Muhammad Ridwan. Identification the Causes of Scaly Leg’s Case on Native Chicken at Kampung Adat Pulo, Cangkuang Village, Garut District. Under direction of Upik Kesumawati Hadi and Supriyono.
The aim of this study was to identify the causes of scaly leg’s case on native chicken at Kampung Adat Pulo, Cangkuang Village, Garut District. This research was conducted in September 2010 to June 2011 and implemented in 3 phases i.e. sampling, processing sample, and identification. The ectoparasites were collected by skin scrapping and mounted by hoyer solution. Species identification was done by using Baker and Canin’s (1958) systematic key. The results showed that there were 2 species of ectoparasites found which were causing the scaly leg. Those ectoparasites were Knemidokoptes mutans and Megninia sp. Those mites were known as scaly-leg mites and feather mites that live on domestic and wild fowl. The percentage of native chicken that infected by scaly leg was 17%. The people who live at Kampung Adat Pulo didn’t concern in this scaly leg cases.
Muhammad Ridwan. Identifikasi Penyebab Kasus Kaki Berkapur (Scaly Leg) pada Ayam di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut. Dibawah bimbingan Upik Kesumawati Hadi dan Supriyono.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi penyebab kasus kaki berkapur (scaly leg) pada ayam di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut. Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2010 sampai bulan Juni 2011 dan dilakukan dalam tiga kegiatan, yaitu pengumpulan sampel, pembuatan preparat, dan identifikasi. Ektoparasit yang sudah dikoleksi kemudian difiksasi dengan menggunakan larutan Hoyer. Spesies ektoparasit diidentifikasi dengan menggunakan kunci identifikasi Baker dan Canin (1958). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan dua ektoparasit yang menyebabkan kaki berkapur, yaitu Knemidokoptes mutans dan tungau dari genus Megninia. Kedua tungau tersebut diketahui sebagai scaly-leg mites dan feather mites. Persentase ayam yang terjangkit kaki berkapur di Kampung Adat Pulo sebanyak 17%. Masyarakat di sini belum menganggap penting kasus kaki berkapur pada ayam-ayam yang dimilikinya.
MUHAMMAD RIDWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Muhammad Ridwan. Identification the Causes of Scaly Leg’s Case on Native Chicken at Kampung Adat Pulo, Cangkuang Village, Garut District. Under direction of Upik Kesumawati Hadi and Supriyono.
The aim of this study was to identify the causes of scaly leg’s case on native chicken at Kampung Adat Pulo, Cangkuang Village, Garut District. This research was conducted in September 2010 to June 2011 and implemented in 3 phases i.e. sampling, processing sample, and identification. The ectoparasites were collected by skin scrapping and mounted by hoyer solution. Species identification was done by using Baker and Canin’s (1958) systematic key. The results showed that there were 2 species of ectoparasites found which were causing the scaly leg. Those ectoparasites were Knemidokoptes mutans and Megninia sp. Those mites were known as scaly-leg mites and feather mites that live on domestic and wild fowl. The percentage of native chicken that infected by scaly leg was 17%. The people who live at Kampung Adat Pulo didn’t concern in this scaly leg cases.
Muhammad Ridwan. Identifikasi Penyebab Kasus Kaki Berkapur (Scaly Leg) pada Ayam di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut. Dibawah bimbingan Upik Kesumawati Hadi dan Supriyono.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi penyebab kasus kaki berkapur (scaly leg) pada ayam di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut. Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2010 sampai bulan Juni 2011 dan dilakukan dalam tiga kegiatan, yaitu pengumpulan sampel, pembuatan preparat, dan identifikasi. Ektoparasit yang sudah dikoleksi kemudian difiksasi dengan menggunakan larutan Hoyer. Spesies ektoparasit diidentifikasi dengan menggunakan kunci identifikasi Baker dan Canin (1958). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan dua ektoparasit yang menyebabkan kaki berkapur, yaitu Knemidokoptes mutans dan tungau dari genus Megninia. Kedua tungau tersebut diketahui sebagai scaly-leg mites dan feather mites. Persentase ayam yang terjangkit kaki berkapur di Kampung Adat Pulo sebanyak 17%. Masyarakat di sini belum menganggap penting kasus kaki berkapur pada ayam-ayam yang dimilikinya.
KABUPATEN GARUT
SKRIPSI
Muhammad Ridwan B04070168
Disusun sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul : Identifikasi Penyebab Kasus Kaki Berkapur (Scaly Leg) pada Ayam di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut
Nama mahasiswa : Muhammad Ridwan NRP : B04070168
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr.drh. Upik Kesumawati Hadi, MS Ketua
Drh. Supriyono Anggota
Diketahui,
Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Dengan ini Saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Identifikasi Penyebab Kasus Kaki Berkapur (Scaly Leg) pada Ayam di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut adalah karya Saya dengan arahan dari Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2011
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
M. Sofyan Yusuf dan Hj. Wennyza Arifin. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara.
Penulis dibesarkan di kota Bekasi dan menempuh pendidikan sekolah taman kanak-kanak di TK Labschool Jakarta, kemudian melanjutkan di SDIT IQRO Pondok Gede, Bekasi. Penulis hanya mengenyam pendidikan di SDIT IQRO selama tiga tahun dan pindah sekolah melanjutkan pendidikan di SDN 04 Pagi Cipinang Melayu, Jakarta Timur hingga lulus pada tahun 2002. Penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP Labschool Jakarta pada tahun yang sama dan lulus pada tahun 2005. Penulis lulus dari SMAN 81 Jakarta pada tahun 2007 dan diterima di IPB melalui jalur SPMB. Penulis memilih program studi Kedokteran Hewan di perguruan tinggi IPB.
Nya sehingga skripsi yang berjudul “Identifikasi Penyebab Kasus Kaki Berkapur (Scaly Leg) pada Ayam di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut” telah diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, penulis ucapkan kepada :
1 Keluarga tercinta, Mama, Papa, Uni, Maul, Bang Edo, dan Uda atas segala nasehat, kesabaran, dukungan, dan doanya kepada penulis.
2 drh. Upik Kesumawati Hadi, MS, Ph.D dan drh. Supriyono selaku dosen pembimbing tugas akhir yang telah memberikan ilmunya, banyak direpotkan oleh penulis, dan selalu bersabar dalam membimbing penulis. 3 Ibu Dini dan Ibu Susi yang selalu meberikan nasihat-nasihat membangun
untuk penulis.
4 Dosen-dosen dan Staf Laboratorium Entomologi yang selalu bersedia membantu penulis, khususnya Alm. Pak Yunus dan Pak Heri.
5 Pak Bayu Febram Prasetyo, S.Si, M.Si, Apt selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan nasihat selama penulis mengenyam pendidikan.
6 Nova Febrina yang selalu memberikan semangat kepada penulis.
7 Pradipta Nuri dan Moch. Darjat Df yang telah banyak membantu penulis. 8 Teman-teman seperjuangan dan sepermainan di Laboratoriun Entomologi,
QQ dan Archi, yang selalu memberi semangat dan sama-sama berjuang dalam menyelesaikan tugas akhir.
9 Gianuzzi 44, SATLIERS, dan para GakGik Pondok Suzuran: Rio, Binturong, Olil, Antok, Rissar, Daud, dan QQ, teman rusuh yang selalu menemani hari-hari penulis.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Bogor, Desember 2011
DAFTAR ISI
2.4.1.3 Ornithonyssus sylvarium ... 9
2.4.1.4 Ornithonyssus bursa ... 10
2.4.1.5 Megninia ginglymura ... 11
3 BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan tempat penelitian ... 13
3.2 Pengambilan sampel ektoparasit ... 13
3.3 Pembuatan slide preparat ektoparasit ... 13
3.4 Identifikasi ektoparasit ... 14
3.5 Pengisian kuisioner ... 14
3.6 Analisis data ... 14
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jenis ektoparasit ... 15
4.1.1 Knemidokoptes mutans ... 15
4.1.2 Megninia sp ... 18
4.2 Faktor pendukung infestasi tungau di kampung adat pulo ... 20
4.2.1 Kehidupan sosial masyarakat di kampung adat pulo... 20
4.2.2 Sistem pemeliharaan ... 21
4.3 Pengendalian penyakit kaki kapur ... 22
5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 24
5.2 Saran ... 24
DAFTAR PUTAKA ... 25
DAFTAR GAMBAR
No Teks Halaman
1 Ayam kampung ... 4
2 Keping dorsal O. Sylvarium dan O. bursa ... 10
3 Knemidocoptes mutans ... 17
4 Hiperkeratosis pada kaki ayam ... 18
5 Megninia sp ... 19
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Seiring peningkatan kesejahteraan masyarakat, meningkat pula kebutuhan
protein hewani. Sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi masyarakat
berasal dari produk unggas, yaitu daging dan telur. Hal ini mengakibatkan
permintaan bahan makanan tersebut meningkat dan mendorong masyarakat untuk
memelihara ternak unggas. Jenis unggas yang banyak dipelihara oleh masyarakat
adalah ayam kampung.
Masyarakat lebih memilih memelihara ayam kampung karena mudah
dipelihara secara sederhana. Selain itu, masyarakat memelihara ayam kampung
sebagai pekerjaan sampingan sehingga pemeliharaannya tidak mendapatkan
perhatian yang serius seperti ayam jenis lainnya. Cara pemeliharaan ayam
kampung yang tidak intensif dan sangat sederhana membuat ayam kampung
rentan terhadap penyakit. Penyakit yang biasa menyerang ayam kampung selain
disebabkan oleh virus dan bakteri juga disebabkan oleh infestasi ektoparasit.
Ektoparasit merupakan parasit yang hidup menumpang di luar atau pada
permukaan inangnya. Infestasi ektoparasit di permukaan kulit dan di antara bulu
dapat menyebabkan iritasi, kegatalan, peradangan, kudisan, miasis, atau berbagai
macam bentuk alergi. Dampak yang ditimbulkan jika ayam terinfestasi ektoparasit
adalah menurunnya status gizi, turunnya produksi daging dan telur secara drastis
(Hadi & Soviana 2010). Hien et al (2011) dalam penelitiannya menyatakan akibat dari infestasi ektoparasit tungau dan kutu adalah meningkatnya tingkat kematian
dan menurunnya laju pertumbuhan ayam.
Penyakit yang disebabkan oleh ektoparasit satu di antaranya adalah kaki
berkapur. Ayam yang menderita penyakit ini memperlihatkan gejala klinis
hiperkeratosis atau keratinisasi sehingga sisik pada kaki ayam menjadi tebal dan
tampak putih seperti kapur (Lapage 1962). Kasus penyakit kaki berkapur ini juga
pernah dilaporkan terjadi pada beberapa negara di dunia. Pence et al. (1999) melaporkan kejadian kasus kaki berkapur yang terjadi pada burung migrasi
jamaicensis, sedangkan Shoker et al. (2001) mendapatkan kasus kaki berkapur pada unggas-unggas di Mesir yang disebabkan oleh K. mutans. Ikpeze et al.
(2008) juga menemukan kaki berkapur pada burung di Nigeria yang disebabkan
juga oleh K. mutans. Sangvaranond et al. (2007) menemukan kasus knemidokoptiasis pada unggas di Thailand. Schulz et al. (1989) juga melaporkan
K. jamaicensis pada burung hantu Bubo virginianus sebagai penyebab scaly leg. Di Indonesia, sejauh ini kasus kaki berkapur belum banyak dilaporkan.
Sedikitnya laporan tentang kejadian kasus kaki berkapur disebabkan oleh
kurangnya perhatian masyarakat dan pemerintah (dinas peternakan). Hal ini
mungkin disebabkan oleh kerugian ekonomi yang ditimbulkannya tidak terlalu
besar. Beberapa saat yang lalu Penulis menemukan kasus kaki berkapur pada
ayam di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut. Kampung Adat
Pulo merupakan sebuah kampung yang menganut hukum adat yang unik. Jumlah
kepala keluarga yang menempati kampung ini hanya sebatas enam kepala
keluarga saja. Hukum adat yang berlaku lainnya adalah masyarakat kampung ini
tidak diperbolehkan memelihara hewan besar seperti sapi, kerbau, kambing, dan
domba. Hewan yang banyak dipelihara oleh masyarakat Kampung Adat Pulo
adalah ayam kampung.
Masyarakat di sini memelihara ayam kampung sebagai sumber makanan.
Sistem pemeliharaan yang mereka lakukan sangat sederhana. Ayam yang
dipelihara oleh mereka tidak diperbolehkan untuk dijual kepada masyarakat lain,
sehingga ayam tersebut tidak menyebar keluar dari Kampung Adat Pulo. Mereka
juga tidak begitu memperhatikan kesehatan ayam peliharannya. Akibat dari
kurangnya perhatian masyarakat, ayam kampung yang dipelihara banyak yang
terjangkit penyakit kaki berkapur. Kebijakan mereka untuk tidak menjual ayam
mereka kepada masyarakat lain juga menyebabkan kejadian kaki berkapur
menyebar secara merata pada ayam pelihara mereka.
Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian untuk mengetahui penyebab
kaki berkapur perlu dilakukan. Jika penyebabnya telah diketahui maka dapat
yang tepat dapat meningkatkan kembali kesehatan dan nilai ekonomi ayam
kampung.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi penyebab kasus kaki
berkapur (scaly leg) pada ayam di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut.
1.3 Manfaat
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi yang
bernilai bagi ilmu pengetahuan dan dapat digunakan sebagai dasar untuk
melakuan pengendalian terhadap infestasi ektoparasit pada ayam.
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ayam Kampung
Ayam kampung merupakan hewan vertebrata yang termasuk dalam kelas
Aves dengan ordo Galliformes dan spesies Gallus domesticus. Ayam kampung telah berkembang pesat di Indonesia dan telah banyak dipelihara oleh masyarakat
Indonesia sebagai pemanfaatan perkarangan, pemenuhan gizi, dan tambahan
pendapatan sehingga ayam kampung sangat mudah ditemukan di berbagai tempat.
Unggas ini memiliki daya adaptasi yang tinggi sehingga mampu menyesuaikan
diri dengan berbagai situasi, lingkungan, dan iklim yang ada. Masyarakat pada
umumnya memelihara ayam kampung karena sebagai usaha sampingan sehingga
pemeliharaan ayam kampung sangat sederhana (Sarwono 1999; Tarwiyah 2001).
Gambar 1 Ayam kampung (sumber: www.wikimedia.org)
Ayam kampung (Gambar 1) telah ada dan didomestikasi sejak lama,
bahkan sebelum masehi. Umur yang sangat tua ini membuat nenek moyang ayam
kampung melalui proses evolusi yang sangat panjang. Ayam kampung yang
dipelihara saat ini bermula dari domestikasi ayam hutan dengan proses yang
sangat panjang. Ada dua teori tentang proses domestikasi ayam hutan ini, yaitu
teori monophyletic dan teori polyphyletic. Teori monophyletic adalah teori yang digagas oleh Charles Darwin. Menurutnya ayam peliharaan berasal dari satu jenis
polyphyletic, ayam pelihara yang ada sekarang berasal dari beberapa jenis ayam hutan yang saat ini masih ada di berbagai belahan dunia, yaitu Gallus gallus,
Gallus sonneratti, Gallus laffayetti, dan Gallus varius (Stevens 1991; Suprijatna
et al. 2008).
2.2 Morfologi Ayam Kampung
Ayam kampung (G. domesticus) memiliki tubuh yang kecil, produktivitas telur yang rendah, dan pertumbuhan tubuh yang lambat. Suara dan penampilan
yang sangat tidak menarik membuat ayam kampung (G. domesticus)tidak dijadikan ayam hias (Nurcahyo & Widyastuti 2002). Ayam ini memiliki warna
bulu yang bervariasi dari warna putih, hitam, cokelat, kuning, atau kombinasi
warna-warna tersebut. Warna kulit yang dimiliki ayam kampung (G. domesticus) kuning pucat, muka merah, dan kaki yang panjang serta kuat (Cahyono 2001).
Kedua kaki pada ayam kampung (G. domesticus) mempunyai dua segmen dan sebuah tulang kering ramping yang hanya terdiri dari tendon serta tumit yang
bercakar empat (Storer et al. 1968).
Pada bagian kepala ayam terdapat paruh, jengger, cuping, dan pial. Paruh
berasal dari tulang wajah yang mengalami perpanjangan. Paruh bawah pada ayam
terbentuk dari lima tulang. Pada paruh atas terdapat dua nostril atau lubang hidung. Jengger berwarna merah karena umumnya pada bagian epidermis kulit
ayam terdapat banyak pembuluh darah, sedangkan pial yang merupakan cuping
telinga berdaging tebal yang terletak di bawah bagian telinga, warnanya
tergantung dari masing-masing bangsa ayam. Kedua organ ini merupakan kulit
yang menjulur ke luar (Johnson et al. 1977; Suprijatna et al. 2008). Jengger dan pial sangat istimewa pada ayam dan beberapa jenis burung lainnya. Oleh karena
itu jengger dan pial dapat dijadikan indikator karakteristik kelamin sekunder
karena sangat sensitif terhadap hormon seks (Storer et al. 1968).
Mata ayam terletak di lateral dan memiliki ukuran besar dengan kelopak
mata yang gemuk dan di dalamnya terdapat kelopak ketiga yang transparan, yaitu
membran nictitan. Ayam berbeda dengan vertebrata lainnya karena tubuhnya
hampa udara yang sangat banyak. Keberadaan ruang hampa udara ini menjadi
pelengkap dalam menghasilkan bulu kontur yang halus dan melindungi tubuh
(Storer et al. 1968).
2.3 Biologi dan Perilaku Ayam Kampung
Ayam kampung mencapai bobot 1,5 kg dalam waktu tiga puluh minggu.
Waktu ini lebih lama apabila dibandingkan dengan ayam ras yang hanya
memerlukan waktu sampai tujuh minggu (Nurcahyo & Widyastuti 2002). Semua
unggas adalah hewan berdarah panas yang mempunyai temperatur 40.5 sampai
42.2 °C pada siang hari dan lebih rendah pada malam hari (Storer et al. 1968). Menurut Suprijatna et al. (2008), temperatur rata-rata dari ayam dewasa adalah sekitar 40.5 sampai 41.6 °C dan day old chick (DOC) memiliki temperatur sekitar 38.8 °C. Temperatur induk ayam yang sedang mengeram lebih rendah
dibandingkan induk yang tidak mengeram karena tingkat metabolisme yang
rendah.
Ayam mengalami pertumbuhan bulu dan rontok secara alami. Proses
rontok bulu ini dinamakan molting. Proses ini berlangsung secara periodik sekitar setahun sekali dan dalam suatu pola pertumbuhan. Bulu baru akan tumbuh pada
tempat bulu yang rontok karena pengaruh hormonal (Suprijatna et al. 2008). Ayam kampung merupakan unggas diurnal yang tidur pada malam hari. Hewan
diurnal memiliki karakteristik berbeda setiap spesiesnya pada lokasi tidur atau
kebiasaan saat tidur, seperti memutar kepalanya ke belakang atau
menyembunyikan kepalanya ke bawah sayap. Hal ini membuat paruhnya tetap
hangat dan ayam bernafas dengan udara yang hangat (Storer et al. 1968; Storer et al. 1979).
2.4 Ektoparasit pada Ayam
Artropoda merupakan golongan makhluk hidup yang paling besar di dunia.
Lebih dari 80% dari seluruh jenis hewan adalah Artropoda, menghuni semua jenis
habitat yang ada, baik terrestrial maupun akuatik. Di antara anggota filum
Artropoda diketahui ada yang bermanfaat bagi kehidupan manusia dan ada juga
ini lebih dikenal sebagai ektoparasit. Ektoparasit merupakan parasit yang hidup di
luar atau pada permukaan inangnya dengan cara menumpang. Anggota Artropoda
yang merupakan kelompok ektoparasit adalah kelas Insekta dan Arachnida.
Arachnida dapat menjadi agen penyebab penyakit secara langsung karena mereka
dapat mentransmisikan mikroorganisme patogen. Caplak dan tungau merupakan
ektoparasit yang termasuk ke dalam kelas Arachnida (Hungerford 1970; Hadi
2006).
2.4.1 Tungau
Lebih dari 250 spesies tungau menjadi masalah bagi kesehatan manusia
dan hewan. Masalah yang sering ditimbulkan oleh tungau adalah iritasi pada kulit,
dermatitis pada hewan, alergi, penyebar mikroorganisme patogen, inang dari
parasit lain, gangguan pada saluran telinga dan pernafasan, akarofobia, dan
gangguan psikis (Mullen & Oconnor 2002). Tungau merupakan ektoparasit yang
memiliki ukuran tubuh sangat kecil dan hampir tidak kasat mata. Kebanyakan
tungau hidup di alam bebas dan hanya beberapa saja yang hidup sebagai
ektoparasit (Hadi & Soviana 2011).
Tubuh tungau terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu gnatosoma dan
idiosoma. Pada bagian gnatosoma terdapat pedipalpus dan khelisera, sedangkan
pada bagian idiosoma terdapat kaki dan mata. Pedipalpus merupakan perangkat
sensor bagi tungau. Pedipalpus dilengkapi dengan zat kimia dan sensor taktil yang
membantu tungau dalam mencari makanan dan mengenali lingkungannya (Mullen
& Oconnor 2002). Mata yang dimiliki tungau hanya satu atau mata tunggal. Kaki
pada tungau dewasa berjumlah empat pasang sedangkan larvanya hanya memiliki
tiga pasang saja. Tungau bernafas dengan menggunakan stigmata atau lubang
pernafasan. Letak stigmata pada tungau berbeda-beda. Tungau subordo
Mesostigmata memiliki stigmata yang terletak di antara pasangan kaki ketiga dan
keempat, subordo Prostigmata memiliki stigmata yang terletak pada bagian depan
tubuh, dan pada subordo Astigmata tidak memiliki stigmata. Tungau Astigmata
bernafas dengan menggunakan permukaan tubuhnya yang lembut (Hadi &
Secara umum, siklus hidup tungau terdiri atas fase telur, larva, nimfa, dan
dewasa. Fase nimfa pada tungau terdiri dalam tiga tahap, yakni protonimfa,
deutonimfa, dan tritonimfa. Bergantung dari kelompok taksonominya, satu atau
lebih fase dalam siklus hidup tungau dapat tidak terjadi. Hal ini dapat
menyebabkan perbedaan dalam bentuk kehidupan tungau. Telur tungau dapat
disimpan di luar tubuh induk atau di dalam uterus induk sampai menetas.
Perkembangan dari telur hingga dewasa dan jumlah generasi dalam satu tahun
sangat beragam untuk menentukan generasi yang berarti (Mullen & Oconnor
2002).
2.4.1.1 Knemidokopes mutans
Knemidokoptes mutans atau scaly-leg mites termasuk ke dalam ordo Acariformes, subordo Astigmata, dan famili Knemidokoptidae. Tungau ini
banyak menyerang unggas berumur tua. Betina memiliki ukuran 0.5 mm dan
jantan berukuran setengah dari betinanya. K, mutans jantan memiliki kaki yang melebihi tubuhnya (Hungerford 1970). Tungau ini membuat terowongan di bawah
sisik kaki ayam sehingga menyebabkan terjadinya kelainan bentuk dari kaki
unggas. Rongga yang terbentuk akibat terowongan yang terjadi di dalam lapisan
kulit dapat mengakibatkan peradangan proliferatif dan pembentukan keropeng
serta sisik. Walaupun infeksi yang parah dapat mengakibatkan kelumpuhan,
keberadaan tungau ini jarang menimbulkan masalah pada peternakan ayam
komersial (Tabbu 2002). Tungau ini juga menyebabkan iritasi, hiperkeratosis, dan
retakan kulit yang melapisi hampir keseluruhan kaki. Infestasi tungau ini dapat
terjadi secara langsung maupun tidak langsung (Zucca & Delogu 2008).
Konfirmasi diagnosis didapatkan dengan cara melakukan kerokan kulit pada kaki
unggas (Taylor et al. 2007).
2.4.1.2 Knemidokoptes gallinae
Knemidokoptes gallinae juga merupakan tungau yang termasuk ordo Acariformes, subordo Astigmata, dan famili Knemidokoptidae, sama dengan K. mutans. Tungau ini memiliki morfologi yang hampir sama dengan K. mutans,
memiliki habitat di sekitar bulu-bulu pada ayam. Bagian yang sering terinfestasi
adalah kepala, leher, punggung, abdomen, dan kaki bagian atas pada ayam. Ayam
akan terinfestasi jika melakukan kontak langsung dengan unggas penderita
(Taylor et al. 2007). Tungau ini biasa menggali dasar tangkai bulu sehingga menyebabkan iritasi yang mengakibatkan ayam suka mematuki bulunya. Akibat
dari perilaku ini menyebabkan rontoknya bulu pada ayam. Kerontokan bulu pada
ayam dapat mengakibatkan penurunan berat badan dan produksi telur (Tabbu
2002).
2.4.1.3 Ornithonyssus sylvarium
Ornithonyssus sylvarium atau Northern fowl mite merupakan tungau ordo Parasitifomes dengan subordo Mesostigmata dan famili Macronyssidae. Masa
hidup O. sylvarium dihabiskan di tubuh inangnya dan tidak dapat bertahan lebih dari sepuluh hari jika jauh dari inangnya. Tungau dengan ukuran 0.75-1 mm ini
merupakan tungau penghisap darah. Tungau ini dapat menghisap darah mamalia
bahkan manusia jika tidak terdapat inang di sekitarnya. Jika menggigit manusia,
O. sylvarium biasa menyebabkan pruritus (Taylor et al. 2007). O. sylvarium
memiliki keping dorsal yang melebar pada dua per tiga panjang tubuhnya (bagian
atas) dan meruncing seperti lidah pada sepertiga bagian bawah (Gambar 2A). Seta
(rambut kasar) pada bagian dalam keping dorsal tungau ini berukuran lebih kecil
daripada seta yang berada di bagian luar keping dorsal. Keping ventral O. sylvarium dilengkapi dengan dua pasang seta (Soulsby 1982).
Dampak buruk bagi ekonomi muncul pada peternakan ayam. Infestasi
biasanya muncul dari unggas liar atau unggas baru yang telah terinfestasi. Tungau
ini dapat menyebar hanya dalam waktu beberapa minggu saja. Masalah yang
ditimbulkan O. sylvarium berupa iritasi kulit dengan lesio yang tidak terlihat pada tempat gigitan dan mengerutnya bulu yang menjadi keabu-abuan terutama pada
bulu daerah anus ayam. Unggas yang telah terinfestasi parah dapat mengalami
anemia, penurunan bobot badan dan produksi telur, hingga kematian. Kerabang
telur ayam yang terinfestasi tungau ini menjadi lunak dan sedikit kental dan
penurunan produksi telur mencapai 5-15% jika dibandingkan dengan unggas sehat
ropa, dan beberapa negara subtropis. Beberapa penelitian membuktikan bahwa O. sylvarium dapat mentransmisikan virus WEE (West Equine Encephalitis) dari satu unggas ke unggas lainnya, tetapi tungau ini tidak memiliki peran dalam
mentransmisikan arbovirus ke manusia (Zucca & Delogu 2008).
Tungau ini mengalami fase telur, larva, nimfa, dan dewasa dalam siklus
hidupnya. Telur akan menetas dalam waktu 24 jam menjadi larva berkaki enam.
Larva berganti kulit menjadi protonimfa dengan cepat. Hanya fase protonimfa
pada siklus hidup O. sylvarium yang menghisap darah. Darah ini dibutuhkan untuk mencapai fase deutonimfa dan tritonimfa. Tritonimfa berganti kulit menjadi
tungau dewasa tanpa perlu makanan. Siklus hidup tungau ini dicapai dalam waktu
5-7 hari, sehingga pertumbuhan populasi tungau ini sangat cepat (Mullen &
Oconnor 2002; Taylor et al. 2007 ).
2.4.1.4 Ornithonyssus bursa
Ornithonyssus bursa atau tropical fowl mite merupakan tungau ordo Parasitifomes, subordo Mesostigmata, dan famili Macronyssida dengan genus
Gambar 2 (A) Keping dorsal O. sylvarium dan (B) keeping dorsal O. bursa
(sumber: Soulsby 1982)
yang sama dengan O. sylvarium. Perbedaan dari keduanya hanya secara geografis (keadaan iklim). O. sylvarium tinggal di tempat beriklim sedang sehingga disebut
northern fowl mite, sedangkan O. bursa hidup di tempat beriklim tropis sehingga disebut tropical fowl mite (Pickworth & Morishita 2003). O. bursa dapat dibedakan dengan O. sylvarium dari bentuk keping dorsalnya. Keping dorsal pada
O. bursa meruncing pada bagian akhir posterior tubuhnya (Gambar 2B). Seta yang berada di dalam keping dorsal O. bursa juga berukuran lebih kecil daripada seta yang berada di bagian luar keping dorsal. Keping ventral O. bursa dilengkapi dengan tiga pasang seta, tidak seperti O. sylvarium yang memiliki dua pasang seta pada keping ventralnya (Soulsby 1982).
Tungau ini banyak ditemukan di unggas pada saat mengeram. Habitat O. bursa tersebar pada bulu-bulu sayap unggas. Telur tungau ini akan menetas dalam tiga hari dan menyebar menjadi larva. Dalam tujuh belas jam larva akan berganti
kulit menjadi protonimfa yang mulai menghisap darah unggas. Protonimfa
menjadi deutonimfa dalam waktu dua sampai tiga hari hingga akhirnya menjadi
dewasa. Tungau ini dapat menyerang manusia yang berada di sekitarnya (Hadi &
Soviana 2010).
Infestasi tungau ini dapat terjadi ketika unggas melakukan kontak dengan
unggas liar atau kandang yang telah banyak terdapat O. bursa. Infestasi yang parah dapat menyebabkan anemia, penurunan bobot badan dan produksi telur
bahkan kematian. Unggas yang baru menetas dan unggas muda merupakan inang
yang paling rentan terhadap infestasi tungau ini. Pada kasus yang terjadi pada
unggas muda, keberadaan tungau ini ada di sekitar mata dan paruh (Mullen &
Oconnor 2002).
2.4.1.5 Megninia ginglymura
Megninia ginglymura merupakan tungau ordo Acariformes, subordo Astugmata dan family Analgidae. M. ginglymura hidup pada bulu dan memiliki host spesifik yang luas. Habitat M. ginglymura di dalam dasar bulu badan dan sayap. Beberapa spesies lainnya dari genus ini terkadang muncul di bawah kulit
dalam bulu unggas. Tungau-tungau ini memiliki perbedaan morfologi yang nyata
yang disebabkan oleh banyaknya jumlah inang yang berbeda dan bentuk adaptasi
mereka terhadap habitat mikro yang ada pada bulu. Biasanya tungau ini dapat
mengakibatkan dermatitis pada ternak (Zucca & Delogu 2008).
Quintero et al. (2006) menemukan bahwa Megninia sp telah lama ditemukan pada ayam-ayam di Yucatan, Mexico. Dalam penelitian yang
dilakukan pada tahun 2005 dilaporkan bahwa jumlah populasi Megninia mencapai puncaknya pada bulan Juli dan November. Tungau ini memiliki dua siklus biologi
dalam setahun. Megninia selalu ditemukan sepanjang tahun dengan densitas populasi terendah pada bulan Maret dan Oktober. Oleh karena itu, pengendalian
untuk tungau ini disarankan dilakukan pada bulan Juni dan awal November,
3 BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2010 sampai Juni 2011 dan
dilaksanakan dalam tiga kegiatan, yaitu pengambilan sampel, pengolahan
spesimen, dan identifikasi ektoparasit. Pengambilan sampel dilakukan di
Kampung Adat Pulo, Desa Situ Cangkuang, Kabupaten Garut, Jawa Barat dan
Laboratorium Entomologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan,
Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogoruntuk proses pengolahan spesimen
dan identifikasi.
3.2 Pengambilan Sampel Ektoparasit
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara melakukan kerokan kulit pada
kaki ayam kampung yang mengalami pengapuran. Pengerokan dilakukan dengan
menggunakan skalpel sampai berdarah. Hasil kerokan dimasukkan ke dalam
tabung yang berisi KOH 10% dan didiamkan minimal selama tiga hari. Hal ini
dimaksudkan agar jaringan kulit hasil kerokan menjadi luruh sehingga tungau
dapat dikoleksi.
3.3 Pembuatan Preparat Slide Ektoparasit
Setelah semua tungau terkoleksi, sampel dimasukkan ke dalam cawan
yang berisi air agar membersihkan tungau dari KOH 10% selama sepuluh sampai
tiga puluh menit. Setelah dari cawan berisi air, tungau dimasukkan ke dalam
alkohol secara bertingkat dari alkohol 60%, alkohol 70%, alkohol 80%, dan
alkohol absolut selama sepuluh menit untuk masing-masing tingkatan. Setelah
direndam dalam alkohol secara bertingkat, sampel tungau diletakkan di atas
dimasukkan ke dalam slide warmer selama minimal satu hari. Setelah preparat
slide kering, diberikan kuteks pada sekeliling cover glass secara merata.
3.4 Identifikasi Ektoparasit
Proses identikasi sampel ektoparasit dilakukan dengan pengamatan di
bawah mikroskop dengan pembesaran 40x dan kemudian dicocokkan dengan
kunci identifikasi ektoparasit Baker dan Canin (1958). Pemotretan specimen
dilakukan di bawah mikroskop Olympus.
3.5 Pengisian Kuisioner
Pengisian kuisioner dilakukan untuk mendapatkan data jumlah ayam yang
terinfestasi, umur, pekerjaan, dan pendidikan masyarakat Kampung Adat Pulo,
Desa Cangkuang, Kabupaten Garut.
3.6 Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk
tabulasi, gambar, dan foto-foto mikroskopik. Analisis juga dilakukan terhadap
faktor-faktor pendukung terjadinya infestasi tungau pada ayam di Kampung Adat
Pulo.
4.1 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jenis Ektoparasit
Jenis-jenis ektoparasit yang ditemukan dari ayam di sekitar permukiman di
Kampung Adat Pulo adalah tungau Knemidokoptes mutans dan Megninia sp.
Knemidokoptes mutans merupakan tungau dari famili Knemidokoptidae, sedangkan Megninia sp dari famili Analgidae. Kedua tungau ini termasuk ke dalam Ordo Acariformes, dan subordo Astigmata.
Persentase jumlah ayam yang terjangkit kaki berkapur di daerah ini
sebanyak 17% dari total populasi ayam yang dipelihara oleh setiap kepala
keluarga (Tabel 1).
Tabel 1 Persentase jumlah ayam yang terinfestasi kaki berkapur di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut
Rumah Σ Ayam (ekor) Σ Ayam Terinfestasi Tungau (ekor) Persentase (%)
Hasi penelitian menunjukkan bahwa tungau K. mutans yang berhasil diidentifikasi berjumlah empat belas ekor dan memiliki rataan ukuran 205-414
µm. Tungau ini memiliki bentuk tubuh bulat, tidak berduri atau sisik kulit yang
tajam, dan semua tungau yang diidentifikasi berkelamin betina. Tungau ini
memiliki gnatosoma, pedipalpus, dan khelisera yang pendek. Gnatosoma
merupakan bagian kepala arthropoda yang secara umum terdiri dari mulut. Ciri
morfologi yang dimiliki tungau betina berbeda dengan jantan. Epimere pada
betina terletak di lateral dan tidak bertemu di tengah. Kaki pada tungau betina
tidak memiliki sucker atau alat pelekat. Selain itu, K. mutans memiliki ciri khas berupa tiang khitin yang terlihat dari dasar pedipalpus dan striae berbentuk
memasuki tahap dewasa karena telah memiliki empat pasang kaki dengan
pasangan kaki ketiga dan keempat tidak melebihi dari tubuhnya (Gambar 3).
Menurut Kettle (1984), epimere pada K. mutans jantan bersatu di tengah dan memiliki perpanjangan secara posteromedian. Tungau jantan juga memiliki sucker
pada keempat pasang kakinya (Taylor et al 2007). K. mutans termasuk dalam tungau Astigmata. Sebagai tungau astigmata, K. mutans tidak memiliki lubang pernafasan. Astigmata bernafas dengan permukaan tubuhnya yang lembut. Semua
tungau yang berhasil diidentifikasi pada penelitian ini berjenis kelamin betina. K. mutans betina menghabiskan masa hidupnya di dalam terowongan yang mereka buat. Betina hanya keluar dari terowongan saat kawin dengan tungau jantan. Saat
akan bertelur betina masuk kembali ke dalam terowongan. Hal ini dikarenakan
untuk menjaga dan merawat telur hingga menetas sehingga keberlangsungan
populasi tungau terjaga.
Infestasi K. mutans terjadi pada ayam yang sudah berumur tua. Ayam berumur tua lebih rentan terinfestasi tungau ini karena memiliki daya tahan tubuh
yang sudah menurun dibandingkan dengan hewan muda. Hal ini sesuai dengan
Tabbu (2002) yang menyatakan bahwa K.mutans adalah tungau yang biasa menyerang berbagai jenis unggas, terutama unggas yang telah tua. Infestasi K. mutans dapat terjadi dengan dua cara, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Infestasi secara langsung terjadi apabila melakukan kontak dengan inang lain
yang terinfestasi, sedangkan infestasi tidak langsung berasal dari tanah atau
kandang.
Gejala klinis yang timbul akibat dari infestasi tungau ini adalah timbulnya
hiperkeratosis pada kaki ayam (Gambar 4). Hiperkeratosis ini diakibatkan oleh
perilaku K. mutans yang berhabitat pada bagian bawah epidermal kulit kaki. Tungau ini bertahan hidup pada bagian bawah epidermal kulit dengan cara
membuat lubang atau terowongan. Hasil ekskresi atau metabolisme tungau ini
dengan sisa kulit mati hasil galian terowongan menyebabkan hiperkeratosis.
Tubuh inang juga memberikan respon terhadap infestasi K. mutans. Inang membuat pertahanan berupa penebalan pada bagian epidermis sehingga infestasi
menyebabkan terjadinya hiperkeratosis jika kelangsungan infestasi tungau sudah
berlangsung lama atau kronis.
Infestasi tungau yang terus menerus selain mengakibatkan hiperkeratosis,
dapat juga menyebabkan penurunan produksi. Hal ini diakibatkan oleh rasa tidak
nyaman yang dirasakan oleh ayam. Hiperkeratosis yang kronis dapat
menimbulkan kerusakan syaraf pada kaki ayam, sehingga ayam dapat mengalami
kelumpuhan. Jika tidak ditangani dengan cepat, ayam dapat mengalami kematian.
Tingkat kematian yang dialami oleh ayam sangat rendah karena sifat dari infestasi
tungau adalah kronis.
Zucca dan Delogu (2008) mengatakan bahwa akibat dari habitat K. mutans yang berada pada bagian bawah epidermal kulit kaki ayam adalah terjadinya hiperkeratosis atau kerak-kerak. Kerak-kerak ini secara perlahan
membengkak dan mengeluarkan serbuk putih seperti kapur (Kettle 1984). Oleh
karena itu, penyakit akibat infestasi K. mutans dikenal dengan penyakit kaki berkapur.
Gambar 4 Hiperkeratosis pada kaki ayam (sumber: dokumentasi pribadi).
4.1.2 Megninia sp.
Jenis tungau yang diidentifikasi selain K. mutans adalah Megninia sp.
Megninia sp. yang berhasil diidentifikasi memiliki ukuran rataan 161-290 µm. Tungau ini memiliki bentuk tubuh yang lonjong dengan pasangan kaki ketiga dan
keempat melebihi tubuhnya. Perangkat mulut tungau ini pendek dengan khelisera
dan pedipalpus memiliki panjang yang hampir sama (Gambar 5C). Jumlah tungau
Megninia sp yang didapatkan sebanyak empat ekor, yang terdiri dari tiga ekor jantan dan satu ekor betina. Tungau betina memiliki ukuran yang lebih besar dari
tungau jantan (Gambar 5B). Tungau jantan memiliki sucker di setiap kakinya serta alat penghisap kelamin (anal sucker), sedangkan pada tungau betina tidak memiliki sucker pada setiap kakinya (Gambar 5D). Ukuran kaki ketiga pada
Megninia sp jantan paling besar jika dibandingkan dengan kaki lainnya (Gambar 5A). Hal ini didukung oleh Taylor et al. (2007) yang menyatakan kaki ketiga pada
Megminia sp jantan memiliki ukuran yang besar. Kaki tersebut tidak dapat digunakan untuk berjalan, walaupun berkembang dengan baik (Lapage 1962).
Megninia sp bersifat saprofagi, yaitu pemakan jaringan yang sudah mati atau busuk. Hiperkeratosis yang terjadi pada kaki ayam menarik tungau ini karena
Gambar 5 Megninia sp: (A) jantan, (B) betina, (C) setengah bagian atas
Megninia sp, (D) setengah bagian bawah Megninia sp, (a) pasangan kaki pertama, (b) pasangan kaki kedua, (c) pasangan kaki ketiga, (d) pasangan kaki keempat, (e) sucker, (f) perangkat mulut, dan (g)
anal sucker pada jantan (sumber: dokumentasi pribadi).
jadi hiperkeratosis. Pada kasus kaki berkapur ini, infetasi Megninia sp merupakan infestasi sekunder. Lesio yang ditimbulkan tungau ini salah satunya adalah
keropeng pada kaki. Hal ini mengakibatkan kejadian kaki berkapur menjadi makin
parah.
Megninia sp merupakan tungau yang memiliki habitat yang luas pada tubuh unggas. Menurut Zucca dan Delogu (2008), Megninia sp merupakan tungau yang berhabitat di bulu unggas dan bersifat saprofagi. Sedangkan Tabbu (2002)
menyatakan bahwa Megninia sp dapat menyebabkan terjadinya keropeng pada kulit kaki, balung dan pial ayam. Infestasi yang berkelanjutan dari tungau ini
dapat menyebabkan menurunnya produksi telur akibat dari gangguan nutrisi dan
lesio yang ditimbulkan.
Megninia sp dapat menimbulkan kerugian ekonomi pada peternakan ayam komersil (Quintero et al. 2006). Gejala klinis pada ayam yang terinfestasi oleh
Megninia sp adalah rontoknya bulu-bulu pada ayam (Taylor et al. 2007). Pengendalian tungau ini dapat dilakukan dengan cara memutus siklus hidupnya
(Tabbu 2002).
4.2 Faktor-Faktor Pendukung Infestasi Tungau di Kampung Adat Pulo 4.2.1 Kehidupan Sosial di Kampung Adat Pulo
Kampung Adat Pulo merupakan sebuah permukiman kecil dengan
menganut adat yang unik. Adat yang berlaku di Kampung Adat Pulo membatasi
jumlah kepala keluarga sebanyak enam kepala keluarga. Jumlah rumah di tempat
ini sama dengan jumlah kepala keluarga yang tinggal ditambah dengan sebuah
masjid sebagai tempat ibadah. Jumlah ini tidak dapat dikurangi atau ditambah.
Jumlah enam rumah dengan satu masjid ini berasal dari sejarah Embah Dalem
Arif Muhammad yang merupakan pendiri kampung tersebut. Enam rumah
menggambarkan jumlah anak peremuan Embah Dalem Arif Muhammad dan satu
masjid menggambarkan satu anak laki-laki.
Hampir semua kepala keluarga di tempat ini berpendidikan akhir sekolah
masyarakat Kampung Adat Pulo adalah bertani, sehingga memelihara ayam
merupakan pekerjaan sampingan. Kurangnya umur produktif di kampung ini
mengakibatkan tidak ada perubahan pola pikir masyarakat untuk lebih maju. Adat
adalah suatu kebiasaan dalam sebuah komunitas masyarakat. Kebiasaan tersebut
berkembang hingga menjelma sebagai hukum adat. Hukum adat telah menjadi
bagian penting dalam suatu disiplin hukum. Hukum ini tetap dipertahankan
karena bermakna ideal bagi masyarakat, sedangkan perilaku menyimpang akan
dikenakan sanksi (Wiranata 2003). Ketentuan adat yang berlaku di Kampung Adat
Pulo harus dipenuhi oleh masyarakatnya sehingga sukar bagi mereka untuk
melakukan perubahan. Adat yang berlaku sejak lama bagi mereka sudah ideal
untuk mereka ikuti.
Kampung Adat Pulo terletak di tengah danau dan jauh dari kelompok
masyarakat lain. Hal ini mengakibatkan terbatasnya interaksi dan informasi yang
didapatkan, termasuk pengetahuan kesehatan hewan.
4.2.2 Sistem Pemeliharaan
Sistem pemeliharaan ayam yang dilakukan oleh masyarakat Kampung
Adat Pulo sangat sederhana. Ayam dipelihara dengan cara dilepas pada siang hari
dan dikandangkan pada malam hari. Kandang yang digunakan tidak layak, bahkan
ada yang menyatukannya dengan tempat penyimpanan kayu bakar (Gambar 6).
Hal ini merupakan lingkungan yang cocok untuk perkembangan tungau.
Tingginya populasi tungau di lingkungan mengakibatkan ayam mempunyai risiko
tinggi untuk terinfestasi.
Ayam yang dipelihara dengan cara dilepas dan dikandangkan memiliki
peluang yang sama untuk terinfestasi tungau (Lampiran 1). Ayam yang dilepas
dapat terinfestasi oleh tungau secara tidak langsung karena keadaan lingkungan
yang kotor. Ayam yang dikandangkan dapat terinfeksi secara langsung karena
kontak dengan ayam yang sudah terinfestasi.
Kandang yang baik harus memperhatikan tiga hal, yaitu konstruksi, tata
letak, dan bahan yang digunakan. Konstruksi kandang yang baik harus kuat dan
Gambar 6 (A) dan (B): Kandang ayam yang digunakan di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut
lan tempat orang lalu lalang dan terkena sinar matahari pada pagi hari secara
merata (Cahyono 2001). Keadaan kandang yang baik dan layak dapat
meningkatkan kesejahteraan ayam kampung sehingga tidak mudah terinfestasi
oleh tungau.
Biosecurity juga harus dilakukan agar penyebaran penyakit dapat dikendalikan. Usaha yang dapat dilakukan seperti menjaga sanitasi lingkungan
sekitar kandang dan peralatan kandang. Kandang difumigasi atau didesinfeksi
terlebih dahulu sebelum digunakan. Selain itu perlu dilakukan kontrol terhadap
binatang-binatang lain yang berada di sekitar kandang (Anonim 2009).
4.2.3 Pengendalian Penyakit Kaki Berkapur
Masyarakat Kampung Adat Pulo sampai saat ini belum melakukan
pengendalian terhadap penyakit kaki berkapur ini. Pengendalian dapat dilakukan
dengan memisahkan ayam yang telah terinfestasi oleh tungau dengan ayam sehat
agar penyebaran tungau tidak meluas. Ayam yang terinfestasi diobati dengan
melakukan pengerokan kulit terlebih dahulu, kemudian dilakukan dipping dengan larutan HCH dengan konsentrasi 0,1%, sulfur 10%, atau sodium flourida (0,5%).
Ivermectine dapat juga diberikan secara topical (Taylor et al. 2007). Ivermectine
dapat diberikan secara intramuskular atau oral dengan dosis 200 µg/kg BB dan
A
diulang setelah 10-14 hari (Butcher & Beck 1993). Selain itu, akarasida golongan
piretoid dapat juga diberikan seperti sipermetrin dan bifentrin dengan cara dipping
(Zucca dan Delogu 2008). Sipermetrin diberikan dengan konsentrasi 0,09 gram/10
L dan bifentrin diberikan dengan konsentrasi 0,18 gram/10 L (Hadi 2010).
Penggunaan akarisida ini harus memperhatikan aturan pakai sehingga pengobatan
dapat efektif dan mencegah terjadinya resistensi ektoparasit. Masyarakat juga
dapat melakukan pengobatan secara sederhana dengan menggunan sulfur atau
belerang. Sulfur dapat ditemukan di mana saja sehingga untuk melakukan
5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan
1 Penyebab kasus kaki berkapur pada ayam di Kampung Adat Pulo
adalah tungau K. mutans dan Megninia sp.
2 Gejala klinis yang terlihat dari kasus kaki berkapur adalah terjadinya
hiperkeratosis pada kaki ayam.
3 Masyarakat Kampung Adat Pulo belum memiliki kesadaran akan
pentingnya menjaga kesehatan hewan peliharanya.
5.2 Saran
Perlu penyuluhan tentang masalah kesehatan hewan dan meningkatkan
kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan di Kampung Adat
Pulo.
DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 2009. Pedoman praktis berternak ayam kampung pedaging. http://sentralternak.com/index.php/2009/09/10/pedoman-praktis-beternak-ayam-kampung-pedaging/ [9 Oktober 2011]
Baker EW, Canin JH. 1958. Guide to The Families of Mites. America : The Institute of Arcalogy, Departemen Zoology.
Butcher GD, Beck C. 1993. Knemidokiptic mange in pet birds: Scaly face and scaly leg diseases. http://www.feedbarnstore.com/animalscience/ vm02200.pdf [21 September 2011]
Cahyono B. 2001. Ayam Buras Pedaging. Jakarta: Penebar Swadaya.
Hadi, UK. 2006. Pengenalan artropoda dan biologi serangga. Di dalam: Sigit SH, Hadi UK, editor. Hama Pemukiman Indonesia: Pengenalan, Biologi, dan Pengendaliannya. Bogor: IPB Pr. Hlm 14-22.
Hadi, UK. 2010. Efikasi bifentrin dan sipermetrin terhadap ektoparasit ayam. Laporan Pengujian Efikasi. Laboratorium Entomologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, FKH IPB, Bogor.
Hadi UK, Soviana S. 2010. Ektoparasit: Pengenalan, Diagnosis, dan Pengendaliannya. Bogor: IPB Pr.
Hien OC, Diarra B, Dabire R, Wangrawa J, Sawadogo L. 2011. Effects of external parasite on the productivity of poultry in the traditional rearing system in the sub-humid zone of Burkina Faso. International Journal of Poultry Science 10 (3): 189-196.
Hungerford TG. 1970. Diseases of Poultry including Cage Birds and Pigeons. Sydney: Angus and Robertson.
Ikpeze OO, Amagba IC, Eneanya CI. 2008. Preliminary survey of ectoparasites in chicken in Awka, South-Eastern Nigeria. Animal Research International 5 (2): 848-851.
Johnson WH, Delanney LE, Williams EC, Cole TA. 1977. Principles of Zoology. Ed ke-2. New York: Holt, Rinehart, and Winston.
Kettle DS. 1984. Medical and Veterinary Entomology. New York: John Wiley & Sons.
Mullen GR, Oconnor BM. 2002. Mites (Acari). Di dalam: Mullen GR, Durden L, editor. Medical and Veterinary Entomology. Florida: Academic Pr. Hlm 449-516.
Nurcahyo EM, Widyastuti YE. 2002. Usaha Pembesaran Ayam Kampung Pedaging. Jakarta: Penebar Swadaya.
Pence DB, Cole RA, Bruger KE, Fischer JR. 1999. Epizootic podoknemidokoptiasis in american robins. Journal of Wildlife Diseases 35 (1): 1-7.
Pickworth CL, Morishita TY. 2003. Common external parasites in poultry: Lice and Mites. http://en.engormix.com/MA-poultry-industry/health/article.htm [19 Juni 2011]
Quintero MT, Itza M, Juarez G, Eleno A. 2006. Seasonality of Megninia ginglymura: a one year study in a hen farm in Yucatan, Mexico. Di dalam: Sabelis MW, Bruin J, editor. Trends in Acarology. Proceedings of the 12th International Congress; Amsterdam, 21-26 Agustus 2006. New York: Springer. Hlm 537-538.
Sangvaranond A, Jittapalapong S, Sutasha K, Chimnoi W. 2007. Case report: Cnemidocoptiasis (scaly leg) of paddyfield pipit bird (Anthus rufulus) in Petchaburi Province of Thailand. Kasetsart Veterinarians 17 (2): 91-96. Sarwono B. 2003. Beternak Ayam Buras. Jakarta: Penebar Swadaya.
Schulz TA, Stewart JS, Fowler ME. 1989. Knemidokoptes mutans (Acari: Knemidocoptidae) in a great-horned owl (Bubo virginianus). Journal of Wildlife Diseases 25 (3): 430-432.
Shoker NI, Tawfek NS, Ibrahim MH, Osman ES. 2001. Mites associated with some birds in El-Minia Governorate, Upper Egypt. Egyptyan Journal of Biology 3: 124-136.
Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods, and Protozoa of Domisticated Animals. Ed ke-7. London: The English Language Book Society and Bailliere Tindall.
Stevens L. 1991. Genetics and Evolution of The Domestic Fowl. Cambridge: Cambridge Univ Pr.
Storer TI, Usinger RL, Nybakken JW. 1968. Elements of Zoology. Ed ke-3. New York: McGraw-Hill.
Suprijatna E, Atmomarsono U, Kartasudjana R. 2008. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Jakarta: Penebar Swadaya.
Tabbu CR. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Yogyakarta: Kanisius. Tarwiyah. 2001. Intensifikasi ternak ayam buras.
http://www.warintek.ristek.go.id/peternakan/budidaya/ayam_buras.pdf [20 Juni 2011]
Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary Parasitology. Ed ke-3. Oxford: Blackwell.
Wiranata, IGAB. 2003. Hukum Adat Indonesia, Perkembangannya dari Masa ke Masa. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Lampiran 1
Tabel 1 Sistem pemeliharaan ayam kampung oleh masyarakat Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut
No. Nama Pengetahuan Sistem Pemeliharaan Ayam
Σ Ayam (ekor)
Σ Ayam Terinfestasi Kaki Kapur (ekor)
Persentase
(%)
Cara
Pemeliharaan
1 Bapak Tatang 10 2 20 Dilepas
2 Bapak Umar 10 1 10 Dilepas
3 Ibu Ida 8 2 25 Dilepas
4 Bapak Irman 8 1 12,5 Dikandangkan
5 Bapak Gri 5 1 20 Dilepas
6 - - - - -
Lampiran 2
Tabel 2 Data umur, pendidikan, dan pekerjaan masyarakat Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut
No. Nama Data Responden
Umur Pendidikan Pekerjaan
1 Bapak Tatang 56 th SD Petani
2 Bapak Umar 41 th SD PNS
3 Ibu Ida 53 th SD Ibu Rumah Tangga
4 Bapak Irman 32 th SD Petani
5 Bapak Gri 60 th SD Petani
6 - - - -
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Seiring peningkatan kesejahteraan masyarakat, meningkat pula kebutuhan
protein hewani. Sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi masyarakat
berasal dari produk unggas, yaitu daging dan telur. Hal ini mengakibatkan
permintaan bahan makanan tersebut meningkat dan mendorong masyarakat untuk
memelihara ternak unggas. Jenis unggas yang banyak dipelihara oleh masyarakat
adalah ayam kampung.
Masyarakat lebih memilih memelihara ayam kampung karena mudah
dipelihara secara sederhana. Selain itu, masyarakat memelihara ayam kampung
sebagai pekerjaan sampingan sehingga pemeliharaannya tidak mendapatkan
perhatian yang serius seperti ayam jenis lainnya. Cara pemeliharaan ayam
kampung yang tidak intensif dan sangat sederhana membuat ayam kampung
rentan terhadap penyakit. Penyakit yang biasa menyerang ayam kampung selain
disebabkan oleh virus dan bakteri juga disebabkan oleh infestasi ektoparasit.
Ektoparasit merupakan parasit yang hidup menumpang di luar atau pada
permukaan inangnya. Infestasi ektoparasit di permukaan kulit dan di antara bulu
dapat menyebabkan iritasi, kegatalan, peradangan, kudisan, miasis, atau berbagai
macam bentuk alergi. Dampak yang ditimbulkan jika ayam terinfestasi ektoparasit
adalah menurunnya status gizi, turunnya produksi daging dan telur secara drastis
(Hadi & Soviana 2010). Hien et al (2011) dalam penelitiannya menyatakan akibat dari infestasi ektoparasit tungau dan kutu adalah meningkatnya tingkat kematian
dan menurunnya laju pertumbuhan ayam.
Penyakit yang disebabkan oleh ektoparasit satu di antaranya adalah kaki
berkapur. Ayam yang menderita penyakit ini memperlihatkan gejala klinis
hiperkeratosis atau keratinisasi sehingga sisik pada kaki ayam menjadi tebal dan
tampak putih seperti kapur (Lapage 1962). Kasus penyakit kaki berkapur ini juga
pernah dilaporkan terjadi pada beberapa negara di dunia. Pence et al. (1999) melaporkan kejadian kasus kaki berkapur yang terjadi pada burung migrasi
jamaicensis, sedangkan Shoker et al. (2001) mendapatkan kasus kaki berkapur pada unggas-unggas di Mesir yang disebabkan oleh K. mutans. Ikpeze et al.
(2008) juga menemukan kaki berkapur pada burung di Nigeria yang disebabkan
juga oleh K. mutans. Sangvaranond et al. (2007) menemukan kasus knemidokoptiasis pada unggas di Thailand. Schulz et al. (1989) juga melaporkan
K. jamaicensis pada burung hantu Bubo virginianus sebagai penyebab scaly leg. Di Indonesia, sejauh ini kasus kaki berkapur belum banyak dilaporkan.
Sedikitnya laporan tentang kejadian kasus kaki berkapur disebabkan oleh
kurangnya perhatian masyarakat dan pemerintah (dinas peternakan). Hal ini
mungkin disebabkan oleh kerugian ekonomi yang ditimbulkannya tidak terlalu
besar. Beberapa saat yang lalu Penulis menemukan kasus kaki berkapur pada
ayam di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut. Kampung Adat
Pulo merupakan sebuah kampung yang menganut hukum adat yang unik. Jumlah
kepala keluarga yang menempati kampung ini hanya sebatas enam kepala
keluarga saja. Hukum adat yang berlaku lainnya adalah masyarakat kampung ini
tidak diperbolehkan memelihara hewan besar seperti sapi, kerbau, kambing, dan
domba. Hewan yang banyak dipelihara oleh masyarakat Kampung Adat Pulo
adalah ayam kampung.
Masyarakat di sini memelihara ayam kampung sebagai sumber makanan.
Sistem pemeliharaan yang mereka lakukan sangat sederhana. Ayam yang
dipelihara oleh mereka tidak diperbolehkan untuk dijual kepada masyarakat lain,
sehingga ayam tersebut tidak menyebar keluar dari Kampung Adat Pulo. Mereka
juga tidak begitu memperhatikan kesehatan ayam peliharannya. Akibat dari
kurangnya perhatian masyarakat, ayam kampung yang dipelihara banyak yang
terjangkit penyakit kaki berkapur. Kebijakan mereka untuk tidak menjual ayam
mereka kepada masyarakat lain juga menyebabkan kejadian kaki berkapur
menyebar secara merata pada ayam pelihara mereka.
Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian untuk mengetahui penyebab
kaki berkapur perlu dilakukan. Jika penyebabnya telah diketahui maka dapat
yang tepat dapat meningkatkan kembali kesehatan dan nilai ekonomi ayam
kampung.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi penyebab kasus kaki
berkapur (scaly leg) pada ayam di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut.
1.3 Manfaat
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi yang
bernilai bagi ilmu pengetahuan dan dapat digunakan sebagai dasar untuk
melakuan pengendalian terhadap infestasi ektoparasit pada ayam.
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ayam Kampung
Ayam kampung merupakan hewan vertebrata yang termasuk dalam kelas
Aves dengan ordo Galliformes dan spesies Gallus domesticus. Ayam kampung telah berkembang pesat di Indonesia dan telah banyak dipelihara oleh masyarakat
Indonesia sebagai pemanfaatan perkarangan, pemenuhan gizi, dan tambahan
pendapatan sehingga ayam kampung sangat mudah ditemukan di berbagai tempat.
Unggas ini memiliki daya adaptasi yang tinggi sehingga mampu menyesuaikan
diri dengan berbagai situasi, lingkungan, dan iklim yang ada. Masyarakat pada
umumnya memelihara ayam kampung karena sebagai usaha sampingan sehingga
pemeliharaan ayam kampung sangat sederhana (Sarwono 1999; Tarwiyah 2001).
Gambar 1 Ayam kampung (sumber: www.wikimedia.org)
Ayam kampung (Gambar 1) telah ada dan didomestikasi sejak lama,
bahkan sebelum masehi. Umur yang sangat tua ini membuat nenek moyang ayam
kampung melalui proses evolusi yang sangat panjang. Ayam kampung yang
dipelihara saat ini bermula dari domestikasi ayam hutan dengan proses yang
sangat panjang. Ada dua teori tentang proses domestikasi ayam hutan ini, yaitu
teori monophyletic dan teori polyphyletic. Teori monophyletic adalah teori yang digagas oleh Charles Darwin. Menurutnya ayam peliharaan berasal dari satu jenis
polyphyletic, ayam pelihara yang ada sekarang berasal dari beberapa jenis ayam hutan yang saat ini masih ada di berbagai belahan dunia, yaitu Gallus gallus,
Gallus sonneratti, Gallus laffayetti, dan Gallus varius (Stevens 1991; Suprijatna
et al. 2008).
2.2 Morfologi Ayam Kampung
Ayam kampung (G. domesticus) memiliki tubuh yang kecil, produktivitas telur yang rendah, dan pertumbuhan tubuh yang lambat. Suara dan penampilan
yang sangat tidak menarik membuat ayam kampung (G. domesticus)tidak dijadikan ayam hias (Nurcahyo & Widyastuti 2002). Ayam ini memiliki warna
bulu yang bervariasi dari warna putih, hitam, cokelat, kuning, atau kombinasi
warna-warna tersebut. Warna kulit yang dimiliki ayam kampung (G. domesticus) kuning pucat, muka merah, dan kaki yang panjang serta kuat (Cahyono 2001).
Kedua kaki pada ayam kampung (G. domesticus) mempunyai dua segmen dan sebuah tulang kering ramping yang hanya terdiri dari tendon serta tumit yang
bercakar empat (Storer et al. 1968).
Pada bagian kepala ayam terdapat paruh, jengger, cuping, dan pial. Paruh
berasal dari tulang wajah yang mengalami perpanjangan. Paruh bawah pada ayam
terbentuk dari lima tulang. Pada paruh atas terdapat dua nostril atau lubang hidung. Jengger berwarna merah karena umumnya pada bagian epidermis kulit
ayam terdapat banyak pembuluh darah, sedangkan pial yang merupakan cuping
telinga berdaging tebal yang terletak di bawah bagian telinga, warnanya
tergantung dari masing-masing bangsa ayam. Kedua organ ini merupakan kulit
yang menjulur ke luar (Johnson et al. 1977; Suprijatna et al. 2008). Jengger dan pial sangat istimewa pada ayam dan beberapa jenis burung lainnya. Oleh karena
itu jengger dan pial dapat dijadikan indikator karakteristik kelamin sekunder
karena sangat sensitif terhadap hormon seks (Storer et al. 1968).
Mata ayam terletak di lateral dan memiliki ukuran besar dengan kelopak
mata yang gemuk dan di dalamnya terdapat kelopak ketiga yang transparan, yaitu
membran nictitan. Ayam berbeda dengan vertebrata lainnya karena tubuhnya
hampa udara yang sangat banyak. Keberadaan ruang hampa udara ini menjadi
pelengkap dalam menghasilkan bulu kontur yang halus dan melindungi tubuh
(Storer et al. 1968).
2.3 Biologi dan Perilaku Ayam Kampung
Ayam kampung mencapai bobot 1,5 kg dalam waktu tiga puluh minggu.
Waktu ini lebih lama apabila dibandingkan dengan ayam ras yang hanya
memerlukan waktu sampai tujuh minggu (Nurcahyo & Widyastuti 2002). Semua
unggas adalah hewan berdarah panas yang mempunyai temperatur 40.5 sampai
42.2 °C pada siang hari dan lebih rendah pada malam hari (Storer et al. 1968). Menurut Suprijatna et al. (2008), temperatur rata-rata dari ayam dewasa adalah sekitar 40.5 sampai 41.6 °C dan day old chick (DOC) memiliki temperatur sekitar 38.8 °C. Temperatur induk ayam yang sedang mengeram lebih rendah
dibandingkan induk yang tidak mengeram karena tingkat metabolisme yang
rendah.
Ayam mengalami pertumbuhan bulu dan rontok secara alami. Proses
rontok bulu ini dinamakan molting. Proses ini berlangsung secara periodik sekitar setahun sekali dan dalam suatu pola pertumbuhan. Bulu baru akan tumbuh pada
tempat bulu yang rontok karena pengaruh hormonal (Suprijatna et al. 2008). Ayam kampung merupakan unggas diurnal yang tidur pada malam hari. Hewan
diurnal memiliki karakteristik berbeda setiap spesiesnya pada lokasi tidur atau
kebiasaan saat tidur, seperti memutar kepalanya ke belakang atau
menyembunyikan kepalanya ke bawah sayap. Hal ini membuat paruhnya tetap
hangat dan ayam bernafas dengan udara yang hangat (Storer et al. 1968; Storer et al. 1979).
2.4 Ektoparasit pada Ayam
Artropoda merupakan golongan makhluk hidup yang paling besar di dunia.
Lebih dari 80% dari seluruh jenis hewan adalah Artropoda, menghuni semua jenis
habitat yang ada, baik terrestrial maupun akuatik. Di antara anggota filum
Artropoda diketahui ada yang bermanfaat bagi kehidupan manusia dan ada juga
ini lebih dikenal sebagai ektoparasit. Ektoparasit merupakan parasit yang hidup di
luar atau pada permukaan inangnya dengan cara menumpang. Anggota Artropoda
yang merupakan kelompok ektoparasit adalah kelas Insekta dan Arachnida.
Arachnida dapat menjadi agen penyebab penyakit secara langsung karena mereka
dapat mentransmisikan mikroorganisme patogen. Caplak dan tungau merupakan
ektoparasit yang termasuk ke dalam kelas Arachnida (Hungerford 1970; Hadi
2006).
2.4.1 Tungau
Lebih dari 250 spesies tungau menjadi masalah bagi kesehatan manusia
dan hewan. Masalah yang sering ditimbulkan oleh tungau adalah iritasi pada kulit,
dermatitis pada hewan, alergi, penyebar mikroorganisme patogen, inang dari
parasit lain, gangguan pada saluran telinga dan pernafasan, akarofobia, dan
gangguan psikis (Mullen & Oconnor 2002). Tungau merupakan ektoparasit yang
memiliki ukuran tubuh sangat kecil dan hampir tidak kasat mata. Kebanyakan
tungau hidup di alam bebas dan hanya beberapa saja yang hidup sebagai
ektoparasit (Hadi & Soviana 2011).
Tubuh tungau terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu gnatosoma dan
idiosoma. Pada bagian gnatosoma terdapat pedipalpus dan khelisera, sedangkan
pada bagian idiosoma terdapat kaki dan mata. Pedipalpus merupakan perangkat
sensor bagi tungau. Pedipalpus dilengkapi dengan zat kimia dan sensor taktil yang
membantu tungau dalam mencari makanan dan mengenali lingkungannya (Mullen
& Oconnor 2002). Mata yang dimiliki tungau hanya satu atau mata tunggal. Kaki
pada tungau dewasa berjumlah empat pasang sedangkan larvanya hanya memiliki
tiga pasang saja. Tungau bernafas dengan menggunakan stigmata atau lubang
pernafasan. Letak stigmata pada tungau berbeda-beda. Tungau subordo
Mesostigmata memiliki stigmata yang terletak di antara pasangan kaki ketiga dan
keempat, subordo Prostigmata memiliki stigmata yang terletak pada bagian depan
tubuh, dan pada subordo Astigmata tidak memiliki stigmata. Tungau Astigmata
bernafas dengan menggunakan permukaan tubuhnya yang lembut (Hadi &
Secara umum, siklus hidup tungau terdiri atas fase telur, larva, nimfa, dan
dewasa. Fase nimfa pada tungau terdiri dalam tiga tahap, yakni protonimfa,
deutonimfa, dan tritonimfa. Bergantung dari kelompok taksonominya, satu atau
lebih fase dalam siklus hidup tungau dapat tidak terjadi. Hal ini dapat
menyebabkan perbedaan dalam bentuk kehidupan tungau. Telur tungau dapat
disimpan di luar tubuh induk atau di dalam uterus induk sampai menetas.
Perkembangan dari telur hingga dewasa dan jumlah generasi dalam satu tahun
sangat beragam untuk menentukan generasi yang berarti (Mullen & Oconnor
2002).
2.4.1.1 Knemidokopes mutans
Knemidokoptes mutans atau scaly-leg mites termasuk ke dalam ordo Acariformes, subordo Astigmata, dan famili Knemidokoptidae. Tungau ini
banyak menyerang unggas berumur tua. Betina memiliki ukuran 0.5 mm dan
jantan berukuran setengah dari betinanya. K, mutans jantan memiliki kaki yang melebihi tubuhnya (Hungerford 1970). Tungau ini membuat terowongan di bawah
sisik kaki ayam sehingga menyebabkan terjadinya kelainan bentuk dari kaki
unggas. Rongga yang terbentuk akibat terowongan yang terjadi di dalam lapisan
kulit dapat mengakibatkan peradangan proliferatif dan pembentukan keropeng
serta sisik. Walaupun infeksi yang parah dapat mengakibatkan kelumpuhan,
keberadaan tungau ini jarang menimbulkan masalah pada peternakan ayam
komersial (Tabbu 2002). Tungau ini juga menyebabkan iritasi, hiperkeratosis, dan
retakan kulit yang melapisi hampir keseluruhan kaki. Infestasi tungau ini dapat
terjadi secara langsung maupun tidak langsung (Zucca & Delogu 2008).
Konfirmasi diagnosis didapatkan dengan cara melakukan kerokan kulit pada kaki
unggas (Taylor et al. 2007).
2.4.1.2 Knemidokoptes gallinae
Knemidokoptes gallinae juga merupakan tungau yang termasuk ordo Acariformes, subordo Astigmata, dan famili Knemidokoptidae, sama dengan K. mutans. Tungau ini memiliki morfologi yang hampir sama dengan K. mutans,
memiliki habitat di sekitar bulu-bulu pada ayam. Bagian yang sering terinfestasi
adalah kepala, leher, punggung, abdomen, dan kaki bagian atas pada ayam. Ayam
akan terinfestasi jika melakukan kontak langsung dengan unggas penderita
(Taylor et al. 2007). Tungau ini biasa menggali dasar tangkai bulu sehingga menyebabkan iritasi yang mengakibatkan ayam suka mematuki bulunya. Akibat
dari perilaku ini menyebabkan rontoknya bulu pada ayam. Kerontokan bulu pada
ayam dapat mengakibatkan penurunan berat badan dan produksi telur (Tabbu
2002).
2.4.1.3 Ornithonyssus sylvarium
Ornithonyssus sylvarium atau Northern fowl mite merupakan tungau ordo Parasitifomes dengan subordo Mesostigmata dan famili Macronyssidae. Masa
hidup O. sylvarium dihabiskan di tubuh inangnya dan tidak dapat bertahan lebih dari sepuluh hari jika jauh dari inangnya. Tungau dengan ukuran 0.75-1 mm ini
merupakan tungau penghisap darah. Tungau ini dapat menghisap darah mamalia
bahkan manusia jika tidak terdapat inang di sekitarnya. Jika menggigit manusia,
O. sylvarium biasa menyebabkan pruritus (Taylor et al. 2007). O. sylvarium
memiliki keping dorsal yang melebar pada dua per tiga panjang tubuhnya (bagian
atas) dan meruncing seperti lidah pada sepertiga bagian bawah (Gambar 2A). Seta
(rambut kasar) pada bagian dalam keping dorsal tungau ini berukuran lebih kecil
daripada seta yang berada di bagian luar keping dorsal. Keping ventral O. sylvarium dilengkapi dengan dua pasang seta (Soulsby 1982).
Dampak buruk bagi ekonomi muncul pada peternakan ayam. Infestasi
biasanya muncul dari unggas liar atau unggas baru yang telah terinfestasi. Tungau
ini dapat menyebar hanya dalam waktu beberapa minggu saja. Masalah yang
ditimbulkan O. sylvarium berupa iritasi kulit dengan lesio yang tidak terlihat pada tempat gigitan dan mengerutnya bulu yang menjadi keabu-abuan terutama pada
bulu daerah anus ayam. Unggas yang telah terinfestasi parah dapat mengalami
anemia, penurunan bobot badan dan produksi telur, hingga kematian. Kerabang
telur ayam yang terinfestasi tungau ini menjadi lunak dan sedikit kental dan
penurunan produksi telur mencapai 5-15% jika dibandingkan dengan unggas sehat