• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. PEMBAHASAN

6.2. Saran

1. Diharapkan kepada ibu-ibu rumah tangga Lingkungan XIII untuk mulai menumbuhkan sikap sadar gizi, rutin mengikuti posyandu, dan tanggap terhadap informasi-informasi kesehatan terutama informasi mengenai gizi anak dan

keluarga untuk menghindarkan kejadian gizi kurang dan gizi buruk pada bayi dan balita.

2. Diharapkan bagi pihak terkait seperti Dinas Kesehatan, Puskesmas wilayah kerja Kecamatan Medan Sunggal melalui posyandu dan petugas kesehatan lainnya yang terkait dengan penyuluhan untuk lebih menggalakkan lagi Keluarga Sadar Gizi dan meningkatkan penyuluhan mengenai gizi anak dan keluarga.

Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat untuk peneliti lainnya, agar penelitian lebih lanjut dapat menggali hal-hal yang mungkin dapat memengaruhi ketersediaan pangan keluarga atau tindak lanjut dari penelitian ini.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Keluarga

Keluarga adalah sekelompok orang yang tinggal atau hidup bersama dalam satu rumahtangga dan ada ikatan darah. Berdasarkan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), sebuah keluarga terdiri dari ayah, ibu dan dua orang anak (BPS 2010). Setiap keluarga memiliki kebiasaan yang berbeda-beda dalam hal konsumsi pangan. Kebiasaan ini dipengaruhi oleh karakteristik keluarga tersebut, diantaranya pendidikan orang tua, pengetahuan gizi ibu, pekerjaan orang tua, besar keluarga, dan besar pendapatan keluarga.

2.1.1. Pengetahuan Gizi

Pengetahuan gizi dapat mempengaruhi keragaman konsumsi pangan penduduk. Nemun demikian pengaruh positif ini dapat ditiadakan/berubah oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah daya beli atau ekonomi, ketersediaan waktu untuk membeli, mengolah dan menyiapkan makanan, preferensi atau kesukaan pangan, kepercayaan terhadap jenis pangan, dan ketersediaan pangan. Selain faktor tersebut menyebutkan ada faktor lain yang berpengaruh terhadap keragaman konsumsi pangan, yaitu pendidikan gizi, paparan media massa dan pengalaman gizi, usia kedua orang tua, dan partisipasi ibu dalam kegiatan sosial (Hardinsyah, 2007).

Selanjutnya Menurut Suhardjo dkk, (1989), suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan :

2) Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal, pemeliharaan dan energi.

3) Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar menggunakan pangan dengan baik bagi kesejahteraan gizi.

Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan prilaku dalam pemilihan makananyang pada kahirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu tersebut dan keluarganya. Semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi seseorang diharapkan semakin baik pula keadaan gizinya (Irawati. 2004). Secara umum di negara berkembang iu memainkan peran pentingdalam memilih dan menyiapkan pangan untuk dikonsumsi anggota keluarganya.walaupun seringkali para ibu bekerja di luar, mereka tetap mempunyai andil besar dalam kegiatan pemilihan dan penyiapan makanan serta mengidentifikasi pola pengambilan keputusan dalam keluarga (Hardinsyah, 2007).

Umumnya penyelenggaraan makan dalam rumah tangga sehari-hari dikoordinir oleh ibu. Ibu yang mempunyai kesadaran gizi yang tinggi akan melatih kebiasaan makanan sehat sedini mungkin kepada putra-putrinya. Ibu berperan penting dalam melatih anggota keluarganya untuk membiasakan makan yang sehat. Untuk memperoleh pangan sehat dan sesuai dengan standar maka perlu menguasai pengetahuan tentang pemilihan pangan (Riyadi, 2006).

Pengetahuan ibu tentang gizi adalah pa yang diketahui ibu tentang pangan sehat, pangan sehat untuk golongan tertentu (misalnya anak, ibu hamil, dan

Pengetahuan ibu rumah tangga tentang bahan pangan akan mempengaruhi prilaku pangan dan ketidaktahuan dapat menyebabkan kesalahan dalam pemilihan dan pengolahan pangan. Pengetahuan gizi dan pangan yang harus dikonsumsi agar tetap sehat, merupakan faktor penentu kesehatan seseorang (Notoatmodjo, 2007).

Pengetahuan gizi meliputi pengetahuan tentang pemilihan dan konsumsi sehari-hari dengan baik dan memberikan semua zat gizi yang dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh. Pemilihan dan konsumsi bahan makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi apabila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat gizi esensial. Sedangkan status gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat gizi dalam jumlah yang berlebihan, sehingga menimbulkan efek yang membahayakan. (Almatsier, 2009).

2.1.2. Pendidikan

Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan memengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan pelaku pendidikan. Dari batasan ini tersirat unsur- unsur pendidikan, yakni : a) input adalah sasaran pendidikan, b) proses (upaya yang direncakan untuk memengaruhi orang lain, c) out put (melakukan apa yang diharapkan atau perilaku) (Notoatmodjo, 2007).

Menurut Soetjiningsih (1995), pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak. Karena dengan pendidikan yang baik, maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar, terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anaknya, pendidikannya dan sebagainya.

Tingkat pendidikan dalam keluarga khususnya ibu dapat menjadi faktor yang mempengaruhi status gizi anak dalam keluarga. Semakin tinggi pendidikan orang tua maka pengetahuannya akan gizi akan lebih baik dari yang berpendidikan rendah. Salah satu penyebab gizi kurang pada anak adalah kurangnya perhatian orang tua akan gizi anak. Hal ini disebabkan karena pendidikan dan pengetahuan gizi ibu yang rendah. Pendidikan formal ibu akan mempengaruhi tingkat pengetahuan gizi, semakin tinggi pendidikan ibu, maka semakin tinggi kemampuan untuk menyerap pengetahuan praktis dan pendidikan formal terutama melalui masa media. Hal serupa juga dikatakan oleh L. Green, Rooger yang menyatakan bahwa semakin baik tingkat pendidikan ibu, maka baik pula keadaan gizi anaknya (Berg, 1986).

Menurut hasil penelitian Devi (2010), bahwa faktor pengetahuan ibu dan sosial ekonomi keluarga berupa pendapatan memiliki pengaruh terhadap tindakan ibu dalam pencegahan gizi buruk pada balita di wilayah kerja Puskesmas Amplas Kota Medan. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Yusrizal (2008), yang menunjukkan bahwa faktor sosial ekonomi keluarga (pendidikan, jenis pekerjaan) merupakan variabel yang sangat berpengaruh terhadap status gizi anak balita dan pengetahuan merupakan variabel dari faktor budaya masyarakat yang sangat berpengaruh dan paling dominan pengaruhnya terhadap status gizi balita balita di wilayah Pesisir Kabupaten Bireuen.

Menurut Hardinsyah (2007), semakin tinggi pendidikan seseorang, maka aksesnya terhadap media massa (koran, majalah, media elektronik) juga semakin tinggi yang juga berarti aksesnya terhadap informasi yang berkaitan dengan gizi juga

dan banyak di antara mereka yang memperoleh informasi tersebut dari media cetak, khusunya majalah dan koran.

Sebuah penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa ibu dengan tingkat pendidikan dan berpenghasilan lebih tinggi mendapat paparan media massa lebih tinggi juga (BKKBN, 2013). Di Indonesia, seseorang dengan tingkat pendapatan lebih tinggi relatif lebih mudah mengakses televisi dan mereka yang tinggal di daerah perkotaan lebih mudah mengakses berbagai majalah populer. Oleh karena itu, tingkat pendidikan orang tua, pendapatan rumah tangga dan wilayah tempat tinggal (desa atau kota) diasumsikan mempengaruhi kondisi individu seseorang/rumah tangga untuk terpapar media massa.

2.1.3. Pekerjaan

Pekerjaan orang tua turut menentukan kecukupan gizi dalam sebuah keluarga. Pekerjaan berhubungan dengan jumlah gaji yang diterima. Semakin tinggi kedudukan secara otomatis akan semakin tinggi penghasilan yang diterima, dan semakin besar pula jumlah uang yang di belanjakan untuk memenuhi kecukupan gizi dalam keluarga (Soeditama,2004).

Orang tua yang bekerja terutama ibu akan mempunyai waktu yang lebih sedikit untuk memperhatikan dan mengasuh anaknya . Pada umumnya didaerah pedesaaan anak yang orangtuanya bekerja akan diasuh oleh kakaknya atau sanak saudaranya. sehingga pengawasan terhadap makanan dan kesehatan anak tidak sebaik jika orang tua tidak bekerja (Hardinsyah, 2007 ).

Pekerjaan yang berhubungan dengan pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan tentang kuantitas dan kualitas makanan. Ada hubungan yang erat

antara pendapatan yang meningkat dan gizi yang didorong oleh pengaruh menguntungkan dari pendapatan yang meningkat bagi perbaikan kesehatan dan masalah keluarga lainnya yang berkaitan dengan keadaan gizi. Rendahnya penda patan orang-orang miskin dan lemahnya daya beli memungkinkan untuk mengatasi kebiasaan makan dengan cara-cara tertentu yang menghalangi perbaikan gizi yang efektif, terutama untuk anak-anak mereka. (Suhardjo, 1989).

Bagi pekerja wanita, bagaimanapun juga mereka adalah ibu rumah tangga yang sulit lepas begitu saja dari lingkungan keluarga. Wanita mempunyai beban dan hambatan lebih berat dibandingkan rekan prianya. Dalam arti wanita harus lebih dulu mengatasi urusan keluarga, suami, anak, dan hal-hal yang menyangkut masalah rumah tangganya.

Pada kenyataannya banyak wanita yang tidak cukup mampu mengatasi hambatan itu, sekalipun mereka mempunyai kemampuan teknis yang cukup tinggi jika mereka tidak mampu menyeimbangkan peran gandanya tersebut akhirnya mereka akan kerepotan. Akan tetapi bukan berarti wanita yang tidak bekerja merupakan jaminan bahwa anak-anaknya akan menjadi lebih baik dibanding dengan anak-anak dari wanita yang bekerja (Anoraga, 1998).

Ibu-ibu yang bekerja dari pagi hingga sore tidak memiliki waktu yang cukup bagi anak-anak dan keluarga (Berg, 1986). Dalam hal ini ibu mempunyai peran ganda yaitu sebagai ibu rumah tangga dan wanita pekerja. Walaupun demikian ibu dituntut tanggung jawabnya kepada suami dan anak-anaknya, khususnya memelihara anak (Singarimbun, 1988). Keadaan yang demikian dapat memengaruhi keadaan gizi

mempunyai cukup waktu untuk memperhatikan makanan anak yang sesuai dengan kebutuhan dan kecukupan serta kurang perhatian dan pengasuhan kepada anak (Berg, 1986).

2.1.4. Pendapatan Keluarga

Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang menyebabkan orang-orang tak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan. Rendahnya pendapatan itu mungkin disebabkan menganggur atau setengah menganggur karena susahnya memperoleh lapangan kerja-tetap sesuai dengan yang diinginkan. Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak-anak baik yang primer maupun yang sekunder (Soetjiningsih, 1995).

Pendapatan keluarga mempengaruhi ketersediaan makanan bergizi untuk keluarga. Ketahanan pangan yang tidak memadai pada keluarga dapat mengakibatkan gizi kurang. Oleh karena itu, setiap keluarga diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan dan ketersediaan makanan bergizi untuk seluruh anggota keluarganya. Faktor penting yang disuga sebagai determinan dalam keragaman konsumsi pangan adala daya beli pangan. Pola ‘daya beli pangan’ ini merupakan hal yang umum dalam pustaka ekonomi, walaupun hal ini tidak dapat dikukur secara langsung. Daya beli pangan biasanya didefinisikan sebagai kemampuan ekonomi rumah tangga untuk memperoleh bahan pangan yanng ditentukan oleh besrnya alokasi pendapatan untuk pangan, harga bahan pangan yang dikonsumsi, dan jumlah anggota rumahtangga. Dengan kata lain, daya beli pangan tergantung pada besarnmya pendapatan dan harga bahan pangan (Hardinsyah, 2007).

Menurut Soekirman (2000), apabila pendapatan meningkat pola konsumsi pangan akan semakin beragam, serta umunya akan terjadi peningkatan konsumsi pangan yang lebih bernilai gizi tinggi. Peningkatan pendapatan lebih lanjut tidak hanya akan meningkatkan keanekaragaman konsumsi pangan dan peningkatan konsumsi pangan yang lebih mahal, tetapi juga terjadi peningkatan konsumsi pangan di luar rumah. Pola kondisi terjadi peningkatan pendapatan, konsumen akan membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan persentase yang semakin kecil.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pangsa pengeluaran pangan cenderung semakin menurun sejalan dengan meningkatnya pendapatan walaupun total pengeluaran semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rachman (2004) mengenai hukum Working yaitu pangsa pengeluaran pangan memiliki hubungan yang negatif dengan pengeluaran rumah tangga. Masyarakat akan terdorong memilih pangan dengan nilao prestise yang lebih tinggi sesuai dengan pendapatannya yang meningkat.

Menutut Madanijah (2004), menyatakan bahwa perubahan pendapatan secara langsung dapat mempengaruhi perubahan konsumsi keluarga. Jika pendapatan meningkat maka pembelian pangan dalam kualitas maupun kuantitas akan lebih baik. Jika pendapatan meningkat, [embelanjaan untuk membeli makan lainnya. Dengan demikian pendapatan merupakan faktor yang selanjutanya akan berpengaruh terhadap zat gizi.

2.1.5. Jumlah Anak

Anggota rumah tangga adalah semua orang yang biasanya bertempat tinggal di suatu rumah tangga, baik berada di rumah pada saat pencacahan maupun sementara tidak ada. Anggota rumah tangga yang telah berpergian enam bulan atau lebih, dan anggota rumah tangga yang bepergian kurang dari enam bulan tetapi bertujuan pindah atau akan meninggalkan rumah enam bulan atau lebih, tidak dianggap anggota rumah tangga. Orang yang telah tinggal di suatu rumah tangga enam bulan atau lebih, atau yang telah tinggal di suatu rumah tangga kurang dari enam bulan tetapi berniat cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya, sehingga kuantitas dan kualitas perawatan kurang terpenuhi. Sebaliknya, ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima perannya dengan sepenuh hati (Gabriel, 2008).

Menurut Hardinsyah (2007), menyatakan bahwa pasangan orang tua dengan usia lebih tua kemingkinan mempunyai pengetahuan gizi dan kesehatan lebih baik jika dibandingkan dengan pasangan orangtua dengan usia muda karena pengalam mereka dalam menggunakan berbagai layanan kesehatan. Akan tetapi, bahwa pasangan orang tua dengan usia lebih tinggi mungkin mempunyai kekurangan informasi tentang pengetahuan gizi yang terbaru jika dibandingkan dengan pasangan orang tua dengan usia muda. Hal ini terjadi karena perkembangan ilmu gizi dan berbagai promosi produk-produk gizi dan kesehatan.

2.2. Ketersediaan Pangan

Ketersediaan pangan keluarga merupakan slah satu faktor yang dapat mempengaruhi keputusan individu dalam membuat pilihan terhadap makan untuk

dikonsumsi di rumah. Hal ini penting karena jenis makanan yang dikonsumsi tiap individu mempengaruhi kesehatannya secara keseluruhan. Ada sejumlah faktor yang dapat mempegaruhi ketersediaan pangan keluarga, seperti komposisi rumah tangga, akses ke outlet makanan, pendapatan rumah tangga, transportasi ke akses pangan, pendapatan, dan fasilitas penyimpanan rumah tangga (Sisk, Sharkey, Mcintosh & Anding, 2010).

Ketersedian dan distribusi pangan serta konsumsi pangan merupakan subsistem dari ketahanan pangan. Ketersediaan dan distribusi pangan memfasilitasi pasokan pangan yang stabil dan merata ke seluruh wilayah. Subsistem konsumsi pangan memungkinkan setiap rumah tangga memperoleh pangan yang cukup dan memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga (Suryana, 2008).

Rasmussen, Krolner & Klep (2006), melaporkan ketersediaan pangan rumah tangga sebagai salah satu faktor penentu yang paling penting dari pola makan keluarga. Ketersediaan pangan keluarga dianggap sebagi hubungan antara masyarakat atau sumber lingkungan penjualan makanan dan asupan gizi perorangan. Berdasarkan penelitian Sisk, et.al (2010), bahwa masyarakat di Amerika lebih dari 70% ketersediaan pangan di rumah tangga di dapat dari membeli, dan 75% makanan tersebut merupakan sumber energi. Makanan yang tersedia di rumah tangga dapat memberikan gambaran tentang ketersediaan pangan keluarga dan pola konsumsi pangan keluarga.

Pada tingkat rumah tangga, keadaan ketahanan pangan sangat tergantung pada cukup tidaknya pangan yang dikonsumsi oleh setiap anggota rumah tangga dalam

rum ah tangga dapat diketahui berdasarkan perkiraan pengeluaran pangan dalam seminggu terakhir. Dari data SUSENAS tahun 1995 dan 2003 terjadi perubahan rasio pengeluaran pangan sumber nergi 32.64% tahun 1995 menjadi 24,2 % tahun 2003. Pengeluaran pangan untuk makanan jadi meningkat dari 7,9% tahun 1995 menjadi 8,7% tahun 2003. Pengeluaran pangan untuk konsumsi lainnya juga meningkat, terutama ikan, daging dan buah-buahan.

2.3. Karakteristik Keluarga dengan Ketersediaan Pangan Keluarga

Dari hasil penelitian Fauziaty (2007), menunjukkan bahwa peningkatan besar keluarga berhubungan negatif dengan konsumsi panngan hewani dan makanan pokok, yang mengakibatkan menurunnya konsumsi energi dan protein. Keluarga yang mempunyai jumlah anggota kurang dari empat orang, dapat menyediakan energi sebesar 181% dari kebutuhannya;keluarga yang mempunyai jumlah anggota empat sampai tujuh orang, dapat menyedikan energi sebesar 95% dari kebutuhannya; sedangkan keluarga dengan jumlah anggota lebih dari tujuh orang hanya dapat menyediakan energi sebesar 68% dari kebutuhannya. Hasil penelitian tersebut juga memperlihatkan bahwa meningkatnya besar keluarga mempengaruhi pemilihan bahan pangan kepada yang lebih murah.

Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kekurangan gizi antara lain makanan yang tidak seimabng dan penyakit infeksi. UNICEF (1998) telah mengembangkan kerangka konsep makro sebagai salah satu strategi untuk menanggulangi masalah kurang gizi. Dalam kerangka tersebut dapat disimpulkan bahwa penyebab masalah gizi kurang dapat dibagi dua bagian yaitu penyebab langsung dan tidak langsung. Faktor penyebab langsung seperti makanan yang tidak

seimbang dan penyakit infeksi, dan diantara keduanya saling berhubungan. Pada anak yang konsumsi makanannya tidak cukup, maka daya tahan tubuhnya lemah. Pada keadaan tersebut mudah terserang penyakit infeksi yang dapat mengurangi nafsu makan dan akhirnya dapat menderita kurang gizi.

Sedangkan untuk faktor penyebab tidak langsung berupa ketersediaan makanan, pola asuh serta sanitasi dan pelayanan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan. Ketiga penyebab tidak langsung tersebut dapat menyebabkan gizi kurang. Ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai, dimana setiap keluarga diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga dalam jumlah yang cukup baik jumlah maupun mutu gizinya.

Status gizi seseorang merupakan gambaran apa yang dikonsumsi dalam jangka waktu yang cukup lama. Keadaan gizi dapat berupa gizi baik (seimbang), gizi kurang, gizi buruk dan gizi lebih (Supariasa, 2002). Keadaan gizi merupakakan akibat dari keseimbangang antara konsumsi dan penyerapan zat gizi dan penggunaan zat gizi tersebut, atau keadaan fisiologik akibat dari tersedianya zat gizi dalam seluler tubuh. Penentuan gizi seseorang ditentukan oleh beberapa kejadian antara lain pola makan, ketersediaan pangan keluarga, pendapatan keluarga, pendidikan orang tua dan pekerjaan.

Ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga merupakan penentu akses pangan yang pada gilirannya memberi peluang penting untuk meningkatkan konsumsi dan status gizi. Pendapatan, elastisitas permintaan pangan serta alokasi

memadai penyediaan pangan dan kases pangan akan lebih besar, sehingga status gizi baik.

2.4. Kerangka Konsep

Kerangka konsep menggambarkan variabel yang akan diteliti, yang meliputi ketersediaan pangan dan karakteristik keluarga yang dilihat secara deskriptif.

Karakteristik keluarga: - Pengetahuan - Pendidikan - Pendapatan Keluarga - Pekerjaan - Jumlah Anak KETERSEDIAAN PANGAN KELUARGA

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Masalah kekurangan gizi merupakan masalah kesehatan tertinggi di dunia, terutama di negara-negara berkembang. Data statistik daripada United Nation Foods and Agriculture Organization (FAO), menyatakan bahwa kekurangan gizi di dunia mencapai 1,02 milyar orang yaitu kira-kira 15% populasi dunia dan sebagian besar berasal dari negara berkembang. Anak-anak adalah golongan yang sering mengalami masalah kekurangan gizi. Kira-kira setengah daripada 10,9 juta anak yaitu kira-kira 5 juta anak meninggal setiap tahun akibat kekurangan gizi (FAO, 1989).

Menurut data daripada World Health Organization, terdapat empat jenis masalah kekurangan gizi utama dan berpengaruh pada golongan berpendapatan rendah di negara berkembang. Masalah gizi utama tersebut adalah Kurang Energi Protein (KEP), Anemia Gizi Besi (AGB), Kurang Vitamin A (KVA) dan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) (World Health Organization, 1989). Masalah malnutrisi pada anak usia di bawah lima tahun dapat mengganggu proses tumbuh kembang secara fisikal maupun mental dan ini dapat memberikan dampak yang negatif pada sumber daya manusia pada masa mendatang.

Menurut kerangka pikir UNICEF (1998) terdapat faktor langsung dan faktor tidak langsung terhadap terjadinya gizi kurang dan gizi buruk pada anak. Faktor yang langsung mempengaruhi adalah tingkat konsumsi dan ada tidaknya penyakit. Faktor tidak langsung terdiri atas ketahanan pangan keluarga, pola asuh anak, serta

pengetahuan, dan keterampilan dari anggota keluarga. Lebih lanjut Riyadi (2006) menyatakan bahwa status gizi dan keadaan kesehatan merupakan dua faktor yang saling berinteraksi.

Pertumbuhan dan perkembangan anak yang baik diantaranya ditentukan oleh ketersediaan makanan yang bergizi sejak dini. Namun sayang untuk beberapa daerah akses terhadap produk makanan yang bergizi dan terjangkau sangatlah rendah. Hal ini diperparah dengan minimnya pengetahuan dan pendidikan ibu tentang gizi seimbang untuk anak-anak mereka. Namun kondisi ini dapat diperbaiki salah satunya dengan mengatasi masalah-masalah di atas serta upaya meningkatkan peran Pos Pelayanan Kesehatan Terpadu (posyandu) yang dapat menjangkau (tersebar luas) di seluruh negeri (Fauziaty, 2007).

Masalah gizi terjadi disetiap siklus kehidupan, dimulai sejak dalam kandungan (janin), bayi, anak, dewasa dan usia lanjut. Periode dua tahun pertama kehidupan merupakan masa kritis, karena pada masa ini terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Gangguan gizi yang terjadi pada periode ini bersifat permanen tidak dapat dipulihkan walaupun kebutuhan gizi pada masa selanjutnya terpenuhi. Pada tingkat individu, keadaan gizi dipengaruhi oleh asupan gizi dan penyakit infeksi yang saling terkait. Apabila seseorang tidak mendapat asupan gizi yang cukup akan mengalami kekurangan gizi dan mudah sakit. Demikian juga bila seseorang sering sakit akan menyebabkan gangguan nafsu makan dan selanjutnya akan mengakibatkan gizi kurang (Depkes RI, 2007).

Status gizi masyarakat dapat diindikasikan oleh status gizi balita dan ibu hamil. Masalah gizi pada dua kelompok tersebut dapat berpengaruh pada rendahnya

kualitas SDM. Pengaruh dari kedua masalah gizi ini sangat luas dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, baik dalam konteks masalah sosial budaya, maupun ekonomi dan status bangsa. (Dinkes Propinsi Sumatra Utara, 2006).

Menurut laporan UNICEF (United Nations International Children’s Emergency Fund) jumlah anak balita penderita gizi buruk mengalami lonjakan dari

Dokumen terkait