu. Bulu merupakan bagian epidermal yang fleksibel dengan ruang

hampa udara yang sangat banyak. Keberadaan ruang hampa udara ini menjadi pelengkap dalam menghasilkan bulu kontur yang halus dan melindungi tubuh (Storer et al. 1968).

2.3 Biologi dan Perilaku Ayam Kampung

Ayam kampung mencapai bobot 1,5 kg dalam waktu tiga puluh minggu. Waktu ini lebih lama apabila dibandingkan dengan ayam ras yang hanya memerlukan waktu sampai tujuh minggu (Nurcahyo & Widyastuti 2002). Semua unggas adalah hewan berdarah panas yang mempunyai temperatur 40.5 sampai 42.2 °C pada siang hari dan lebih rendah pada malam hari (Storer et al. 1968). Menurut Suprijatna et al. (2008), temperatur rata-rata dari ayam dewasa adalah sekitar 40.5 sampai 41.6 °C dan day old chick (DOC) memiliki temperatur sekitar 38.8 °C. Temperatur induk ayam yang sedang mengeram lebih rendah dibandingkan induk yang tidak mengeram karena tingkat metabolisme yang rendah.

Ayam mengalami pertumbuhan bulu dan rontok secara alami. Proses rontok bulu ini dinamakan molting. Proses ini berlangsung secara periodik sekitar setahun sekali dan dalam suatu pola pertumbuhan. Bulu baru akan tumbuh pada tempat bulu yang rontok karena pengaruh hormonal (Suprijatna et al. 2008). Ayam kampung merupakan unggas diurnal yang tidur pada malam hari. Hewan diurnal memiliki karakteristik berbeda setiap spesiesnya pada lokasi tidur atau kebiasaan saat tidur, seperti memutar kepalanya ke belakang atau menyembunyikan kepalanya ke bawah sayap. Hal ini membuat paruhnya tetap hangat dan ayam bernafas dengan udara yang hangat (Storer et al. 1968; Storer et al. 1979).

2.4 Ektoparasit pada Ayam

Artropoda merupakan golongan makhluk hidup yang paling besar di dunia. Lebih dari 80% dari seluruh jenis hewan adalah Artropoda, menghuni semua jenis habitat yang ada, baik terrestrial maupun akuatik. Di antara anggota filum Artropoda diketahui ada yang bermanfaat bagi kehidupan manusia dan ada juga yang dapat merugikan kehidupan manusia serta hewan. Kelompok yang terakhir

ini lebih dikenal sebagai ektoparasit. Ektoparasit merupakan parasit yang hidup di luar atau pada permukaan inangnya dengan cara menumpang. Anggota Artropoda yang merupakan kelompok ektoparasit adalah kelas Insekta dan Arachnida. Arachnida dapat menjadi agen penyebab penyakit secara langsung karena mereka dapat mentransmisikan mikroorganisme patogen. Caplak dan tungau merupakan ektoparasit yang termasuk ke dalam kelas Arachnida (Hungerford 1970; Hadi 2006).

2.4.1 Tungau

Lebih dari 250 spesies tungau menjadi masalah bagi kesehatan manusia dan hewan. Masalah yang sering ditimbulkan oleh tungau adalah iritasi pada kulit, dermatitis pada hewan, alergi, penyebar mikroorganisme patogen, inang dari parasit lain, gangguan pada saluran telinga dan pernafasan, akarofobia, dan gangguan psikis (Mullen & Oconnor 2002). Tungau merupakan ektoparasit yang memiliki ukuran tubuh sangat kecil dan hampir tidak kasat mata. Kebanyakan tungau hidup di alam bebas dan hanya beberapa saja yang hidup sebagai ektoparasit (Hadi & Soviana 2011).

Tubuh tungau terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu gnatosoma dan idiosoma. Pada bagian gnatosoma terdapat pedipalpus dan khelisera, sedangkan pada bagian idiosoma terdapat kaki dan mata. Pedipalpus merupakan perangkat sensor bagi tungau. Pedipalpus dilengkapi dengan zat kimia dan sensor taktil yang membantu tungau dalam mencari makanan dan mengenali lingkungannya (Mullen & Oconnor 2002). Mata yang dimiliki tungau hanya satu atau mata tunggal. Kaki pada tungau dewasa berjumlah empat pasang sedangkan larvanya hanya memiliki tiga pasang saja. Tungau bernafas dengan menggunakan stigmata atau lubang pernafasan. Letak stigmata pada tungau berbeda-beda. Tungau subordo Mesostigmata memiliki stigmata yang terletak di antara pasangan kaki ketiga dan keempat, subordo Prostigmata memiliki stigmata yang terletak pada bagian depan tubuh, dan pada subordo Astigmata tidak memiliki stigmata. Tungau Astigmata bernafas dengan menggunakan permukaan tubuhnya yang lembut (Hadi & Soviana 2011).

Secara umum, siklus hidup tungau terdiri atas fase telur, larva, nimfa, dan dewasa. Fase nimfa pada tungau terdiri dalam tiga tahap, yakni protonimfa, deutonimfa, dan tritonimfa. Bergantung dari kelompok taksonominya, satu atau lebih fase dalam siklus hidup tungau dapat tidak terjadi. Hal ini dapat menyebabkan perbedaan dalam bentuk kehidupan tungau. Telur tungau dapat disimpan di luar tubuh induk atau di dalam uterus induk sampai menetas. Perkembangan dari telur hingga dewasa dan jumlah generasi dalam satu tahun sangat beragam untuk menentukan generasi yang berarti (Mullen & Oconnor 2002).

2.4.1.1 Knemidokopes mutans

Knemidokoptes mutans atau scaly-leg mites termasuk ke dalam ordo Acariformes, subordo Astigmata, dan famili Knemidokoptidae. Tungau ini banyak menyerang unggas berumur tua. Betina memiliki ukuran 0.5 mm dan jantan berukuran setengah dari betinanya. K, mutans jantan memiliki kaki yang melebihi tubuhnya (Hungerford 1970). Tungau ini membuat terowongan di bawah sisik kaki ayam sehingga menyebabkan terjadinya kelainan bentuk dari kaki unggas. Rongga yang terbentuk akibat terowongan yang terjadi di dalam lapisan kulit dapat mengakibatkan peradangan proliferatif dan pembentukan keropeng serta sisik. Walaupun infeksi yang parah dapat mengakibatkan kelumpuhan, keberadaan tungau ini jarang menimbulkan masalah pada peternakan ayam komersial (Tabbu 2002). Tungau ini juga menyebabkan iritasi, hiperkeratosis, dan retakan kulit yang melapisi hampir keseluruhan kaki. Infestasi tungau ini dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung (Zucca & Delogu 2008). Konfirmasi diagnosis didapatkan dengan cara melakukan kerokan kulit pada kaki unggas (Taylor et al. 2007).

2.4.1.2 Knemidokoptes gallinae

Knemidokoptes gallinae juga merupakan tungau yang termasuk ordo Acariformes, subordo Astigmata, dan famili Knemidokoptidae, sama dengan K. mutans. Tungau ini memiliki morfologi yang hampir sama dengan K. mutans,

memiliki habitat di sekitar bulu-bulu pada ayam. Bagian yang sering terinfestasi adalah kepala, leher, punggung, abdomen, dan kaki bagian atas pada ayam. Ayam akan terinfestasi jika melakukan kontak langsung dengan unggas penderita (Taylor et al. 2007). Tungau ini biasa menggali dasar tangkai bulu sehingga menyebabkan iritasi yang mengakibatkan ayam suka mematuki bulunya. Akibat dari perilaku ini menyebabkan rontoknya bulu pada ayam. Kerontokan bulu pada ayam dapat mengakibatkan penurunan berat badan dan produksi telur (Tabbu 2002).

2.4.1.3 Ornithonyssus sylvarium

Ornithonyssus sylvarium atau Northern fowl mite merupakan tungau ordo Parasitifomes dengan subordo Mesostigmata dan famili Macronyssidae. Masa hidup O. sylvarium dihabiskan di tubuh inangnya dan tidak dapat bertahan lebih dari sepuluh hari jika jauh dari inangnya. Tungau dengan ukuran 0.75-1 mm ini merupakan tungau penghisap darah. Tungau ini dapat menghisap darah mamalia bahkan manusia jika tidak terdapat inang di sekitarnya. Jika menggigit manusia,

O. sylvarium biasa menyebabkan pruritus (Taylor et al. 2007). O. sylvarium

memiliki keping dorsal yang melebar pada dua per tiga panjang tubuhnya (bagian atas) dan meruncing seperti lidah pada sepertiga bagian bawah (Gambar 2A). Seta (rambut kasar) pada bagian dalam keping dorsal tungau ini berukuran lebih kecil daripada seta yang berada di bagian luar keping dorsal. Keping ventral O. sylvarium dilengkapi dengan dua pasang seta (Soulsby 1982).

Dampak buruk bagi ekonomi muncul pada peternakan ayam. Infestasi biasanya muncul dari unggas liar atau unggas baru yang telah terinfestasi. Tungau ini dapat menyebar hanya dalam waktu beberapa minggu saja. Masalah yang ditimbulkan O. sylvarium berupa iritasi kulit dengan lesio yang tidak terlihat pada tempat gigitan dan mengerutnya bulu yang menjadi keabu-abuan terutama pada bulu daerah anus ayam. Unggas yang telah terinfestasi parah dapat mengalami anemia, penurunan bobot badan dan produksi telur, hingga kematian. Kerabang telur ayam yang terinfestasi tungau ini menjadi lunak dan sedikit kental dan penurunan produksi telur mencapai 5-15% jika dibandingkan dengan unggas sehat (Mullen dan Oconnor 2002). Tungau ini dilaporkan tersebar di Amerika Utara, E-

ropa, dan beberapa negara subtropis. Beberapa penelitian membuktikan bahwa O. sylvarium dapat mentransmisikan virus WEE (West Equine Encephalitis) dari satu unggas ke unggas lainnya, tetapi tungau ini tidak memiliki peran dalam mentransmisikan arbovirus ke manusia (Zucca & Delogu 2008).

Tungau ini mengalami fase telur, larva, nimfa, dan dewasa dalam siklus hidupnya. Telur akan menetas dalam waktu 24 jam menjadi larva berkaki enam. Larva berganti kulit menjadi protonimfa dengan cepat. Hanya fase protonimfa pada siklus hidup O. sylvarium yang menghisap darah. Darah ini dibutuhkan untuk mencapai fase deutonimfa dan tritonimfa. Tritonimfa berganti kulit menjadi tungau dewasa tanpa perlu makanan. Siklus hidup tungau ini dicapai dalam waktu 5-7 hari, sehingga pertumbuhan populasi tungau ini sangat cepat (Mullen & Oconnor 2002; Taylor et al. 2007 ).

2.4.1.4 Ornithonyssus bursa

Ornithonyssus bursa atau tropical fowl mite merupakan tungau ordo Parasitifomes, subordo Mesostigmata, dan famili Macronyssida dengan genus

Gambar 2 (A) Keping dorsal O. sylvarium dan (B) keeping dorsal O. bursa

(sumber: Soulsby 1982)

yang sama dengan O. sylvarium. Perbedaan dari keduanya hanya secara geografis (keadaan iklim). O. sylvarium tinggal di tempat beriklim sedang sehingga disebut

northern fowl mite, sedangkan O. bursa hidup di tempat beriklim tropis sehingga disebut tropical fowl mite (Pickworth & Morishita 2003). O. bursa dapat dibedakan dengan O. sylvarium dari bentuk keping dorsalnya. Keping dorsal pada

O. bursa meruncing pada bagian akhir posterior tubuhnya (Gambar 2B). Seta yang berada di dalam keping dorsal O. bursa juga berukuran lebih kecil daripada seta yang berada di bagian luar keping dorsal. Keping ventral O. bursa dilengkapi dengan tiga pasang seta, tidak seperti O. sylvarium yang memiliki dua pasang seta

Dokumen terkait