• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.2 Saran

Diharapkan agar peneliti selanjutnya mengisolasi zat yang berkhasiat sebagai antibakteri dari daun beluntas dan mengujikannya pada bakteri.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Uraian Tumbuhan 2.1.1. Klasifikasi tumbuhan

Menurut Pujowati (2006) klasifikasi dari tumbuhan beluntas sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dycotyledonae Bangsa : Compositales Suku : Compositae Marga : Pluchea

Spesies : Pluchea indica(L.) Less 2.1.2. Morfologi tumbuhan

Beluntas adalah tumbuhan perdu kecil, tumbuh tegak, tinggi mencapai 0,5-2 meter dan kadang-kadang lebih. Percabangannya banyak, berusuk halus, berambut lembut, daun bertangkai pendek dan letak berseling, helaian daun bulat telur sungsang, ujung bulat melancip, tepi bergerigi, berkelenjar, panjang 2,5-9 cm, lebar 1-1,5 cm, warnanya hijau terang, dan bila diremas baunya harum. Bunganya majemuk, keluar dari ketiak daun dan ujung tangkai, cabang-cabang perbungaannya banyak, bunga bentuk bogol bergagang atau duduk serta berwarna putih kekuningan sampai ungu. Beluntas memiliki buah seperti bentuk gasing, kecil, keras, cokelat, sudut-sudut putih. Bijinya kecil dan berwarna coklat keputihan (Dalimartha, 1999).

2.1.3. Habitat dan daerah tumbuhan

Pluchea indica (L.) Less pada umumnya di Indonesia dikenal dengan nama beluntas, khususnya bagi masyarakat Sumatra, Jawa dan Madura. Sulawesi disebut lamutasa dan di Timor disebut lenabou. Dalam pengobatan Cina dikenal dengan luan yi dan di Eropa dikenal dengan marsh heabane (Hariana, 2005). Beluntas umumnya tumbuh liar di daerah kering pada tanah yang keras atau berbatu atau ditanam sebagai tanaman pagar. Tumbuhan ini memerlukan cukup cahaya matahari atau sedikit naungan, banyak ditemukan pada daerah pantai dekat laut, terdapat sampai 1000 m di atas permukaan laut (Ardiansyah, 2005).

2.1.4. Kandungan kimia beluntas

Daun beluntas mengandung alkaloid, flavonoida, tanin, minyak atsiri, asam chlorogenik, kalium, aluminium, kalsium, magnesium dan fosfor. Akarnya mengandung flavonoida dan tanin (Dalimartha, 1999).

2.1.5. Manfaat tumbuhan

Tumbuhan Beluntas dapat digunakan untuk menghilangkan bau badan dan bau mulut, kurang nafsu makan, gangguan pencernaan pada anak, TBC kelenjar (skrofuloderma), nyeri pada rematik, nyeri tulang, sakit pinggang, demam, dating haid tidak teratur dan keputihan (Dalimartha, 1999).

2.2. Kandungan Senyawa Kimia 2.2.1. Alkaloid

Alkaloida merupakan golongan zat sekunder yang terbesar. Alkaloida mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloida mempunyai aktivitas fisiologi yang menonjol, sehingga banyak diantaranya digunakan dalam bidang pengobatan (Harborne, 1987).

2.2.2. Flavonoida

Flavonoida umumnya terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida. Flavonoid berupa senyawa fenol dan telah diketahui memiliki respon terhadap mikroba (Robinson, 1995). Aktivitasnya dikarenakan kemampuannya membentuk kompleks dengan protein seluler dan dinding sel bakteri (Cowan, 1999).

2.2.3. Tanin

Tanin pada tanaman merupakan senyawa fenolik yang larut dalam air yang memiliki berat molekul antara 300-3000 dan menghasilkan reaksi warna biru

dengan besi (III) klorida. Tanin berasal dari bahasa Prancis ‘tanin’ yang

merupakan fenol alami (Khanbabaea, 2001). Secara kimia tanin tumbuhan terbagi dua, yaitu tanin terkondensasi (tanin katekin) dan tanin terhidrolisis (Robison, 1995).

Tanin memiliki kemampuan untuk mengendapkan protein, memiliki aktivitas sebagai antioksidan, antitumor (Robinson, 1995). Sifat antibakteri tanin berhubungan dengan kemampuannya membentuk komplek dengan protein bakteri (Cowan, 1999).

2.2.4. Glikosida

Glikosida adalah suatu golongan senyawa bila dihidrolisis akan terurai menjadi gula (glikon) dan senyawa lain (aglikon atau genin). Glikosida mudah terhidrolisis oleh asam mineral atau enzim. Hidrolisis oleh asam memerlukan panas, sedangkan hidrolisis oleh enzim tidak memerlukan panas (Sirait, 2007).

Berdasarkan ikatan antara glikon dan aglikon, glikosida dapat dibedakan menjadi:

a. Tipe O-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan O.Mayoritas glikosida termasuk ke dalam kelompok ini.

b. Tipe C-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan C, yakni gula melekat pada aglikon melalui ikatan karbon-karbon.

c. Tipe S-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan S. Contoh: sinigrin(C10H16NS2K) yang termasuk ke dalam glikosida glukosinolat dari tumbuhan Brassicaceae.

d. Tipe N-glikosida, ikatan antara bagian dari glikon dengan aglikon melalui jembatan N. Contoh: nikleosidin, kronotosidin.

2.2.5. Saponin

Saponin tersebar luas diantara tanaman tingkat tinggi. Saponin merupakan senyawa berasa pahit, menusuk, menyebabkan bersin dan mengakibatkan iritasi terhadap selaput lendir. Saponin mula-mula diberi nama demikian karena sifatnya yang menyerupai sabun (bahasa Latin sapo berarti sabun). Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat dan menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah. Saponin sangat beracun dalam larutan yang sangat encer, untuk ikan dan tumbuhan yang mengandung saponin telah digunakan oleh penduduk sebagai racun ikan selama beratus-ratus tahun. Beberapa saponin bekerja sebagai antimikroba (Robinson, 1995).

2.2.6. Steroid/triterpenoid

Steroid adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidropenantren (Harbone, 1987). Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis masuk jalur asam mevalonat yang diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Uji yang banyak digunakan ialah reaksi Liebermann-Burchard yang

dengan kebanyakan triterpen dan sterol memberikan warna hijau-biru (Harborne, 1987). Steroid pada umumnya berupa alkohol dengan gugus hidroksil pada C3 sehingga steroid sering juga disebut sterol (Robinson, 1995). Gambar struktur dasar dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3Struktur dasarsteroid(Robinson, 1995) 2.3. Ekstraksi

Ekstraksi adalah penyarian komponen aktif dari suatu jaringan tumbuhan atau hewan dengan menggunakan pelarut yang cocok (Handa, 2008). Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut (Depkes, 2000) yaitu:

1. Cara dingin a. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kalipengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus menerus).Remaserasi berarti dilakukan penyarian berulang dan seterusnya.

b. Perkolasi

Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalubarusampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara,

tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1–5 kali bahan.

2. Cara panas a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

b. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40–50oC.

c. Sokletasi

Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan alat soklet dengan pelarut yang selalu baru sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

d. Infundasi

Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas mendidih, temperatur terukur 96–98oC) selama waktu tertentu (15–20 menit).

e. Dekoktasi

Dekoktasi adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥ 30 menit) dan

temperatur sampai titik didih air. 2.4. Fraksinasi (Ekstaksi Cair-Cair)

Ekstraksi cair-cair merupakan suatu teknik yang mana suatu larutan dibuat bersentuhan (biasanya dalam air) dengan suatu pelarut kedua (biasanya pelarut

organik), yang tidak tercampurkan. Pada proses ini terjadi pemisahan satu atau lebih zat terlarut (solute) kedalam pelarut yang kedua (Basset, 1994).

Pemisahan yang dilakukan bersifat sederhana, bersih, cepat dan mudah, yang dapat dilakukan dengan cara mengocok-ngocok dalam sebuah corong pisah selama beberapa menit (Basset, 1994). Analit-analit yang mudah terekstraksi dalam pelarut organik adalah molekul-molekul netral yang berikatan secara kovalen dengan substituent yang bersifat nonpolar atau agak polar. Senyawa-senyawa yang mudah mengalami ionisasi dan Senyawa-senyawa polar lainnya akan tertahan dalam fase air (Rohman, 2007).

Pelarut yang dipilih untuk ekstraksi pelarut ialah pelarut yang mempunyai kelarutan yang rendah dalam air, dapat menguap sehingga memudahkan penghilangan pelarut organik setelah dilakukan ekstraksi dan mempunyai kemurnian yang tinggi untuk meminimalkan adanya kontaminasi sampel (Rohman, 2007).

2.5. Bakteri

2.5.1. Uraian umum

Bakteri merupakan sekelompok mikroba atau mikroorganisme yang bersel satu, berkembangbiak dengan membelah diri, karena bentuknya sangat kecil sehingga hanya dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop. Nama bakteri

berasal dari kata “bakterion” yang berarti tongkat atau batang

(Dwidjoseputro,1987). Bakteri pada umumnya terdiri dari tiga bentuk dasar, yaitu: bentuk bulat (kokus), batang (basilus) dan spiral (Fardiaz, 1992; Pratiwi, 2008).

Berdasarkan reaksi bakteri terhadap pewarnaan Gram, maka bakteri dapat dibedakan menjadi dua bagian:

a. Bakteri Gram positif, yaitu bakteri yang dapat mengikat zat warna utama (kristal violet)sehingga tampak berwarna ungu tua.

b. Bakteri Gram negatif, yaitu bakteri yang kehilangan warna utama (Kristal violet) ketika dicuci denngan alkohol dan menyerap zat warna kedua sewaktu pemberian safranin tampak berwarna merah (Suryanto, 2006).

2.5.2. Bakteri Escherichia coli

Eschericia coli merupakan bakteri Gram negatif, aerob atau anaerob fakulatif, berbentuk batang, tidak bergerak. Escherichia coli biasanya terdapat dalam saluran cerna sebagai flora normal (Dwidjoseputro, 1987). Bakteri ini tumbuh baik pada suhu 37oC, membentuk koloni yang bundar, halus dan tepi rata. Bakteri ini dapat menjadi patogen bila berada di luar usus atau di lokasi lain dalam jumlah yang banyak (Jawetz, et al., 2001). Sistematika bakteri Escherichia coli (Dwidjoseputro, 1987) adalah sebagai berikut:

Divisi : Schizophyta Kelas : Schizomycetes Ordo : Eubacterales Famili : Enterobacteriaceae Genus : Escherichia

Spesies : Escherichia coli 2.5.3. Bakteri Bacillus subtilis

Bakteri Bacillus subtilisadalah bakteri batang berspora (endospora) yang bersifat positif Gram dan bersifat aerob. Bacillus subtilisdapat menyebabkan meningitis, endokarditis, infeksi mata dan lain-lainnya (FKUI., 1993).Berikut adalah klasifikasi Bacillus subtilis (Madigan, 2005):

Divisi : Firmicutes Kelas : Bacilli Ordo : Bacillales Famili : Bacillaceae Genus : Bacillus

Spesies : Bacillus subtilis

2.6. Fase Pertumbuhan Mikroorganisme

Fase pertumbuhan menurut (Pratiwi, 2008) terbagi menjadi empat macam, yaitu:

a. Fase lag (fase adaptasi)

Merupakan fase penyesuaian mikroorganisme pada suatu lingkungan baru dan bakteri belum mengadakan pembiakan. Ciri fase lag adalah tidak adanya peningkatan jumlah sel tetapi peningkatan ukuran sel.

b. Fase log

Merupakan fase dimana mikroorganisme tumbuh dan membelah pada kecepatan maksimum tergantung sifat media dan kondisi pertumbuhan. Sel baru terbentuk dengan laju konstan dan massa yang bertambah secara eksponensial. c. Fase stasioner (konstan)

Merupakan fase pertumbuhan mikroorganisme berhenti dan terjadi keseimbangan antara jumlah sel yang membelah dengan jumlah sel yang mati. d. Fase kematian

Merupakan fase dimana jumlah sel yang mati meningkat, penyebabnya adalah ketidaktersediaan nutrisi dan akumulasi produk buangan yang toksik.

2.7. Faktor Pertumbuhan Mikroorganisme

Faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dapat dibedakan menjadi faktor fisik dan faktor kimia. Faktor fisik meliputi temperatur, pH dan tekanan osmosis. Faktor kimia meliputi karbon, oksigen, trace elementdan faktor-faktor pertumbuhan organik termasuk nutrisi yang ada dalam media pertumbuhan (Pratiwi, 2008).

2.8. Antibakteri

Antibakteri adalah senyawa yang digunakan untuk mengendalikan pertumbuhan bakteri yang bersifat merugikan. Antimikroba meliputi golongan antibakteri, antimikotik dan antiviral (Ganiswara, 1995). Senyawa antibakteri dapat bekerja secara bakteriostatik dan bakterisidal (Pelezar, 1988). Obat yang digunakan untuk membasmi bakteri penyebab infeksi pada manusia harus memiliki sifat toksisitas yang selektif yaitu toksis terhadap bakteri tetapi relatif tidak toksis terhadap hospes (Ganiswara, 1995). Target kerja antibakteri (antibiotik) berdasarkan spectrum atau kisaran kerjanya antibiotik dapat dibedakan menjadi berspektrum sempit (narrow spectrum) dan antibiotik berspektrum luas (broad spectrum). Antibiotik berspektrum sempit hanya mampu menghambat segolongan jenis bakteri saja, contohnya hanya mampu menghambat atau membunuh bakteri Gram negatif saja atau Gram positif saja. Sedangkan antibiotik Gram berspektrum luas dapat menghambat atau membunuh bakteri dari golongan Gram positif maupun Gram negatif (Pratiwi, 2008).

Berdasarkan mekanisme aksinya, antibiotik dibedakan menjadi lima, yaitu antibiotik dengan mekanisme penghambatan sintesis dinding sel, perusakan membranplasma, penghambatansintesis protein, penghambatan sintesis asam nukleat, dan penghambatan sintesis metabolit esensial (Pratiwi, 2008).

a. Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel

Antibiotik ini adalah antibiotik yang merusak lapisan peptidoglikan yang menyusun dinding sel bakteri Gram positif maupun Gram negatif, contohnya penisiln.

b. Antibiotik yang merusak membran plasma

Antibiotik yang bersifat merusak membrane plasma umum terdapat pada antibiotik golongan polipeptida yang bekerja dengan mengubah permeabilitas membrane plasma sel bakteri. Contohnya adalah polimiksin B yang melekat pada fosfolipid membran.

c. Antibiotik yang menghambat sintesis protein

Aminoglikosida merupakan kelompok antibiotik yang gula aminonya tergabung dalam ikatan glikosida. Antibiotic ini memiliki spektrum luas dan bersifat bakterisidal dengan mekanisme penghambatan pada sintesis protein. d. Antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat (DNA/RNA)

Penghambatan pada sintesis asam nukleat berupa penghambatan terhadap transkripsi dan replikasi mikroorganisme. Yang termasuk antibiotik penghambat sintesis asam nukleat ini adalah antibiotic golongan kuinolon dan rifampisin. e. Antibiotik yang menghambat sintesis metabolit esensial

Penghambatan terhadap sintesis metabolit esensial antara lain dengan adanya kompetitor berupa antimetobolit, yaitu substansi yang secara kompetitif menghambat metabolit mikroorganisme, karena memiliki struktur yang mirip dengan substrat normal bagi enzim metabolism. Contohnya adalah antimetabolit sulfanilamid dan Para Amino Benzoic Acid(PABA).

Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau membunuhnya, masing-masing dikenal sebagai kadar hambat minimal (KHM)

dan kadar bunuh minimal (KBM). Antimikroba tertentu aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik menjadi bakterisid bila kadar antimikrobanya ditingkatkan melebihi KHM (Ganiswara, 1995). Ada beberapa hal yang harus dipenuhi oleh suatu bahan antimikroba, seperti mampu mematikan mikroorganisme, mudah larut dan bersifat stabil, tidak bersifat racun bagi manusia dan hewan, efektif pada suhu kamar dan suhu tubuh, tidak menimbulkan karat dan warna, berkemapuan menghilangkan bau yang kurang sedap, murah dan mudah didapat (Pelezar, 1988).

2.9. Metode Pengujian Aktivitas Antimikroba

Pengujian aktivitas bahan antimiroba secara in vitro dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu metode difusi dan metode dilusi. Pembagian metode difusi dan dilusi, yaitu (Pratiwi, 2008):

1. Metode difusi

a. Metode disc diffusion (tes Kirbydan Bauer)

Piringan yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media agar yang telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antimikroba pada permukaan media agar.

b. E-test

Metode E-test digunakan untuk mengestinasi MIC (minimuminhibitory concentration) atau KHM, yaitu konsentrasi minimal satu agen antimkroba untuk dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Pada metode ini digunakan strip plastic yang mengandung agen antimikroba dari kadar terendah hingga tertinggi dan diletakkan pada permukaan media agar yang telah ditanami mikroorganime.

c. Ditch-plate technique

Pada metode ini sampel uji berupa agen antimikroba yang telah diletakkan pada parit yang dibuat dengan cara memotong media agar dalam cawan petri pada bagian tengah secara membujur dan mikroba uji (maksimum 6 jenis) lalu digoreskan ke arah parit yang berisi agen antimikroba.

d. Cup-plate technique

Metode ini serupa dengan metode disc diffusion, dibuat sumur pada media agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme dan pada sumur tersebut diberi agen antimikroba yang akan diuji.

2. Metode dilusi

Metode dilusi dibagi menjadi dua, yaitu dilusi padat (solid dilution) dan dilusi cair (broth dilution).

a. Metode dilusi cair/broth dilution test (serial dilution)

Metode ini untuk mengukur MIC atau KHM dan MBC atau KBM. Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji.

b. Metode dilusi padat/solid dilution test

Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media padat (solid).

2.10. Sterilisasi

Sterilisasi dalam mikrobiologi berarti proses penghilangan semua jenis organisme hidup yang terdapat pada atau di dalam suatu benda. Metode sterilisasi dibagi dua, yaitu: sterilisasi fisik (menggunakan panas), baik panas basah atau panas kering dan sterilisasi kimia (menggunakan gas atau radiasi) (Pratiwi, 2008).

a. Sterilisasi panas basah

Strerilisasi panas basah dapat dilakukan pada suhu air mendidh 100oC selama 10 menit yang efektif untuk sel-sel vegetatif, namun tidak efektif untuk endospora bakteri. Sterilisasi panas basah menggunakan temperature di atas 100oC dilakukan dengan uap yaitu menggunakan autoklaf. Proses sterilisasi dengan cara mendenaturasi atau mengkoagulasi protein pada enzim dan membran sel mikroorganisme (Pratiwi, 2008), dengan suhu 121oC ( dengan tekanan 15 psi) selama 15-20 menit (Irianto, 2006).

b. Sterilisasi panas kering

Metode sterilisasi ini tidak memerlukan air sehingga tidak ada uap air yang membasahi alat atau bahan yang disterilkan (Pratiwi, 2008). Ada dua metode sterilisasi panas kering yaitu dengan insenerasi, yaitu pembakaran menggunakan api dari bunsen dengan temperatur sekitar 350oC dan dengan udara panas oven dengan temperatur sekitar 160-170oC selama 1-2 jam (Pratiwi, 2008).

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil tanaman obat yang potensial, hasil alam yang paling banyak digunakan sebagai bahan obat adalah tanaman dan telah digunakan dalam kurun waktu cukup lama. Obat-obatan modern berkembang cukup pesat, namun potensi dari tanaman obat tetap tinggi karena dapat diperoleh tanpa resep dokter dan dapat diramu sendiri (Djauhariya dan Hermani, 2004).

Prospek pengembangantumbuhan obat semakin pesat saja mengingat perkembangan industri obat modern dan obat tradisional terus meningkat. Kondisi ini turut dipengaruhi oleh kesadaran masyarakat yang semakin meningkat tentang manfaat tumbuhan sebagai obat. Masyarakat semakin sadar akan pentingnya kembali ke alam (back to nature) dengan memanfaatkan obat-obat alami (Djauhariya dan Hermani, 2004).

Hasil komunikasi personal dengan masyarakat Desa Labuhan Deli, Kecamatan Medan Marelan, Kota Madya Medan, tumbuhan yang berkhasiat obat dikenal dan digunakan masyarakat salah satunya adalah tumbuhan beluntas (Pluchea indica (L.) Less.) dari sukuCompositae. Menurut pengalaman masyarakat,tumbuhan ini berkhasiat untuk meredakan asma dan batuk.

Daun beluntas secara tradisional berkhasiat sebagai penurun demam (antipiretik), meningkatkan nafsu makan (stomakik), peluruh keringat (diaforetik) antidiare dan penyegar (Dalimartha, 1999). Sifat antimikroba daun beluntastelah dilaporkan oleh Purnomo (2001) dan Sumitro (2002). Khasiatdaun beluntas diduga dari beberapa golongan senyawa kimia seperti alkaloid, minyak atsiridan

flavonoid (Hariana, 2006). Menurut Robinson (1995), senyawa flavonoid, saponin, tanin merupakan senyawa kimia yang memiliki potensi sebagai antibakteri dan antivirus. Karekteristik dari simplisia beluntas dilakukan sesuai denganyang tertera di Materia Medika Indonesia (MMI) edisi IV.Menurut Farmakope Indonesia edisi III (1979) penyarian simplisia menggunakan etanol 96%.

Bakteri yang digunakan adalah bakteri Bacillus subtilisyang merupakan salah satu bakteri penyebab batuk.Bakteri ini tersebar di udara dan termasuk dalam golongan bakteri Gram positif.Bakteri dari golongan Gram negatif digunakan bakteriEschericia colimerupakan bakteri yang dapat menyebabkan diare.

Berdasarkan hal di atas dilakukan penelitian uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol dan fraksi-fraksi daun beluntas terhadap bakteri Eschericia coli dan Bacillus subtilis. Bahagian yang digunakan adalah simplisia daun beluntas. Penelitian meliputi karakterisasi simplisia, skrining fitokimia, pembuatan ekstrak, serta uji aktivitas antimikroba dari ekstak etanol dan fraksi-fraksi daun beluntas.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat diambil perumusan masalah yaitu: a. Apakah karakteristik simplisia daun beluntas sesuai dengan yang tertera

diMMI edisi IV?

b. Apakah golongan senyawa kimia yang terdapat di dalam daun beluntas? c. Apakah ekstrak etanol dan fraksi-fraksidaun beluntas memiliki aktivitas

antibakteri terhadap bakteri Gram negatifEscherichia coli dan bakteri Gram positif Bacillus subtilis?

1.3. Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis penelitian adalah: a. Karakteristik simplisia daun beluntas sesuai seprti yang tertera di MMI edisi

IV.

b. Golongan senyawa kimia yang terdapat di dalam adalah alkaloid dan flavonoid.

c. Ekstrak etanol dan fraksi-fraksidaun beluntas memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Gram negatifEscherichia colidan bakteri Gram positif Bacillus subtilis.

1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah:

a. Untuk mengetahui karakteristik simplisia daun beluntas.

b. Untuk mengetahui golongan senyawa kimia yang terdapat di dalam daun beluntas.

c. Untuk mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak etanol dan fraksi-fraksidaun beluntas terhadap bakteri Gram negatifEscherichia colidan bakteri Gram positif Bacillus subtilis.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang karakteristik simplisia, golongan senyawa kimia dan aktivitas antibakteri dari ekstrak etanol, fraksi n-heksana dan etilasetat daun beluntas.

Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Dan Fraksi-Fraksi Daun Beluntas (Pluchea indica (L.) Less.) Terhadap Bakteri Escherichia coliDan Bacillus

subtilis

Abstrak

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil tumbuhan obat yang potensial, hasil alam yang paling banyak digunakan sebagai bahan obat adalah tumbuhan dan telah digunakan dalam kurun waktu cukup lama. Tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat salah satunya adalah tumbuhan beluntas. Penelitian ini dilakukan untuk menguji aktivitas antibakteri daun beluntas.

Tahapan kerja meliputi karakterisasi simplisia, skrining fitokimia dan pembuatan ekstrak etanol daun beluntas secara maserasi kemudian difraksinasi secara berturut-turut dengan pelarut n-heksana, etilasetat dan air. Ekstrak etanol dan fraksi-fraksi selanjutnya diuji aktivitas antibakteri terhadap beberapa bakteri dengan metode difusi agar.

Hasil penelitian yang dilakukan terhadap simplisia daun beluntas diperoleh kadar air 7,33%; kadar abu total diperoleh 6,74%; kadar abu tidak larut asam diperoleh 1,01%; kadar sari larut air diperoleh 20,61%; dan kadar sari larut dalam etanol diperoleh 16,30%. Skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak etanol daun beluntas diperoleh adanya senyawa steroid/triterpenoid, alkaloid, glikosida, flavonoid, saponin dan tanin.Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol memberikan hasil efektif untuk bakteri Eschericia coli pada konsentrasi 400 mg/ml dengan zona hambat 14,38 mm; bakteri Bacillus subtilis konsentrasi 300 mg/ml dengan zona hambat 14,47 mm. Fraksi etilasetat memberikan hasil efektif untuk bakteri bakteri Eschericia coli pada konsentrasi 100 mg/ml dengan zona hambat 15,42 mm; bakteri Bacillus subtilis konsentrasi 100 mg/ml dengan zona hambat 14,10 mm, sedangkan fraksi n-heksana dan fraksi air memberikan hasil yang kurang efektif karena zona hambat di bawah 14 mm. Aktivitas antibakteri yang efektif menghambat bakteri Eschericia colidan Bacillus subtilis adalah ekstrak etanol dan fraksi etilsetat dibandingkan fraksi n-heksana dan fraksi air. Kata kunci : Beluntas, antibakteri, Eschericia coli, Bacillus subtilis.

Antibacterial Activity Test of Extract Ethanol And Fractions of Leaves Beluntas (Pluchea indica (L.) Less.) Against Bacteria Escherichia coliAnd

Bacillus subtilis

Abstract

Indonesia is one of potential medicinal plants country, where natural products are most widely used as a medicinal ingeredient is a plant and it has been

Dokumen terkait