• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Akses KB

1.1 Latar Belakang

Kontrasepsi hormonal adalah alat atau obat kontrasepsi yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kehamilan dimana bahan bakunya mengandung preparat estrogen dan progesteron, hormon-hormon ini bekerja sebagai penghambat pengeluaran folicel stimulating hormon dan leitenizing hormon sehingga proses konsepsi terhambat (Manuaba, 2002).

Kontrasepsi hormonal ini menggunakan hormon dari progesteron. Penggunaan kontrasepsi ini dilakulan dalam bentuk pil, suntikan atau implan. Pada dasarnya, mekanisme kerja hormon progesteron adalah mencegah pengeluaran sel telur dari indung telur, mengentalkan cairan di leher rahim, sehingga sulit ditembus sperma membuat lapisan dalam rahim menjadi tipis dan tidak layak untuk tumbuhnya hasil konsepsi, saluran telur jalannya jadi lambat sehingga mengganggu saat bertemunya sperma dan sel telur.

Kontrasepsi non hormonal adalah kontrasepsi yang tidak mengandung hormone baik estrogen maupun progesteron. Jenis – jenis kontrasepsi non hormonal meliputi metode sederhana (metode kalender, metode suhu badan basal, metode lendir serviks, metode simpo termal, senggama terputus atau coitus interuptus, kondom, diafragma), dan metode modern (IUD tanpa hormon, MOW, MOP). Pada dasarnya cara kerja kontrasepsi non hormonal dengan metode

sederhana adalah menghindari senggama selama kurang lebih 718 hari, termasuk masa subur dari tiap siklus. Sedangkan kondom menghalangi spermatozoa ke dalam traktus genitalia interna wanita (Hartanto, 2004).

Cara kerja IUD terutama mencegah sperma dan ovum bertemu. Sedangkan MOW dan MOP adalah dengan mengikat dan memotong saluran ovum atau sperma sehingga sperma tidak bertemu dengan ovum. Tidak ada satupun yang seratus persen efektif dan semua disertai dengan tingkat risiko tertentu. Akibatnya, perlu ditekankan pentingnya penyuluhan yang tepat dan menyeluruh (Saifuddin, 2006).

Kontrasepsi merupakan upaya untuk mencegah terjadinya kehamilan. Upaya itu dapat bersifat sementara, dapat pula bersifat permanent. Penggunaan kontrasepsi merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi fertilitas Meskipun masing- masing jenis kontrasepsi memiliki tingkat efektivitas yang tinggi dan hampir sama, akan tetapi efektivitas kontrasepsi juga dipengaruhi oleh perilaku dan tingkat sosial budaya pemakainya (BKKBN, 2006).

Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia WHO dan Perseikatan bangsa-bangsa untuk mengembangkan model baru yang secara rinci memperkirakan jumlah kematian ibu di 172 negara, serta jumlah kematian yang mungkin dapat dihindari dengan penggunaan kontrasepsi. Perkiraan menunjukkan bahwa Yunani memiliki angka kematian maternal terendah di Dunia, dengan hanya tiga ibu meninggal per 100.000 kelahiran hidup. Sebaliknya, Chad di Afrika Tengah memiliki tingkat kematian ibu tertinggi di Dunia menurut hitungan dengan 1.465 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Afganistan memiliki tingkat kematian

tertinggi kedua, dengan 1.365 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Tanpa penggunaan kontrasepsi, jumlah kematian ibu akan menjadi 1,8 kali lebih tinggi secara global. Kebutuhan tertinggi kontrasepsi yang belum terpenuhi adalah Sub-Sahara Afrika, dimana hanya 22% wanita yang sudah menikah atau aktif secara seksual menggunakan alat kontrasepsi, dibandingkan dengan 75% di negara maju (Irianto, 2014).

Indonesia merupakan sebuah negara berkembang dengan jumlah peningkatan penduduk yang tinggi. Hasil sensus menurut publikasi BPS pada bulan Agustus 2010 antara lain jumlah penduduk Indonesia adalah 237.556.363 orang, terdiri atas 119.507.600 laki-laki dan 118.048.783 perempuan dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49 persen per tahun. Pertumbuhan jumlah penduduk ini tentu saja akan berimplikasi secara signifikan terhadap perkembangan ekonomi dan kesejahteraan negara (Sulistyawati, 2011).

Laju pertumbuhan penduduk Indonesia dapat dikendalikan dengan mengontrol faktor- faktor yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk yaitu melalui program keluarga berencana untuk mengendalikan fertilitas. Keluarga Berencana merupakan suatu program untuk meningkatkan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pengaturan jumlah kelahiran, pembinaan kesejahteraan keluarga dalam upaya untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Program keluarga Berencana mempunyai tujuan untuk mengendalikan angka kelahiran sehingga dapat meningkatkan kualitas penduduk.

Kesadaran akan pentinggnya kontrasepsi di Indonesia perlu di tingkatkan untuk mencegah terjadinya ledakan penduduk yang merupakan salah satu

permasalahan global yang muncul di seluruh dunia, selain isu pemanasan global, krisis ekonomi, masalah pangan serta menurunnya tingkat kesehatan penduduk. Kekhawatiran akan terjadi ledakan penduduk pada tahun 2015 mendorong Pemerintahan Indonesia menyusun beberapa kebijakan penting karena penduduk yang besar tanpa disertai kualitas yang memadai akan menjadi beban pembangunan serta menyulitkan pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan Nasional (Emon, 2008).

Untuk menahan laju peningkatan jumlah penduduk, indonesia menggunakan program keluarga berencana. Program ini cukup efektif dalam menurunkan laju pertumbuhan penduduk. Prevalensi KB menurut alat KB dari peserta KB aktif di Indonesia adalah 66,20%. Alat KB yang dominan adalah Suntikan 34% dan Pil KB 17%. Peserta KB baru secara Nasional sampai dengan bulan Maret 2012 sebanyak 220.51 peserta. Apabila dilihat pertahunan pada pemakaian kontrasepsi maka dapat dilihat bahwa jumlah peserta IUD sebanyak 6,78% , MOW sebanyak 1,61%, MOP sebanyak 0.52%, Kondom sebanyak 6,21%, Implant sebesar 8, 16%. Suntikan berjumlah 1.008.577 (49,92%), dan pesertaPil 546.597 (27, 05%) akseptor, mayoritas Akseptor KB baru bulan Maret 2012 paling banyak menggunakan non Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (non MKJP) yaitu 83,18%. Sedangkan peserta KB baru yang menggunakan Metode Jangka Panjang seperti IUD, MOW, MOP dan Implant hanya 16,82 % (BKKBN, 2013).

Data Survei Kesehatan dan Demografi Indonesia tahun 2012 suntik dan pil adalah dua alat kontrasepsi yang paling popular sedangkan tingkat pemakaian Implant, IUD, Tubektomi, dan Vasektomi hanya 10.6% dimana jumlah peserta

KB yang memakai Kontrasepsi IUD masih rendah yaitu 3,9%. Padahal, IUD merupakan alat Kontrasepsi yang sangat efektif, murah, dan aman dalam menghentikan kehamilan (SDKI, 2012).

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010- 2014 diarahkan kepada pengendalian kualitas penduduk melalui tiga prioritas utama (1) Revitalisasi Program KB (2) Penyerasian kebijakan pengendalian penduduk dan (3) Peningkatan ketersediaan dan kualitas data serta informasi kependudukan yang memadai, akurat, dan tepat waktu (BKKBN, 2012).

Berdasarkan data dari BKKBN Propinsi Sumatera Utara pada tahun 2012 jumlah PUS adalah 2.317.450 jiwa, pemakaian metode atau alat kontrasepsi pada pasangan usia subur yang masih aktif sebagai peserta KB terdiri dari pemakaian alat kontrasepsi Pil 425.630 (32,54%), Suntik 422.310 (32,30%), IUD 140.480 (10,74%), Implant 121.670 (9,30%), MOW 109.590 (8,38%), Kondom 83.450 (6,38%), dan MOP 4.730 (0,36%) (BKKBN, 2012).

Propil Kesehatan Kabupaten Mandailing Natal (2013) Tingkat pencapaian pelayanan KB dapat digambarkan melalui cakupan peserta KB aktif yang ditunjukkan melalui kelompok sasaran program yang sedang atau pernah menggunakan alat kontrasepsi menurut daerah tempat tinggal, tempat pelayanan serta jenis kontrasepsi yang digunakan akseptor. Persentase peserta KB aktif tahun 2012 sebesar 60, 51% meningkat dari tahun 2013 sebesar 63,91 %. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kesadaran masyarakat khususnya pasangan usia subur untuk mengikuti program KB dan menjadi peserta KB aktif.

Data yang diperoleh dari BKKBN (2014) menyatakan bahwa peserta KB aktif yang menggunakan KB Hormonal di Kabupaten Mandailing Natal jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) Tahun 2012, 2013, 2014 secara berurut yaitu, 72.025, 72.213 dan 76.697. Pada tahun 2012 Jumlah pengguna IUD sebanyak 2.044 akseptor, pengguna PIL 11.914 akseptor dan pengguna Suntik 20.560 akseptor, pengguna Implan sebanyak 3.412 akseptor. Pada tahun 2013 jumlah pengguna IUD sebanyak 2.058 akseptor, pengguna PIL 12.346 akseptor, dan pengguna suntik 21.638 akseptor, pengguna Implan sebanyak 4.554 akseptor.

Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan di dua Puskesmas Siabu dan Puskesmas Sihepeng Kecamatan Siabu pada bulan juli tahun 2015, data dari BBKBN proporsi pencapaian Akseptor KB Aktif 3.576 (99,97%) Akseptor. Berdasarkan peserta KB aktif ,yang memakai kontrasepsi hormonal seperti Suntik sebanyak 1.675 (46,84%) Akseptor, Pil sebanyak 890 (24,88%) Akseptor, Implant 408 (11.40%) Akseptor, jadi seluruh Akseptor yang menggunakan alat kontrasepsi Hormonal sebanyak 83,12% akseptor. Sedangkan pengguna kontrasepsi non Hormonal AKDR/alat kontrasepsi dalam Rahim sebanyak 405 (11,32%) Akseptor, MOP tidak ada MOW sebanyak 125 (3,49%) Akseptor, dan Kondom sebanyak 73 (2,04%) Akseptor, maka jumlah seluruh akseptor KB yang menggunaka alatkontrasepsi Non Hormonal sebanyak16, 85% akseptor .

Ada beberapa kemungkinan kurangnya keberhasilan program KB yaitu salah satunya adalah faktor keterjangkauan atau akses pelayanan KB. Akses pelayanan yang efektif hanya dapat dijamin jika pelayanan terjangkau dalam finansial, dianggap sesuai, dan dapat diterima oleh pengguna pelayanan.

Menurut survei yang telah dilakukan di Puskesmas Siabu pada bulan Juli 2015 bahwa pemilihan alat Kontrasepsi Non Hormonal jauh lebih rendah. Jadi Akseptor mengalami kesulitan di dalam menentukan pilihan jenis kontrasepsi. Hal ini tidak hanya karena terbatasnya metode yang tersedia, tetapi juga ketidaktahuan mereka tentang persyaratan dan keamanan metode kontrasepsi tersebut. Masih banyak yang belum tahu bahwa penggunaan KB non hormonal memiliki manfaat yang sangat baik yaitu dapat digunakan metode kontrasepsi jangka panjang.

Tingkat ekonomi juga mempengaruhi pemilihan pemakian jenis alat kontrasepsi. Hal ini disebabkan karena untuk mendapatkan pelayanan kontrasepsi yang diperlukan akseptor harus menyediakan biaya yang diperlukan. Akan tetapi jika dihitung dari segi keekonomisannya, kontrasepsi jangka panjang lebih murah di banding dengan jangka pendek, kadang masyarakat melihatnya dari segi biaya harus dikeluarkan untuk sekali pasang saja. Jika patokannya adalah biaya setiap kali pasang, mungkin alat kontrasepsi jangka panjang terlihat jauh lebih mahal, tetapi jika dilihat masa atau jangka waktu penggunaannya, tentu biaya yang harus dikeluarkan untuk pemasangan alat kontrasepsi jangka panjang akan lebih murah dibandingkan alat kontrasepsi jangka pendek. Untuk sekali pemasangan alat kontrasepsi Non Hormonal bisa aktif selama 3- 5 tahun, bahkan seumur hidup/ sampai masa menopause. Sedangkan alat kontrasepsi hormonal hanya mempunyai masa aktif 1- 3 bulan saja, yang artinya untuk mendapatkan efek yang sama dengan alat kontrasepsi hormonal, seseorang harus melakukan 12- 36 kali suntikan bahkan berpuluh- puluh kali lipat. (Saifuddin 2003).

Berdasarkan segi biaya yang harus keluarkan untuk pemakainan KB hormonal jauh lebih banyak mengeluarkan biaya dibandingkan KB non hormonal, karna dalam pemakian KB hormonal harus mengeluarkan biaya setiap bulannya untuk pemakain alat kontrasepsi sedangkan Kb non hormonal cukup mengeluarkan biaya sekali saja.

Menurut hasil survei yang telah dilakukan pada bulan Juli tahun 2015 pada Akseptor KB tentang jarak pelayanan KB (BKKBN dan Puskesmas), akseptor mengatakan bahwa sulit menjangkau jarak puskesmas dari pemukiman masyarakat, hal ini membuat akseptor jadi malas untuk berkunjung ke Puskesmas. Bukan hanya itu akseptor juga mengeluarkan biaya ongkos untuk menuju puskesmas dan ini juga membuat akseptor merasa bahwa setiap kunjungan ke puskesmas untuk melakukan pelayanan KB non hormonal seperti IUD, dimana akseptor harus menunggu adanya safari KB gratis dari pemerintah, sedangkan akseptor sendiri tidak tahu kapan jadwal safari dilakukan dan membuat akseptor jadi malas dan kecewa untuk datang ke puskesmas. Akseptor yang sering berkunjung ke puskesmas adalah kalangan menengah ke bawah, masyarakat yang ekonominya lebih baik memilih ke klinik untuk melakukan pemasangan KB non hormonal baik itu IUD, dan MOW sedangkan pemakaian MOP di puskesmas siabu belum ada yang memakainya disebabkan bahwa tingkat pengetahuan tentang pemakaian alat kontrasepsi non hormonal masih rendah karna masih ada masyarakat yang tidak tahu apa itu yang dinamakan metode kontrasepsi pria, dan metode kontrasepsi wanita.

Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang dilakukan bahwa akseptor KB aktif tidak hanya ke puskesmas memasang KB, akan tetapi ke BKKBN juga ini dikarenakan persedian KB di puskesmas sangat minim sehingga tidak semua akseptor dapat memasang atau memperoleh KB di puskesmas. Sehingga pelayanan KB di BKKBN lebih diminati akseptor dibanding dengan puskesmas.

Pengetahuan merupakan hal yang sangat penting dalam pemilihan KB hormonal dan non hormonal dan masih banyak masyarakat yang belum mengetahui manfaat KB hormonal dan non hormonal dimana kurangnya rasa ingin tahu masyarakat dan pemahaman mereka tentang alat kontrasepsi hormonal dan non normonal sehingga pengetahuan mereka masih kurang tentang alat kontrasepsi, sedangkan pengadaan promosi tentang kesehatan masih terbilang jarang bahkan sekali dalam 3 bulan belum tentu terlaksana. Dan promosi tentang KB sangat bagus karna masyarakat bisa lebih cepat mengerti tentang manfaat ber KB. Masyarakat mandailng natal masih kental dengan budaya banyak anak banyak rezeki, sehingga sebagian orang tua mereka merasa tidak perlu khawatir dimana anak tersebut sudah membawa rezeki masing- masing.

Pendidikan seseorang sangat menentukan dalam pola pengambilan keputusan dan penerimaan informasi dari pada seseorang yang berpendidikan rendah. Pendidikan juga akan mempengaruhi pengetahuan dan persepsi seseorang seseorang tentang pentingnya suatu hal, termasuk program KB. Pada akseptor dengan tingkat pendidikan rendah, keikutsertaannya dalam program KB hanya ditujukan untuk mengatur kelahiran. Sementara itu pada akseptor KB dengan tingkat pendidikan tinggi, keikutsertaannya dalam program KB selain mengatur

kelahiran juga meningkatkan kesejahtraan keluarga karena dengan cukup dua anak dalam satu keluarga kecil bahagia dan sejahtera dapat tercapai dengan mudah. Hal ini dikarenakan seseorang dengan tingkat pendidikan lebih tinggi maka memiliki pandangan yang lebih luas tentang suatu hal dan lebih muda menerima ide atau cara kehidupan baru. Dengan demikian, tingkat pendidikan juga memiliki hubungan dengan yang akan digunakan pemilihan jenis alat kontrasepsi (Bappenas, 2010).

Masih rendahnya pemilihan alat kontrasepsi non hormonal membuat penulis tertarik untuk mengetahui dan melakukan penelitian ini tentang Hubungan Akses KB dengan Pemilihan Alat Kontrasepsi Hormonal dan Non Hormonal Pada Akseptor KB Aktif Di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2016.

Dokumen terkait