• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.2. Saran

Berdasarkan hasil evaluasi penelitian ini, maka disampaikan saran untuk penelitian selanjutnya, yaitu perlu dilakukan penelitian lanjut terhadap karakteristik aggregat kasar dan aggregat halus sebagai lapisan subgrade dan perlu dilakukan penelitian lanjut untuk daerah-daerah yang menjadi sumber material aggregat.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perkerasan Lentur

Perkerasan lentur terdiri atas aggregat sebagai material utama dan aspal sebagai bahan pengikat dengan atau tanpa bahan tambahan. Material–material pembentuk beton aspal dicampur pada suatu suhu tertentu. Suhu pencampuran ditentukan berdasarkan jenis aspal yang digunakan. Konstruksi perkerasan lentur terdiri dari lapisan–lapisan yang diletakkan di atas tanah dasar yang berfungsi menerima beban lalu lintas dan menyebarkannya ke lapisan di bawahnya.

Lapisan perkerasan terdiri atas 4 lapisan yaitu : lapisan tanah dasar (Subgrade), lapisan pondasi bawah (Subbase), lapisan pondasi atas (Top Base), dan lapisan permukaan (Surface).

Menurut Wright dan Dixon (2004) desain yang tepat dari perkerasan lentur membutuhkan pemahaman menyeluruh tentang karakteristik material dimana perkerasan harus disusun dan didirikan secara sistematis. Berdasarkan dari sifat desain prosedur, material yang dibutuhkan sangat beragam, tapi secara umum dapat dibuat karakteristiknya sebagai berikut:

1. Lapisan permukaan aspal : Kekuatan atau stabilitas (Memungkinkan sifat pengulangan beban).

2. Lapisan base dan subbase : Gradasi, kekuatan, atau stabilitas (kekuatan geser dan sifat pengulangan beban).

3. Lapisan modifikasi atau lapisan stabilisasi : Kekuatan (flextural, compresive).

4. Subgrade : kekuatan atau stabilitas, klasifikasi tanah.

Di dalam tugas akhir ini lapisan yang akan diteliti materialnya hanya lapisan pondasi atas dan lapisan permukaan karena dilapisan ini sering timbul masalah pada lapis perkerasan jalan raya.

2.1.1 Lapisan Pondasi Atas ( Base Course )

Menurut Garber dan Hoel (2002) base course terletak langsung di atas lapisan subbase. Dan terletak langsung di atas subgrade jika lapisan subbase tidak digunakan. Lapisan ini biasanya terdiri dari material batuan seperti batu pecah, batuan slag, batuan kerikil, dan pasir. Spesifikasi untuk material lapis pondasi atas biasanya lebih ketat daripada spesifikasi untuk material subbase, terutama pada plastisitas, gradasi, dan kekuatan materialnya. Material yang tidak mempunyai persyaratan properties dapat digunakan sebagai base material apabila dicampur dengan portland semen, aspal, dan kapur yang distabilisasi dengan baik. Dalam beberapa kasus, lapisan pondasi atas yang bagus dapat diolah dengan aspal atau portland semen untuk memperbaiki atau menambah kekuatan kekakuan pada perkerasan heavy–duty.

Menurut Oglesby dan Hicks (1982) base course adalah lapisan yang terletak tepat di bawah lapisan permukaan. Defenisi ini berlaku untuk lapisan permukaan yang berbitumen ataupun beton semen setebal 8 inchi (20 cm) atau lebih, atau bahkan lapisan tipis yang diawetkan dengan bahan bitumen.

menerima pembebanan yang berat dan paling menderita akibat muatan. Oleh karena itu, material di dalam lapisan pondasi harus berkualitas sangat tinggi dan konstruksi harus dilakukan dengan cermat.

Untuk mencegah terjadinya keruntuhan akibat tegangan yang terjadi langsung di bawah permukaan, lapisan pondasi atas harus terdiri atas bahan bermutu tinggi. Apabila lapisan pondasi atas terdiri atas agregat, maka aggregat tersebut harus bergradasi yang sesuai dengan gradasi yang dicantumkan dalam spesifikasi. Untuk kondisi lalu lintas dan cuaca tertentu, penentuan persyaratan gradasi harus mempertimbangkan berat isi dan stabilitas.

2.1.2 Lapisan Permukaan (Surface Course)

Menurut Garber dan Hoel (2002) lapisan permukaan adalah lapisan teratas pada perkerasan lentur dan dikonstruksi tepat diatas lapisan pondasi atas. Lapisan permukaan pada perkerasan lentur biasanya terdiri dari campuran mineral aggregat dan material aspal. Lapisan ini harusnya mampu untuk menahan tekanan tinggi ban, menahan gaya abrasi lalu lintas, menahan skid–resistant yang disebabkan oleh ban akibat gaya berkendara pengemudi, dan mencegah penetrasi dari air permukaan kedalam lapisan perkerasan. Ketebalan lapisan permukaan dapat bervariasi mulai dari 3 inci, hingga sampai lebih dari 6 inci, tergantung kepada besarnya lalu lintas yang direncanakan dalam perencanaan perkerasan. Kualitas dari lapisan permukaan pada perkerasan lentur tergantung kepada mix design dari aspal yang akan digunakan.

Lapisan permukaan mempunyai fungsi antara lain :  Sebagai bagian perkerasan untuk menahan beban roda

 Sebagai lapisan tidak tembus air untuk melindungi badan jalan dari kerusakan akibat cuaca

 Sebagai lapisan aus (wearing coarse)

Bahan untuk lapisan permukaan umumnya sama dengan bahan untuk lapisan pondasi dengan persyaratan yang lebih tinggi. Penggunaan bahan aspal diperlukan agar lapisan dapat bersifat kedap air, disamping itu bahan aspal sendiri memberikan bantuan tegangan tarik, yang berarti mempertinggi daya dukung lapisan terhadap beban roda. Pemilihan bahan untuk lapisan permukaan perlu mempertimbangkan kegunaan, umur rencana serta tahapan konstruksi agar dicapai

2.2 Batuan

Batuan merupakan asal usul aggregat sebagai material yang bersifat keras dan merupakan material yang tidak dapat dipecahkan dengan cara manual (Atkins,1983).

Menurut Atkins (1983) batuan terbagi dalam tiga kelompok yaitu batuan beku (igneous rock), batuan sedimen (sedimentary rock), dan batuan malihan (metamorphic rock).

A. Batuan Beku

Batuan beku terbentuk dari magma (yang berasal jauh dibawah permukaan), naik ke permukaan dan mengkristal sebagai batuan padat baik dipermukaan atau di bawah permukaan di dalam kerak bumi jika temperaturnya menurun. Yang termasuk dalam batuan beku adalah granit, diorit, andesit, basal dan sebagainya.

Gambar 2.2. Contoh Batuan Beku (Sumber: Google.com) B. Batuan Sedimen

Batuan sedimen secara garis besar diklasifikasikan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari butiran sedimen mekanis yang dibawa ke daerah pengendapan oleh air, angin atau aliran es/salju. Kelompok kedua terdiri dari

mineral–mineral yang terbentuk oleh pengendapan secara kimia dari larutan dalam air, atau oleh akumulasi sisa–sisa bahan organik.

Gambar 2.3. Contoh Batuan Sedimen (Sumber: Google.com) C. Batuan Malihan (Metamorf)

Batuan metamorf terbentuk dari batuan lain akibat terjadinya panas dan tekanan baik secara terpisah ataupun bersamaan. Ada dua kelompok batuan metamorf yaitu batuan metamorfoliasi dimana mineral–mineralnya mempunyai orientasi dalam arah tertentu, dan batuan metamorf masih yang mempunyai tekstur yang acak. Batuan malihan terdiri dari gnesis, migmatit, sekis, filite, dan batu sabak (slate).

2.3 Aggregat

Menurut Sukirman (1999) aggregat adalah bahan keras yang apabila dipadatkan sehingga bersatu kuat akan membentuk struktur pokok bangunan jalan dengan atau tanpa penambahan bahan pengikat. Sedangkan menurut Wright dan Dixon (2004) aggregat merujuk kepada partikel batuan mineral yang biasanya digunakan untuk lapis base jalan raya, subbase, dan galian timbunan. Aggregat juga digunakan dalam kombinasi adonan semen untuk membentuk beton sebagai lapisan base, subbase, lapisan permukaan, dan struktur drainase. Sumber aggregat meliputi galian alam seperti pasir dan kerikil, batuan kapur dan aspal, batuan pecah, dan batuan mineral. Dalam perkembangan lebih lanjut, penggunaan aggregat daur ulang mulai menjadi pertimbangan di tengah semakin berkurangnya sumber daya alam yang ada.

Menurut ukurannya, aggregat dibagi menjadi :

A. Aggregat kasar adalah aggregat dengan ukuran butiran lebih besar dari saringan No.8 (2,36mm).

B. Aggregat halus adalah aggregat dengan ukuran butiran lebih kecil dari saringan No.8 (2,36mm).

C. Bahan pengisi/filler adalah bagian dari aggregat halus yang minimal 75% lolos saringan No.200 (0,075mm).

Aggregat kasar adalah aggregat yang ukurannya lebih besar dari 2,00 mm (ayakan No.10) dan harus terdiri dari atas butiran-butiran atau pecahan-pecahan batu, kerikil atau slag yang keras dan awet (SNI 03-6388-2000).

Menurut Atkins (1983) berdasarkan proses pengolahannya, aggregat dapat dibedakan atas :

A. Aggregat alam/aggregat siap pakai

Aggregat alam adalah aggregat yang dapat digunakan sebagai material perkerasan jalan dengan bentuk dan ukuran sebagaimana diperoleh di lokasi asalnya. Aggregat jenis ini digunakan sesuai dengan bentuk aslinya yang ada di alam atau sedikit mengalami pengolahan.

B. Aggregat yang mengalami proses pengolahan

Aggregat yang diproses adalah batuan yang telah dipecah dan disaring sebelum digunakan. Pemecahan dilakukan karena tiga alasan yaitu : untuk merubah tekstur permukaan partikel dari licin ke permukaan partikel kasar, untuk merubah bentuk dari bulat (rounded) ke kubus (cubical), dan untuk menambah distribusi dari rentang ukuran aggregat.

C. Aggregat buatan

Aggregat ini didapat dari proses kimia atau fisika dari beberapa material sehingga menghasilkan suatu material baru yang sifatnya menyerupai aggregat. Beberapa jenis aggregat ini merupakan hasil sampingan dari proses industri dan proses material yang sengaja diproses agar bisa digunakan sebagai aggregat atau sebagai material pengisi (filler). Slag merupakan contoh aggregat yang di dapat dari hasil sampingan produksi.

Batuan ini adalah substansi non metalik yang timbul ke permukaan dari pencairan atau peleburan biji besi selama proses peleburan. Pada saat menarik besi dari cetakan, slag ini akan pecah menjadi partikel yang lebih kecil, baik melalui perendaman atau memecahkannya setelah dingin.

2.4 Karakteristik & Spesifikasi Aggregat

Menurut Wright dan Dixon (2004) karakteristik material terbagi menjadi dua bagian yang menjelaskan tentang aggregat yaitu : basic properties of material dan engineering properties of material. Basic properties of material adalah properties yang mengacu kepada penelitian dasar-dasar aggregat seperti kadar air, berat jenis, berat unit dan ketahanan geser. Engineering properties adalah properties yang mengacu kepada penelitian pengembangan untuk menentukan aggregat yang baik seperti ukuran partikel dan gradasi, kekerasan atau tahan terhadap beban, daya tahan atau tahan terhadap cuaca, berat jenis dan penyerapan, stabilitas kimia, bentuk partikel dan tekstur permukaan aggregat dan terbebas dari partikel atau zat yang merugikan.

Menurut Hewes dan Oglesby (1960) karakteristik aggregat kasar adalah stabilitas, tahan terhadap abrasi, tahan terhadap tekanan air dan harus kedap air. Sedangkan menurut Oglesby dan Hicks (1982) syarat-syarat umum aggregat untuk jalan beraspal adalah mempunyai unsur pokok 88%-96% dari berat atau sesuatu yang lebih besar dari 75% volume. Aggregat harus berkualitas seragam, dipecahkan keukuran seperlunya, dan harus terdiri dari batu kali yang liat, tahan lama atau pecahan dari batuan atau terak dengan atau tanpa pasir atau aggregat mineral yang lain yang terbagi secara halus. Adapun di dalam tugas akhir ini,

karakteristik aggregat yang diteliti adalah karakteristik lapisan pondasi dan lapisan permukaan.

Lapisan pondasi adalah lapisan yang sangat dibutuhkan dalam perencanaan perkerasan jalan raya begitupun dengan lapisan permukaan. Oleh karena itu, karakteristiknya sangat diperhatikan agar pada saat jalan digunakan tidak timbul masalah pada kemudian hari.

Untuk sifat-sifat Lapisan Pondasi akan ditampilkan pada Tabel 2.2

Tabel 2.1 Sifat-Sifat Lapisan Pondasi

Sifat – Sifat Kelas A Kelas B Kelas S

Abrasi dari Aggregat Kasar (SNI 2417 :

2008) 0 – 40% 0 – 40% 0 – 40%

Indeks Plastisitas (SNI 1966 : 2008) 0 - 6 6 – 12 4 – 15 Hasil kali Indeks Plastisitas dengan %

Lolos Ayakan No. 200 Maks. 25 - -

Batas Cair (SNI 1967 : 2008) 0 - 25 0 – 35 0 – 35 Bagian yang Lunak (SNI 03 – 4141 –

1996) 0 – 5% 0 – 5% 0 – 5%

CBR (SNI 03 – 1744 – 1989) Min. 90% Min. 60% Min. 50% Sumber : Bina Marga 2010 Revisi 2

Untuk sifat-sifat Lapisan Permukaan akan ditampilkan pada Tabel 2.3

Tabel 2.2 Sifat-Sifat Bahan Lapisan Permukaan Jalan Tanpa Penutup Aspal

Sifat – Sifat Nilai

Batas Cair (SNI 03-1967-1990) Maks. 35

Indeks Plastisitas (SNI 03-1966-1990) Min. 4 dan Maks. 15 Abrasi Aggregat Kasar (SNI 03-2417-1991) Maks. 40%

CBR (SNI 03-1744-1989 Min. 60%

Tabel 2.3 Karakteristik Lapisan Pondasi dan Lapisan Permukaan

Karakteristik Lapisan Pondasi Lapisan Permukaan

Tebal Lapisan 15 – 25 cm 5 – 10 cm

Ukuran Butiran Aggregat Kasar 4,75 – 37,5 mm 4,75 – 19 mm

Angularitas 95/90 95/90

Sumber : Bina Marga 2010 Revisi 2

Sifat dan kualitas aggregat menentukan kemampuannya dalam memikul beban lalu lintas. Aggregat dengan sifat dan kualitas yang baik dibutuhkan untuk lapisan pondasi dan lapisan permukaan. Sifat aggregat sebagai bahan perkerasan jalan dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok yaitu :

1. Kekuatan, yang dipengaruhi oleh gradasi, ukuran maksimum, kadar lempung, kekerasan dan ketahanan (toughness and durability), bentuk butir serta tekstur permukaan.

2. Kemampuan yang baik untuk dilapisi aspal, yang dipengaruhi oleh porositas, kemungkinan basah dan jenis aggregat yang digunakan.

3. Kemudahan dalam pelaksanaan dan menghasilkan lapisan yang nyaman dan aman, yang dipengaruhi oleh tahanan geser (skid resistance) serta campuran yang memberikan kemudahan dalam pelaksanaan.

Berdasarkan Spesifikasi Bina Marga 2010 Revisi 2, aggregat lapisan pondasi dan lapisan permukaan perkerasan lentur yang akan digunakan harus memenuhi persyaratan umum yang dijelaskan pada Tabel 2.5

Tabel 2.4 Karakteristik Agregat Kasar untuk Lapisan Pondasi dan Lapisan Permukaan

No Uraian Pemeriksaan Aggregat Metode Pengujian Spesifikasi

1 Pemeriksaan Gradasi Agregat Divisi 5 Bina Marga 2010 Revisi 2

Tertahan ayakan No.10 2 Pemeriksaan Berat Jenis SNI 1969 - 2008 Min 2,5 3 Pemeriksaan Penyerapan Aggregat SNI 1969 - 2008 Maks 3 % 4 Pemeriksaan Keausan dengan

mengunakan mesin Los Angeles SNI 2417 - 2008 Maks 40 %

5 Pemeriksaan Kelekatan Aggregat

terhadap Aspal SNI 2439 - 2011 > 95 % 6 Pemeriksaan Indeks Kelonjongan

Aggregat RSNI T-01-2005 Maks 10 % 7 Pemeriksaan Indeks Kepipihan Aggregat RSNI T-01-2005 Maks 10 % 8 Kekekalan bentuk aggregat terhadap

larutan Natrium Sulfat SNI 3407 - 2008 Maks 12%

Sumber : Bina Marga 2010 Revisi 2

2.4.1 Gradasi Aggregat

Tujuan gradasi adalah untuk memperoleh distribusi besaran atau jumlah presentase butiran aggregat kasar.

Menurut Hardiyatmo (2011) gradasi aggregat adalah aggregat yang terdistribusi dari ukuran besar hingga ukuran kecil. Gradasi ditentukan oleh material yang lolos dari berbagai macam ukuran saringan yang disusun bertahap. Sedangkan menurut Wright dan Dixon (2004) gradasi aggregat adalah campuran ukuran partikel aggregat yang mempengaruhi berat jenis, kekuatan, dan keekonomisan dari struktur jalan. Menurut Oglesby dan Hicks (1982) untuk

melalui ayakan standar. Dalam kasus campuran, perbedaan sifat dalam bahan, kesalahan dalam sampling dan pengujian, dan penggumpalan baik di dalam sampel dan dalam penanganan campuran dalam jumlah besar dapat berarti bahwa analisis ayakan mungkin tidak betul-betul menggambarkan bahan yang sesungguhnya digabungkan.

Menurut Oglesby dan Hicks (1982) gradasi aggregat dapat dibedakan menjadi 3 bagian yaitu :

1. Gradasi seragam (uniform graded)

Gradasi seragam adalah aggregat dengan ukuran yang hampir sama atau sejenis atau mengandung aggregat halus yang sedikit jumlahnya sehingga tidak dapat mengisi rongga antar aggregat. Disebut juga dengan gradasi terbuka.

2. Gradasi rapat (dense graded)

Gradasi rapat merupakan campuran aggregat kasar dan halus dalam porsi yang berimbang sehingga dinamakan juga aggregat bergradasi baik

3. Gradasi Buruk (poorly graded)

Gradasi buruk adalah gradasi aggregat dimana campuran aggregat disini tidak memenuhi dua kategori di atas. Aggregat bergradasi buruk yang umum digunakan untuk lapisan perkerasan lentur adalah gradasi celah (gap graded), yang merupakan campuran aggregat dengan satu fraksi hilang yang sering juga disebut gradasi senjang.

Untuk analisa gradasi, aggregat dapat di plot menggunakan grafik analisa

yang terdiri atas ayakan 2½”, 2”, 1½”, 1”, ¾”, ½”, 3/8”, #4, #8, #16, #30, #40, #50, #100 dan #200. Didalam analisa gradasi, ada persyaratan khusus yang harus

diperhatikan yaitu kurva Fuller dan daerah larangan (restricted zone). Kurva Fuller adalah kurva gradasi dimana kondisi campuran memiliki kepadatan maksimum dengan rongga diantara mineral aggregat minimum. Suatu campuran dikatakan bergradasi sangat rapat ditentukan bila presentase rumus dari masing- masing saringan memenuhi persamaan berikut :

P = 100 n

Dimana : d = Ukuran saringan yang ditinjau

D = Ukuran aggregat maksimum dari gradasi tertentu n = 0,35 – 0,45

Dibawah ini akan ditampilkan syarat gradasi yang digunakan dalam perencanaan perkerasan jalan raya :

Tabel 2.5Gradasi Lapisan Pondasi Aggregat

Ukuran Ayakan Persen Berat yang Lolos

ASTM (mm) Kelas A Kelas B Kelas S

2” 50 – 100 - 1 ½” 37,5 100 88 – 95 100 1 25 79 – 85 70 – 85 89 - 100 3/8” 9,5 44 – 58 30 – 65 55 – 90 No.4 4,75 29 – 44 25 – 55 40 – 75 No.10 2 17 – 30 15 – 40 26 – 59 No.40 0,425 7 – 17 8 – 20 12 – 33 No.200 0,0075 2 – 8 2 – 8 4 – 22

Sumber : Bina Marga 2010 Revisi 2

Tabel 2.6 Gradasi Lapisan Permukaan Jalan Tanpa Penutup Aspal Ukuran Ayakan

Persen Berat yang Lolos

ASTM (mm)

3/4” 19 100

No. 4 4,75 51-74

No. 40 0,425 18-36

N0. 200 0,075 10-22

Sumber : Bina Marga 2010 Revisi 2

2.4.2 Berat Jenis Aggregat

Tujuan penelitian berat jenis aggregat adalah untuk mengkalkulasi volume yang terisi oleh aggregat dalam berbagai macam campuran yang terkandung di dalam aggregat.

Menurut SNI 1969-2008, berat jenis adalah perbandingan antara berat dari satuan volume dari suatu material terhadap berat air dengan volume yang sama pada temperatur yang ditentukan. Nilai-nilainya adalah tanpa dimensi. Menurut Wright dan Dixon (2004) berat jenis adalah rasio massa benda dengan volume

yang sama dari air yang disuling pada temperatur tertentu. Sedangkan menurut Atkins (1983) berat jenis adalah perbandingan berat sejumlah volume aggregat tanpa mengandung rongga udara terhadap air pada volume yang sama.

Pengujian ini dimaksudkan sebagai pegangan dalam pengujian untuk menentukan berat jenis curah, berat jenis kering permukaan jenuh, berat jenis semu dari aggregat kasar.

Pengujian dilakukan terhadap aggregat kasar, yaitu yang tertahan oleh saringan berdiameter 4,75 mm (saringan no. 4); hasil pengujian ini dapat digunakan dalam pekerjaan :

I. Penyelidikan Quarry Aggregat

II. Perencanaan campuran dan pengendalian mutu perkerasan jalan

Untuk perhitungan, persamaan yang digunakan adalah : a) Berat Jenis Curah Kering (Bulk)

Berat Jenis Curah Kering =

Dimana :

A : adalah berat benda uji kering oven (gram).

B : adalah berat benda uji kondisi jenuh kering permukaan di udara (gram) C : adalah berat benda uji di dalam air (gram).

Berat jenis curah kering ialah perbandingan antara berat aggregat kering dan berat air suling yang isinya sama dengan isi aggregat dalam keadaan jenuh pada suhu 25o C

b) Berat Jenis Jenuh Kering Permukaan (SSD).

Berat Jenis Curah (Jenuh Kering Permukaan) =

Dimana :

B : adalah berat benda uji kondisi jenuh kering permukaan di udara (gram) C : adalah berat benda uji di dalam air (gram).

Berat jenis kering permukaan jenuh yaitu perbandingan antara berat aggregat kering permukaan jenuh dan berat air suling yang isinya sama dengan isi aggregat dalam keadaan jenuh pada suhu 25o C.

c) Berat Jenis Semu (Apparent)

Berat jenis semu =

Dimana :

A : adalah berat benda uji kering oven (gram). C : adalah berat benda uji di dalam air (gram).

Berat jenis semu ialah perbandingan antara berat aggregat kering dan berat air suling yang isinya sama dengan isi aggregat dalam keadaan kering/tanpa kandungan air pada suhu 25o C.

Adapun langkah kerja pengujian ini adalah :

1. Keringkan contoh uji dengan temperatur (110±5)0 C, dingin kan pada temperatur kamar selama satu hingga tiga jam dengan ukuran maksimum nominal 37,5 mm. Sesudah itu rendam aggregat didalam air pada temperatur kamar selama (24±4) jam.

2. Pindahkan contoh uji dari dalam air dan gulingkan pada suatu lembaran penyerap air sampai semua lapisan air yang terlihat hilang. Kerjakan hati-hati untuk menghindari penguapan air dari pori-pori aggregat dalam mencapai kondisi jenih kering permukaan. Tentukan nilainya.

3. Setelah ditentukan beratnya, segera tempatkan contoh uji di dalam wadah lalu tentukan beratnya di dalam air yang mempunyai kerapatan (997±2) kg/m3 pada temperatur (23±2)0 C.

4. Keringkan contoh uji tersebut sampai berat tetap pada temperatur 110±5)0 C, dinginkan pada temperatur kamar selama satu sampai tiga jam, atau sampai aggregat telah dingin pada suatu temperatur 500 C kemudian tentukan beratnya.

Untuk spesifikasi berat jenis, di dalam SNI 1969-2008 menjelaskan bahwa nilai dari berat jenis curah kering, nilai berat jenis jenuh kering permukaan (SSD) dan nilai berat jenis semu minimal 2,5.

2.4.3 Penyerapan Aggregat

Tujuan penyerapan aggregat adalah untuk menentukan nilai penyerapan yang digunakan untuk menghitung perubahan massa aggregat karena air diserap dalam ruang pori dalam partikel penyusun aggregat.

Menurut SNI 1969-2008, penyerapan aggregat adalah penambahan air dari suatu aggregat akibat air yang meresap ke dalam pori-pori. Sedangkan menurut Atkins (1983) penyerapan aggregat ialah perbandingan berat air yang dapat

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar penyerapan yang dilakukan oleh aggregat kasar. Pengujian ini dihitung setelah berat kering, berat ssd, dan berat jenuh aggregat telah dihitung. Pengujian ini menggunakan satuan persen.

Untuk perhitungannya, dapat dimasukkan kedalam persamaan berikut :

Penyerapan air =

[ ] x100%

Dimana :

A : adalah benda berat uji kering oven (gram).

B : adalah berat benda uji kondisi jenuh kering permukaan di udara (gram) 2.4.4 Abrasi Aggregat Kasar

Tujuan pengujian abrasi adalah untuk mengetahui ketahanan aggregat yang dapat dicapai bilamana kekuatan aggregat tersebut kurang akibat keausan.

Menurut Wright dan Dixon (2004) aggregat yang digunakan di dalam perkerasan jalan harus keras dan tahan terhadap beban yang berulang. Dan untuk menentukan kekerasan aggregat digunakan tes Los Angeles Abrasion.

Pengujian Los angeles dapat disebut juga pengujian Rattler. Pengujian Rattler adalah pengujian ketahanan aggregat terhadap abrasi. Pengujian Rattler sebagian besar telah menggantikan Pengujian Deval untuk Abrasi. (Oglesby dan Hicks, 1982)

Menurut SNI 2417-2008 Pengujian ini sangat penting sebagai pegangan untuk menentukan kekuatan aggregat kasar terhadap keausan dengan

keausan yang dinyatakan dengan perbandingan antara berat bahan aus terhadap berat semula dalam persen

Umumnya ketika dilapangan pengujian ini menentukan apakah aggregat yang digunakan layak atau tidak. Karena pengujian ini berguna untuk mengetahui seberapa besar kekuatan material aggregat kasar itu sendiri.

Tata cara pengujian abrasi ini adalah :

1. Pengujian ketahanan aggregat kasar terhadap keausan dapat dilakukan dengan salah satu dari tujuh cara berikut ini :

Tabel 2.7Daftar Gradasi dan Berat Uji Abrasi

Sumber : SNI 2417-2008

2. Benda uji dan bola dimasukkan ke dalam mesnin abrasi Los Angeles 3. Putaran mesin dengan kecepatan 30-33 rpm; jumlah putaran gradasi A

hingga D adalah 500 putaran dan untuk gradasi E hingga G adalah 1000 putaran

4. Setelah selesai pemutaran, keluarkan benda uji lalu disaring dengan saringan NO. 12 (1,70 mm); butiran yang tertahan dicuci bersih lalu Ukuran Saringan Gradasi dan berat benda uji (gram)

Lolos Saringan Tertahan Saringan A B C D E F G mm inchi mm inchi 75 3,0 63 2 ½ - - - - 2500±50 - - 63 2 ½ 50 2 - - - - 2500±50 - - 50 2 37,5 1 ½ - - - - 5000±50 5000±50 - 37,5 1 ½ 25 1 1250±25 - - - - 5000±25 5000±25 25 1 19 ¾ 1250±25 - - - 5000±25 19 ¾ 12,5 ½ 1250±10 2500±10 - - - - - 12,5 ½ 9,5 3/8 1250±10 2500±10 - - - - - 9,5 3/8 6,3 ¼ - - 2500±10 - - - - 6,3 ¼ 4,75 No.4 - - 2500±10 2500±10 - - - 4,75 No.4 2,36 No.8 - - - 2500±10 - - - Total 5000±10 5000±10 5000±10 5000±10 10000±10 10000±10 10000±1 0 Jumlah Bola 12 11 8 6 12 12 12

dikeringkan di dalam oven bertemperatur 1100 C ± 50 C sampai berat tetap.

5. Jika material contoh uji homogen, pengujian cukup dilakukan dengan 100 putaran, dan setelah selesai pengujian disaring dengan saringan No.12 (1,70 mm) tanpa pencucian. Perbandingan hasil pengujian antara 100 putaran dan 500 putaran agregat tertahan di atas saringan No. 12 (1,70 mm) tanpa pencucican tidak boleh lebih besar dari 0,20

Dokumen terkait